Follow us on:
JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT [II - 2]






Penulis:
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu


BAGIAN 11

PENGERTIAN WAHABI

Orang-orang biasa menuduh "wahabi " kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun keperca-yaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih . Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo'a (memohon) hanya kepada Allah semata.

Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawa-wiyah. Hadits itu berbunyi:
"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepa-da Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih )

Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang diminta-nya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."

Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, "Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah." Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!"

Penulis lalu bertanya, "Apa dalil anda?" Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd!" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?" Ia menjawab, "Aku berdo'a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyam-paikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."

Lalu penulis berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."

Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."

Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."

Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh."

Kemudian penulis tanyakan jama'ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyeleng-garakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.

Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuk-nya. Penulis berkata dalam hati, "Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu' (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."

Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,
"Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah biasa membuka khut-bah dan pelajarannya.

Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur'anul Karim dan sunnah Nabi r. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi . Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
"Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." (Al-Hujurat: 11)

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, "Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah."

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."

Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, "Inilah syaikh yang sesungguhnya!"

A. PENGERTIAN WAHABI

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa'ul Husnaa).

Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama'ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberi-kan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

B. MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau ter-sentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed de-ngan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid'ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultus-kan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah , hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah , serta berdo'a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah . Al-Qur'an menegaskan:
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguh-nya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus: 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:
"Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika eng-kau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), ada-lah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menja-dikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah r. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghe-rankan." (Shaad: 5)

Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan meme-rangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dak-wahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mere-ka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab "Mukhtashar Siiratur Rasuul ". Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah r. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam penga-jian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasu-lullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallaahu anhu dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan:

Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah se-orang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menu-lis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.

BAGIAN 12

PERANG ANTARA TAUHID DENGAN SYIRIK

Perang antara tauhid dengan syirik telah terjadi sejak lama. Sejak zaman Nabi Nuh AlaihisSalam menyeru kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada berhala-berhala.

Nabi Nuh berada di tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Beliau menyeru kaumnya kepada tauhid, tetapi peneri-maan mereka sungguh di luar harapan. Secara jelas Al-Qur'an meng-gambarkan penolakan mereka, dalam firmanNya:
"Dan mereka berkata, 'Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghust, ya'uq dan nasr." Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia)." (Nuh: 23-24)

Tentang tafsir ayat ini, Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas , dia berkata:

1. Ini adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaumnya agar mereka membuat patung orang-orang shalih tersebut di tempat-tempat duduk mereka, dan agar memberinya nama sesuai dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan perintah setan tersebut. Pada awalnya, patung-patung itu tidak disembah. Tetapi ketika mereka semua sudah binasa dan ilmu telah diangkat, mulailah patung-patung itu disembah.

2. Selanjutnya datanglah para rasul sesudah Nabi Nuh. Mereka menyeru kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah semata, dan agar meninggalkan apa yang mereka sembah selain Allah, sebab me-reka tidak berhak untuk disembah. Renungkanlah Al-Qur'anul Karim yang menceritakan tentang keadaan mereka:

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?." (Al-A'raaf: 65)

"Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia." (Huud: 61)

"Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia." (Huud: 84)

"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku." (Az-Zukhruf: 26-27)

Terhadap dakwah para nabi tersebut, kaum musyrikin merespon-nya dengan penentangan dan pengingkaran terhadap apa yang mereka bawa. Orang-orang musyrik itu memerangi para rasul dengan segala kemampuan yang mereka miliki.

3. Rasulullah misalnya, sebelum diutus sebagail rasul, beliau terkenal di kalangan orang-orang Arab dengan julukan "ash-shaa-diqul amiin" (yang jujur dan dapat dipercaya). Tetapi tatkala beliau mengajak kaumnya menyembah kepada Allah dan mengesakanNya, serta menyeru agar meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang mereka, serta merta mereka lupa dengan sifat jujur dan amanah beliau. Lalu mereka menghujaninya dengan berbagai julukan buruk. Di antaranya ada yang menjuluki beliau dengan "ahli sihir lagi pendusta". Al-Qur'an mengisahkan penolakan mereka terhadap dak-wah tauhid dalam firmanNya:

"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak dusta. Me-ngapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Se-sungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengheran-kan." (Shaad: 4-5)

"Demikianlah tidak ada seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengata-kan. "Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenar-nya mereka adalah kaum yang melampaui batas." (Adz-Dzaari-yaat: 52-53)

Demikianlah itulah sikap segenap rasul dalam dakwahnya kepada tauhid. Dan sebagaimana gambaran ayat-ayat di atas itulah sikap kaum mereka yang pendusta lagi mengada-mengada.

4. Pada zaman kita saat ini, jika seorang muslim mengajak sesama saudara muslim lainnya kepada akhlak, kejujuran dan amanah, ia tidak akan menemukan orang yang menentangnya.

Berbeda halnya jika ia mengajak mereka kepada tauhid yang ke-padanya para rasul menyeru –yaitu berdo'a (memohon) hanya semata-mata kepada Allah dan tidak memohon kepada selainNya, baik kepada para nabi atau wali, karena sesungguhnya mereka hanyalah hamba Allah–, niscaya orang-orang segera menentangnya dan menuduhnya dengan berbagai tuduhan dusta. Mungkin mereka akan dituduh wahabi, dengan maksud untuk membendung manusia dari dakwah kepada tauhid.

Jika sang da'i mengetengahkan ayat yang didalamnya terdapat ajakan kepada tauhid, mereka tak segan-segan menuduh dengan me-ngatakan, "Ini ayat wahabi". Manakala sang da'i membawakan hadits:
Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah dan jika kamu mohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Maka serta-merta sebagian mereka akan mengatakan, "Itu hadits wahabi."

Bila seseorang shalat dengan meletakkan tangan di atas dada, atau menggerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud , sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah , maka sebagian orang akan menga-takan sebagai orang wahabi.

Kata wahabi seakan menjadi simbol bagi setiap orang yang mengesakan Allah, yang hanya menyembah Tuhan Yang Satu, dan mengikuti sunnah nabiNya.

Sesungguhnya wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi). Ia adalah salah satu dari nama-nama Allah Yang Paling Baik. Berarti Dialah yang memberikan kepadanya tauhid, yang merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi orang-orang yang mengesakan Allah.

5. Para du'at kepada tauhid hendaknya sabar dan meneladani Rasulullah , yang kepadanya Allah berfirman:

"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." (Al-Muzammil: 10)

"Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka." (Al-Insaan: 24)

Setiap orang Islam hendaknya menerima dakwah kepada tauhid, serta mencintai pada da'inya. Karena sesungguhnya tauhid adalah dakwah para rasul secara keseluruhan, juga dakwah Rasul kita Mu-hammad r. Maka barangsiapa mencintai Rasul , niscaya dia akan mencintai dakwah kepada tauhid dan barangsiapa membenci kepada dakwah tauhid, maka berarti ia telah membenci Rasulullah

BAGIAN 13

HUKUM HANYA MILIK ALLAH SEMATA

Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaNya semata. Ia mengutus para rasulNya untuk mengajar manusia, lalu menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sehingga bisa memberikan hukum (putusan) yang benar dan adil di antara manusia. Hukum tersebut tercermin dalam firman Allah Ta'ala, dan dalam sabda Rasulullah . Hukum-hukum itu mengandung berbagai masalah. Di antaranya ibadah, mu'amalah (pergaulan antar manusia), aqa'id (ke-percayaan), tasyri' (penetapan syari'at), siyasah (politik) dan berbagai permasalahan manusia lainnya.

1. Hukum dalam aqidah:

Yang pertama kali diserukan oleh para rasul adalah pelurusan aqidah serta mengajak manusia kepada tauhid.

Nabi Yusuf misalnya, ketika berada di dalam penjara beliau me-nyeru kedua temannya kepada tauhid, ketika keduanya menanyakan padanya tentang ta'bir (tafsir) mimpi. Sebelum nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, ia berkata:
"Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 39-40)

2. Hukum dalam ibadah:

Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik shalat, zakat, haji dan lainnya dari Al-Qur'an dan hadits shahih, sebagai realisasi dari sabda Rasulullah :
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" (Muttafaq alaih)

"Ambillah teladan dariku dalam tata cara ibadah (hajimu)." (HR. Muslim)

Dan merupakan penerapan dari ucapan para imam mujtahid, "Jika hadits itu shahih maka ia adalah madzhabku."

Bila antara imam mujtahid terjadi perselisihan pendapat, kita tidak boleh fanatik terhadap perkataan seseorang di antara mereka, kecuali kepada yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

3. Hukum dalam mu'amalah:

Hukum dalam mu'amalah (pergaulan antarmanusia), baik yang berupa jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan lain sebagai-nya. Semua hal tersebut harus berlandaskan hukum (keputusan) Allah dan RasulNya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)

Para mufassir, dengan menyitir riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, sebab turunnya ayat di atas adalah karena sengketa masalah irigasi (pengairan) yang terjadi antara dua sahabat Rasulullah . Lalu Rasulullah memutuskan bahwa yang berhak atas irigasi tersebut adalah Zubair. Serta merta lawan sengketanya berucap, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan hukum untuknya (maksudnya, dengan membela Zubair) karena dia adalah anak bibimu!" Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat di atas.

4. Hukum dalam masalah hudud (hukuman yang ditetapkan untuk memenuhi hak Allah) dan qishash (hukum balas yang sepadan):

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'la:
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al-Maa'idah: 45)

5. Tasyri' (penetapan syari'at) adalah milik Allah semata:

Allah berfirman:
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu." (Asy-Syuura: 13)

Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah berfirman:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?" (Asy-Syuura: 21)

KESIMPULAN:

Setiap umat Islam wajib menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada kedua-nya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah." (Al-Maa'idah: 49)

Juga penerapan dari sabda Rasulullah :
"Dan selama para pemimpin umat tidak berhukum kepada kitab Allah, dan memilih apa yang diturunkan oleh Allah, niscaya ke-sengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka." (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan)

Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perundang-un-dangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang-undang Peran-cis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.

Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandas-kan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya me-reka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari ka-langan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputuskan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mere-ka, memberikan keadilan di antara mereka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal di-terimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.

BAGIAN 14

AKIDAH DAHULU ATAUKAH KEKUASAAN?

Lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia? Da'i besar Muhammad Qutb menjawab persoalan ini dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukar-ramah. Teks pertanyaan itu sebagai berikut:
"Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan akidah, dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah di antara dua pendapat ini yang benar?"

