bismillah,
^Bid’ah, Suatu Perkara Baru Yang Diada-adakan Dalam Agama^
Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah :
“Bid`ah
adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu
adalah ap...a yang datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan demikian
apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah itulah agama dan apa
yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah
bid`ah.
Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua : ..
Pertama :
Bid`ah I’tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid`ah
ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan
yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :
“Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan“.
Para shahabat bertanya : “Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.
Beliau menjawab : “Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku“.
Yang
selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah
yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum
dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid ,
masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan
selainnya.
Sementara yang selain mereka dari golongan atau
kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar)
seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah
dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul
bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka
berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama,
sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan
selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan
mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk
dibawakan di sini...
Kedua :
Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid`ah
amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah
tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu
diketahui bahwasanya setiap ...ibadah yang tidak diperintahkan oleh
Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun
mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda
nabi shallallahu alaihi wasallam :
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak“.
Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
“Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)”
Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula :
“Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)”
Oleh
karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat
tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga
termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah
sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya
sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu
dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan
demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan adat itu sendiri terbagi tiga :
Pertama
: yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat
seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).
Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga
: adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak
masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang
diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu
a`lam.
(Al Fatawa As Sa`diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah) ..
____________________________________________________________________
Dan selanjutnya, mari kita ilmui dalil2, yang berkenaan dengan BID'AH ini..
DALIL-DALIL BAHWA SETIAP BID’AH SESAT DAN TIDAK ADA BID’AH HASANAH
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.”
(QS.Al-Ma’idah: 3)
Malik bin Anas Rahimahullah berkata :
“Barangsiapa
yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia menganggap baik
bid’ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan bagimu agamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku
dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. Al-Ma’idah: 3)
Oleh
sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia
bukan termasuk agama pada hari ini”( al-I’tisham oleh
asy-syaathibiy,1/64)..
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata :
”Maka
jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, maka apa artinya pendapat
bid’ah yang di buat buat oleh kalangan ahli bid’ah tersebut!!?
Kalau
memang hal tersebut merupakan agama menurut mereka,, berarti mereka
telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan
tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pmbangkangan terhadap Al
Qur’an.
Kemudian jika pemikiran mereka itu tidak termasuk
dalam agama, maka apa manfaatnya mereka meyibukan diri mereka dengan
sesuatu yang bukan dari agama ini”!?..
Ini merupakan
merupakan hujjah yang kokoh dan dalil yang agung yang selamanya tidak
mungkin dapat di bantah oleh pemilik pemikiran tersebut.
Dengan
alasan itulah, hendaknya kita menjadikan ayat yang mulia ini sebagai
langkah awal untuk menampar wajah-wajah ahli logika, membungkam mereka
serta mematahkan hujjah-hujjah mereka.(Al-Qaulul Mufiid Adillatil
Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38, Merupakan bagian dari Risalaah
Assalafiyyah, Cet: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah..
2.
Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengatakan dalam khutbahnya:
“Amma
ba’ad. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap
bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, no.867)..
3.Dari ‘Irbadh bin Saariyah [/i]Radhiyallahu ‘anhu[/i] ia berkata:
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberikan kepada kami suatu
nasihat yang menggetarkan hati dan membuat air mata kami berlinang, lalu
kamipun berkata: “Ya Rasulullah sepertinya ini merupakan nasehat
perpisahan maka nasehatilah kami wahai Rasulullah! Beliaupun lalu
bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa
kepada Allah ‘Azza wa Jalla, (agar) mendengarkan dan mentaati,
sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya. Karena
sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang dipanjangkan umurnya,
maka ia akan melihat banyak terjadi perselisihan (dalam agama), maka
hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah
khulafa’urrasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, berpegang
teguhlah padanya, gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu.
Dan
berhati-hatilah kamu terhadap perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam
agama), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR.
Ahmad 4/126, Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2676, Ibnu Majah no.
44, Ad-Darimy (1/44-45)..
