Follow us on:
^LAFAZH NIAT SHOLAT^

bismillaah,

^LAFAZH NIAT SHOLAT^

Imam Ramli mengatakan:

وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ

"Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan untuk menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat". (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).

Siapa Imam Ramli ini? kok mengatas namakan sunnah yang bukan sunnah?

Nukilan diatas, saya dapatkan dari ahlul bid'ah yang membela mati2an kebid'ahan.
Maka pertanyaan saya adalah tetap, yakni siapa Imam Ramli ini? Manhajnya bagaimana? Adakah yang tahu biografinya? Tafadhdhol....

Imam Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah (wafat 795 H) (1374 M) berkata :
"Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang shahih adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh mana pun yang menyalahi perintahnya, yang terkadang pendapat mereka itu salah. [Muqodimah Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani]

Munculnya pendapat bahwa shalat harus melafalkan niat dengan lisan adalah dari kesalahan Abdullah bin Az-Zubairy dalam memahami ucapan Imam As-Syafi'i: "Jika seseorang berniat haji atau umrah maka sudah cukup, walaupun tidak dilafalkan. Berbeda dengan shalat, tidak sah kecuali dengan ucapan." Abdullah Az-Zubairy mengatakan bahwa Imam As-Syafi'i mewajibkan pelafalan niat dalam shalat.

Imam An-Nawawi berkata: "Para sahabat kami berkata: "Telah tersalah orang ini (Abdullah Az-Zubairy), bukanlah yang dimaksud Imam As-Syafi'i dengan "ucapan" itu niat, tetapi yang dimaksud adalah takbir."

Jadi, menisbatkan "Ushalli" kepada Imam As-Syafi'i itu tidaklah benar. Kalau memang ada ulama yang berpendapat seperti itu, maka seharusnya perkataan (sabda) dan amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib didahulukan, ketimbang qaul ulama.

Imam Ar-Ramli Asy-Syafi'i,salah seorang Imam Ahli Sunnah di zaman nya,insya allah.Salah satu yg ana pernah dgr dr ustadz ana adalah bahwa Beliau juga sama dgn gurunya Imam Asy-Syafi'i mengharamkan kenduri arwah.Adapun nukilan yg antum katakan,maka sebaiknya di cros chek ke kitab terseut,benar apa tidak tulisan itu bersumber dari Imam Ar-Ramli rahimahullah.,wallahu a'lam.

imam ramli adalah Imam Syihabuddin Ahmad bin Hamzah ar-Ramli al-Anshari seorang sufi bapak dari Syamsuddin Muhammad ar-Ramli al-Anshari pengarang "Nihayah" lihat di :

http://wwwahamid.blogspot.com/2011/06/fatwa-al-imam-ar-ramli-istighatsah.html
________________________________

Perkataan diatas sudah dijawab oleh ustadz Muhammad abduh tuasikal dalam sesi tanya jawab dalam blognya "Mengenal ajaran islam lebih dekat" berikut jawabannya:

Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh.

Do’a yang sangat bagus sekali akhi.

Dan terima kasih telah memberikan tanggapan yang sangat menarik. Kami cuma bisa berkomentar sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan di atas.

”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.”

Kami hargai pendapat ulama yang Anda sampaikan. Namun, kami hanya mau mengikuti perkataan ulama selama itu bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak bersesuaian, maka cukup kami katakan:

Semua perkataan bisa ditolak selain pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika antum katakan niat kami kan baik, agar dapat membantu kekhusyu’an ketika kita mengucapkan (melafazhkan) niat. Maka cukup kami sanggah:

Jika itu memang baik, siapakah yang melaksanakan shalat yang paling bagus: Anda ataukah Nabi dan sahabatnya [?] Kok mereka tidak melafazhkan niat, sedangkan Anda iya.

Kami katakan sebagaimana perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menunjukkan prinsip Ahlus Sunnah: “Seandainya hal tersebut baik, tentu para sahabat akan mendahului kita dalam melaksanakannya.”

Dan ingat akhi, ada suatu kaedah: La qiyasa fil ‘ibadah (tidak ada qiyas atau analogi dalam ibadah). Jadi, alasan yang antum kemukakan terakhir dengan diqiyas dengan haji dapat disanggah dengan kaedah ini.

Siapa yang menfitnah umat [?] Masa’ orang yang menyampaikan ajaran Nabi dituduh menfitnah [?]

Apakah masalah melafazhkan niat termasuk masalah sunnah yang masih diperselisihkan [?] Siapa bilang [?] Di sana, tidak ada dalil dari HADITS yang menunjukkan adanya melafazhkan niat, kok malah dikatakan khilaf [?] Coba ditinjau lagi, kalo masalah yang kami sampaikan ini akan memecah belah umat.

Kami hanya menyampaikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar umat menjadi mudah, tidak perlu menghafal niat yang begitu banyak. Justru orang yang menganjurkan melafazhkan niat yang mempersulit umat ini, padahal agama ini adalah mudah, tidak membuat sulit.

Semoga engkau selalu mendapat taufik Allah akhi.
Inni uhibbuka fillah.

Ini adalah salah satu fatwa beliau (Imam Ar-Ramli rahimahullah) mengenai kenduri arwah atau dalam bahsa kita biasa disebut dgn Majlis Tahlilan.

قَالَ شَیْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُھَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا یَفْعَلُھُ النَّاسُ
مِمَّا یُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَیْھِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِ دَهُ وَمِ ن ال ذَّبْحِ عَلَ ى
الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِ نْ مَ الٍ مَحْجُ وْرٍ وَلَ وْ مِ نَ التَّركَ ةِ ، اَوْ مِ نْ مَ الِ مَیِّ تٍ
عَلَیْھِ دَیْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَیْھِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.

“Telah berkata guru kami Ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.

