Follow us on:
bid'ah hasanah = sesat yang baik --> ?

by Al-Akh De Blackdwarf -hafizhahullah-

Namanya bid'ah walaupun baik itu sesat n setiap kesesatan tempatnya dineraka.

tanya :

Apakah pelaku bid'ah akan selama2nya di neraka????????

ada cerita yg intinya gini ada seorg non muslim masuk islam krna perayaan maulid nabi....pelaku bid'ah ini sangat bangga sekali dengan hal ini tambah semangat melalukan bid'ah karena bisa mengislamkan seseorang..gima

na menurut hadirin-hadirin...?jawab :

Apakah pelaku bid'ah akan selama2nya di neraka????????

---> tanda tanyanya banyak banget. itu satu.. kedua.. ga usah selamanya, 1 detik saja di neraka saya enggan.. lantas apakah yang menjadikan akhi mampu bertahan di neraka (yah walaupun tidak selamanya umpamanya) ? maaf.. saya agak rancu dengan statement akhi.. jadi saya jawabnya pun sekedarnya saja

ada cerita yg intinya gini ada seorg non muslim masuk islam krna perayaan maulid nabi....pelaku bid'ah ini sangat bangga sx dg hal ini tambah semangat melalukan bid'ah krna bisa mengislamkan ssorg..gmna menurut hadirin-hadirin...?

APA PERBEDAAN dari AHLI SUNNAH WAL'JAMAAH, ASWAJA dan WAHABISM?

Bismillah,

Ahlus sunnah adalah mereka yang setidaknya faham dan mengamalkan beberapa nash ini :

Allah Azza wa jall berfirman :

”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah (Al Qur’an dan Sunnah), dan janganlah kamu berpecah belah” (Al Qur’an. Surat Ali Imron : 103)

“ Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri diantara kamu, Kemudian jika kamu berlainan/berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Kitabullah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar2 beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al Qur’an. Surat An Nisa’ : 59)

"Katakanlah , "Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikuti ku menyeru (kalian) kepada Allah Ta`ala dengan ilmu yang nyata .Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk oarng-orang yang musyrik" (QS. Yusuf :108)

“Wahai orang2 yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan (Total), dan jangan kamu ikuti langkah2 syetan, sesungguhnya ia (syetan) adalah musuhmu yang nyata” (QS. Al Baqoroh ayat 208)

BID'AH dengan segala pernak perniknya


bismillah,

^Bid’ah, Suatu Perkara Baru Yang Diada-adakan Dalam Agama^

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah :

“Bid`ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah ap...a yang datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah bid`ah.

Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua : ..

Pertama :

Bid`ah I’tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)

Bid`ah ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :
“Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan“.

Para shahabat bertanya : “Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.

Beliau menjawab : “Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku“.

Yang selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid , masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan selainnya.

Sementara yang selain mereka dari golongan atau kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini...

Kedua :

Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)

Bid`ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ...ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak“.

Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
“Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)”
Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan mereka menyatakan pula :

“Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)”

Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan adat itu sendiri terbagi tiga :

Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).

Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.

Ketiga : adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu a`lam.

(Al Fatawa As Sa`diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah) ..

____________________________________________________________________

Dan selanjutnya, mari kita ilmui dalil2, yang berkenaan dengan BID'AH ini..

DALIL-DALIL BAHWA SETIAP BID’AH SESAT DAN TIDAK ADA BID’AH HASANAH

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS.Al-Ma’idah: 3)

Malik bin Anas Rahimahullah berkata :

“Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid’ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. Al-Ma’idah: 3)

Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama pada hari ini”( al-I’tisham oleh asy-syaathibiy,1/64)..

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata :

”Maka jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid’ah yang di buat buat oleh kalangan ahli bid’ah tersebut!!?

Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut mereka,, berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pmbangkangan terhadap Al Qur’an.

Kemudian jika pemikiran mereka itu tidak termasuk dalam agama, maka apa manfaatnya mereka meyibukan diri mereka dengan sesuatu yang bukan dari agama ini”!?..

Ini merupakan merupakan hujjah yang kokoh dan dalil yang agung yang selamanya tidak mungkin dapat di bantah oleh pemilik pemikiran tersebut.

Dengan alasan itulah, hendaknya kita menjadikan ayat yang mulia ini sebagai langkah awal untuk menampar wajah-wajah ahli logika, membungkam mereka serta mematahkan hujjah-hujjah mereka.(Al-Qaulul Mufiid Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38, Merupakan bagian dari Risalaah Assalafiyyah, Cet: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah..

‎2. Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengatakan dalam khutbahnya:

“Amma ba’ad. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, no.867)..

‎3.Dari ‘Irbadh bin Saariyah [/i]Radhiyallahu ‘anhu[/i] ia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberikan kepada kami suatu nasihat yang menggetarkan hati dan membuat air mata kami berlinang, lalu kamipun berkata: “Ya Rasulullah sepertinya ini merupakan nasehat perpisahan maka nasehatilah kami wahai Rasulullah! Beliaupun lalu bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, (agar) mendengarkan dan mentaati, sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya. Karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang dipanjangkan umurnya, maka ia akan melihat banyak terjadi perselisihan (dalam agama), maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, berpegang teguhlah padanya, gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu.

Dan berhati-hatilah kamu terhadap perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2676, Ibnu Majah no. 44, Ad-Darimy (1/44-45)..

Berkata Ibnu Rajab Rahimahullah:

“Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ‘setiap bid’ah itu adalah kesesatan’ merupakan ‘Jawaami’ul kalim’ (satu kalimat yang ringkas namun mempunyai arti yang sangat luas) yang meliputi segala sesuat...u, kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok ajaran agama yang agung”. (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal 28)

Berkata Ibnu Hajar:

“Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda:

“Hal ini adalah bid’ah hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk.

Oleh karena itu maka apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar hokum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama), sehingga kesimpulannya adalah tertolak.” (Fathul Baary, 13/254)..

Muhammad bin Shalihal-‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “setiap bid’ah”, merupakan ungkapan yang bersifat umum dan menyeluruh, karena diperkokohkan dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat, yakni kata “setiap”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)

Sesungguhnya pedang pamungkas ini dibuat dalam industri kenabian dan kerasulan, bukan hasil ciptaan berbagai rumah produksi yang penuh kegoncangan, ia merupakan produk kenabian yang diciptakan secara optimal.

Karena itulah maka tidak mungkin orang yang memiliki pedang pamungkas seperti ini akan mampu dihadapi oleh siapapun dengan suatu bid’ah yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengatakan “setiap bid’ah itu adalah kesesatan”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)..

4. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang dibuat-buat dalam ajaran kami (agama) padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini, maka amala...n tersebut tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim)

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata:

“Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah-kaidah agama, sebab hadits ini mendasari hokum-hukum yang tiada terbatas. Dan betapa tegas hadits ini dan betapa jelas indikasinya terhada kebatilan para fuqaha’ yang membagi bid’ah menjadi beberapa macam serta hanya menolak sebagian bid’ah saja tanpa ada dalil yang mengkhususkannya baik dari dalil aqly maupun dalil naqly.”..

‎5. Dari Abdullah bin ‘Ukaim bahwasanya Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sesungguhnya seburuk-...buruk perkara adalah perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama).

Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (Ibnu Wudhah dalam Al-Bida’, hal 31 dan Al-Laalikaa’iy hadits no.100 (1/84)

6. Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Setiap bid’ah itu adalah kesesatan, sekalipun manusia menganggapnya hasanah (baik).” (Al-Ibaanah, no 205 (1/339), Al-Laalikaa’iy, no. 126 (1/92)..

Sumber: MENGAPA ANDA MENOLAK BID’AH HASANAH? Karangan Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibany terbitan At-Tibyan hal 23 – 30..

semoga bermanfaat

 Prtanyaan : kenapa orang2 Nahdiyin membenci orang2 Salafy..??

jawab :

Namun tak semuanya mereka membenci...

Kebencian mereka biasanya krn merasa terusik dgn kuatnya dakwah manhaj salaafushshoolih dalam mengingkari penyakit Bid'ah ...

Namun jangan salah,ternyata lambat laun kaum yg menamakan dirinya Nahdliyyin mulai banyak yg melirik ke manhaj salaafushshoolih juga berkat gigihnya dakwah salaf dalam mengingkari bid'ah..

Wallaahu a'lam...
 
tanya : nahdziyin sama salafi itu apa bedanya?

jawab :

Nahdiyin meyakini adanya bid'ah hasanah, oleh sebab itu mereka gemar berbuat kebid'ahan, dikarenakan bid'ah2 yg mereka lakukan, mereka pikir bid'ah yg baik (hasanah).

Sementara salafi mengingkari adanya bid'ah hasanah, sebab semua bid'ah dlm perkara agama adalah dholaalah (sesat), tdk ada bid'ah yg baik (hasanah) berdasarkan matan hadits shahih "kullu bid'atin dholaalah".

Bid'ah yg dimaksud oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan juga penjelasan/syarah para ulama ahlus sunnah, adalah bid'ah dari sisi istilah, yakni yang menyangkut perkara agama saja. BUKAN DARI SISI BAHASA
Sebab, jika dari sisi b...ahasa juga dimasukkan, maka perkara2 dunia, penemuan teknologi, peradaban manusiapun akan termasuk bid'ah. Telepon bid'ah, kompor bid'ah, kue bolu bid'ah, komputer bid'ah, motor bid'ah, mikrofon bid'ah, mobil bid'ah, pesawat bid'ah, dll, maka banyak sekali perkara2 yg bukan bid'ah secara istilah namun bid'ah secara bahasa, dan bukan ini (sisi bahasa) yg dimaksud oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Nah, celakanya, orang nahdiyin menganggap bid'ah nya tahlilan dan yasinan (bid'ah dlm agama), sama dgn bid'ah nya pesawat terbang (bid'ah dlm sisi bahasa). Boleh dilakukan keduanya, karena mereka menganggapnya sama2 bid'ah hasanah (padahal ...jelas berbeda, yg satu bid'ah dlm agama/istilah, yg satu bid'ah dlm sisi bahasa).
Sehingga mereka sering mengejek salafy dgn perkataan :
"dikit2 bid'ah, ini bid'ah, itu bid'ah, kalau gak mau bid'ah, pergi haji naik onta saja!".
Betapa bodohnya org2 nahdiyin ini.
Allahul musta'an.

Bencinya para Nahdiyin pada manhaj salaf dikarenakan Manhaj Salaf berhasil membongkar kedok para pengekor hawa nafsu dengan memberikan bayan secara ilmiah sehingga umat islam banyak yang "melek" tentang agamanya sendiri (termasuk sy) sehin...gga proyek2 seperti Tahlilan, Yasinan, Pemuja Kubur (ingat kasus Tanjung Priok) yang notabene dapat memberikan nafkah kepada mereka bakalan ditinggalin masyarakat. Proyek kembang setaman dikubur, istighasah bid'ah, ritual2 kesyirikan dikuburan, undangan acara2 Bid'ah dan kekhurafatan atas nama agama akan bakalan ditinggalkan suatu sa'at Insya Allah, ini yg membuat mereka "gerah"....ends of personal opinion. Wallahu 'alam
 
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya yang terakhir ketika haji wada' :

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimp...in budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari
kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan GIGI GERAHAM kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan". [SHAHIH. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim (1/97)]
 
Kemudian utk masalah penyusunan Al Qur'an, biar anti faham tentang perkara ini, maka simak baik2 pembahasan di bawah ini :

APAKAH SETIAP AMAL YANG TIDAK DILAKUKAN DI JAMAN NABI DISEBUT BID'AH??

Ada dua pendapat ’ekstrim’ te...rkait dengan
bahasan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara mutlak.[Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.]

Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :

إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة

”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.

Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :

كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا

”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh ­as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.

Ada dua kata kunci di sini, yaitu :

1. Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.

2. Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.

Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau seb
ab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :

”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.

Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.

Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[Huruf hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan harakat]
.
Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.

Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.

Ibnu Taimiyyah berkata :

فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير
أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان

”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan”.[Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.]

Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah].

Apa indikasinya ? Faktor pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak melakukannya. Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :

عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة

Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887]

Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.

Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :

فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها

”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.

Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at telah mantap [Tidak ada kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3].

, maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :

إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة

“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.

****

Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............

Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.

Sumber :
Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html

kalau dari HP, klik link yang ini :
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html?m=1

mengumpulkan ayat2 Al-Quran menjadi satu mushaf, memberi titik dan harakat pd huruf2 Al-Quran, membukukan hadits2 (hasil ijtihad para shahabat), menulis buku2 tafsir Quran, membuat kitab2 fikih"

--> semua ini tidak masuk 'category' bid'ah, tapi.. masuk dlm kategori 'maslahah mursalah' / 'marhalah' (sarana atau alat utk mendapat dan mewujudkan kemaslahatan umat)

PERKATAAN MEREKA : "KALAU TIDAK MAU BID'AH, MAKA PERGI HAJI PAKAI ONTA SAJA !"