Beliau menjawab: "Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du'at belum meluruskan akidah umat, sehingga kaum muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukumNya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit, tidak serta merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan oleh Allah atas manusia dengan firmanNya:
"Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain." (Muhammad: 4)

Karena itu, kita mesti memulai dengan meluruskan aqidah, men-didik generasi berikut atas dasar akidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai cobaan, seba-gaimana yang terjadi pada generasi awal Islam."

BAGIAN 15

SYIRIK BESAR DAN MACAMNYA

Syirik besar adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu (tan-dingan) bagi Allah. Ia memohon kepada sesuatu itu sebagaimana ia memohon kepada Allah. Atau melakukan padanya suatu bentuk ibadah, seperti istighatsah (mohon pertolongan), menyembelih hewan, bernadzar dan sebagainya.

Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu Mas'ud meriwayatkan, aku bertanya kepada Nabi , "Dosa apakah yang paling besar?" Beliau menjawab:
"Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah sedang-kan Dialah yang menciptakanmu." (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)

A. MACAM-MACAM SYIRIK BESAR

1. Syirik dalam do'a:

Yaitu berdo'a kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali, untuk meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit. Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zha-lim."(Yunus: 106)

Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan Rasu-lullah r menegaskan dalam sabdanya:
"Barangsiapa meningal dunia sedang dia memohon kepada se-lain Allah sebagai tandingan (sekutu), niscaya dia masuk Neraka." (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa berdo'a kepada selain Allah, baik kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir merupakan perbuatan syirik adalah firman Allah:
"Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menye-ru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mere-ka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan perminta-anmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui," (Faathir: 13-14)

2. Syirik dalam sifat Allah:

Seperti kepercayaan bahwa para nabi dan wali mengetahui hal-hal yang ghaib. Allah berfirman:
"Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri." (Al-An'aam: 59)

3. Syirik dalam mahabbah (kecintaan):

Yang dimaksud syirik dalam mahabbah yaitu ia mencintai seseorang baik wali atau lainnya sebagaimana kecintaannya kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tan-dingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagai-mana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang ber-iman sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)

4. Syirik dalam keta'atan:

Yaitu keta'atan kepada ulama atau syaikh dalam hal kemaksiatan, dengan mempercayai bahwa hal tersebut dibolehkan. Allah berfirman:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." (At-Taubah: 31)

Ta'at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan yaitu dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Atau sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Ta'at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan inilah yang ditafsirkan sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Rasulullah menegaskan:
"Tidak ada keta'atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khalik (Allah)." (HR. Ahmad, hadits shahih)

5. Syirik hulul:

Yaitu mempercayai bahwa Allah menitis kepada para makhluk-Nya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi, seorang shufi yang meninggal dunia di Damaskus. Sampai-sampai Ibnu Arabi mengatakan:
"Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah Tuhan.
Duhai sekiranya, siapakah yang mukallaf?"

Seorang penyair shufi lainnya, yang mempercayai aqidah hulul bersenandung:
"Tiada anjing dan babi itu, melainkan tuhan kita (juga).
Dan tiadalah Allah itu, melainkan seorang rahib yang ada di gereja."

6. Syirik tasharruf (tindakan):

Yaitu keyakinan bahwa sebagian para wali memiliki keleluasaan untuk bertindak dalam urusan makhluk. Percaya bahwa mereka bisa mengatur persoalan-persoalan makhluk. Mereka namakan para wali itu dengan "wali Quthub". Padahal Allah Ta'ala telah menanyakan orang-orang musyrik terdahulu dengan firmanNya:
"Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab, 'Allah'." (Yunus: 31)

7. Syirik khauf (takut):

Yaitu keyakinan bahwa sebagian dari para wali yang telah meninggal dunia atau orang-orang yang ghaib bisa melakukan dan mengatur suatu urusan serta mendatangkan mudharat (bahaya). Kare-na keyakinan ini, mereka menjadi takut kepada para wali atau orang-orang tersebut.

Karena itu, kita menjumpai sebagian manusia berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali, karena takut kepada wali tersebut. Hal ini adalah keper-cayaan orang-orang musyrik, yang diperingatkan Al-Qur'an dalam firmanNya:
"Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah." (Az-Zumar: 26)

Adapun takut kepada hewan liar atau kepada orang hidup yang zhalim maka hal itu tidak termasuk dalam syirik ini. Itu adalah keta-kutan yang merupakan fitrah dan tabiat manusia, dan tidak termasuk syirik.

8. Syirik hakimiyah:

Termasuk dalam syirik hakimiyah (kekuasaan) yaitu mereka yang membuat dan mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Islam serta membolehkan diberlakukannya undang-undang tersebut. Atau dia memandang bahwa hukum Islam tidak lagi sesuai dengan zaman.
Yang tergolong musyrik dalam hal ini adalah para hakim (pe-nguasa, yang membuat serta memberlakukan undang-undang), serta orang-orang yang mematuhi dan menjalankan undang-undang terse-but, jika dia meyakini kebenaran undang-undang itu serta rela dengan-nya.

9. Syirik besar bisa menghapuskan amal:

Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tu-han), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu terma-suk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)

10. Syirik besar tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dan meninggalkan perbuatan syirik secara keselu-ruhan:

Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesung-guhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisaa': 116)

11. Syirik banyak macamnya:

Di antaranya adalah syirik besar dan syirik kecil. Semua itu wajib dijauhi. Rasulullah mengajarkan kepada kita agar berdo'a:
"Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepadaMu dari (menyekutukanMu dengan sesuatu) yang kami tidak ketahui." (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

BAGIAN 16

PERUMPAMAAN ORANG YANG BERDO'A KEPADA SELAIN ALLAH

1. Allah berfirman:

"Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat mere-butnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah." (Al-Hajj: 73)

Allah menyeru kepada segenap umat manusia agar mendengar-kan perumpamaan agung yang telah dibuatNya, dengan mengatakan:
"Sesungguhnya para wali dan orang-orang shalih serta lainnya yang kamu berdo'a kepadanya agar menolongmu saat kamu berada dalam kesulitan, sungguh mereka tak mampu melakukannya. Meskipun sekedar menciptakan makhluk yang sangat kecil pun mereka tidak bisa. Menciptakan lalat, misalnya. Bahkan jika lalat itu mengambil dari mereka sejumput makanan atau minuman, mereka tak mampu merebutnya kembali. Ini merupakan bukti atas kelemahan mereka, juga kelemahan lalat. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin eng-kau berdo'a kepada mereka, sebagai sesembahan selain Allah?"

Perumpamaan di atas merupakan pengingkaran dan penolakan yang amat keras terhadap orang yang berdo'a dan bermohon kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali.

2. Allah berfirman:

"Hanya bagi Allah lah(hak mengabulkan) do'a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do'a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." (Ar-Ra'ad: 14)

Ayat di atas mengandung pengertian bahwa do'a, yang ia merupakan ibadah, wajib hanya ditujukan kepada Allah semata.

Orang-orang yang berdo'a dan memohon kepada selain Allah, tidak mendapatkan manfaat dari orang-orang yang mereka sembah. Mereka tidak bisa memperkenankan do'a barang sedikitpun.

Menurut riwayat dari Ali bin Abi Thalib , -menjelaskan perumpamaan orang yang berdo'a kepada selain Allah- yaitu seperti orang yang ingin mendapatkan air dari tepi sumur (hanya) dengan tangannya. Maka hanya dengan tangannya itu, tentu dia tidak akan mendapatkan air selama-lamanya, apatah lagi lalu air itu bisa sampai ke mulutnya?"

Menurut Mujahid," (seperti orang yang) meminta air dengan lisannya sambil menunjuk-nunjuk air tersebut (tanpa berikhtiar selain-nya), maka selamanya air itu tak akan sampai padanya."

Selanjutnya Allah menetapkan, bahwa hukum orang-orang yang berdo'a kepada selain Allah adalah kafir, do'a mereka hanya sia-sia belaka. Allah berfirman:
"Dan do'a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." (Ar-Ra'ad: 14)

Maka dari itu, wahai saudaraku sesama muslim, jauhilah dari berdo'a dan memohon kepada selain Allah. Karena hal itu akan men-jadikanmu kafir dan tersesat. Berdo'alah hanya kepada Allah semata, sehingga engkau termasuk orang-orang beriman yang mengesakan-Nya.

BAGIAN 17

CARA MENGHILANGKAN SYIRIK

Menghilangkan syirik kepada Allah, belum akan sempurna kecuali dengan menghilangkan tiga macam syirik:

1. Syirik dalam perbuatan Tuhan:

Yaitu beri'tikad bahwa di samping Allah, terdapat pencipta dan pengatur yang lain. Sebagaimana yang diyakini sebagian orang-orang shufi, bahwa Allah menguasakan sebagian urusan kepada beberapa waliNya untuk mengaturnya. Suatu keyakinan, yang hingga orang-orang musyrik sebelum Islam pun tidak pernah mengatakannya. Bah-kan ketika Al-Qur'an menanyakan siapa yang mengatur segala urusan, mereka menjawab: "Allah". Seperti ditegaskan dalam firmanNya:
"Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Mereka menja-wab 'Allah'." (Yunus: 31)

Penulis pernah membaca kitab "Al-Kaafii Firrad alal Wahabi" yang pengarangnya seorang shufi. Di antara isinya adalah, "Sesung-guhnya Allah memiliki beberapa hamba yang bila mengatakan kepada sesuatu; Jadilah! Maka ia akan terjadi."

Sungguh dengan tegas Al-Qur'an mendustakan apa yang ia dak-wahkan itu. Allah berfirman:
"Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!" maka terjadilah ia." (Yaasiin: 82)

"Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah." (Al-A'raaf: 54)

2. Syirik dalam ibadah dan do'a:

Yaitu di samping ia beribadah dan berdo'a kepada Allah, ia beribadah dan berdo'a pula kepada para nabi dan orang-orang shalih.

Seperti istighatsah (meminta pertolongan) kepada mereka, berdo'a kepada mereka di saat kesempatan atau kelapangan. Ironinya, justru hal ini banyak kita jumpai di kalangan umat Islam. Tentu, yang menanggung dosa terbesarnya adalah sebagian syaikh (guru) yang mendukung perbuatan syirik ini dengan dalih tawassul.

Mereka menamakan perbuatan tersebut dengan selain nama yang sebenarnya. Karena tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari'atkan. Adapun apa yang mereka lakukan ada-lah memohon kepada selain Allah. Seperti ucapan mereka:
"Tolonglah kami wahai Rasulullah, wahai Jaelani, wahai Badawi ..."