Adapun (jika Melafazkan Niat) memang benar berasal dari perkataan Imam Ar-Ramli,maka kita kembalikan kepada pendapat gurunya Imam Asy-Syafi'i rahimahullah yg mengatakan :
"Apabila suatu Hadits telah (dihukum) Shahih,maka itu adlah madzhabku ' "

Kalau ttg talaffuz an-niiyah, maka hukumnya jelas Mahalluha fil Qalbi (tempat nya itu dihati, tidak perlu di lafazkan ) Mohon antum share jika tahu mengenai Biografi Imam Ar-Ramli, tentunya dari sumber-sumber yg dikenal dikalangan thalibul ilmi 'ala fahmi salafil ummah.

Imam Ar-Ramli 'Ulama Ahli Sunnah yg berjalan diats manhaj gurunya Imam as-Syafi'i rahimahullah

Imam Ar-Ramli adalah salah seorang 'Ulama Ahli Sunnah di zamannya, insya Allah.Perkataannya diambil tidak ditinggal. Adapun jika fatwa dan perkatannya menyelisihi Sunnah,maka kita tinggalkan,karena Imam itu tidak ma'shum sebagaimana Imam-Imam yang lain rahimahumullah.

“Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalan ya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)


source 

Tidak Ada Bid’ah Hasanah

Pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (yang baik) dalam Islam termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini.

Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dibakukan tatkala Dia mewafatkan NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Yang lebih celaka lagi, fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awwam yang tidak paham tentang agama sampai seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelar –baik yang resmi maupun yang tidak- dalam ilmu agama Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Islam. Maka betapa buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.


A. Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.

Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan jelek, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :


1. Hadits Jabir riwayat Muslim :

وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.


2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.(HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)

Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadits ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.

Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tishom (1/187), “Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafadzpun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.


3. Hadits ‘A`isyah radhiallahu ‘anha:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits ini termasuk dari kaidah-kaidah agama karena masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.


4. Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Shahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan jeleknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.


B. Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.

Di sini saya akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemborkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba karena syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shohih tapi salah memahami ataukah sekedar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahwa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :


1. Surah Al-Hadid ayat 27 :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.

Bantahan :
FirmanNya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :

a. Bila kembalinya kepada firmanNya “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah”, maka ini berarti celaan buat mereka karena mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.

b. Bila kembalinya kepada firmanNya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.

2. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dari hadits di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang jelek.

Bantahan:

a. Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sababul wurud (sebab terucapkannya) hadits ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhor datang ke Medinah dan nampak dari kondisi mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para shahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshor dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu beruntunlah para shahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadits di atas.Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahwa yang diinginkan dalam hadits adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, karena sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

b. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadits ini dengan “yang baik” dan “yang jelek”, dan sifat seperti ini (baik dan jelek) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadits maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.

c. Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadits ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.


3. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap jelek maka itu jelek di sisi Allah”.Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka berarti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.

Bantahan:

1. Hadits ini tidak shohih secara marfu’ dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini :· Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) : “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.· Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khofa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Anas dengan sanad yang saqit (jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.

2. Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadits ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena “Al” dalam kata “al-muslimun” hadits ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terpahami oleh fikiran ketika membaca hadits ini), sehingga makna haditsnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadits ini :إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hambaNya dan Dia mendapati hati Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”.Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadits adalah mereka yang disebutkan di awal hadits.3

. Bagaimana bisa mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiallahu ‘anhu adalah termasuk dari para shahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebagian dari perkataan beliau radhiallahu ‘anhu.4. Kalau hadits ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Karena setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadits di atas, Wallahul musta’an.


4. Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang sholat Tarwih secara berjama’ah di malam bulan Ramadhan :نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.

Bantahan:

1. Perbuatan ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarwih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarwih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut sholat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya karena takut turun wahyu yang mewajibkan sholat Tarwih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shohihnya (no. 1129). Maka tatkala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan sholat Tarwih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga sholat Tarwih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan sholat Tarwih secara berjama’ah.

2. Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, karena yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan karena melihat keadaan zhohir dari sholat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan sholat tarwih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya karena takut akan diwajibkannya sholat Tarwih ini atas umatnya.Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan karena takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya sholat Tarwih juga telah terputus di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.

Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarwih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :

a. Karena beliau radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa sholatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhol daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.

b. Karena sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang murtad dan ingin menyerang Medinah ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan sholat tarwih, ini disebutkan oleh Asy-Syathiby rahimahullah.Maka tatkala sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, maka sholat Tarwih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya. Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, karena sholat Tarwih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah sholat Tarwih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan karena alasan yang lain, Wallahu a’lam.·

Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-I’tishom (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah karena dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiallahu ‘anhu), karena ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”.· Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) : “Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap sholat Tarwih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikarenakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’iy.

Maka jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa karena itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.

3. Sesungguhnya para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini artinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :
لَنْ تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ“
Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)

Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini karena dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahwa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh karena menyelisihi hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, wallahu A’lam.Kesimpulan dari masalah ini adalah bahwa setiap perkara yang dianggap oleh sebagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahwa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :

1. Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.

2. Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.

{Lihat : Al-Luma’ fir Roddi ‘ala Muhassinil Bida’ (hal. 8-54), Al-I’tishom (1/187-188 dan 228-270), Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/106-117), Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 270-278), Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (hal. 42-44), dan Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulul Mufid (hal. 133-142)}[Diringkas dari buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi bab ketiga, karya Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah-]

semoga bermanfaat
— at Toko Sia-Sia.
 

Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah

oleh Abu Muawiah

“Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.” Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ucapan ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.


Takhrij Hadits:
Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah radhiallahu Ta’ala ‘anha.

Adapun lafadz pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).

Dan lafadz kedua diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).

Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.

Kosa Kata Hadits:
1. “Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur: 63)

2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.
[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]


Komentar Para Ulama :

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pondasi Islam dibangun di atas 3 hadits: Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”, hadits ‘A`isyah “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak” dan hadits An-Nu’man “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas””.

Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, “Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama: Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya”, hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”, hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari” dan hadits “Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.

Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu) “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, “Hadits ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya secara zhohir. Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.

Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin, “Hadits ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.

Dan beliau juga berkata, “… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.

Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.

Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, “Hadits ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya masing-masing, yaitu:

a. Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal dengannya.

b. Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia pencetus bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.