Bismillah,
Kebanyakan, orang jahil, yang boleh jadi mereka itu ahlul bid'ah, pelaku bid'ah, ahlul hawa dll, bahkan orang awam tapi sudah berani bicara soal agam
a, ...mereka sering berkata sekitar perkataan ini kepada orang-orang yang berada diatas manhaj yang haq, di jalan yang lurus :

"Kalian menganggap bahwa semua bid'ah itu dholalah (sesat), padahal kalian sendiri berbuat bid'ah, main FB, pake HP, pake Mikrofon buat adzan, naik haji pake pesawat..dll, yang semua itu tidak ada tuntunannya dalam Al Qur'an dan Hadits. Kalau mau gak bid'ah, maka sono..naik onta aja kalau pergi haji !"

MAKA KITA JAWAB :
Orang2 yang berkata seperti itu maka ia adalah orang JAHIL MURAKKAB (jahil kwadrat).
Semoga Allah memberi mereka hidayah diatas ilmu dan pemahaman yang benar.

Maka terhadap perkataan seperti itu, kita jawab dan kita berikan penjelasan :

Hukum sarana tergantung tujuan, pemakaian teknologi juga tergantung tujuan, apakah dipakai dalam perkara yang halal/jaiz atau yang haram. Tidak ada bid'ah dalam agama untuk perkara penemuan manusia yang terkait dengan terus berkembangnya peradaban dan teknologi. Termasuk metodologi dalam berdakwah.

Berdakwah merupakan ibadah, namun sarana yang dipakai untuk berdakwah bukanlah bid'ah menurut istilah agama, seperti penggunaan microphone untuk pengeras suara, email sebagai pengganti surat-menyurat, video ceramah dsb.
Dalam masalah dunia (peradaban dan teknologi), hukum asalnya adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang melarang atau mengharamkannya.

Adapun bid'ah, ucapan itu telah disampaikan Rasulullah shallallahu 'alahi was salam, dimana dalam hadits beliau bersabda, potongan haditsnya adalah : "setiap bidah itu adalah sesat". Begitu juga yang dipahami oleh para sahabat, imam mazhab yang 4 dan ulama-ulama lain yang mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan baik.

Maka, Motor atau Mobil buat ke masjid, Pesawat terbang buat naik haji, Hand Phone, Komputer dan FB buat dakwah, kertas buat nulis Qur'an dan hadits, Sekolah Madrasah buat belajar agama, microphone di masjid buat khutbah dll adalah sarana/washillah untuk ibadah, BUKAN IBADAHNYA ITU SENDIRI.
Itu yang disebut dengan Mashlahatul Marsalah.

Sebab untuk urusan dunia, yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi (apa saja), dan peradaban manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur :

“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”. [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]

Jadi benda-benda yang disebutkan diatas itu adalah urusan dunia yang merupakan hasil kemajuan peradaban manusia secara umum dan pengembangan teknologi seiring dengan berjalannya waktu, yang mana orang kafir juga menggunakannya, dan tidak ada kaitannya dengan agama secara langsung.

Sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi, itu bukanlah bid'ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jadi , silahkan mau buat mikrofon masjid, pesawat buat pergi haji, software dll,

Akan tetapi yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallaam larang di sini adalah segala macam perkara baru dalam bentuk amalan/keyakinan agama dan syari'at, entah itu amalan-amalan (Fi'liyah) maupun Ucapan (Qouliyah) baik mengurangi atau menambahkan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama yang bukan datang dari kami (Allah dan Rasul-Nya), maka tertolaklah amalnya itu”. (SHAHIH, riwayat Muslim Juz 5,133)

dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan". [SHAHIH. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim (1/97)]
Wallahu a'lam.

http://www.abuayaz.co.cc/2011/02/perkataan-mereka-kalau-tidak-mau-bidah.html

PENULISAN AL-QUR’AN DAN PENGUMPULANNYA BUKANLAH BID'AH !!

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
...
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang
paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.

__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]

http://www.abuayaz.co.cc/2010/05/penulisan-al-quran-dan-pengumpulanya.html

Kemudian, orang2 Nahdiyin yang gemar berbuat bid'ah dalam perkara agama, mereka membangun keyakinannya dengan dalil hadits "MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...dst"

Benarkah penafsiran mereka ini?
Mari kita simak pembahasannya :

...HADITS MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah di tanya :
"Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Man Sanna Fi Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha..dst dst"

artinya :
"Siapa yang memulai membuat contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Kullu bid'atin dhalaalah".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin]

http://www.abuayaz.co.cc/2011/03/hadits-man-sanna-fii-islam-sunnatan.html

***
 
 
 
 

^^Pengertian Sutrah^^

Bismillah,

Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang dipancangkan di hadapannya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar.

(Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)

Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata:

Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

"Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."

[HR.Muslim]

Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu 'anhu-: Dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:

"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya, sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya.

[HR.Ahmad]

Oleh karena itu, salafus shalih (para sahabat Rasulullah dan generasi sesudah mereka) -semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat.

Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya"

[HR. Bukhari]

Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: "Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya."

[HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih]

Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah...

[HR. al-Baihaqi, shahih]

Dari Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat sahabat-sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- keluar."

[HR. Bukhari]

Dari Nafi', dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."

[HR. Ibnu Abi Syaibah, shahih]

Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau shalat ke arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."

[HR. Ahmad]

Berapa minimal tinggi sutrah?

Dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya."

[HR. Muslim]

Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata:

"Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab: "Tiang setinggi pelana."

[HR. Muslim]

Bagaimana sutrah dalam shalat berjama'ah ?

Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam

Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."

[HR. Muslim]

Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.

Jika seorang Imam shalat tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia.

Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.

Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?

Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."

[Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).]

Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."

[Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904)]

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(Al Ahzab:21)

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1982212627551&set=o.178870065487878&type=1&theater
________________________________________________

Sholatlah Dengan Menggunakan Sutroh

Kategori Fiqh dan Muamalah | 14-07-2008 | 15 Komentar

Acapkali kita lihat seseorang dengan santai berlalu-lalang di depan orang yang sedang sholat tanpa merasa risih, padahal perbuatan sembrono ini bisa mengurangi pahala sholat orang lain atau bahkan sampai membatalkannya. Imam Adz Dzahabi telah memasukkan perbuatan tersebut sebagai perbuatan dosa besar sebagaimana dalam kitab Al Kabaair, begitupula para ulama lain juga menyatakan demikian. Kesalahan ini diperparah dengan sholatnya seorang tanpa menghadap tabir pembatas (baca: sutroh) di depannya, sehingga orang lain merasa leluasa berlalu lalang sementara ia sendiri juga tidak berusaha menghalangi.