Berkata Ibnu Rajab Rahimahullah:
“Perkataan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ‘setiap bid’ah itu adalah
kesesatan’ merupakan ‘Jawaami’ul kalim’ (satu kalimat yang ringkas
namun mempunyai arti yang sangat luas) yang meliputi segala sesuat...u,
kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok ajaran agama yang
agung”. (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal 28)
Berkata Ibnu Hajar:
“Perkataan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Setiap bid’ah itu adalah
kesesatan”, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu
secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka
seakan-akan beliau bersabda:
“Hal ini adalah bid’ah
hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak
termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan
petunjuk.
Oleh karena itu maka apabila telah terbukti
bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar
hokum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama),
sehingga kesimpulannya adalah tertolak.” (Fathul Baary, 13/254)..
Muhammad bin Shalihal-‘Utsaimin Rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya
perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “setiap bid’ah”,
merupakan ungkapan yang bersifat umum dan menyeluruh, karena
diperkokohkan dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum
yang paling kuat, yakni kata “setiap”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa
Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)
Sesungguhnya
pedang pamungkas ini dibuat dalam industri kenabian dan kerasulan,
bukan hasil ciptaan berbagai rumah produksi yang penuh kegoncangan, ia
merupakan produk kenabian yang diciptakan secara optimal.
Karena
itulah maka tidak mungkin orang yang memiliki pedang pamungkas seperti
ini akan mampu dihadapi oleh siapapun dengan suatu bid’ah yang
dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam telah mengatakan “setiap bid’ah itu adalah kesesatan”.
(Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin
hal 13)..
4. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang
mengamalkan satu amalan yang dibuat-buat dalam ajaran kami (agama)
padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini, maka amala...n tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim)
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata:
“Hadits
ini merupakan salah satu dari kaidah-kaidah agama, sebab hadits ini
mendasari hokum-hukum yang tiada terbatas. Dan betapa tegas hadits ini
dan betapa jelas indikasinya terhada kebatilan para fuqaha’ yang
membagi bid’ah menjadi beberapa macam serta hanya menolak sebagian
bid’ah saja tanpa ada dalil yang mengkhususkannya baik dari dalil aqly
maupun dalil naqly.”..
5. Dari Abdullah bin ‘Ukaim bahwasanya Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya
perkataan yang paling benar adalah firman Allah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan
sesungguhnya seburuk-...buruk perkara adalah perkara-perkara yang
dibuat-buat (dalam agama).
Ketahuilah bahwa sesungguhnya
setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan
setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu (tempatnya)
di neraka.” (Ibnu Wudhah dalam Al-Bida’, hal 31 dan Al-Laalikaa’iy
hadits no.100 (1/84)
6. Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Setiap
bid’ah itu adalah kesesatan, sekalipun manusia menganggapnya hasanah
(baik).” (Al-Ibaanah, no 205 (1/339), Al-Laalikaa’iy, no. 126 (1/92)..
Sumber: MENGAPA ANDA MENOLAK BID’AH HASANAH? Karangan Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibany terbitan At-Tibyan hal 23 – 30..
semoga bermanfaat
Prtanyaan : kenapa orang2 Nahdiyin membenci orang2 Salafy..??
jawab :
Namun tak semuanya mereka membenci...
Kebencian mereka biasanya krn merasa terusik dgn kuatnya dakwah manhaj salaafushshoolih dalam mengingkari penyakit Bid'ah ...
Namun jangan salah,ternyata lambat laun kaum yg menamakan dirinya
Nahdliyyin mulai banyak yg melirik ke manhaj salaafushshoolih juga
berkat gigihnya dakwah salaf dalam mengingkari bid'ah..
Wallaahu a'lam...
tanya : nahdziyin sama salafi itu apa bedanya?
jawab :
Nahdiyin meyakini adanya bid'ah hasanah, oleh sebab itu mereka gemar
berbuat kebid'ahan, dikarenakan bid'ah2 yg mereka lakukan, mereka pikir
bid'ah yg baik (hasanah).
Sementara salafi mengingkari adanya bid'ah hasanah, sebab semua bid'ah
dlm perkara agama adalah dholaalah (sesat), tdk ada bid'ah yg baik
(hasanah) berdasarkan matan hadits shahih "kullu bid'atin dholaalah".