Syarh :
Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri agar permasalahan menjadi tambah jelas. Maka kami katakan:


A. Definisi Bid’ah.
Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:

بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)
Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului.

Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)
Yakni : Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak dari para Rasul. Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)

Adapun secara istilah syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syari’at- bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab Al-I’tishom (1/50):

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ

“Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.


Penjelasan Definisi.
Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas, beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut, yang kesimpulannya sebagai berikut:


1. Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)

Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HSR. Bukhory)

Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang dibutuhkan.


2. Perkatan beliau “yang diada-adakan”, yaitu sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali. Adapun amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum –walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bid’ah dalam agama. Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.


3. Perkataan beliau “menyerupai syari’at”, yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya tidak demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari beberapa sisi:

a. Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian tertentu.

b. Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjama’ah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.

c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syari’at, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban dan sholat di malam harinya.


4. Perkataan beliau “dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”. Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala- berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya) dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah mencukupi.


B. Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.

1. Bid’ah merupakan sebab perpecahan.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)
Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” : “Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)


2. Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.

Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:

وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)

Berkata At-Tastury : “’Qosdhus sabil’ adalah jalan sunnah ‘di antaranya ada yang bengkok’ yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bid’ah-bid’ah”.

Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)
Dalam satu riwayat, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.
Dan dalam riwayat An-Nasa`iy, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka”.

Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)


3. Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)

Dan bid’ah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas sekarang.


4. Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:

فَمَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ عَدْلٌ وَلَا صَرْفٌ

“Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah atau melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)


5. Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا

“Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)

Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam, “… Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-, karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah menerima taubatnya”.


6. Para pelaku bid’ah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.
Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ

“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)

Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)


7. Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Saya menunggu kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku : “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)


8. Para pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-, “Siapa saja yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.


9. Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.

Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat dalam surah Al-Ma`idah di atas, “Maka bila Allah telah menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah Allah menyempurnakan agamanya?!. Jika pendapat-pendapat (bid’ah ini) bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama ?!”.


10. Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)

Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena bid’ah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah.
{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}

semoga bermanfaat

— at Toko Sia-Sia.
 

TANGGAPAN SEKILAS DZIKIR BERSAMA BAGIAN 1 DARI 5

bismillaah,

Posted on May 29th, 2004 by admin
Maraknya aktifitas berdzikir di berbagai tempat, telah menggelitik kami untuk mengkritisinya. Demikian juga dengan terbitnya buku yang mengangkat masalah dzikir, yaitu "Zikir Berjama’ah Sunnah Atau Bid’ah" dan "Hakikat Dzikir". Yang pertama merupakan karya dari KH Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA dan yang kedua ditulis oleh Muhammad Arifin Ilham.

Dzikir, memang merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan Allah
dalam Al Qur’an dan Rasulullah dalam hadits-hadits Beliau. Bagi seorang
mukmin, sudah seharusnya memperbanyak dzikir kepada Allah. Allah berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya
pada waktu pagi dan petang. (QS Al Ahzab: 41, 42).
Perintah untuk memperbanyak dzikir ini, di kalangan ulama tidak teradi
perbedaan. Demikian pula dalil yang dibawakan tidak terjadi perbedaan.
Yang kemudian menjadi permasalahan, ialah menyangkut haiah (bentuk)
dzikir yang disyari’atkan. Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan
masih bersifat umum. Yakni perintah berdzikir di manapun berada dan
ketika memiliki kesempatan.

Bagaimanakah dengan cara berdzikir bersama yang sekarang ini marak?

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, kami telah mewawancarai Ustadz.
Aunur Rifiq Ghufran 1 dan Ustadz Mubarak Bamuallim 2, yang kami tuangkan dalam tulisan berikut. Kemudian kami olah dengan beberapa tambahan maraji’ (rujukan).

Namun, karena keterbatasan tempat, maka kami tidak dapat mengangkat
secara menyeluruh. Kami hanya mengangkat sebagian dari buku Zikir
Berjama’ah Sunnah Atau Bid’ah (selanjutnya disebut ZBSB). Semoga bermanfaat.

SOAL:

Penyusun buku ZBSB menyatakan di halaman 58: Pada firman-firman Allah
SWT di atas, yakni QS Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, QS Ali
lmran ayat 191: Yadzkuruunallaah dan QS Al Ahzab ayat 35: Adz
Dzaakirinallaah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari sisi tata bahasa Arab, semuanya itu menggunakan dhamir jama’ / plural (antum, hum dan hunnah) bukan dhamir mufrad / singular (anta, huwa, dan hiya). Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya dzikir secara
berjama’ah.

TANGGAPAN:

Istidlal 3 sepeti ini sangat lemah. Karena banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menggunakan
dhamir jama’, tapi tidak bisa difahami demikian. Seperti firman Allah:

Istert-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocoktanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanarm kalian itu bagaimana
saja kalian kehendaki. (QS Al Baqarah: 223).
Apakah ayat ini bisa difahami, bahwa menggauli isteri dapat atau dianjurkan
secara bersama-sama? Tidak ada seorang ulamapun yang memahami seperti
ini.

Misalnya juga firman Allah dalam surat Al Jumu’ah ayat 10:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung. (QS Al Jumu’ah:10).
Bagaimana dia memahami kalimat udzkurullah (berdzikirlah kalian)
dalam ayat ini? Padahal ayat ini sangat jelas, bahwa berdzikir ini
setelah Allah memerintahkan untuk bertebaran. Ini menunjukkan, bahwa
dzikir itu tidak mesti harus bersama; bahkan dzikir berjama’ah dengan
satu suara tidak ada contohnya. Seandainya ada contoh dari para salafush
shalih, kami akan melaksanakan dan kami akan mendukungnya.

Misalnya lagi, Allah berfirman dalam surat Al Anfal ayat 45

Hai, orang-orang yang beriman. Apabila kamu nnemerangi pasukan (musuh),
maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya
agar kamu beruntung. (QS Al Anfal: 45).
Apakah pemah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dalam suatu peperangan
memimpin para sahabatnya berdzikir dengan satu suara? Padahal peperangan
sangat banyak dan riwayat mengenai kejadian dalam medan tempur juga
banyak. Ini menunjukkan, bahwa dzikir disini, meskipun menggunakan
dhamir jama’, tetapi dalam pelaksanaannya secara sendiri-sendiri.