Perintah Nabi Agar Sholat Menghadap Sutroh dan Mendekat Kepadanya

Ketahuilah, disyariatkannya sholat menghadap pembatas/sutroh telah ditegaskan oleh perintah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits dan perbuatan beliau. Bahkan banyak dari kalangan ulama yang menyatakan wajibnya mengambil sutroh. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian sholat kecuali menghadap sutroh, dan jangan biarkan seorangpun lewat di depanmu, jika dia enggan maka tolaklah dengan lebih keras, karena syaithon bersamanya.” (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah) dalam riwayat lain, “… karena sesungguhnya dia itu adalah syaithon.” (HR. Bukhori, Muslim). Perintah tersebut berlaku baik seseorang takut akan ada yang lewat di depannya atau tidak, di manapun ia berada. Dan hukum ini ditujukan untuk orang yang sholat sendirian dan bagi imam. Adapun makmum tidak disyari’atkan mengambil sutroh dan sutrohnya adalah sutroh imam.

Sutroh dapat berupa dinding, tiang, tongkat, punggung orang atau sejenisnya yang dapat menjadi pembatas sholatnya.
Adapun tingginya telah Rosululloh jelaskan, “Setinggi pelana (sekitar 2/3 hasta)” (HR. Muslim). Namun apabila lebih tinggi dari itu, maka lebih baik. Sebab dengan demikian akan lebih menutup pandangannya sehingga mudah menghadirkan hati serta mencegah dari batalnya sholat atau kekurangsempurnaan.

Haromnya Lewat di Depan Orang Sholat

Perhatikanlah, jika engkau telah sholat menghadap sutroh, maka mendekatlah sehingga tempat sujudmu tepat sebelum sutroh dan jangan biarkan siapapun lewat di depanmu. Adapun yang berada di luar sutroh maka tidak ada hak bagimu untuk menghalanginya. Dan hendaklah orang yang lewat di depan orang yang sholat takut akan dosa yang diperbuatnya. Camkan baik-baik sabda Rosululloh, “Seandainya seseorang tahu dosanya lewat di depan orang sholat, maka lebih baik baginya berhenti selama 40 (tahun).” (HR. Bukhori, Muslim). Bahkan jika seseorang tidak bersutroh tetap saja harom lewat di depannya sampai batas tempat sujudnya, karena haknya tidak lebih dari tempat yang ia butuhkan untuk sholatnya. Dan bila engkau telah berusaha menghalangi, sementara ia bersikeras dan berhasil lewat, maka ia mendapat dosa dan sholatmu tidak berkurang kesempurnaannya.

Bolehnya Lewat di Depan Shof Makmum
Dalam sholat berjama’ah, yang menjadi sutroh makmum adalah sutroh imam, sehingga yang terlarang ialah lewat di depan imam. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas ketika beliau menginjak usia baligh. Beliau pernah lewat di sela-sela shof jamaa’ah yang diimami oleh Rosululloh dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledai baru kemudian bergabung dalam shof. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan tersebut (Riwayat Bukhori Muslim). Namun demikian, bila seseorang mendapatkan jalan lain agar tidak lewat di depan shof makmum maka ini lebih baik, sebab perbuatan tersebut jelas akan mengusik konsentrasi.

Batalnya Sholat Seseorang Bila Dilewati Tiga Makhluk
Ketahuiah, lewat di depan orang sholat dapat mengurangi pahala sholat atau bahkan dapat membatalkannya. Rosululloh bersabda, “Membatalkan sholat (lewatnya) anjing hitam, dan wanita baligh.” (HR. Ahmad, An Nasa’i). Dan dalam riwayat Muslim disebutkan juga keledai. Ibnu Mas’ud berkata bahwa orang yang lewat di depan orang sholat (selain tiga jenis tadi) bisa mengurangi pahala orang yang dilewatinya (Riwayat Ath Thobroni, Ibnu Abi Syaibah).

Saudaraku, jangan sampai tiga makhluk tadi lewat di depanmu saat sholat sehingga sholatmu batal, dan halangilah setiap orang yang hendak lewat untuk memberikan peringatan bagi orang yang melampaui batas tersebut agar lebih berhati-hati ! Wallohu a’lam.

(Disarikan dari kitab Asy Syarhul Mumti’ karya Syaikh Utsaimin, Al Wajiz karya Syaikh Abdul Azhim bin Badawi dan Al Qoulul Mubin Fii Akhtho’il Mushollin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman)

***

Penulis: Johan Abu Yusuf

Artikel www.muslim.or.id

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1780561906409&set=o.178870065487878&type=1&theater

semoga bermanfaat

Jalan yang Lurus

Bid'ah : sebuah perkara yang mengada-ada dalam hal BERIBADAH kepada Allah subhanahu wa Ta'ala


Bismillah,

jadi..

--> untuk hal-hal baru diluar ibadah (ammah) tidak ada istilah bid'ah, yang ada adalah marhalah (sarana) dan maslahat (kemudahan, kesejahteraan)

dan..

--> kaidah : "sarana dihukumi menurut tujuannya"

itu makanya..

--> yang namanya bid'ah itu sudah pasti "sesat" (dlolalah) dan tidak ada istilah 'bid'ah hasanah' (baik),

karena..

--> yang hasanah itu disebut 'sunnah', sedangkan bid'ah berlawanan dengan sunnah

lalu..

bid'ah2 apa saja yg saat ini marak terjadi di negeri ini ?

--> bid'ah2 itu antara lain :

1. tahlilan
2. yasinan
3. ruwahan (sedekah arwah) --> biasa dilakukan pd bulan Sya'ban
4. tawassul yang TIDAK disyari'atkan
5. tabarruk yang TIDAK disyari'atkan
6. istighosah
7. ziarah kubur (yang masuk kategori bid'ah dan syirik)
8. maulid nabi

saya berpesan kepada mereka yang masih terjerat dalam perkara2 diatas,

walaupun mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan, maka tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para generasi terdahulu, yaitu para salaful ummah dan salafus shalih dan orang2 yang senantiasa komitmen di jalan mereka,

kalaupun..

ada tokoh agama, kyai atau siapapun saja yang membenarkan dan membolehkan perayaan2 tersebtu diatas, sesungguhnya dia adalah AHLUL BIDA' (ahli bid'ah) dan AHLUL HAWA' (penyembah hawa nafsu) dan jangan diikuti perkataannya karena mereka adalah syaithan dari bangsa manusia,

semoga Allah memberikan kepada kita petunjuk dan hidayah ke jalan yang lurus, menerangi hati kita dengan im an dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah, bukan 'bencan' dan laknat Allah', membimbing kita pada jalan hamba-Nya yang beriman,

aamiin..

semoga bermanfaat..

source


^^POSITIVE SUNNAH vs NEGATIVE BID'AH^^


Bismillah,

Al Imam Al Mujahid Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah :

“Jihad melawan munafiqin ini lebih berat daripada jihad melawan orang-orang kafir. Jihad ini merupakan jihadnya orang-orang khusus dari umat ini, yaitu para ‘ulama pewaris para nabi. Maka orang-orang yang tampil menegakkan jihad jenis ini hanyalah segelintir orang saja, demikian juga orang yang mau membantu mereka hanya sedikit saja. Namun demikian, meskipun secara jumlah mereka itu sedikit, mereka sangat besar kedudukannya di sisi Allah.”