Permohonan seperti di atas adalah ibadah kepada selain Allah, sebab ia merupakan do'a (permohonan). Sedangkan Rasulullah bersabda:
"Do'a adalah ibadah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shahih)

Di samping itu pertolongan tidak boleh dimohonkan kecuali kepada Allah semata. Allah berfirman:
"Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu," (Nuh: 12)

Termasuk syirik dalam ibadah adalah "syirik hakimiyah". Yaitu jika sang hakim, penguasa atau rakyat meyakini bahwa hukum Allah tidak sesuai lagi untuk diterapkan, atau dia membolehkan diberlaku-kannya hukum selain hukum Allah.

3. Syirik dalam sifat:

Yaitu dengan menyifati sebagian makhluk Allah, baik para nabi, wali atau lainnya dengan sifat-sifat yang khusus milik Allah. Menge-tahui hal-hal yang ghaib, misalnya. Syirik semacam ini banyak terjadi di kalangan shufi dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka. Seperti ucapan Bushiri, ketika memuji Nabi :
"Sesungguhnya, di antara kedermawananmu adalah dunia dan kekayaan yang ada di dalamnya Dan di antara ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfuzh dan Qalam.

Dari sinilah kemudian terjadi kesesatan para dajjal (pembohong) yang mendakwakan dirinya bisa melihat Rasulullah dalam keadaan jaga. Lalu –menurut pengakuan para dajjal itu– mereka menanyakan kepada beliau tentang rahasia jiwa orang-orang yang bergaul dengan-nya. Para dajjal itu ingin menguasai sebagian urusan manusia. Padahal Rasulullah semasa hidupnya saja, tidak mengetahui hal-hal yang ghaib tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an:
"Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku mem-buat kebajikan yang sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan." (Al-A'raaf: 188)

Jika semasa hidupnya saja beliau tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bagaimana mungkin beliau bisa mengetahuinya setelah beliau wafat dan berpindah ke haribaan Tuhan Yang Maha Tinggi? "Ketika Rasulullah mendengar salah seorang budak wanita mengatakan, 'Dan di kalangan kita terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi besok hari.' Maka Rasulullah berkata kepadanya,
"Tinggalkan (ucapan) ini dan berkatalah dengan yang dahulu-nya (biasa) engkau ucapkan'." (HR. Al-Bukhari)

Kepada para rasul itu, memang terkadang ditampakkan sebagian masalah-masalah ghaib, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhaiNya." (Al-Jin: 26-27)

BAGIAN 18

ORANG YANG MENGESAKAN ALLAH

Barangsiapa menafikan ketiga macam syirik tersebut dari Allah, kemudian ia mengesakan Allah dalam DzatNya, dan dalam menyembah dan berdo'a kepadaNya, juga dalam sifat-sifatNya, maka dia adalah seorang muwahhid (yang mengesakan Allah) yang bakal memiliki berbagai keutamaan yang khusus dijanjikan bagi orang-orang muwahhidin.

Sebaliknya, jika ia melakukan salah satu dari ketiga macam syirik di atas, maka dia bukanlah seorang muwahhid, tetapi ia tergolong seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (Al-An'am: 88)

"Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)

Hanya jika ia bertaubat dan menafikan sekutu dari Allah maka ia termasuk golongan orang-orang muwahhidin.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang meng-esakanMu dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang menyekutukanMu.

BAGIAN 19

MACAM-MACAM SYIRIK KECIL

Syirik kecil yaitu setiap perantara yang mungkin menyebabkan kepada syirik besar, ia belum mencapai tingkat ibadah, tidak men-jadikan pelakunya keluar Islam, akan tetapi ia termasuk dosa besar.

Macam-macam Syirik kecil:

1. Riya' dan melakukan suatu perbuatan karena makhluk:

Seperti seorang muslim yang beramal dan shalat karena Allah, tetapi ia melakukan shalat dan amalnya dengan baik agar dipuji manusia. Allah I berfirman:
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya." (Al-Kahfi: 100)

Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah syirik kecil, riya'. Pada hari Kiamat, ketika memberi balasan manusia atas perbuatannya, Allah berfirman, "Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian tujukan amalanmu kepada mereka di dunia. Lihatlah, apakah engkau dapati balasan di sisi mereka?" (HR. Ahmad, hadits shahih)

2. Bersumpah dengan nama selain Allah:

Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad, hadits shahih)

Bisa jadi bersumpah dengan nama selain Allah termasuk syirik besar. Yaitu jika orang yang bersumpah tersebut meyakini bahwa sang wali memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya atas dirinya, jika ia bersumpah dusta dengan namanya.

3. Syirik khafi :

Ibnu Abbas menafsirkan syirik khafi dengan ucapan seseorang kepada temannya, "Atas kehendak Allah dan atas kehendak kamu."

Termasuk syirik khafi adalah ucapan seseorang, "Seandainya bukan karena Allah, kemudian (seandainya bukan karena) si fulan."
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ,
"Jangan mengatakan, 'Atas kehendak Allah, dan atas kehendak si fulan.' Tetapi katakanlah, 'Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si fulan'." (HR. Ahmad dan lainnya, hadits shahih)

BAGIAN 20

FENOMENA SYIRIK

Fenomena dan kenyataan perbuatan syirik yang bertebaran di dunia Islam merupakan sebab utama terjadinya musibah yang me-nimpa umat Islam. Juga sebab dari berbagai fitnah, kegoncangan dan peperangan serta berbagai siksa lainnya yang ditimpakan Allah atas kaum muslimin.

Hal itu terjadi karena mereka berpaling dari tauhid, serta karena perbuatan syirik yang mereka lakukan dalam aqidah dan perilaku mereka.

Bukti yang jelas dari hal itu adalah apa yang kita saksikan di sebagian besar negara-negara Islam. Berbagai fenomena kemusyrikan, justru oleh sebagian besar umat Islam dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam, karena itu mereka tidak mengingkari dan menolaknya.

Islam datang untuk menghancurkan berbagai bentuk kemusy-rikan, atau berbagai fenomena yang menyebabkan seseorang terjeru-mus ke perbuatan syirik. Di antara fenomena syirik yang terjadi ialah:

1. Berdo'a kepada selain Allah:

Hal ini tampak jelas dalam nyanyian-nyanyian dan senandung mereka, yang sering diperdengarkan pada peringatan maulid atau pada peringatan-peringatan bersejarah lainnya.

Penulis pernah mendengar mereka menyanyikan kasidah.
"Wahai imam para rasul, wahai sandaranku.
Engkau adalah pintu Allah, dan tempat aku bergantung.
Di dunia serta akhiratku.
wahai Rasulullah, bimbinglah diriku.
Tak ada yang menggantikanku dari kesulitan kepada kemudahan, kecuali engkau, wahai mahkota yang hadir"

Seandainya Rasulullah mendengar nyanyian di atas, tentu Rasulullah akan berlepas diri daripadanya. Sebab tidak ada yang bisa mengubah dari kesulitan menjadi kemudahan kecuali Allah semata. Nyanyian-nyanyian dan pujian yang sama, banyak kita jumpai di koran-koran, majalah dan buku. Di antara isinya adalah memohon pertolongan, bantuan dan kemenangan kepada Rasulullah , para wali dan orang-orang shalih yang sebenarnya mereka tidak mampu melakukannya.

2. Mengubur para wali dan orang-orang shalih di dalam masjid:

Banyak kita saksikan di negara-negara Islam, kuburan berada di dalam masjid. Terkadang di atas kuburan itu dibangun kubah, lalu orang-orang datang memintanya, sebagai sesembahan selain Allah. Rasulullah r melarang hal ini dengan sabdanya:
"Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka men-jadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (atau tempat bersujud menyembah Tuhan)." (Muttafaq alaih)

Jika menguburkan para nabi di dalam masjid tidak diperintahkan, bagaimana mungkin dibolehkan mengubur para syaikh dan ulama di dalamnya? Apakah lagi telah dimaklumi, kadang-kadang orang yang dikubur tersebut dijadikan tempat berdo'a dan meminta, sebagai se-sembahan selain Allah. Karena itu ia merupakan sebab timbulnya per-buatan syirik. Islam mengharamkan syirik dan mengharamkan peran-tara yang bisa menyebabkan kepadanya.

3. Nadzar untuk para wali:

Sebagian manusia ada yang melakukan nadzar berupa binatang sembelihan, harta atau lainnya untuk wali tertentu. Nadzar semacam ini adalah syirik dan wajib tidak dilangsungkan. Sebab nadzar adalah ibadah, dan ibadah hanyalah untuk Allah semata. Adapun contoh na-dzar yang dibenarkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh isteri Imran. Allah Ta'ala berfirman:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis)," (Ali Imran: 35)

4. Menyembelih di kuburan para nabi atau wali:

Meskipun penyembelihan yang dilakukan dikuburan para nabi atau wali dengan niat untuk Allah, tetapi ia termasuk perbuatan orang-orang musyrik. Mereka menyembelih binatang di tempat berhala dan patung-patung wali mereka. Rasulullah bersabda:
"Allah melaknat orang yang menyembelih selain Allah." (HR. Muslim)

5. Thawaf sekeliling kuburan para wali:

Seperti mengelilingi kuburan Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Syaikh Rifa'i, Syaikh Badawi, Syaikh Al-Husain, dan lainnya. Perbuatan semacam ini adalah syirik, sebab thawaf adalah ibadah, dan ia tidak boleh dilakukan kecuali thawaf di sekeliling Ka'bah, Allah berfirman:
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (Al-Hajj: 29)

6. Shalat kepada kuburan:

Shalat kepada kuburan adalah tidak boleh. Rasulullah bersabda:
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat kepadanya." (HR. Muslim)

7. Melakukan perjalanan (tour) menuju kuburan:

Melakukan perjalanan (tour) menuju kuburan tertentu untuk mencari berkah atau memohon kepadanya adalah tidak diperbolehkan. Rasulullah bersabda:
"Tidaklah dilakukan perjalanan (tour) kecuali kepada tiga mas-jid; Masjidil Haram, Masjidku ini, Masjidil Aqsha." (Muttaffaq 'alaih)

Jika kita ingin pergi ke Madinah Al-Munawwarah misalnya, kita boleh mengatakan, "Kami pergi untuk berziarah ke Masjid Nabawi kemudian memberi salam (do'a) kepada Nabi Muhammad ."

8. Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah :

Mengambil hukum selain yang diturunkan Allah adalah syirik. Seperti menentukan hukum dengan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia, yang bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan ha-dits shahih yaitu jika ia meyakini diperbolehkannya mengamalkan undang-undang buatan manusia.

Termasuk di dalamnya adalah fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian syaikh yang bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits shahih. Seperti fatwa dihalalkannya riba, padahal Allah Ta'ala memaklumkan perang terhadap pelakunya.

9. Ta'at kepada para penguasa, ulama atau syaikh:

Yaitu keta'atan kepada mereka dengan menyelisihi dan menentang nash Al-Qur'an dan hadits shahih. Syirik semacam ini "Syirkut thaa'ah" (syirik keta'atan) Rasulullah bersabda:
"Tidak ada keta'atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq (Allah)." (HR. Ahmad, hadits shahih)

Allah berfirman:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib me-reka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhan-kan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang ber-hak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31)

Hudzaifah menafsirkan ibadah dengan keta'atan terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh ulama Yahudi kepada kaumnya.

BAGIAN 21

KUBURAN-KUBURAN YANG DIZIARAHI

Kuburan-kuburan yang banyak kita saksikan di negara-negara Islam; seperti Syam, Iraq, Mesir, dan negara Islam lainnya, sungguh tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Berbagai kuburan itu dibangun sedemikian rupa, dengan biaya yang tidak sedikit. Padahal Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan. Dalam hadits shahih disebutkan:
"Rasulullah melarang mengapur kuburan, duduk dan mendiri-kan bangunan di atasnya." (HR. Muslim)

Sedang dalam riwayat yang shahih oleh At-Tirmidzi disebutkan pula larangan untuk menuliskan sesuatu di atas kuburan. Termasuk di dalamnya menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an, syair dan sebagainya.

Berikut ini, hal-hal penting yang berkaitan dengan kuburan:

1. Kebanyakan kuburan-kuburan yang diziarahi itu adalah tidak benar.

Al-Husain bin Ali misalnya, beliau mati syahid di Iraq dan tidak dibawa ke Mesir. Karena itu, kuburan Al-Husain bin Ali di Mesir adalah tidak benar. Bukti yang paling kuat atas kebohongan tersebut adalah bahwa kuburan Al-Husain adapula di Iraq dan di Syam. Bukti yang lain yaitu bahwa para sahabat tidak menguburkan mayit dalam masjid. Hal itu sebagai pengamalan dari sabda Rasulullah ,
"Allah melaknat orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kubu-ran para nabi mereka sebagai masjid-masjid." (Muttafaq alaih)

Hikmah dari pelanggaran tersebut adalah agar masjid-masjid ter-bebas dari syirik. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (Al-Jin: 18)

Menurut riwayat yang terpercaya dan benar, Rasulullah r adalah dikubur di rumah beliau, tidak di dalam Masjid Nabawi. Tetapi kemu-dian orang-orang dari Bani Umayyah memperluas masjid tersebut, dan memasukkan kuburan Nabi ke dalam masjid. Alangkah baiknya, hal itu tidak mereka lakukan.

Sekarang ini, kuburan Al-Husain berada di dalam masjid. Sebagian orang berthawaf di sekitarnya. Meminta hajat dan kebutuhan mereka kepadanya, sesuatu hal yang sesungguhnya tidak boleh di-minta kecuali kepada Allah. Seperti memohon kesembuhan dari sakit, menghilangkan kesusahan dan sebagainya. Sebab agama menyuruh kita agar meminta hal-hal tersebut kepada Allah semata, serta agar kita tidak berthawaf kecuali di sekitar Ka'bah.

Allah berfirman:
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (Al-Hajj: 29)

2. Kuburan Sayyidah Zainab binti Ali di Mesir dan di Damas-kus adalah tidak benar.

Sebab beliau tidak meninggal di Mesir, juga tidak di Syam. Sebagai bukti kebohongan itu adalah terdapatnya kubu-ran satu orang (Sayyidah Zainab) di kedua negara tersebut.

3. Islam mengingkari dan melarang pembangunan kubah di atas kuburan, bahkan hingga kubah di atas masjid yang di dalamnya terdapat kuburan. Seperti kuburan Al-Husain di Iraq, Abdul Qadir Jaelani di Baghdad, Imam Syafi'i di Mesir dan lainnya. Sebab pelarangan membangun kubah di atas kuburan adalah bersifat umum, sebagaimana kita baca dalam hadits terdahulu.

Seorang syaikh yang dapat dipercaya memberitahu penulis, suatu kali ia melihat seseorang shalat ke kuburan Syaikh Jaelani, dan ia tidak menghadap kiblat. Syaikh itu lalu memberinya nasihat, tetapi orang tersebut menolak, sambil berkata, "Kamu orang wahabi !". Se-akan-akan orang itu belum mendengar sabda Rasulullah :
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat kepadanya." (HR. Muslim)

4. Sebagian besar kuburan yang ada di Mesir adalah dibangun oleh Daulah Fathimiyah.

Dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa mereka adalah orang-orang kafir, fasik, fajir (tukang maksiat), mulhid (kafir), zindiq (atheis), mu'aththil (mengingkari sifat-sifat Tu-han), orang-orang yang menolak Islam dan meyakini aliran Majusi.

Orang-orang kafir tersebut merasa heran jika menyaksikan masjid-masjid penuh dengan orang yang melakukan shalat. Mereka sendiri tidak shalat, tidak haji dan selalu merasa dengki kepada umat Islam.

Oleh karena itu, mereka berfikir untuk memalingkan manusia dari masjid, maka mereka membuat kubah-kubah dan kuburan-kuburan dusta. Mereka mendakwakan bahwa di dalamnya terdapat Al-Husain bin Ali dan Zainab binti Ali. Kemudian mereka menyeleng-garakan berbagai pesta dan peringatan untuk menarik perhatian orang kepadanya. Mereka menamakan dirinya Fathimiyyin. Padahal ia hanya sebagai kedok belaka, sehingga orang-orang cenderung dan senang kepada mereka.

Dari situ, mulailah umat Islam terperangkap tipu muslihat dari bid'ah yang mereka ada-adakan, sehingga menjerumuskan mereka kepada perbuatan syirik. Bahkan hingga mereka tak segan-segan mengeluarkan harta dalam jumlah yang besar untuk perbuatan syirik tersebut. Padahal di saat yang sama, mereka amat membutuhkan harta tersebut buat membeli senjata untuk mempertahankan agama dan kehormatan mereka.

5. Sesungguhnya umat Islam yang mengeluarkan hartanya untuk membangun kubah-kubah, kuburan, dinding dan monumen di kuburan, semua itu sama sekali tidak bermanfaat untuk si mayit.

Seandainya harta yang dikeluarkan tersebut diberikan kepada orang-orang fakir miskin tentu akan bermanfaat bagi orang yang hidup dan mereka yang telah mati. Apatah lagi Islam mengharamkan umatnya mendirikan bangunan di atas kuburan sebagaimana telah ditegaskan di muka. Rasulullah r bersabda kepada Ali ,
"Janganlah engkau biarkan patung kecuali engkau menghancur-kannya. Dan jangan (kamu melihat) kuburan ditinggikan kecuali engkau meratakannya." (HR. Muslim)

Tetapi, Islam memberi kemurahan untuk meninggikan kuburan kira-kira sejengkal, sehingga diketahui bahwa ia adalah kuburan.

6. Nadzar-nadzar yang ditujukan kepada orang-orang mati adalah termasuk syirik besar. Oleh para khadam (pelayan), nadzar dan sesajen yang diberikan itu diambil secara haram. Bahkan terkadang mereka gunakan untuk berbuat maksiat dan tenggelam dalam perilaku syahwat. Karena itu, orang yang melakukan nadzar dan orang yang menerimanya, bersekutu dalam perbuatan syirik tersebut.

Seandainya harta itu diberikan sebagai sedekah kepada orang-orang fakir, tentu harta tersebut bermanfaat bagi orang-orang yang hidup dan mereka yang telah mati. Dan tentu, apa yang dikehendaki oleh orang yang menyedekahkan harta tersebut, akan terpenuhi berkat dari sedekah yang ia berikan.

Ya Allah, tunjukilah kami kebenaran yang sesungguhnya, lalu berilah kami karunia untuk mengikuti dan mencintainya. Dan tunjuki-lah kami kebatilan yang sesungguhnya, lalu karuniailah kami untuk menjauhi dan membencinya.

BAGIAN 22

KERUSAKAN DAN BAHAYA SYIRIK

Perbuatan syirik menyebabkan kerusakan dan bahaya yang besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Adapun kerusakan dan bahaya yang paling menonjol adalah:
1. Syirik menghinakan eksistensi kemanusiaan:

Syirik menghinakan kemuliaan manusia, menurunkan derajat dan martabatnya. Sebab Allah menjadikan umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah memuliakannya, mengajarkannya seluruh nama-nama, lalu menundukkan baginya apa yang ada di langit dan di bumi semuanya. Allah menjadikannya penguasa di jagad raya ini.

Tetapi kemudian ia tidak mengetahui derajat dan martabat diri-nya. Ia lalu menjadikan sebagian dari makhluk Allah sebagai tuhan dan sesembahan. Ia tunduk dan menghinakan diri padanya.

Berbagai kehinaan tersebut, –hingga hari ini– amat banyak untuk bisa disaksikan. Ratusan juta orang di India menyembah sapi yang diciptakan Allah buat manusia, agar mereka menggunakan hewan itu untuk membantu meringankan pekerjaannya atau menyembelihnya untuk dimakan dagingnya.

Sebagian umat Islam menginap dan tinggal di kuburan untuk meminta berbagai kebutuhan mereka. Padahal, orang-orang yang mati itu juga hamba Allah seperti mereka. Tidak bisa mendatangkan manfaat atau bahaya untuk mereka sendiri.

Al-Husain bin Ali misalnya, ia tidak bisa menyelamatkan dirinya dari pembunuhan. Lalu bagaimana mungkin kemudian ia bisa menolak bahaya yang menimpa orang lain dan mendatangkan manfaat kepadanya?