Ayat keempat, dalam surat Al Baqarah ayat 198, Allah berfirman:

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Masy’aril Haram adalah nama sabuah bukit di Muzdalifah.
Seandainya dhamir jama’ difahami dengan bolehnya dzikir secara bersama-sama
dengan dikomando, tentu Rasulullah sudah memberikan contoh, atau Beliau
memerintahkan kepada para sahabat untuk membuat halaqah dzikir, lalu
berdzikir dengan satu suara; karena pada saat ini, ada kesempatan
dan banyak orang yang sedang berkumpul.

Namun kami belum menemukan satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa
Nabi dan para sahabat melakukan hal itu di Masy’aril Haram. Padahal,
mereka merupakan generasi terbaik yang sangat bersemangat dalam berbuat
kebaikan. Memang disyari’atkan mengeraskan suara dalam bertalbiah,
tetapi tidak dipimpin; masing-masing bertalbiyah secara sendiri-sendiri.
Dan ini ada riwayat yang memerintahkannya.

Manakala Rasulullah tidak melakukannya, padahal Beliau mempunyai kesempatan
dan tidak ada sesuatu yang menghalangi Beliau; ini menunjukkan bahwa
perbuatan itu (Dzikir bersama) tidak disyari’atkan. Kesimpulannya,
ini adalah dalil-dalil umum. Untuk melaksanakannya perlu contoh dari
RasuLullah dan para sahabat. Lebih-lebih Yang berkaitan dengan cara
beribadah. Karena dzikir termasuk cara beribadah.

________________________________________
Catatan Kaki

1 Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren AI Furqon, Srowo, Gresik.
2Beliau adalah Staff Pengaiar Ma’had AI Ali Al Irsyad, Surabaya.
3Istidlal berdalil / menggunakan dalil untuk suatu pemahaman.
________________________________________
Dikutip dari majalah As-Sunnah 01/VIII/1425H hal 37 – 38


‎...

Apakah antum pernah belajar ilmu Ushul Fiqih?
Maka biasanya orang2 yang tidak pernah mempelajari ilmu ini, (dan ini biasanya di lakukan oleh orang2 muqallid dari Nahdiyyin), mereka selalu bertanya "Apakah ada larangannya?" atau "Mana dalil larangannya ?!"

Maka ketahulilah wahai saudaraku yang semoga antum di rahmati Allah,

Kaidah dalam ilmu Ushul fiqih adalah : "Hukum asal dari ibadah adalah HARAM sampai ada dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya. Sedangkan hukum asal dari muamalah adalah boleh atau halal, sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya"

Pegang kuat2 kaidah yang mulia ini, sehingga antum tidak lagi bertanya "apakah ada larangannya?"

Allahul musta'an

***


  added notes :

http://www.facebook.com/note.php?note_id=275185899172858

http://www.facebook.com/note.php?note_id=274347809256667

http://www.facebook.com/note.php?note_id=274358342588947

http://www.facebook.com/note.php?note_id=272790892745692

http://www.facebook.com/note.php?note_id=272430152781766

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271937966164318

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271949409496507

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271621072862674

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271615399529908

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271538766204238



‎...

Berikut keterangan para ulama tentang majelis dzikir...

Abu Hazzan ‘Atha` pernah ditanya:”Apakah Majelis Dzikir itu?” Beliau menjawab: مَجْلِسُ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَكَيْفَ تُصَلِّي وَكَيْفَ تَصُوْمُ وَكَيْفَ تَنْكِحُ وَكَيْفَ تَطْلُقُ وَتَبِيْعُ وَتَشْتَرِي
“Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual-beli.” (Al Hilyah 3/313).

Sa’id bin Jubair mengatakan: كُلُّ عَامِلٍ للهِ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ ذَاكِرٌ للهِ
“Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah karena Allah, maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah.”(Al Adzkar 7).

Syaikh Al Imam Abu ‘Amr Ibnu Shalah pernah ditanya ukuran seseorang dikatakan sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah?” Beliau mengatakan: إِذَا وَاظَبَ عَلَى الأَذْكَارِ المَأْثُوْرَةِ المُثْبَتَّةِ صَبَاحًا وَمَسَاءً فِي الأَوْقَاتِ وَالأَحْوَالِ المُخْتَلِفَةِ لَيْلاً نَهَارًا كَانَ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيْرًا وَ الذَّاكِرَاتِ
“Yaitu orang yang tekun melakukan dzikir-dzikir ma’tsur (diriwayatkan) yang sahih setiap pagi dan petang dalam keadaan yang berbeda, siang malam.” (Al Adzkar 7).

Imam Al Qurthubi mengatakan: مَجْلِسُ ذِكْرٍ يَعْنِي مَجْلِسُ عِلْمٍ وَتَذْكِيْرٍ وَهِيَ المَجَالِسُ الَتِي يُذْكَرُ فِيْهَا كَلاَمُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ وَأَخْبَارُ السَلَفُ الصَّالِحِينَ وَكَلَامُ الأَئِمَّةِ الزُهّّادِ الْمُتَقَدِمِينَ المُبْرَأَةِ عَنِ التَّصَنُّعِ وَالْبِدَعِ المُنَزَّهَةِ عَنِ الْمَقَاصِدِ الرَّدِيْئَةِ وَالطَمَعِ
“Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid’ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang rendah dan ketamakan.” (Fikih Sunnah 2/87).

Al Manawi mengatakan:”Hujjatul Islam (Al Ghazali –ed) mengatakan: ”Yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah, tadabbur Al Quran, mempelajari agama, dan menghitung-hitung ni’mat yang telah Allah berikan kepada kita.” (Faidlul Qadir 5/519).