***
tanya :
Memang na apa beda na antara jihad m'lawan munafikin dgan jihad m'lawan org2 kafir??? ÖÖ'

jawab :
itu ada rumusnya : 1 - 1/2 - 0

1 = orang beriman
1/2 = orang munafik
0 = orang kafir

lebih berat orang munafik = karena mereka itu tidak terlihat, mereka mengaku Islam tapi yang mereka lakukan dan syi'arkan adalah kesesatan, nah.. susah kalau udah kek gini.. nanti kalau kita tegakkan hujjah atas mereka, nanti mereka bilang, kita yang memecah belah, tidak menghargai perbedaan, mereka akan menuduh kita dgn sebutan2 buatan mereka dsb dsb,

dan orang2 munafikin ini lebih berbahaya daripada orang kafir, mereka ini bagai musuh dlm selimut, bersama2 dlm satu kapal, tapi mereka dibawah melubangi kapal pelan2..

contoh :
jihad melawan munafiqin = memerangi bid'ah

kira2 begitu

***
tanya :
Sprti ahmadiyah kah?? ÔÔ,

jawab :
ahmadiyah bukan Islam

= kafir

***
tanya :
Trus sprti apa??? Adakah cntoh nya?? @@'

jawab :
jihad = bukan dgn fisik saja, tapi bisa juga dengan pena,

nah..

ketika kamu memerangi pemikiran2 dan syi'ar2 para ahlul bid'ah, itu juga bisa disebut jihad

***

~ MEMERANGI KAFIR ~

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Orang-orang kafir yang haram untuk dibunuh adalah tiga golongan:
1. Kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin)

2. Kafir mu’ahad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati)

3. Kafir musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin)
Sedangkan orang kafir selain tiga di atas yaitu kafir harbi, itulah yang boleh diperangi.

beberapa dalil yang menunjukkan haramnya membunuh tiga golongan kafir di atas secara sengaja.

[Larangan Membunuh Kafir Dzimmi yang Telah Menunaikan Jizyah]

Allah Ta’ala berfirman,

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
(QS. At Taubah: 29)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Larangan Membunuh Kafir Mu’ahad yang Telah Membuat Kesepakatan untuk Tidak Berperang]

Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”.Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

[Larangan Membunuh Kafir Musta’man yang telah mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin]

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dzimmah kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits di atas adalah jaminam keamanan. Maknanya bahwa jaminan kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang muslim maka haram atas muslim lainnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” (Syarh Muslim, 5/34)

Adapun membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin secara tidak sengaja, Allah Ta’ala telah mewajibkan adanya diat dan kafaroh sebagaimana firman-Nya,

“Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’: 92)

‎~ MEMERANGI MUNAFIQ ~

Hakikatnya hati orang-orang munafik dan orang-orang kafir adalah satu dan mudah dikenali. Tujuan mereka adalah satu dan apa yang mereka sembunyikan juga satu, menghinakan kaum muslimin dan menolong musyrikin. Tetapi, di zaman Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, mereka tidak berani menampakkan persatuan, karena kekuatan Islam.

Pertama, sekarang hati orang-orang munafik dan orang-orang kafir menjadi sepuluh. Mereka bahu membahu, saling tolong-menolong untuk menghancurkan Islam dan menghalangi kejayaannya seperti dilakukan oleh generasi sebelum mereka.

Misalnya, kaum munafik telah menghinakan Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, pada perang Uhud dengan pengunduran diri mereka yang menarik sepertiga pasukan. Itulah gambaran awal kaum munafik saat menghinakan Rasulullah Shallahu alaihi Wa Sallam, dan gambaran seperti itu masih terus berlanjut.


Firman Allah Ta’ala, "Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, 'Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)'. Mereka berkata, 'Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu.' Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan." (QS. Al-Imran : 167)


As-Syaukani mengomentari tentang firman Allah, “Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan,” beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang munafik modern yang menuduh kaum mukminin menuju kekafiran.

Fenomena awal kemunafikan dari generasi pertama (di zaman Salaf), dalam kehidupan ini akan terus berkembang, hingga ke generasi sekarang ini, dan yang muncul dalam bentuk kemunafikan yang lebih tinggi (canggih) dalam menghinakan kaum muslimin serta dengan berbagai pola yang lebih membahayakan bagi kehidupan umat.


Orang-orang munafik pada zaman sekarang ini, mereka berdiri satu barisan bersama dengan orang-orang kafir untuk memerangi dan menyerang kaum muslimin. Dalih mereka bisa jadi karena menjaga kepentingan, menghapus kekerasan (radikalisme), atau bergaya filosofis dan berbagai alasan lainnya. Intinya, orang-orang munafik dari zaman dahulu maupun zaman sekarang akan kian meningkat jumlahnya dalam memerangi kaum muslimin.

4. Kafir harbi, yaitu orang kafir yang memerangi Allah dan Rasulullah dengan berbuat makar diatas muka bumi.

Dari keempat macam orang kafir tersebut, hanya kafir harbi yang boleh diperangi dan halal darahnya untuk ditumpahan.

Allah SWT Berfirman :

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
( al-Quran, al-Maidah : 33 )

Kedua, orang-orang munafik menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong mereka. Di manapun dapat dilihat sikap orang munafik itu, yaitu bergesernya loyalitas (wala’) yang seharusnya dilakukan orang-orang munafik kepada Islam, justru kini telah berafiliasi (ber-wala’) kepada saudara-saudara mereka yang kafir.


Firman Allah Ta’alaa, "Kabarkanlah kabar gembira kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-temanh penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (QS. An-Nisaa’ : 128-139)


Ibnu Jarir mengatakan, “Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan maksud mencari kekuatan, sesungguhnya mereka adalah orang-orang dungu dan tidak sempurna. Dan, Qurtubi, menuturkan, "Ayat diatas (QS. An-Nisaa’ : 138-139) itu, mengandung larangan untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin dan mengambil mereka sebagai penolong dalam berbagai perbuatan yang berhubungan dengan agama."


Ibnu Jarir lebih jelas lagi, mengomentari surah An-Nisaa’ ayat 138-139 itu, dan menegaskan, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjaid pemimpinmu."

Ketiga, hal yang menonjol dari sifat orang manufik adalah kecenderungan mereka untuk berhukum dengan segala hukum manusia. Baik itu berbentuk ‘urf (tradisi) leluhur, hukum adat, ataupun berbagai peraturan hukum konveri (buatan) manusia lainnya. Mereka meninggalkan hukum Al-Qur’an dan Sunnah seperti yang pernah terjadi di masa Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam. Mereka membenci hukum Allah dan Rasul-Nya dan lebih berpihak kepada perkataan manusia.