Orang-orang yang meninggal itu justru amat membutuhkan do'a dari orang-orang yang masih hidup. Kita mendo'akan mereka, tidak berdo'a dan memohon kepadanya, sebagai sesembahan selain Allah. Allah berfirman:
"Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang. (Berhala-berhala) itu benda mati, tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui, bilakah pe-nyembah-penyembahnya akan dibangkitkan." (An-Nahl: 20-21)

"Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh bu-rung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh." (Al-Hajj: 31)

2. Syirik adalah sarang khurafat dan kebatilan:

Sebab orang yang mempercayai adanya sesuatu yang bisa mem-beri pengaruh selain Allah di alam ini, baik berupa bintang, jin, arwah atau hantu berarti menjadikan akalnya siap menerima segala macam khurafat (takhayul), serta mempercayai para dajjal (pendusta).

Karena itu, dalam sebuah masyarakat yang akrab dengan ke-musyrikan, "barang dagangan" dukun, tukang nujum, ahli sihir dan semacamnya menjadi laku keras. Sebab mereka mendakwakan dirinya bisa mengetahui ilmu ghaib, yang sesungguhnya tak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah. Di samping itu, dalam masyarakat se-macam ini, mereka sudah tak mengindahkan lagi ikhtiar dan mencari sebab, serta meremehkan sunnah kauniyah (hukum alam).

3. Syirik adalah kezhaliman yang sangat besar:

Yaitu zhalim terhadap hakikat. Sebab hakikat yang paling agung adalah "Tidak ada Tuhan (yang berhak di sembah) selain Allah", Tidak ada Rabb (pengatur) selain Allah, tidak ada Penguasa selainNya.

Adapun orang-orang yang musyrik, mereka mengambil selain Allah sebagai Tuhan, serta mengambil selainNya sebagai penguasa. Syirik merupakan kezhaliman dan penganiayaan terhadap diri sendiri. Sebab seorang musyrik menjadikan dirinya sebagai hamba bagi makh-luk


 S E L E S A I

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab






(1115-1206H/1701-1793M)

Nama Lengkapnya

BELIAU adalah Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.

Tempat dan Tarikh Lahirnya

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung 'Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang.

Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jabatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi .

Pendidikan dan Pengalamannya

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan datuknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh kerana itu, kita tidaklah hairan apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya.


Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Tuan Syeikh 'Abdul Wahab.


Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sudah kelihatan tanda-tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkahlaku kebanyakan kanak-kanak lain yang sebaya dengannya.


Berkat bimbingan kedua ibu bapanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah berjaya menghafaz al-Qur'an 30 juz sebelum berusia sepuluh tahun.


Setelah beliau belajar pada ibu bapanya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh ibu bapanya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu bapanya ke luar daerah.


Tentang ketajaman fikirannya, saudaranya Sulaiman bin 'Abdul Wahab pernah menceritakan begini:


"Bahwa ayah mereka, Syeikh 'Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: 'Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh.'"


Syeikh Muhammad mempunyai daya kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dipelajarinya dapat difahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya.


Demikianlah keadaannya, sehingga kawan-kawan sepersekolahannya kagum dan hairan kepadanya.




Belajar di Makkah, Madinah dan Basrah


Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Dan manakala telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya terus kembali ke kampung halamannya. Adapun Muhammad, ia tidak pulang, tetapi terus tinggal di Mekah selama beberapa waktu, kemudian berpindah pula ke Madinah untuk melanjutkan pengajiannya di sana. Di Madinah, beliau berguru pada dua orang ulama besar dan termasyhur di waktu itu. Kedua-dua ulama tersebut sangat berjasa dalam membentuk pemikirannya, iaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.


Selama berada di Madinah, beliau sangat prihatin menyaksikan ramai umat Islam tempatan maupun penziarah dari luar kota Madinah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh dan tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya Muslim. Beliau melihat ramai umat yang berziarah ke maqam Nabi maupun ke maqam-maqam lainnya untuk memohon syafaat, bahkan meminta sesuatu hajat pada kuburan maupun penghuninya, yang mana hal ini sama sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam. Apa yang disaksikannya itu menurut Syeikh Muhammad adalah sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.


Kesemua inilah yang semakin mendorong Syeikh Muhammad untuk lebih mendalami pengkajiannya tentang ilmu ketauhidan yang murni, yakni, aqidah salafiyah. Bersamaan dengan itu beliau berjanji pada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika nanti, beliau akan mengadakan perbaikan (islah) dan pembaharuan (tajdid) dalam masalah yang berkaitan dengan ketauhidan, iaitu mengembalikan aqidah umat kepada sebersih-bersihnya tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul dan bid'ah. Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.


Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.


Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu 'Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.


Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith dan musthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa'id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.


Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui self-study(belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.




Mulai Berdakwah


Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang berjaya, kerana menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.


Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu'i. Tetapi Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebahagian ulama su', iaitu ulama jahat yang memusuhi dakwahnya di sana; kedua-dua mereka diancam akan dibunuh. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk memperluaskan ilmu dan pengalamannya.


Di samping mempelajari keadaan negeri-negeri Islam yang berjiran, demi kepentingan dakwahnya di masa akan datang, dan setelah menjelajahi beberapa negeri Islam, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin 'Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat didalaminya.


Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian beliau kembali ke kampung asalnya Uyainah, tetapi tidak lama kemudian beliau menyusul orang tuanya yang merupakan bekas ketua jabatan urusan agama Uyainah ke Haryamla, iaitu suatu tempat di daerah Uyainah juga.


Adalah dikatakan bahwa di antara orang tua Syeikh Muhammad dan pihak berkuasa Uyainah berlaku perselisihan pendapat, yang oleh kerana itulah orang tua Syeikh Muhammad terpaksa berhijrah ke Haryamla pada tahun 1139.


Setelah perpindahan ayahnya ke Haryamla kira-kira setahun, barulah Syeikh Muhammad menyusulnya pada tahun 1140 H. Kemudian, beliau bersama bapanya itu mengembangkan ilmu dan mengajar serta berdakwah selama lebih kurang 13 tahun lamanya, sehingga bapanya meninggal dunia di sana pada tahun 1153.


Setelah tiga belas tahun menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar di Haryamla, beliau mengajak pihak berkuasa setempat untuk bertindak tegas terhadap kumpulan penjahat yang selalu melakukan rusuhan, rampasan, rompakan serta pembunuhan. Maka kumpulan tersebut tidak senang kepada Syeikh Muhammad, lalu mereka mengancam hendak membunuhnya. Syeikh Muhammad terpaksa meninggalkan Haryamla, berhijrah ke Uyainah tempat bapanya dan beliau sendiri dilahirkan.




Keadaan Negeri Najd, Hijaz dan Sekitarnya


KEADAAN negeri Najd, Hijaz dan sekitarnya semasa awal pergerakan tauhid amatlah buruknya. Krisis aqidah dan akhlak serta merosotnya tata nilai sosial, ekonomi dan politik sudah mencapai titik kemuncak. Semua itu adalah akibat penjajahan bangsa Turki yang berpanjangan terhadap bangsa dan Jazirah Arab, di mana tanah Najd dan Hijaz adalah termasuk jajahannya, di bawah penguasaan Sultan Muhammad Ali Pasya yang dilantik oleh Khalifah di Turki (Istanbul) sebagai gabenur jeneral untuk daerah koloni di kawasan Timur Tengah, yang berkedudukan di Mesir.


Pemerintahan Turki Raya pada waktu itu mempunyai daerah kekuasaan yang cukup luas. Pemerintahannya berpusat di Istanbul (Turki), yang begitu jauh dari daerah jajahannya.


Kekuasaan dan pengendalian khalifah maupun sultan-sultannya untuk daerah yang jauh dari pusat, sudah mulai lemah dan kendur disebabkan oleh kekacauan di dalam negeri dan kelemahan di pihak khalifah dan para sultannya. Di samping itu, adanya cita-cita dari amir-amir di negeri Arab untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat yang berkedudukan di Turki. Ditambah lagi dengan hasutan dari bangsa Barat, terutama penjajah tua iaitu British dan Perancis yang menghasut bangsa Arab dan umat Islam supaya berjuang merebut kemerdekaan dari bangsa Turki, hal mana sebenarnya hanyalah tipudaya untuk memudahkan kaum penjajah tersebut menanamkan pengaruhnya di kawasan itu, kemudian mencengkamkan kuku penjajahannya di dalam segala lapangan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan aqidah.


Kemerosotan dari sektor agama, terutama yang menyangkut aqidah sudah begitu memuncak. Kebudayaan jahiliyah dahulu seperti taqarrub (mendekatkan diri) pada kuburan (maqam) keramat, memohon syafaat dan meminta berkat serta meminta diampuni dosa dan disampaikan hajat, sudah menjadi ibadah mereka yang paling utama sekali, sedangkan ibadah-ibadah menurut syariat yang sebenarnya pula dijadikan perkara kedua. Di mana ada maqam wali, orang-orang soleh, penuh dibanjiri oleh penziarah-penziarah untuk meminta sesuatu hajat keperluannya. Seperti misalnya pada maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani, dan maqam-maqam wali lainnya. Hal ini terjadi bukan hanya di tanah Arab saja, tetapi juga di mana-mana, di seluruh pelusuk dunia sehingga suasana di negeri Islam waktu itu seolah-olah sudah berbalik menjadi jahiliyah seperti pada waktu pra Islam menjelang kebangkitan Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wassallam.


Masyarakat Muslim lebih banyak berziarah ke kuburan atau maqam-maqam keramat dengan segala macam munajat dan tawasul, serta pelbagai doa dialamatkan kepada maqam dan penghuninya, dibandingkan dengan mereka yang datang ke masjid untuk solat dan munajat kepada Allah Ta'ala. Demikianlah kebodohan umat Islam hampir merata di seluruh negeri, sehingga di mana-mana maqam yang dianggap keramat, maqam itu dibina bagaikan bangunan masjid, malah lebih mewah daripada masjid, kerana dengan mudah saja dana mengalir dari mana-mana, terutama biaya yang diperolehi dari setiap pengunjung yang berziarah ke sana, atau memang adanya tajaan dari orang yang membiayainya di belakang tabir, dengan maksud-maksud tertentu. Seperti dari imperalis British yang berdiri di belakang tabir maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani di India misalnya.


Di tengah-tengah keadaan yang sedemikian rupa, maka Allah melahirkan seorang muslih kabir (pembaharuan besar) Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab (al-Wahabi) dari 'Uyainah (Najd) sebagai mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah, setelah Ibnu Taimiyah, mujaddid abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal itu.