Dari penukilan perkataan ‘Ulama salaf ini jelas bagi kalian bahwa yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang di dalamnya disebutkan padanya “majalis adz-dzikr” atau “hilaqudz dzikr” adalah majelis ilmu yang di dalamnya dipelajari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, jauh dari berbagai macam campuran bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.



Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)
Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

مَنْ اَغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ اْلأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الثَّانِيَةَ فَكَأَنَمَا قَرَّبَ بَقْرَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْثَّالِثَةَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً, فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الْذِّكْرَ

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berang-kat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor.

Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.”

Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat.( Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)



Itu semua menunjukkan bahwa makna “majalis adz dzikr” lebih lebih luas dari makna dzikir secara lisan, namun mencakup berbagai macam jenis amalan ketaatan seperti menuntut ilmu, belajar dan mengajar, memberi nasehat, yang jauh dari berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan.


...

Maraknya aktifitas berdzikir di berbagai tempat, telah menggelitik
kami untuk mengkritisinya. Demikian juga dengan terbitnya buku yang
mengangkat masalah dzikir, yaitu "Zikir Berjama’ah
Sunnah Atau Bid’ah" dan "Hakikat Dzikir".
Yang pertama merupakan karya dari KH Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA dan yang kedua ditulis oleh Muhammad Arifin Ilham.

Dzikir, memang merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan Allah dalam Al Qur’an dan Rasulullah dalam hadits-hadits Beliau. Bagi seorang mukmin, sudah seharusnya memperbanyak dzikir kepada Allah. Allah berfirman, yang artinya..

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan petang. (QS Al Ahzab: 41, 42).

Perintah untuk memperbanyak dzikir ini, di kalangan ulama tidak teradi
perbedaan. Demikian pula dalil yang dibawakan tidak terjadi perbedaan. Yang kemudian menjadi permasalahan, ialah menyangkut haiah (bentuk) dzikir yang disyari’atkan. Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan masih bersifat umum. Yakni perintah berdzikir di manapun berada dan ketika memiliki kesempatan.

Bagaimanakah dengan cara berdzikir bersama yang sekarang ini marak?

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, kami telah mewawancarai Ustadz.
Aunur Rifiq Ghufran
1 dan Ustadz Mubarak Bamuallim
2, yang kami tuangkan dalam tulisan berikut. Kemudian kami olah dengan beberapa tambahan maraji’ (rujukan).

Namun, karena keterbatasan tempat, maka kami tidak dapat mengangkat secara menyeluruh. Kami hanya mengangkat sebagian dari buku Zikir Berjama’ah Sunnah Atau Bid’ah (selanjutnya disebut ZBSB).

Semoga bermanfaat.



...

SOAL:

Penyusun buku ZBSB menyatakan di halaman 58: Pada firman-firman Allah SWT di atas, yakni QS Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, QS Ali
lmran ayat 191: Yadzkuruunallaah dan QS Al Ahzab ayat 35: Adz
Dzaakirinallaah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari sisi tata
bahasa Arab, semuanya itu menggunakan dhamir jama’ / plural (antum, hum dan hunnah) bukan dhamir mufrad / singular (anta, huwa, dan hiya).

Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya dzikir secara
berjama’ah.

TANGGAPAN:

Istidlal
3 sepeti ini sangat lemah. Karena banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menggunakan dhamir jama’, tapi tidak bisa difahami demikian. Seperti firman Allah:

Istert-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocoktanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanarm kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (QS Al Baqarah: 223).

Apakah ayat ini bisa difahami, bahwa menggauli isteri dapat atau dianjurkan secara bersama-sama? Tidak ada seorang ulamapun yang memahami seperti ini.



Misalnya juga firman Allah dalam surat Al Jumu’ah ayat 10:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al Jumu’ah:10).

Bagaimana dia memahami kalimat udzkurullah (berdzikirlah kalian)
dalam ayat ini? Padahal ayat ini sangat jelas, bahwa berdzikir ini
setelah Allah memerintahkan untuk bertebaran. Ini menunjukkan, bahwa dzikir itu tidak mesti harus bersama; bahkan dzikir berjama’ah dengan satu suara tidak ada contohnya. Seandainya ada contoh dari para salafush shalih, kami akan melaksanakan dan kami akan mendukungnya.

Misalnya lagi, Allah berfirman dalam surat Al Anfal ayat 45

Hai, orang-orang yang beriman. Apabila kamu nnemerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS Al Anfal: 45).

Apakah pemah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dalam suatu peperangan memimpin para sahabatnya berdzikir dengan satu suara? Padahal peperangan sangat banyak dan riwayat mengenai kejadian dalam medan tempur juga banyak. Ini menunjukkan, bahwa dzikir disini, meskipun menggunakan dhamir jama’, tetapi dalam pelaksanaannya secara sendiri-sendiri.


 Ayat keempat, dalam surat Al Baqarah ayat 198, Allah berfirman :

yang artinya..

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Masy’aril Haram adalah nama sabuah bukit di Muzdalifah.
Seandainya dhamir jama’ difahami dengan bolehnya dzikir secara bersama-sama dengan dikomando, tentu Rasulullah sudah memberikan contoh, atau Beliau memerintahkan kepada para sahabat untuk membuat halaqah dzikir, lalu berdzikir dengan satu suara; karena pada saat ini, ada kesempatan dan banyak orang yang sedang berkumpul.

Namun kami belum menemukan satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa Nabi dan para sahabat melakukan hal itu di Masy’aril Haram. Padahal, mereka merupakan generasi terbaik yang sangat bersemangat dalam berbuat kebaikan. Memang disyari’atkan mengeraskan suara dalam bertalbiah, tetapi tidak dipimpin; masing-masing bertalbiyah secara sendiri-sendiri. Dan ini ada riwayat yang memerintahkannya.

Manakala Rasulullah tidak melakukannya, padahal Beliau mempunyai kesempatan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi Beliau; ini menunjukkan bahwa perbuatan itu (Dzikir bersama) tidak disyari’atkan. Kesimpulannya, ini adalah dalil-dalil umum. Untuk melaksanakannya perlu contoh dari RasuLullah dan para sahabat. Lebih-lebih Yang berkaitan dengan cara beribadah. Karena dzikir termasuk cara beribadah.