"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,' niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (QS. An-Nisaa’ : 60-61).

Keempat, sifat lainnya yang dimiliki oleh orang-orang munafik, suka menghinakan dan melecehkan Allah, Rasulullah dan kaum mukminin. Hakikatnya wajah permusuhan orang-orang munafik kepada kaum mukminin begitu kasat dalam upaya pelecehan dan penghinaan mereka terhadap Islam.


"Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: 'Kami telah beriman.' Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan, 'Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.' Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka." (QS. Al-Baqarah : 14-15).


Kaum munafik ada yang tinggal bersama dalam komunitas mukminin, duduk bersama dalam berbagai majelis. Orang munafik itu berkata, "Aku adalah golongan kalian dan sejalan dengan kalian." Lalu, saat ia pergi kepada para pemimpinnya (dari kalangan syetan yang berwujud manusia dan orang-orang durjana), ia akan berkata kepada mereka, "Aku mengucapkan itu, karena dangkalnya akal orang-orang mukmin dan kedunguan mereka. Memang aku bersama mereka, tetapi aku menghina mereka, menertawakan pola pikir mereka."

Kelima, sifat atau ciri-ciri orang-orang munafik itu, mereka merasa sangat gembira dengan musibah yang menimpa kaum mukminin dan bersedih dengan kemenangan orang-orang mukmin. (QS. Ali-Imran : 120). Sampai saat ini orang-orang munafik itu, meneriakkan suara paling lantang permusuhan terhadap kaum mukminin, mereka tidak senang dengan kemenangan dan kejayaan serta kemajuan dakwah yang dilakukan oleh orang-orang mukmin.


"Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (QS. Ali-Imran : 120)

Keenam, tentu sifat-sifat yang paling klasik orang-orang munafik itu, mereka menyeru kemunkaran dan mencegah kebaikan (ma’ruf). Friman Allah, "Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah : 67)

Semua orang munafik hanya akan menyeru perbuatan munkar (jahat) dengan segala coraknya dan logikanya. Mereka menyeru perbuatan syirik kepada Allah dan ibadah kepada selain-Nya, menyeru untuk meninggalkan shalat, baik terang-terangan atau terbuka dengan berbagai cara. Mereka tak henti-henti menyuruh manusia untuk memuja kehidupan dunia, dan melalaikan pada kehidupan akhirat.

Ketujuh, diantara sifat-sifat lainnya, yang dimiliki oleh orang munafik itu, memata-matai kaum muslimin demi kepentingan musuh-musuh Islam. (QS. Al-Imran : 118). Contoh dalam shiroh adalah kisah Hatib bin Abu Balta’ah, ketika Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, telah bersumpah menaklukkan Makkah, karena penduduk Makkah mengingkari perjanjian (arbitrase) yang telah mereka sepakati bersama kaum muslimin. Tetapi, sumpah Rasulullah itu, dibocorkan oleh Hatib bin Abu Balta’ah kepada orang kafir Quraisy.


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali-Imran : 118)


Itulah ciri-ciri atau sifat yang dimiliki oleh orang-orang munafik, dan akan selalu berlangsung di sepanjang sejarah kemanusiaan, dan kehidupan orang-orang mukmin. Kenalilah mereka itu.

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=211896805492451&set=o.178870065487878&type=1&theater

semoga bermanfaat

Halalkah Bermain Catur ??

Bismillah,

Catur merupakan permainan strategi yang telah populer di tegah masyarakat Indonesia, baik golongan pemuda atau orang tua telah banyak yang mengetahui bagaimana cara permainannya atau aturan langkah pada bidak catur.

Permainan yang dilangsungkan di atas papan yang terdiri dari 8 lajur dan 8 baris kotak/petak berwarna hitam dan putih secara berselang seling ini menjadi pengisi waktu luang bagi sebagian orang untuk menghilangkan kepenatan atau sekedar bermalasan-malasan. Bahkan permainan ini terkesan menjadi salah satu bentuk lomba ”wajib” yang harus disertakan dalam pekan-pekan lomba yang diadakan baik dalam kalangan siswa, mahasiswa atau pekan lomba di tingkat RT-RW. Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang permainan ini ?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang kebolehan bermain catur dengan syarat tidak kontinyu (hanya pada waktu luang saja) dan tidak melalaikan shalat. Maka beliau menjawab bahwa menurut pendapat yang kuat bahwa permainan catur hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan.

Pertama.

Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi Shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda.
”Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya ada gambaran” (HR. Al-bukhari dalam bab Bab Al-Khalqi 2336 ; Muslim dalam bab Al-Libas 85-2106)

Kedua.

Permainan tersebut telah condong membuat lalai dari mengingat Allah, maka segala sesuatu yang dapat membuat lalai dari mengingat Allah adalah haram hukumnya, karena Allah telah menerangkan tentang hikmah dilarangnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan firmannya.

”Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) (Al-maidah : 91)

Alasan lain yang membuatnya haram adalah bahwa permainan itu berpotensi menimbulkan permusuhan sesama pemain, dimana seseorang bisa saja mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya ia ucapkan kepada saudaranya sesama muslim. Selain itu, permainan catur dapat membatasi kecerdasan seseorang hanya pada satu bidang saja (hanya dalam permainan catur saja) dan dapat melemahkan akal sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas.

Konon dikatakan bahwa orang yang tekun dalam permainan catur, jika mereka terjun ke bidang lain yang membutuhkan kecerdikan dan kecerdasan, maka kita mendapatkan mereka (justru) sebagai orang yang paling lemah akalnya. Untuk alasan itulah maka permainan catur diharamkan.

Jika permainan catur tanpa menggunakan uang atau tanpa berjudi saja hukumnya haram, apalagi bila permainan itu disertai dengan perjudian.[1]
Ada juga beberapa orang yang menganggap halal permainan ini karena berpegang terhadap apa yang menjadi pendapat Dr. Yusuf Qordhowi dalam kitabnya ”Al-Halal wal Haram. Penulis (Yusuf Al-Qardhawi) dalam kitabnya tersebut pada halaman 217 menjelaskan tentang perselisihan ulama mengenai hukum permainan catur. Lalu penulis memilih pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).

Penulis juga mengomentari : “Menurut pengatahuan kami bahwa catur itu menurut asalnya adalah mubah, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan keharaman catur melebihi dari perbuatan lahwun dan hiburan yang ada. Catur merupakan olah raga pikiran dan melatih berfikir”.

Kemudian penulis menjelaskan syarat-syarat kebolehan main catur antara lain.