Bid'ah yg dimaksud oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan
juga penjelasan/syarah para ulama ahlus sunnah, adalah bid'ah dari sisi
istilah, yakni yang menyangkut perkara agama saja. BUKAN DARI SISI
BAHASA
Sebab, jika dari sisi b...ahasa juga dimasukkan, maka
perkara2 dunia, penemuan teknologi, peradaban manusiapun akan termasuk
bid'ah. Telepon bid'ah, kompor bid'ah, kue bolu bid'ah, komputer bid'ah,
motor bid'ah, mikrofon bid'ah, mobil bid'ah, pesawat bid'ah, dll, maka
banyak sekali perkara2 yg bukan bid'ah secara istilah namun bid'ah
secara bahasa, dan bukan ini (sisi bahasa) yg dimaksud oleh sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam.
Nah, celakanya, orang nahdiyin
menganggap bid'ah nya tahlilan dan yasinan (bid'ah dlm agama), sama dgn
bid'ah nya pesawat terbang (bid'ah dlm sisi bahasa). Boleh dilakukan
keduanya, karena mereka menganggapnya sama2 bid'ah hasanah (padahal
...jelas berbeda, yg satu bid'ah dlm agama/istilah, yg satu bid'ah dlm
sisi bahasa).
Sehingga mereka sering mengejek salafy dgn perkataan :
"dikit2 bid'ah, ini bid'ah, itu bid'ah, kalau gak mau bid'ah, pergi haji naik onta saja!".
Betapa bodohnya org2 nahdiyin ini.
Allahul musta'an.
Bencinya para Nahdiyin pada manhaj salaf dikarenakan Manhaj Salaf
berhasil membongkar kedok para pengekor hawa nafsu dengan memberikan
bayan secara ilmiah sehingga umat islam banyak yang "melek" tentang
agamanya sendiri (termasuk sy) sehin...gga proyek2 seperti Tahlilan,
Yasinan, Pemuja Kubur (ingat kasus Tanjung Priok) yang notabene dapat
memberikan nafkah kepada mereka bakalan ditinggalin masyarakat. Proyek
kembang setaman dikubur, istighasah bid'ah, ritual2 kesyirikan
dikuburan, undangan acara2 Bid'ah dan kekhurafatan atas nama agama akan
bakalan ditinggalkan suatu sa'at Insya Allah, ini yg membuat mereka
"gerah"....ends of personal opinion. Wallahu 'alam
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya yang terakhir ketika haji wada' :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan
taat walaupun dipimp...in budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup
dari
kalian maka akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan
sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah
kepadanya dan gigitlah dia dengan GIGI GERAHAM kalian. Dan waspadalah
terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal
yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan".
[SHAHIH. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah
(44,43),Al-Hakim (1/97)]
Kemudian utk masalah penyusunan Al Qur'an, biar anti faham tentang perkara ini, maka simak baik2 pembahasan di bawah ini :
APAKAH SETIAP AMAL YANG TIDAK DILAKUKAN DI JAMAN NABI DISEBUT BID'AH??
Ada dua pendapat ’ekstrim’ te...rkait dengan
bahasan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak
dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa
disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau
bentuknya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah
hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at
mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah. Adapun
pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di
jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara
mutlak.[Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu
segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam, maka dinamakan bid’ah.]
Dua pendapat ini keliru. Ada
satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita
perhatikan sebagai berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه
وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا
ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari
jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut
dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka
melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.
Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين
وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها
تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه
منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang
tidak dilakukan oleh as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat,
tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak
meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau
tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka;
maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut
untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak
ada.
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
1. Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2. Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) : Pengumpulan
Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa
disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau
seb
ab yang mendorong dilakukan
pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum
ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui
hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya
pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal
itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr
radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut
nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang
gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong
atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan
faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada
Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :
”Dalam peperangan Yamamah para
shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir
akan gugurnya para shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya,
sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.
Apa yang
dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya
pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.
Hal yang
sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf
hijaiyyah.[Huruf hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak memakai tanda, titik, dan harakat]
.
Setelah banyak
terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya,
maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an
sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian
dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar
pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian
disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk
meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.
Contoh (2) :
Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat)
?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah :
Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun
tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya,
maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara
asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan
(faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai
wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”.
Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah
faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada
halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak
melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap
sebagai kemaslahatan dalam syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا
خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا
أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير
أحرص
. وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته
باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان .
فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم
بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh
salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya
tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak
(melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan
pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala
kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya
terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan
perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan
ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan.
Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
kebaikan”.[Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.]
Atau jika
kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh
’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin
kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[Kecuali yang sudah
‘kebangetan’ doyan bid’ah].
Apa indikasinya ? Faktor pendorong
untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum
muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan
(mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali.
Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak melakukannya. Sebagaimana
yang telah shahih dalam riwayat :
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah
shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan
hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887]
Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.
Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya :
”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja,
dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan
’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti
sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ?
Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar
dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat
mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (=
yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa
khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak
sanggup melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam wafat dan syari’at telah mantap [Tidak ada kewajiban tambahan
yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena
Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3].
,
maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor
penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah)
sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah
mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan
pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin
Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja,
penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan
kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang
perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi
rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk
membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
Sumber :
Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html kalau dari HP, klik link yang ini :
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html?m=1
mengumpulkan ayat2 Al-Quran
menjadi satu mushaf, memberi titik dan harakat pd huruf2 Al-Quran,
membukukan hadits2 (hasil ijtihad para shahabat), menulis buku2 tafsir
Quran, membuat kitab2 fikih"
--> semua ini tidak masuk
'category' bid'ah, tapi.. masuk dlm kategori 'maslahah mursalah' /
'marhalah' (sarana atau alat utk mendapat dan mewujudkan kemaslahatan
umat)
PERKATAAN MEREKA : "KALAU TIDAK MAU BID'AH, MAKA PERGI HAJI PAKAI ONTA SAJA !"
Bismillah,
Kebanyakan, orang jahil, yang boleh jadi mereka itu ahlul bid'ah,
pelaku bid'ah, ahlul hawa dll, bahkan orang awam tapi sudah berani
bicara soal agam
a, ...mereka sering berkata sekitar perkataan ini kepada orang-orang yang berada diatas manhaj yang haq, di jalan yang lurus :
"Kalian menganggap bahwa semua bid'ah itu dholalah (sesat), padahal
kalian sendiri berbuat bid'ah, main FB, pake HP, pake Mikrofon buat
adzan, naik haji pake pesawat..dll, yang semua itu tidak ada tuntunannya
dalam Al Qur'an dan Hadits. Kalau mau gak bid'ah, maka sono..naik onta
aja kalau pergi haji !"
MAKA KITA JAWAB :
Orang2 yang berkata seperti itu maka ia adalah orang JAHIL MURAKKAB (jahil kwadrat).
Semoga Allah memberi mereka hidayah diatas ilmu dan pemahaman yang benar.
Maka terhadap perkataan seperti itu, kita jawab dan kita berikan penjelasan :
Hukum sarana tergantung tujuan, pemakaian teknologi juga tergantung
tujuan, apakah dipakai dalam perkara yang halal/jaiz atau yang haram.
Tidak ada bid'ah dalam agama untuk perkara penemuan manusia yang terkait
dengan terus berkembangnya peradaban dan teknologi. Termasuk metodologi
dalam berdakwah.
Berdakwah merupakan ibadah, namun sarana yang
dipakai untuk berdakwah bukanlah bid'ah menurut istilah agama, seperti
penggunaan microphone untuk pengeras suara, email sebagai pengganti
surat-menyurat, video ceramah dsb.
Dalam masalah dunia (peradaban
dan teknologi), hukum asalnya adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil
yang melarang atau mengharamkannya.
Adapun bid'ah, ucapan itu
telah disampaikan Rasulullah shallallahu 'alahi was salam, dimana dalam
hadits beliau bersabda, potongan haditsnya adalah : "setiap bidah itu
adalah sesat". Begitu juga yang dipahami oleh para sahabat, imam mazhab
yang 4 dan ulama-ulama lain yang mengikuti Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan baik.
Maka, Motor
atau Mobil buat ke masjid, Pesawat terbang buat naik haji, Hand Phone,
Komputer dan FB buat dakwah, kertas buat nulis Qur'an dan hadits,
Sekolah Madrasah buat belajar agama, microphone di masjid buat khutbah
dll adalah sarana/washillah untuk ibadah, BUKAN IBADAHNYA ITU SENDIRI.