Catatan Kaki

1 Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren AI Furqon, Srowo, Gresik.
2 Beliau adalah Staff Pengaiar Ma’had AI Ali Al Irsyad, Surabaya.
3 Istidlal berdalil / menggunakan dalil untuk suatu pemahaman.
ikutip dari majalah As-Sunnah 01/VIII/1425H hal 37 – 38

***


...

Bid’ahnya Dzikir Berjamaah Ala Arifin Ilham (1)
Filed under: Fiqh, Manhaj by biladillah — Tinggalkan komentar
13 Mei 2010

Penulis: Ustadz Abu Karimah Askari

Mukaddimah

إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صلى الله عليه، وعلى آله وصحبه وسلم. وبعد
Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, mengharapkan petunjuk-Nya dan ampunan-Nya, serta berlindung kepada Allah dari kejahatan hawa nafsu kita dan kejahatan amalan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada satupun yang dapat menyesatkannya, sebaliknya siapapun yang disesatkan Allah, niscaya tidak satupun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi tidak ada Ilah yang haq kecuali Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi pula bahwa Muhammad itu adalah seorang hamba dan utusan Allah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”(Ali ‘Imran 102).

Dan:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثََّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(An Nisa` 1).

Dan:
يَاأَيُّهَا الَّذِِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا .يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan kamu dana mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Dan:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan kamu dana mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”(Al Ahzab 70-71).
Amma ba’du:

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitab Allah. Dan sebaik-baik tuntunan (petunjuk) adalah tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Dan semua yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan bid’ah itu adalah sesat. Dan kesesatan itu di neraka.
Sesungguhnya, di antara kenikmatan yang Allah limpahkan kepada ummat ini adalah menyempurnakan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, di mana mereka mengembalikan semua permasalahan agama yang mereka hadapi ini kepada Kitab Allah (Al Quran) dan As Sunnah yang shahih.

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan: Kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan abadi. Nikmat tersebut adalah Islam dan As Sunnah. Inilah kenikmatan yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk senantiasa mengharapkannya dalam setiap shalat yang kita tegakkan, yaitu agar Dia memberi hidayah (petunjuk) kepada kita jalan orang-orang yang telah memperoleh kenikmatan hakiki tersebut, orang-orang yang Allah istimewakan dengan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang berada di derjat yang tertinggi.

Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka bersama orang-orang yang telah Allah diberi kenikmatan, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada` (mereka yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”(An Nisa` 69). (Ijtima’ Al Juyusy 5).

Abul ‘Aliyah rahimahullah mengatakan:”Saya telah membaca ayat-ayat muhkam sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sekitar sepuluh tahun. Tenyata Allah telah menganugerahkan kepadaku dua kenikmatan yang saya tidak tahu mana yang lebih utama, yaitu Allah memberiku hidayah untuk menerima Islam dan tidak menjadikan aku seorang Haruri (Khawarij).”(Diriwayatkan ‘Abdurrazaq, Ibnu Sa’d dan Al Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad :230 dengan lafadz yang berbeda, lihat mukaddimah Madarikun Nazhar Syaikh Ar Ramadlani hal 21).

Allah Ta’ala tidak hanya menyempurnakan agama ini dari segi ilmu tapi juga pengamalan. Karena sebagaimana tidak pernah hilangnya masa di mana Allah menegakkan hujjah terhadap para hamba-Nya, maka tidak pernah hilang pula masa di mana tetap eksisnya satu kelompok orang-orang mu`min yang mengamalkan ajaran agama ini.

Humaid bin ‘Abdirrahman mengatakan:”Saya pernah mendengar Mu’awiyah berkhutbah, katanya:”Saya pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنْ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي وَلَنْ تَزَالَ مِنْ هَذِهِ الْأَمَةِ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُهُمْ مِنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

“Siapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih terhadap agamanya. Saya hanya membagi dan Allah yang memberi. Akan senantiasa dari ummat ini ada kelompok yang tegak di atas perintah Allah, tidak merugikan mereka orang-orang yang meremehkan mereka ataupun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah, dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”(HSR. Bukhari-Muslim).


Di hari-hari belakangan ini, kaum muslimin kembali menghadapi ujian dengan merebaknya metode (manhaj) baru yang mencampuradukkan antara yang haq dengan yang batil, sunnah dengan bid’ah dan yang ma’ruf dengan yang munkar. Dan tidak jar
ang dibumbui dengan kesyirikan lalu menjadi ajaran agama yang digunakan dalam beribadah kepada Allah. Celakanya lagi, mereka menganggap diri mereka benar.

Keadaan mereka tidak lain seperti yang Allah terangkan dalam firman-Nya:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah:”Maukah kamu, kami terangkan tentang orang-orang yang paling merugi amalannya, sia-sia usaha mereka di dunia, dalam keadaan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi 103).

Dan firman Allah Ta’ala:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
‘Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar lidah-lidah mereka membaca Al Kitab agar kamu menyangka itu adalah Al Kitab, padahal bukan Al Kitab. Mereka mengatakan ini dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu.”(Ali ‘Imran 78).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Bazzar dari ‘Umar bin Al Khaththab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أََخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ الْلِّسَانِ

“Sesungguhnya yang paling aku khawtirkan menimpa ummatku adalah setiap orang munafik yang pandai bicara.”(hadits ini pada awalnya dihasankan oleh syeikhuna Muqbil rahimahullah Ta’ala dalah “Al-jami’ as-shohih,namun beliau kemudian merojihkan bahwa ini adalah perkataan Umar bin Khattab, bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,sebagaimana yang dikuatkan oleh Daruquthni,lihat: Ahadits mu’allah karangan syaikhuna Muqbil: 330-331).
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Ath Thabrani dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

بَيْنَ يَدَي السَّاعَةَ سِنُوْنَ خَدَّاعَةِ يَتَّهِمُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيُؤْتَمَنْ فِيْهَا الْمُتَّهَمُ
وَ يَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ. قَالُوا: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ يَا رَسُوْلَ الله قَالَ: السَّفِيْهُ يَنْطِقُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ

“Menjelang hari kiamat ada tahun-tahun yang menipu. Seorang yang amanah menjadi orang yang dicurigai, sementara orang yang dicurigai dipercaya. Pada masa itu para ruwaibidlah angkat bicara. Beliau ditanya:”Apa ruwaibidlah itu, wahai Rasulullah?”Beliau mengatakan:”Orang yang bodoh berbicara tentang permasalahan umum.”(Disahihkan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullahu sebagaimana dalam Shahihul Musnad).