(1). Tidak mengundur-ngundur waktu shalat
(2). Tidak disertai dengan judi

(3). Hendaknya pemain dapat menjaga lisannya dari omongan kotor

Maka hal ini telah di jawab oleh Syaikh Shalih Fauzan Abdullah Al-Fauzan[2] sebagai berikut,

”Kami jawab, bahwa persyaratan itu jarang ditaati oleh pemain catur. Misalnya kita terima mereka dapat memenuhi persyaratan tersebut. Maka dengan dibolehkan permainan catur itu, akan menuju hal yang haram dan akhirnya akan dia ingkari persyaratan tersebut, karena itu kita harus berpegang kepada qaul (pendapat) yang mengatakan bahwa catur hukumnya haram. Banyak sekali para ulama mengharamkan permainan catur. Antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berbicara panjang di dalam masalah ini, mulai halaman 216 sampai halaman 245 jilid XXXII dari kitab Majmu Fatawa.

Perlu kami petikkan sebagian, diantaranya:

“Misalnya kita tetapkan bahwa permainan catur itu bebas dari itu semua –maksudnya tidak melalaikan kewajiban dan tidak akan melakukan hal yang haram- maka larangan perbuatan itu ditetapkan oleh sahabat. Sebagaimana yang shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah menjumpai kaum yang sedang bermain catur. Lalu beliau mengatakan “Mengapa kamu beri’tikaf berdiam merenungi patung-patung ini”. Sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu menyamakan mereka itu seperti orang yang beriti’kaf kepada patung, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.
“Peminum khamer itu seperti penyembah patung”

Padahal khamer dan judi itu selalu bergandengan disebut di dalam Al-Qur’an. Demikian juga larangan itu dinyatakan oleh Ibnu Umar dan yang lain, Imam Hanafi serta shabatnya mengharamkan permainan catur.
Adapun Imam Syafi’i rahimahullah beliau pernah berkata :

“Permainan yang paling aku benci yaitu obrolan, permainan catur dan permainan burung dara sekalipun tanpa perjudian. Sekalipun kebencian kami kepada permainan itu lebih ringan dari pada permainan dadu …” Sampai kepada perkataan Syaikhul Islam, “Demikianlah kami nukil dari Imam Asy-Syafi’i.

Dan ada lagi lafadz semakna tadi bahwa beliau membenci atau menganggap makruh hukum permainan catur dan nilainya dibawah daripada permainan dadu adalah hukumnya haram muthlaq sekalipun tidak disertai taruhan uang. Karena itu Imam Asy-Syafi’i menegaskan, kabar yang paling aku benci …”

Maka jelaslah sandaran beliau adalah kepada kabar (khabar), beliau sendiri menolak qiyas. Inilah yang menjadi alasan jumhur, kalau beliau mengharamkan dadu sekalipun tanpa taruhan apa-apa.

Maka catur –sekalipun tidak seperti dadu- tapi bukan berarti tidak termasuk dadu. Hal ini dapat diketahui dari makna sebenarnya permainan itu. Sebab permainan –termasuk dadu- tetap menghalang-halangi untuk mengingat kepada Allah dan shalat, serta pemusuhan dan kemarahan yang diakibatkan catur banyak sekali. Disamping itu permainan ini selalu membuat jiwa untuk meraih piala, lagi membendung akal dan hati untuk ingat kepada Allah dan shalat. Bahkan minum khamer dan ganja, awalnya sedikit tetapi akan menimbulkan ketagihan.


Maka keharaman dadu yang tidak disertai taruhan dan dibolehkannya permainan catur seperti keharaman setetes khamer dari anggur tapi dihalalkan satu ciduk arak yang terbuat dari gandum. Perkataan itu juga sangat bertentangan bila ditinjau dari segi ungkapan, qiyas dan keadilan. Demikian juga masalah catur..”.

Sampai perkataan Syaikh Ibnu Taimiyah : “Dadu, catur dan semisalnya pada umumnya mengandung kerusakan yang tidak terhitung banyaknya, tidak ada maslahahnya. Lebih-lebih maslahah untuk melawan kelalaian jiwa dan keresahan, sebagaimana yang menimpa kepada peminum khamer. Sebenarnya untuk mencari ketenangan jiwa dengan perkara mubah yang tidak membendung perkara yang baik dan tidak mendatangkan kerusakan banyak sekali.
Orang mukmin sudah dicukupi oleh Allah yaitu dengan memilih yang halal dari yang haram dan dimuliakan oleh Allah dari pada yang lain. FirmanNya :

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan Allah akan memberi rizki yang tak terhitung banyaknya” (Ath-Tholaq: 2)
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menjelaskan didalam pembahasan yang lain, yaitu ketika beliau menyebutkan hukum permainan dadu dan catur tanpa taruhan dan tidak melalaikan kewajiban serta tidak mengerjakan larangan Allah. Jika memang benar-benar demikian, maka Manhaj Salaf, Jumhur Ulama seperti Imam Malik dan para sahabatnya, Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ahmad bin Hambal dan sahabatnya dan kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i tidak memastikannya halal tetapi beliau memakruhkannya.

Adalagi yang mengatakan, bahwa Imam Syafi’i berkata, “Saya belum tahu jelas keharamnnya”. Sedangkan Imam Baihaqi orang paling tahu diantara sahabat Syafi’i, menjelaskan Ijma sahabat akan keharaman permainan tadi, berdasarkan riwayat dari Ali bin Abu Thalib, Abu Said, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Musa dan Aisyah Radhiyallahu ‘anhum. Dan tidak diriwayatkan dari seorang sahabatpun tentang masalah tersebut pertentangan. Dan barang siapa menukil dari salah seorang diantara sahabat bahwa dia meringankan masalah itu, maka tidak benar. Karena Imam Baihaqi dan lainnya dari kalangan Ahli Hadits labih tahu tentang ucapan sahabat daripada manusia-manusia yang menukil fatwa tanpa sanad.

Wahai pembaca, coba perhatikan fatwa Ibnu Taimiyah tentang hukum catur, beliau menjelaskan, “Permainan itu tidak ada manfaatnya, apabila untuk mencapai ketenangan jiwa sebagaimana yang diharapkan oleh peminum khamer. Padahal perkara lain yang mubah untuk menenangkan jiwa tanpa menghambat ibadah dan mendatangkan kerusakan tidak sedikit”. Lalu bandingkanlah wahai pembaca dengan fatwanya penulis (Syaikh Yusuf Qardhawy), beliau mengatakan : “Bahwa permainan catur itu bukan termasuk lahwun tetapi hiburan untuk melatih berfikir dan kecerdasan otak”. Coba anda bisa menimbang dua perkataan diatas, mana yang lebih benar.