Bidang pentajdidan kedua mujaddid besar ini adalah sama, iaitu mengadakan pentajdidan dalam aspek aqidah, walau masanya berbeza, iaitu kedua-duanya tampil untuk memperbaharui agama Islam yang sudah mulai tercemar dengan bid'ah, khurafat dan tahyul yang sedang melanda Islam dan kaum Muslimin. Menghadapi hal ini Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menyusun barisan Muwahhidin yang berpegang kepada pemurnian tauhid. Bagi para lawannya, pergerakan ini mereka sebut Wahabiyin iaitu gerakan Wahabiyah.


Dalam pergerakan tersebut tidak sedikit rintangan dan halangan yang dilalui. Kadangkala Tuan Syeikh terpaksa melakukan tindakan kekerasan apabila tidak boleh dengan cara yang lembut. Tujuannya tidak lain melainkan untuk mengembalikan Islam kepada kedudukannya yang sebenarnya, iaitu dengan memurnikan kembali aqidah umat Islam seperti yang diajarkan oleh Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Setelah perjuangan yang tidak mengenal penat lelah itu, akhirnya niat yang ikhlas itu disampaikan Allah, sesuai dengan firmanNya:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolongmu dan menetapkan pendirianmu." (Muhammad: 7)

Awal Pergerakan Tauhid

Muhammad bin 'Abdul Wahab memulakan pergerakan di kampungnya sendiri iaitu Uyainah. Di waktu itu Uyainah diperintah oleh seorang amir (penguasa) bernama Amir Uthman bin Mu'ammar. Amir Uthman menyambut baik idea dan gagasan Syeikh Muhammad itu dengan sangat gembira, dan beliau berjanji akan menolong perjuangan tersebut sehingga mencapai kejayaan.

Selama Tuan Syeikh melancarkan dakwahnya di Uyainah, masyarakat negeri itu baik lelaki dan wanita merasakan kembali kenikmatan luarbiasa, yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Dakwah Tuan Syeikh bergema di negeri mereka. Ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan Islam telah tumbuh kembali berkat dakwahnya di seluruh pelusuk Uyainah dan sekitarnya. Orang-orang dari jauh pun mula mengalir berhijrah ke Uyainah, kerana mereka menginginkan keamanan dan ketenteraman jiwa di negeri ini.

Syahdan; pada suatu hari, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Tuan Syeikh Muhammad mengemukakan alasannya kepada Amir, bahwa menurut hadith Rasulullah SAW, membina sesebuah bangunan di atas kubur adalah dilarang, kerana yang demikian itu akan menjurus kepada kemusyrikan. Amir menjawab: "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini."

Tetapi Tuan Syeikh mengajukan pendapat bahwa beliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh ahli jahiliyah(kaum Badwi) yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentera untuk tujuan tersebuti bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai maqam Zaid bin al-Khattab r.a yang gugur sebagai syuhada' Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Kerana di sana terdapat puluhan syuhada' (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka. Boleh jadi yang mereka anggap maqam Zaid bin al-Khattab itu adalah maqam orang lain. Tetapi oleh kerana masyarakat tempatan di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah maqam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di tempat itu, yang kemudian dihancurkan pula oleh Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Mu'ammar.

Syeikh Muhammad tidak berhenti setakat di sana, akan tetapi semua maqam-maqam yang dipandang merbahaya bagi aqidah ketauhidan, yang dibina seperti masjid yang pada ketika itu berselerak di seluruh wilayah Uyainah turut diratakan semuanya. Hal ini adalah untuk mencegah agar jangan sampai dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam tempatan yang sudah mulai nyata kejahiliyahan dalam diri mereka. Dan berkat rahmat Allah, maka pusat-pusat kemusyrikan di negeri Uyainah dewasa itu telah terkikis habis sama sekali.

Setelah selesai dari masalah tauhid, maka Tuan Syeikh mula menerangkan dan mengajarkan hukum-hukum syariat yang sudah berabad-abad hanya termaktub saja dalam buku-buku fiqh, tetapi tidak pernah diterapkan sebagai hukum yang diamalkan. Maka yang dilaksanakannya mula-mula sekali ialah hukum rejam bagi penzina.

Pada suatu hari datanglah seroang wanita yang mengaku dirinya berzina ke hadapan Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab, dia meminta agar dirinya dijatui hukuman yang sesuai dengan hukum Allah dan RasulNya. Meskipun Tuan Syeikh mengharapkan agar wanita itu menarik balik pengakuannya itu, supaya ia tidak terkena hukum rejam, namun wanita tersebut tetap bertahan dengan pengakuannya tadi, ia ingin menjalani hukum rejam. Maka, terpaksalah Tuan Syeikh menjatuhkan kepadanya hukuman rejam atas dasar pengakuan wanita tersebut.

Berita tentang kejayaan Tuan Syeikh dalam memurnikan masyarakat Uyainah dan penerapan hukum rejam kepada orang yang berzina, sudah tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.

Masyarakat Uyainah dan sekelilingnya menilai gerakan Tuan Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab ini sebagai suatu perkara yang mendatangkan kebaikan. Namun, beberapa kalangan tertentu menilai pergerakan Tuan Syeikh itu sebagai suatu perkara yang negatif dan boleh membahayakan kedudukan mereka. Memang, hal seumpama ini terdapat di mana-mana dan bila-bila masa saja, apatah lagi pergerakan keagamaan yang sangat sensitif seperti halnya untuk mengislamkan masyarakat Islam yang sudah kembali ke jahiliyah ini, iaitu, dengan cara mengembalikan mereka kepada aqidah salafiyah seperti di zaman Nabi, para sahabat dan para tabi'in dahulu.

Di antara yang beranggapan sangsi seperti itu adalah Amir (pihak berkuasa) wilayah al-Ihsa' (suku Badwi) dengan para pengikut-pengikutnya dari Bani Khalid Sulaiman bin Ari'ar al-Khalidi. Mereka adalah suku Badwi yang terkenal berhati keras, suka merampas, merompak dan membunuh. Pihak berkuasa al-Ihsa' khuatir kalau pergerakan Syeikh Muhammad tidak dipatahkan secepat mungkin, sudah pasti wilayah kekuasaannya nanti akan direbut oleh pergerakan tersebut. Padahal Amir ini sangat takut dijatuhkan hukum Islam seperti yang telah diperlakukan di negeri Uyainah. Dan tentunya yang lebih ditakutinya lagi ialah kehilangan kedudukannya sebagai Amir (ketua) suku Badwi. Maka Amir Badwi ini menulis sepucuk surat kepada Amir Uyainah yang isinya mengancam pihak berkuasa Uyainah. Adapun isi ancaman tersebut ialah:

"Apabila Amir Uthman tetap membiarkan dan mengizinkan Syeikh Muhammad terus berdakwah dan bertempat tinggal di wilayahnya, serta tidak mau membunuh Syeikh Muhammad, maka semua cukai dan ufti wilayah Badwi yang selama ini dibayar kepada Amir Uthman akan diputuskan (ketika itu wilayah Badwi tertakluk di bawak kekuasaan pemerintahan Uyainah)."

Jadi, Amir Uthman dipaksa untuk memilih dua pilihan, membunuh Tuan Syeikh atau suku Badwi itu menghentikan pembayaran ufti.

Ancaman ini amat mempengaruhi fikiran Amir Uthman, kerana ufti dari wilayah Badwi sangat besar ertinya baginya. Adapun cukai yang mereka terima adalah terdiri dari emas tulin.

Didesak oleh tuntutan tersebut, terpaksalah Amir Uyainah memanggil Syeikh Muhammad untuk diajak berunding bagaimanakah mencari jalan keluar dari ancaman tersebut. Soalnya, dari pihak Amir Uthman tidak pernah sedikit pun terfikir untuk mengusir Tuan Syeikh dari Uyainah, apatah lagi untuk membunuhnya. Tetapi, sebaliknya dari pihaknya juga tidak terdaya menangkis serangan pihak suku Badwi itu. Maka, Amir Uthman meminta kepada Tuan Syeikh Muhammad supaya dalam hal ini demi keselamatan bersama dan untuk menghindari dari terjadinya pertumpahan darah, sebaik-baiknya Tuan Syeikh bersedia mengalah untuk meninggalkan negeri Uyainah. Tuan Syeikh menjawab seperti berikut:

"Tuan Amir! Sebenarnya apa yang aku sampaikan dari dakwahku, tidak lain adalah DINULLAH (agama Allah), dalam rangka melaksanakan kandungan LA ILAHA ILLALLAH - Tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasulullah. Maka barangsiapa berpegang teguh pada agama dan membantu pengembangannya dengan ikhlas dan yakin, pasti Allah akan menghulurkan bantuan dan pertolonganNya kepada orang itu, dan Allah akan membantunya untuk dapat menguasai negeri-negeri musuhnya. Saya berharap kepada Tuan Amir supaya bersabar dan tetap berpegang terhadap pegangan kita bersama dulu, untuk sama-sama berjuang demi tegaknya kembali Dinullah di negeri ini. Mohon sekali lagi Tuan Amir menerima ajakan ini. Mudah-mudahan Allah akan memberi pertolongan kepada Tuan dan menjaga Tuan dari ancaman Badwi itu, begitu juga dengan musuh-musuh Tuan yang lainnya. Dan Allah akan memberi kekuatan kepada Tuan untuk melawan mereka agar Tuan dapat mengambil alih daerah Badwi untuk sepenuhnya menjadi daerah Uyainah di bawah kekuasaan Tuan."

Setelah bertukar fikiran di antara Tuan Syeikh dan Amir Uthman, tampaknya pihak Amir tetap pada pendiriannya, iaitu mengharapkan agar Tuan Syeikh meninggalkan Uyainah secepat mungkin.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab, Wada' Watahu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, beliau berkata:

"Demi menghindari pertumpahan darah, dan kerana tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Tuan Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dar'iyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh sesiapa pun. Beliau meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dinihari, dan sampai ke negeri Dar'iyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah, m.s 22)

Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa:

Pada mulanya Tuan Syeikh Muhammad mendapat sokongan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu'ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah tempatan mengundurkan diri dari percaturan pergerakan kerana alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari jabatannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan missinya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.

Bersamaan dengan itu, pihak berkuasa telah merencanakan pembunuhan ke atas diri Tuan Syeikh di dalam perjalanannya, namun Allah mempunyai rencana sendiri untuk menyelamatkan Tuan Syeikh dari usaha pembunuhan, wamakaru wamakarallalu wallahu khairul makirin. Mereka mempunyai rencana dan Allah mempunyai rencanaNya juga, dan Allah sebaik-baik pembuat rencana. Sehingga Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab selamat di perjalanannya sampai ke negeri tujuannya, iaitu negeri Dar'iyah.