Akan tetapi walhamdulillah, tidak ada satu kesesatan atau penyimpangan yang muncul melainkan bangkitlah ulama Ahlus Sunnah membela agama ini, membeberkan kesesatan orang-orang yang membuat kerancuan dan mengotori dakwah yang haq yang telah diajarkan serta dijalankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya ini.

Termasuk mereka yang mengotori adalah kaum sufi yang banyak mengada-adakan bid’ah yang sama sekali tidak pernah Allah turunkan satu keteranganpun tentangnya. Mereka datang dengan syari’at baru dan berbagai tatacara ibadah yang bersumber dari hawa nafsu mereka dalam keadaan menyangka bahwa amalan ini akan mendekatkan mereka kepada Allah Jalla Jalaluhu. Mulailah mereka mengajak manusia hingga akhirnya sebagian besar kaum muslimin mengikuti (taklid) kepada apa yang mereka kerjakan. Dan tatkala bid’ah dan penyimpangan ini disambut dan diamalkan oleh manusia (mayoritasnya), orang yang jahil akan mengatakan,”Kalau perbuatan ini munkar, mengapa banyak yang mengerjakannya?”

Tentu saja alasan ini sangat tidak logis. Suatu kebenaran tidak dapat dinilai dari banyak sedikitnya orang yang mengamalkannya. Rujukan kita untuk mengenal al haq (kebenaran) adalah Kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Al Baqarah 147, Ali ‘Imran 60, Al Kahfi 29):

الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ

“Al Haq itu datangnya dari Rabbmu (Allah)..”
Alangkah tepatnya perkataan Ibnul Qayyim dalam qasidah Nuniyahnya:

فَاعْجَبْ لِعُمْيَانِ الْبَصَائِرِ أَبْصَرُوا كَوْنَ الْمُقَلَّدِ صَاحِبَ الْبُرْهَانِ
وَرَأَوْهُ باِلتَّقْلِيْدِ أَوْلَى مِن سِوَاهُ بِغَيْرِ مَا بَصَرَ وَلاَ بُرْهَانِ
وَعَمُوْا عَنِ الْوَحْيَيْنِ إِذْ لَمْ يَفْهَمُوْا مَعْنَاهُمَا عَجَبًا لِذِي الْحُرْمَانِ

“Alangkah anehnya mereka yang buta bashirahnya, mereka melihat seakan para muqallad (yang ditaqlidi) itu orang yang benar
Mereka menilai melalui taqlid itu dia lebih utama dari yang lainnya, tanpa ilmu dan burhan Mereka buta dari dua wahyu (Al Quran dan As Sunnah), karena tidak memahaminya, mengherankan, betapa jauhnya mereka dihalangi”.

Allah telah mencela dalam beberapa ayat-Nya orang-orang mengikuti kebanyakan manusia. Firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ
يَخْرُصُونَ

“Dan kalau kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti dugaan-dugaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.”(Al An’am 116).

Syaikh As Sa’di rahimahullahu Ta’ala mengatakan:”Ayat ini menjelaskan kepada kita agar jangan menilai suatu kebenaran karena banyaknya pengikut. Sedikitnya jumlah orang yang menempuh suatu jalan bukan patokan bahwa jalan itu tidak benar. Bahkan realita yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Karena sesungguhnya orang-orang yang berjalan di atas al haq (kebenaran) mereka justeru adalah golongan minoritas, namun mereka orang-orang yang mulia dan agung kedudukan atau pahalanya di sisi Allah. Dan wajib kita menilai tentang haq dan batilnya suatu perkara dengan jalan yang mengantarkan kepada keduanya.” (At Taisir 270 cet. Maktabah Ar Rusyd).

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ضَلَّ قَبْلَهُمْ أَكْثَرُ اْلأَوَّلِيْنَ

“Dan sungguh telah tersesat sebagian besar orang-orang terdahulu sebelum mereka.”(Ash Shaffat 71).

Dan firman Allah Ta’ala:
وَمَا أَكْثَرُ اْلنَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

“Dan sebagian besar tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.”(Yusuf 103).

Dan:

فَأَبَى أَكْثَرُ اْلنَّاسِ إِلاَ كَفُورًا

“Namun kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali kekufuran.”(Al Isra` 89).

Dan:

إِنَّ السَّاعَةَ َلآتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيهَا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya hari kiamat itu pasti terjadi, tidak diragukan lagi, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mempercayainya.”(Ghafir 59).
Dan

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.”(Yusuf 106).
Dan ayat-ayat lain, di mana Allah menerangkan keadaan keadaan mayoritas manusia, bahwa mereka tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui (tidak berakal) dan sebagainya. Bahkan kita dapati bahwa Allah Ta’ala menyebutkan bahwa keb
aikan dan kebenaran itu pada golongan yang sedikit. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الْشَّكُوْرُ

“Sangat sedikit dari hamba-Ku yang bersyukur.”(Saba` 13).
Dan:

إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الْصَالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْ

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan mereka ini sangat sedikit.”(Shaad 24).

Firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيْلاً مِّنْهُمْ
“Maka ketika diwajibkan atas mereka untuk berperang, sebagian mereka berpaling kecuali sedikit.”(Al Baqarah 246).