Selanjutnya perhatikan lagi fatwa Ibnu Taimiyah : “Imam Baihaqi paling tahu tentang hadits diantara pengikut Syafi’i. Beliau menjelaskan bahwa sahabat telah sepakat mengharamkan permainan catur itu. Tidak ada seorangpun yang menentang pendapatnya dalam hal ini. Siapa yang mengatakan bahwa ada salah seorang shahabat membolehkan permainan ini maka itu adalah salah”. Lalu bandingkan dengan fatwa penulis yang mengatakan “Adapun para shahabat, mereka berbeda pendapat dalam hukum catur ini”. Kemudian penulis menjelaskan bahwa Ibnu Abbas dan Abu Hurairah membolehkannya. Wahai pembaca, siapa yang lebih layak mengetahui qaul shahabat, Syaikh Ibnu Taimiyah dan Imam Baihaqi ataukah penulis ??! Wallahu Al-Muata’an.

Imam Qurthuby didalam tafsirnya VII/339 menjelaskan : Ibnul Araby berkata : Mereka itu beralasan dengan perkataan shahabat dan tabi’in, bahwa mereka itu bermain catur. Padahal sama sekali tidak.
Demi Allah tidak akan bermain catur orang yang betaqwa kepada Allah. Memang mereka juga mengatakan bahwa permainan catur itu dapat mengasah otak, padahal menurut kenyataan tidak demikian.
Sama sekali tidak menambah kecerdasan seseorang. Ingat wahai pembaca, bahwa Ibnul Araby menolak adanya para shahabat dan tabi’in bermain catur, bahkan diapun berani bersumpah. Imam Qurthuby-pun mengambil fatwanya sebagai pegangan[3].

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu Fatawa XXXII/241 menjelaskan : Imam Baihaqi meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengatakan :  

“Catur itu perjudian orang asing”. Beliaupun meriwayatkan lagi dengan sanadnya dari Ali, bahwa ia pernah melewati kaum yang sedang bermain catur, lalu beliau menegurnya : “Mengapa kamu menekuni patung ini? Sungguh jika salah satu diantara kamu menggenggam bara api sampai padam itu lebih baik daripada memegang catur”. Dan dari Ali Radhiyallahu ‘anhu pula, bahwa ia pernah melewati salah satu majlis, mereka bermain-main catur lalu dia berkata : ”Demi Allah bukanlah kalian diciptakan untuk ini, ingatlah demi Allah, jikalau catur ini bukan menjadi tradisi, tentu aku akan lempar wajahmu dengan catur itu”. Dari Malik ia berkata :”Telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Ibnu Abbas mengurusi harta anak yatim itu, lalu membakarnya.[4]

Dari Ibnu Umar, dia pernah ditanya tentang catur, lalu ia menjawab : “Catur itu lebih jahat daripada dadu”. Dari Abu Musa Al-Asy’ary berkata : “Tidak akan bermain catur kecuali orang yang keliru”. Adalagi riwayat dari Aisyah bahwa dia membenci perkara yang melelahkan sekalipun tidak memakai taruhan. Abu Sa’id Al-Khudriy juga membenci permainan itu.
Inilah qaul dari para shahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang berselisih pendapat tentangnnya. Selanjutnya Imam Baihaqy meriwayatkan tentang kebencian bermain catur dari Yazid bin Abu Habib dan Muhammad bin Sirin. Ibrahim dan Malik bin Anas, kami mengatakan : “Istilah karohah (dibenci) banyak dipakai ulama Salaf, dan umumnya mempunyai arti haram. Merekapun sudah menjelaskan bahwa catur itu hukumnya haram. Bahkan mereka menambahkan bahwa catur itu lebih jelek daripada dadu, sedangkan dadu itu hukumnya haram sekalipun tidak memakai taruhan.””
Demikianlah fatwa-fatwa Ulama kita tentang bagaimana hukumnya catur, dengan demikian dapat kita petik beberapa poin dari pembahasan diatas,

1. Catur bukan barang yang asing lagi di telinga kita, hampir semua masyarakat Indonesia telah mengenal permainan catur baik aturan langkah bidaknya sampai bagaimana strateginya.
2. Hukum bermain catur adalah mutlak haram, dengan beberapa alasan yang telah disebutkan diatas.
3. Bermain catur tetap haram sekalipun tanpa taruhan, apalagi dengan taruhan.
4. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai syarat bolehnya bermain catur (oleh Dr. Qordhowi) sangat jarang dipenuhi oleh pemain catur jika kita melihat realita yang ada.
5. Permainan catur tetap dilarang –sekalipun syarat-syarat kebolehannya oleh Dr. Qordhowi terpenuhi- karena para sahabat radliyallahu’anhum telah sepakat akan keharamannya. Dan kesepakatan (ijma’) sahabat adalah dalil dalam menetapkan hukum.
6. Perkataan bahwa bermain catur dapat mengasah otak, padahal kenyataannya tidak demikian kecuali memang otaknya hanya terasah pada permainan catur itu sendiri, bukan pada bidang lain yang penting. Misalnya militer, sains, teknik, kedokteran, dan lainnya.
Semoga kita semua diberi petunjuk dan kekuatan oleh Allah dalam melaksanakan setiap ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya.

Referensi :

1. Kritik terhadap buku: Halal dan Haram dalam Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerbit Pustaka Istiqamah Solo
2. Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq)
3. http://www.almanhaj.or.id/content/1563/slash/0
4. http://www.almanhaj.or.id/content/1931/slash/0
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Catur

Footnote

[1] Al-Muhimmah, hal. 17, Syaikh Ibn Utsaimin

[2] Dalam kitab beliau “Al-I’lam Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram” pada pasal koreksi 9 : Permainan Catur

[3] Berkata Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Fruusiyah, “Telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya melarang permainan catu. Dan tidak seorangpun dari shahabat yang mengatakan berbeda tentang hal itu. Allah melindungi mereka dari perbuatan tersebut. Dan barangsiapa yang menyatakan bahwa salah seorang diantara mereka bermain dengannya, seperti Abi Hurairah, maka hal itu merupakan perkataan mengada-ada dan dusta atas mereka. Dimana orang-orang yang mengerti keadaan shahabat dan atsar maka akan mengingkarinya. Bagaimana mungkin sebaik-baik qurun dan makhluk setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sesuatu yang dapat menghalang-halangi dari mengingat kepada Allah dan Shalat ?!?

[4] Yakni permainan catur yang terdapat pada harta anak yatim itu. Demikianlah keadaan Ibnu Abbas yang dikatakan oleh Qardhawi menyatakan bolehnya bermain catur, membuangnya dari harta anak yatim tersebut.

http://abunamira.wordpress.com/2011/04/23/halalkah-bermain-catur/#more-2662

semoga bermanfaat

source 

Blog Archive