Itu yang disebut dengan Mashlahatul Marsalah.
Sebab untuk urusan dunia, yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi
(apa saja), dan peradaban manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat
masyhur :
“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”. [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]
Jadi benda-benda yang disebutkan diatas itu adalah urusan dunia yang
merupakan hasil kemajuan peradaban manusia secara umum dan pengembangan
teknologi seiring dengan berjalannya waktu, yang mana orang kafir juga
menggunakannya, dan tidak ada kaitannya dengan agama secara langsung.
Sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi, itu bukanlah bid'ah
yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jadi , silahkan mau buat mikrofon masjid, pesawat buat pergi haji, software dll,
Akan tetapi yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallaam larang di
sini adalah segala macam perkara baru dalam bentuk amalan/keyakinan
agama dan syari'at, entah itu amalan-amalan (Fi'liyah) maupun Ucapan
(Qouliyah) baik mengurangi atau menambahkan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama
yang bukan datang dari kami (Allah dan Rasul-Nya), maka tertolaklah
amalnya itu”. (SHAHIH, riwayat Muslim Juz 5,133)
dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka
sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dia
berkata Hadits hasan shahih).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan
taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari
kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang
teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi
petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi
geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang
diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap
kebid'ahan adalah kesesatan". [SHAHIH. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy
(2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim (1/97)]
Wallahu a'lam.
http://www.abuayaz.co.cc/2011/02/perkataan-mereka-kalau-tidak-mau-bidah.html
PENULISAN AL-QUR’AN DAN PENGUMPULANNYA BUKANLAH BID'AH !!
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
...
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini
penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan
karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di
samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh
karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia
akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di
pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat
unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak
Dalam
kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang
yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua
desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah.
Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal
Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas
budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit
dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.
Tahap Kedua
Pada zaman
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah.
Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’
yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah
seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak
hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn
Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau
melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan
pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu
Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu
‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada
Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal
cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu
untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah
Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan
mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari
hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga
dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di
pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh
Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu
seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka
menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu
Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang
yang
paling besar pahalanya pada mushaf
Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali
mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada
tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin
pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang
berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan
akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk
mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum
muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab
Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman
Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu
dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat
perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai
Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah
pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan
Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu
‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami
gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan
kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian
Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id
Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum
untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal
dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy.
Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan
Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan
dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”,
merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan
mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke
seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah
mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan
hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum
yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari
Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah
seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an
selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku
berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf
saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab :
“Alangkah baiknya pendapatmu itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad [5]
mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah
mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia
katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu
adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan
Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal
itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan
Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma
adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah
menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu
mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin
untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat
pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa
mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan
tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu
adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan
satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu
mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada
perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari
pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di
tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan,
kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang
besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat,
perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh
seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari
oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh
tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa
nafsu orang-orang yang menyeleweng.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala :
Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum …
al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl
Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama
Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3,
halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat
Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar
Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit
Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
http://www.abuayaz.co.cc/2010/05/penulisan-al-quran-dan-pengumpulanya.html
Kemudian, orang2 Nahdiyin
yang gemar berbuat bid'ah dalam perkara agama, mereka membangun
keyakinannya dengan dalil hadits "MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN
HASANATAN...dst"
Benarkah penafsiran mereka ini?
Mari kita simak pembahasannya :
...HADITS MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah di tanya :
"Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Man Sanna Fi Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha..dst dst"
artinya :
"Siapa yang memulai membuat contoh kebaikan dalam Islam maka ia
mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti
(meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang
menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai
orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya,
sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau
ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali.
Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau
karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan
antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat
dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian
menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan
bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan
mengerjakan bid'ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man
sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah",
yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna"
tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan
menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.
Ada
juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas,
yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau
menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta
mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang
perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah
wajah beliau dan bersabda.
"Siapa yang memulai memberi contoh
kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala
orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
Dari
sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan
(mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi
arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu
: "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau
mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Kullu bid'atin dhalaalah".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa'
edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin]
http://www.abuayaz.co.cc/2011/03/hadits-man-sanna-fii-islam-sunnatan.html ***