Dan

وَلَوْ لاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمْ الْشَّيْطَانَ إِلاَ قَلِيْلاً

“Kalaulah tidak karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil.”(An Nisa` 83).
Bahkan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَجُلُ وَالرَجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

“Ditampakkan kepadaku ummat-ummat sebelumku, maka aku lihat ada seorang Nabi yang datang bersama segelintir pengikutnya, dan Nabi bersama satu atau dua orang pengikutnya, dan Nabi yang tidak ada seorangpun bersamanya.”

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab An Najdi rahimahullahu Ta’ala menganggap merasa bangga dengan jumlah banyak adalah salah satu sikap jahiliyah. Beliau mengatakan:”Termasuk pedoman (kaidah) utama mereka adalah bangga dan berhujjah (berdalil) dengan jumlah mayoritas terhadap benarnya suatu keyakinan, dan mereka berdalil batilnya (salahnya) suatu keyakinan dengan jumlah minoritas (sedikit pengikutnya).” (Syarh Masail Jahiliyah Sa’id Yusuf 1/178).
Selanjutnya,

Sesungguhnya kami menulis risalah ini sebagai peringatan bagi kaum muslimin atas bid’ah yang diada-adakan Muhammad Arifin Ilham dengan nama ‘Amaliyah Adzkarit Taubat. Dan dia melakukan talbis (pemalsuan) terhadap sebagia

n besar kaum muslimin tentang sahnya amalan ini dengan berbagai dalil mujmal (bersifat global) sehingga seolah-olah amalan ini ada sumbernya dalam syari’at Islam.
Keadaannya ini tidak lain seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

فَإِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِيْنَ يَتَبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّاهُمُ الله فَاحْذَرُوْهُمْ

“Maka apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabihat dari Al Quran, itulah orang-orang yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah, maka jauhilah!”(HSR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah).

Pembaca, terimalah sajian kami ini, yang akan menjelaskan batilnya amalan ini dan menyingkap syubhat (kerancuan) orang-orang yang mengada-adakan kebohongan.

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan mereka yang menyebarkannya.
Semoga shalawat dan salam Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Hanya kepada Allah tempat kita meminta pertolongan, hanya kepada-Nya kita berserah diri. Dan tiada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Ditulis Oleh Hamba Allah Yang Faqir
Kepada Ampunan Rabbnya Yang Maha Mulia
Abu Karimah ‘Askari
Ibnu Jamaluddin Al Bugisi
Balikpapan, Kalimantan Timur
Rabu Sore, 18 Sya’ban 1424 H
Atau 14 November 2003 M

(Disalin dari “Bid’ah ‘Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap ‘Arifin Ilham Al Banjari”, Penulis: Al Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Yaman. Diterbitkan dalam buku berjudul “Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya” oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press, Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP. 081316093831 Email: darussalafpress@plasa.com)

fin copas ^^

alhamdulillah..

TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM


Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


"Artinya : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap"

TAKHRIJ HADITS
--------------------
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.

Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.

Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal.

Pertama : Mereka ijma' atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kedua : Mereka ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahinya.

Ketiga : Mereka ijma' dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama " Selamatan Kematian atau Tahlilan".

LUGHOTUL HADITS
-----------------------
[1]. Kunnaa na’uddu/Kunna naroo = Kami memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap.

Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.

[2]. Al-ijtimaa’a ila ahlil mayyiti wa shon’atath-tho’ami = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama

[3]. Ba’da dafnihi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad.

Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.

[4]. Minan niyaahati = Termasuk dari meratapi mayit
Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar.

SYARAH HADITS
--------------------
Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa : Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”.

Hukum diatas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah.


FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH INI
--------------------------------------------------------------------------------
Apabila para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.

Oleh karena itu, agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujjah yang kuat, maka di bawah ini saya turunkan sejumlah fatwa para Ulama Islam dan Ijma’ mereka dalam masalah “selamatan kematian”.

[1]. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).

“Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan"[1]

Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita'wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?"

[2]. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :

“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.

Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !"

[3]. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :

"Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.

Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.

Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)........

Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."

Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita).

Kita memohon kepada Allah keselamatan !”

[4]. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).

[5]. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : "Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ".

Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]

[6]. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah Yang Jelek". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih.

[7]. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[8]. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.

[9]. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.

[10]. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : " Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]

[11]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain." [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]

[12]. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'i ( I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit."


KESIMPULAN
----------------
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID'AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama' termasuk didalamnya imam empat.

Kedua : Akan bertambah bid'ahnya apabila ahli mayit membuatka...n makanan untuk para penta'ziyah.

Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid'ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.

Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja'far bin Abi Thalib wafat.

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]

Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas).

Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi).... “ [Al-Um I/317]

Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas.

[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]

_________
Foote Note
[1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi'i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi'i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
[2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak !

semoga bermanfaat
kalau mau lihat Link untuk penjelasan mengenai haramnya Kenduri arwah, Tahlilan, Yasinan serta comment2 dari mereka2 yang punya ilmu ada dibawah ini (ada 7 Video).

http://www.facebook.com/video/video.php?v=170506892959916 --> (1 – 7)
http://www.facebook.com/video/video.php?v=170527189624553 --> (2 -7)
http://www.facebook.com/video/video.php?v=170538329623439 --> (3-7)
http://www.facebook.com/video/video.php?v=170550482955557 --> (4 – 7)
http://www.facebook.com/video/video.php?v=170572566286682 --> (5-7)
http://www.facebook.com/video/video.php?v=170582249619047 --> (6 – 7)
http://www.facebook.com/video/video.php?v=170591706284768 --> ( 7-7 )

semoga bermanfaat
 
 added bid'ah article
 
bismillah..

==

ma'tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu di rumah mayit/ orang yang meninggal, ini biasanya diisi dengan tahlilan, membaca yasin beramai-ramai, malamnya pada begadang, tua
n rumah sediain kopi dan rokok, bapak2 dan anak mudah begadang sampai pagi, dan ini dilakukan pada hari kematian, 3 hari, 7 hari, 40 hari, dst) --> semua ini adalah = bid'ah, yang disunnahkan adalah ta’ziyah, mendo'akan, menasehati keluarga yang ditinggalkan agar sabar dan berusaha menghibur mereka

==

dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu)

Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakar meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.

(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211)

==

selesai

Jalan yang Lurus


Blog Archive