Syeikh Muhammad di Dar'iyah

Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dar'iyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar'iyah), Tuan Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim al-'Arini. Bin Sulaim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat tempatan.

Tuan Syeikh meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain.

Pada mulanya ia ragu-ragu menerima Tuan Syeikh di rumahnya, kerana suasana Dar'iyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak tenteram, menyebabkan setiap tetamu yang datang hendaklah melapor diri kepada pihak berkuasa tempatan. Namun, setelah Tuan Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dar'iyah, iaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Sulaim ingin menerimanya sebagai tetamu di rumahnya.

Sesuai dengan peraturan yang wujud di Dar'iyah di kala itu, yang mana setiap tetamu hendaklah melaporkan diri kepada pihak berkuasa tempatan, maka Muhammad bin Sulaim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan tetamunya yang baru tiba dari Uyainah dengan menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau.

Kononnya, ada riwayat yang mengatakan; bahwa seorang soleh datang menemui isteri Amir Ibnu Saud, ia berpesan untuk menyampaikan kepada suaminya, bahwa ada seorang ulama dari Uyainah yang bernama Muhammad bin 'Abdul Wahab hendak menetap di negerinya. Beliau hendak menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengajak masyarakat kepada sebersih-bersih tauhid. Ia meminta agar isteri Amir Ibnu Saud memujuk suaminya supaya menerima ulama tersebut agar dapat menjadi warga negeri Dar'iyah serta mau membantu perjuangannya dalam menegakkan agama Allah.

Isteri Ibnu Saud ini sebenarnya adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, si isteri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya.

Selanjutnya ia berkata kepada suaminya:

"Bergembiralah kekanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar. Kanda jangan ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kekanda menjemputnya kemari."

Akhirnya, baginda Ibnu Saud dapat diyakinkan oleh isterinya yang soleh itu. Namun, baginda bimbang sejenak. Ia berfikir apakah Tuan Syeikh itu dipanggil datang mengadapnya, ataukah dia sendiri yang harus datang menjemput Tuan Syeikh, untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun meminta pandangan dari beberapa penasihatnya, terutama iserinya sendiri, tentang bagaimanakah cara yang lebih baik harus dilakukannya.

Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaik-baiknya dalam hal ini, baginda sendiri yang harus datang menemui Tuan Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Kerana ulama itu didatangi dan bukan ia yang datang, al-'alim Yuraru wala Yazuru.'' Maka baginda dengan segala kerendahan hatinya mempersetujui nasihat dan isyarat dari isteri maupun para penasihatnya.

Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Sulaim, di mana Tuan Syeikh Muhammad bermalam.

Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Sulaim; di sana Tuan Syeikh bersama tuan punya rumah sudah bersedia menerima kedatangan Amir Ibnu Saud. Amir Ibnu Saud memberi salam dan keduanya saling merendahkan diri, saling menghormati.

Amir Ibnu Saud berkata:

"Ya Tuan Syeikh! Bergembiralah tuan di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan Tuan di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berikrar ntuk menjamin keselamatan dan keamanan Tuan Syeikh di negeri ini dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dar'iyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang Tuan Syeikh rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk bersama-sama Tuan Syeikh berjuang demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"

Kemudian Tuan Syeikh menjawab:

"Alhamdulillah, tuan juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Azza wa jalla. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, niscaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama."

Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dar'iyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang bererti di antara Amir dan Tuan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup semati, senasib dan seperuntungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di persada tanah Dar'iyah.

Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Tuan Syeikh seiring sejalan, bahu membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya. Sehingga cita-cita dan perjuangan mereka disampaikan Allah dengan penuh kemenangan yang gilang-gemilang.

Sejak hijrahnya Tuan Syeikh ke negeri Dar'iyah, kemudian melancarkan dakwahnya di sana, maka berduyun-duyunlah masyarakat luar Dar'iyah yang datang dari penjuru Jazirah Arab. Di antara lain dari Uyainah, Urgah, Manfuhah, Riyadh dan negeri-negeri jiran yang lain, menuju Dar'iyah untuk menetap dan bertempat tinggal di negeri hijrah ini, sehingga negeri Dar'iyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelusuk tanah Arab.

Nama Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu popular di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dar'iyah maupun di luar negerinya, sehingga ramai para penuntut ilmu datang berbondong-bondong, baik secara perseorangan maupun secara berkumpulan ke negeri Dar'iyah.

Maka menetaplah Tuan Syeikh di negeri Hijrah ini dengan penuh kebesaran, kehormatan dan ketenteraman serta mendapat sokongan dan kecintaan dari semua pihak.

Beliau pun mula membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi rencana perjuangan beliau, iaitu bidang pengajian 'aqaid al-Qur'an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatika (nahu/saraf)nya serta lain-lain lagi dari ilmu-ilmu yang bermanfaat.

Dalam waktu yang singkat saja, Dar'iyah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini.

Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah serata, yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum, begitu juga majlis-majlis ta'limnya.

Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelusuk Dar'iyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Tuan Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bid'ah dan khurafat di negeri mereka masing-masing.

Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulakannya di negeri Najd. Beliau pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.

Berdakwah Melalui Surat-menyurat

Tuan Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).

Maka Tuan Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada ketika itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama Khariq dan penguasa-penguasa, begitu juga ulama-ulama negeri Selatan, seperti al-Qasim, Hail, al-Wasyim, Sudair dan lain-lain lagi.

Beliau terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke mana-mana, sama ada ianya dekat ataupun jauh. Semua surat-surat itu ditujukan kepada para umara dan ulama, dalam hal ini termasuklah ulama negeri al-Ihsa', daerah Badwi dan Haramain (Mekah - Madinah). Begitu juga kepada ulama-ulama Mesir, Syria, Iraq, Hindia, Yaman dan lain-lain lagi. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid'ah, khurafat dan tahyul.

Bukanlah bererti bahwa ketika itu tidak ada lagi perhatian para ulama Islam tempatan kepada agama ini, sehingga seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang menguruskan hal ehwal agama. Akan tetapi yang sedang kita bicarakan sekarang adalah ehwal negeri Najd dan sekitarnya.

Tentang keadaan negeri Najd, di waktu itu sedang dilanda serba kemusyrikan, kekacauan, keruntuhan moral, bid'ah dan khurafat. Kesemua itu lahir bukanlah kerana tidak adanya para ulama, malah ulama sangat ramai jumlahnya, tetapi kebanyakan mereka tidak mampu menghadapi keadaan yang sudah begitu parah. Misalnya, di negeri Yaman dan lainnya, di mana di sana tidak sedikit para ulamanya yang aktif melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, serta menjelaskan mana yang bid'ah dan yang sunnah. Namun Allah belum mentaqdirkan kejayaan dakwah itu dari tangan mereka seperti apa yang Allah taqdirkan kepada Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab.

Berkat hubungan surat menyurat Tuan Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Tuan Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afthanistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.

Seemangnya cukup ramai para da'i dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi pada waktu itu ramai di antara mereka yang kehilangan arah, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.

Begitu bersemarak dan bergema suara dakwah dari Najd ke negeri-negeri mereka, serentak mereka bangkit sahut-menyahut menerima ajakan Tuan Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab untuk menumpaskan kemusyrikan dan memperjuangkan pemurnian tauhid. Semangat mereka timbul kembali bagaikan pohon yang telah layu, lalu datang hujan lebat menyiramnya sehingga menjadi hijau dan segar kembali.

Demikianlah banyaknya surat-menyurat di antara Tuan Syeikh dengan para ulama di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, baik yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebahagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelusok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-'alam Islami, maupun terus dari pihak kerajaan Saudi sendiri. Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelusuk dunia Islam.

Dengan demikian, jadilah Dar'iyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dar'iyah pula menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh pelusuk negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah mereka.

Namun, meskipun demikian, perjalanan dakwah ini tidak sedikit mengalami rintangan dan gangguan yang menghalangi. Tetapi setiap perjuangan itu tidak mungkin berjaya tanpa adanya pengorbanan. Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.


Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Kerana pergerakan ini mendapat tentangan bukan hanya dari luar, akan tetapi lebih banyak datangnya dari kalangan sendiri, terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Namun, oleh kerana perlawanan sudah dimulakan dari dalam, maka orang-orang di luar Islam pula, terutama kaum orientalis mendapat angin segar untuk turut campurtangan bagi memperbesarkan lagi perselisihan di antara umat Islam sehingga berlakunya bid'ah membid'ahkan dan malah kafir mengkafirkan.

Masa-masa tersebut telah pun berlalu. Umat Islam kini sudah sedar tentang apa dan siapa kaum Wahabi itu. Dan satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam mula disedari, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini sudah terungkap.

Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, sama ada dari kalangan dalam Islam sendiri, maupun dari kalangan luarnya, yang dilancarkan melalui pena atau ucapan, yang mana matlamatnya adalah hendak membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, kerana ternyata Allah Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelupuri oleh Syeikh Islam, Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Maghribi sampai ke Merauke, malah kini sudah berkumandang pula ke seluruh jagat raya.

Dalam hal ini, jasa-jasa Putera Muhammad bin Saud (pendiri kerajaan Arab Saudi) dengan semua anak cucunya tidaklah boleh dilupakan begitu saja, di mana dari masa ke masa mereka telah membantu perjuangan tauhid ini dengan harta dan jiwa.

Siapakah Salafiyyah Itu?

SEBAGAIMANA yang telah disebutkan, bahwa Salafiyyah itu adalah suatu pergerakan pembaharuan di bidanng agama, khususnya di bidang ketauhidan. Tujuannya ialah untuk memurnikan kembali ketauhidan yang telah tercemar oleh pelbagai macam bid'ah dan khurafat yang membawa kepada kemusyrikan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Beliau mendapat tentangan dan perlawanan dari kumpulan yang tidak menyenanginya kerana sikapnya yang tegas dan tidak berganjak, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya. Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih kejam lagi, iaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta memperbolehkan mentafsirkan al-Qur'an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.

Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, iaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:

"Sebenarnya perihal tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada 'Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Di antaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."

Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada 'Abdurrahman bin 'Abdullah, Muhammad bin 'Abdul Wahab berkata:

"Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab ahli sunnah wal jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."

'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab, seperti berikut:

"bahwa mazhab kami dalam usuluddin (tauhid) adalah mazhab ahlus sunnah wal jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu' (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimaullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nas yang jelas, baik dari Qur'an maupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan datuk dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan datuk, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."

Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata:

"Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang ramai dengan berkata: 'bahwa kami suka mentafsirkan Qur'an dengan selera kami, tanpa mengendahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam' dan dengan perkataan 'bahwa jasad Nabi Shallallahu alaihi wasallam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.

Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa'lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, kerana di dalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mau menerima bai'ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya 'bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu bapanya juga bukan musyrik.'

Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.

Kami dituduh tidak mau mengakui kebenaran para ahlul Bait r.a. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, kerana akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.

Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawapan, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh kerana itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaitan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.

Kami beri'tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba' dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)

Khusus tentang Nabi Muhammad Shallalahu alaihia wassallam, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab berkata:

"Dan apapun yang kami i'tiqadkan terhadap martabat Muhammad Shalallahu alaihi wassallam bahwa martabat baginda itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan baginda itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah dinaskan dalam al-Qur'an. Kerana baginda itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragu-ragukan lagi. bahwa Rasulullah Shallalahu alaihi wassallam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan solat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."

Tantangan Terhadap Dakwah Salafiyyah

Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan, maka Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Tuan Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, baik berupa buku-buku maupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).

Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.

Sebahagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta'liq dan sudah diterbitkan, sebahagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Tuan Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:

Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,

Atas nama politik yang berselubung agama.

Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.

Mereka menuduh dan memfitnah Tuan Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma' ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.

Namun Tuan Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya,

Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:

Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya' dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.


Golongan ulama taksub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Tuan Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap asabiyah yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaksubannya. Lalu menganggap Tuan Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, iaitu; anti auliya' dan memusuhi orang-orang soleh serta mengingkari karamah mereka.

Mereka mencaci-maki Tuan Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.

Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Tuan Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal kerana ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.

Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Tuan Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Tuan Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Tuan Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.

Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Tuan Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.

Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya.

Demikianlah perjuangan Tuan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar'iyah.

Beliau memulakan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da'i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Oleh kerana itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Kerana masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan maupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata. Alangkah benarnya firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahi siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Azza wa jalla mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.

Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur'an al-Hadid fihi basun syadid iaitu, besi waja yang mempunyai kekuatan dahsyat. Iaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapang, meriam, kapal perang, nuklear dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.

Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur'an menta'birkan dengan Wama nafiu linasi iaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.

Orang yang mempunyai akal yang sihat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.

Demikianlah Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu.

Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Tuan Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, iaitu dari tahun 1158 hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.

Adalah suatu kebahagiaan yang tidak terucapkan bagi beliau, yang mana beliau dapat menyaksikan sendiri akan kejayaan dakwahnya di tanah Najd dan daerah sekelilingnya, sehingga masyarakat Islam pada ketika itu telah kembali kepada ajaran agama yang sebenar-benarnya, sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Dengan demikian, maka maqam-maqam yang didirikan dengan kubah yang lebih mewah dari kubah masjid-masjid, sudah tidak kelihatan lagi di seluruh negeri Najd, dan orang ramai mula berduyun-duyun pergi memenuhi masjid untuk bersembahyang dan mempelajari ilmu agama. Amar ma'ruf ditegakkan, keamanan dan ketenteraman masyarakat menjadi stabil dan merata di kota maupun di desa. Tuan Syeikh kemudian mengirim guru-guru agama dan mursyid-mursyid ke seluruh pelusuk desa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat tempatan terutama yang berhubungan dengan aqidah dan syari'ah.

Setelah beliau meninggal dunia, perjuangan tersebut diteruskan pula oleh anak-anak dan cucu-cucunya, begitu juga oleh murid-murid dan pendukung-pendukung dakwahnya. Yang paling terdepan di antara mereka adalah anak-anak Syeikh sendiri, seperti Syeikh Imam 'Abdullah bin Muhammad, Tuan Syeikh Husin bin Muhammad, Syeikh Ibrahim bin Muhammad, Syeikh Ali bin Muhammad. Dan dari cucu-cucunya antara lain ialah Syeikh 'Abdurrahman bin Hasan, Syeikh Ali bin Husin, Syeikh Sulaiman bin 'Abdullah bin Muhammad dan lain-lain. Dari kalangan murid-murid beliau yang paling menonjol ialah Syeikh Hamad bin Nasir bin Mu'ammar dan ramai lagi jamaah lainnya dari para ulama Dar'iyah.

Masjid-masjid telah penuh dengan penuntut-penuntut ilmu yang belajar tentang pelbagai macam ilmu Islam, terutama tafsir, hadith, tarikh Islam, ilmu qawa'id dan lain-lain lagi.

Meskipun kecenderungan dan minat mansyarakat demikian tinggi untuk menuntut ilmu agama, namun mereka pun tidak ketinggalan dalam hal ilmu-ilmu keduniaan (sekular) seperti ilmu ekonomi, pertanian, perdagangan, pertukangan dan lain-lain lagi yang mana semuanya itu diajarkan di masjid dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Setelah kejayaan Syeikh Muhammad bersama keluarga Amir Ibnu Saud menguasai dan mentadbir daerah Najd, maka sasaran dakwahnya kini ditujukan ke negeri Mekah dan negeri Madinah (Haramain) dan daerah Selatan Jazirah Arab.

Mula-mula Syeikh menawarkan kepada mereka dakwahnya melalui surat menyurat terhadap para ulamanya, namun mereka tidak mau menerimanya. Mereka tetap bertahan pada ajaran-ajaran nenek moyang yang mengkeramatkan kuburan dan mendirikan masjid di atasnya, lalu berduyun-duyun datang ke tempat itu meminta syafaat, meminta berkat, dan meminta agar dikabulkan hajat pada ahli kubur atau dengan mempersekutukan si penghuni kubur itu dengan Allah Ta'ala.

Sebelas tahun setelah meninggalnya kedua tokoh mujahid ini, iaitu Syeikh dan Amir Ibnu Saud, kemudian tampillah Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz untuk meneruskan perjuangan pendahulunya. Imam Saud adalah cucu kepada Amir Muhammad bin Saud, rakan seperjuangan Syeikh semasa beliau masih hidup.

Berangkatlah Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz menuju tanah Haram Mekah dan Madinah (Haramain) yang dikenal juga dengan nama tanah Hijaz.

Mula-mula beliau bersama pasukannya berjaya menawan Ta'if. Penaklukan Ta'if tidak begitu banyak mengalami kesukaran kerana sebelumnya Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz telah mengirimkan Amir Uthman bin 'Abdurrahman al-Mudhayifi dengan membawa pasukannya dalam jumlah yang besar untuk mengepung Ta'if. Pasukan ini terdiri dari orang-orang Najd dan daerah sekitarnya. Oleh kerana itu Ibnu 'Abdul 'Aziz tidak mengalami banyak kerugian dalam penaklukan negeri Ta'if, sehingga dalam waktu singkat negeri Ta'if menyerah dan jatuh ke tangan Wahabi.

Di Ta'if, pasukan muwahidin membongkar beberapa maqam yang di atasnya didirikan masjid, di antara maqam yang dibongkar adalah maqam Ibnu Abbas radhiyallahu anhu. Masyarakat tempatan menjadikan maqam ini sebagai tempat ibadah, dan meminta syafaat serta berkat daripadanya.

Dari Ta'if pasukan Imam Saud bergerak menuju Hijaz dan mengepung kota Mekah. Manakala gabenor Mekah mengetahui hal ehwal pengepungan tersebut (waktu itu Mekah di bawah pimpinan Syarif Husin), maka hanya ada dua pilihan baginya, menyerah kepada pasukan Wahabi atau melarikan diri ke negeri lain. Ia memilih pilihan kedua, iaitu melarikan diri ke Jeddah. Kemudian, pasukan Saud segera masuk ke kota Mekah untuk kemudian menguasainya tanpa perlawanan sedikit pun.

Tepat pada waktu fajar, Muharram 1218 H, kota suci Mekah sudah berada di bawah kekuasaan muwahidin sepenuhnya.

Seperti biasa, pasukan muwahidin sentiasa mengutamakan sasarannya untuk menghancurkan patung-patung yang dibuat dalam bentuk kubah di perkuburan yang dianggap keramat, yang semuanya itu boleh mengundang kemusyrikan bagi kaum Muslimin.Maka semua lambang-lambang kemusyrikan yang didirikan di atas kuburan yang berbentuk kubah-kubah masjid di seluruh Hijaz, semuanya diratakan, termasuk kubah yang didirikan di atas kubur Saiditina Khadijah r.a, isteri Nabi kita Muhammad Shallahu alaihi wassallam.

Bersamaan dengan itu mereka melantik sejumlah guru, da'i, mursyid serta hakim untuk ditugaskan di daerah Hijaz.

Selang dua tahun setelah penaklukan Mekah, pasukan Wahabi bergerak menuju Madinah. Seperti halnya di Mekah, Madinah pun dalam waktu yang singkat saja telah dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Muwahhidin di bawah panglima Putera Saud bin Abdul Aziz, peristiwa ini berlaku pada tahun 1220 H.


Dengan demikian, daerah Haramain (Mekah - Madinah) telah jatuh ke tangan muwahidin. Dan sejak itulah status sosial dan ekonomi masyarakat Hijaz secara beransur-ansur dapat dipulihkan kembali, sehingga semua lapisan masyarakat merasa aman, tenteram dan tertib, yang selama ini sangat mereka inginkan.

Walaupun sebagai sebuah daerah yang ditaklui, keluarga Saud tidaklah memperlakukan rakyat dengan sesuka hati. Keluarga Saud sangat baik terhadap rakyat terutama pada kalangan fakir miskin yang mana pihak kerajaan memberi perhatian yang berat terhadap nasib mereka. Dan tetaplah kawasan Hijaz berada di bawah kekuasaan muwahidin (Saudi) yang dipimpin oleh keluarga Saud sehingga pada tahun 1226 H.

Setelah lapan tahun wilayah ini berada di bawah kekuasaan Imam Saud, pemerintah Mesir bersama sekutunya Turki, mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tanah Hijaz, terutama Mekah dan Madinah dari tangan muwahidin sekaligus hendak mengusir mereka keluar dari daerah tersebut.

Adapun sebab campurtangan pemerintah Mesir dan Turki itu adalah seperti yang telah dikemukakan pada bahagian yang lalu, iaitu kerana pergerakan muwahidin mendapat banyak tentangan dari pihak musuh-musuhnya, sama ada ianya dari pihak dalam Islam sendiri ataupun dari luarnya, yang mana tujuan mereka sama iaitu untuk memulau dan memadamkan api gerakan dakwah salafiyyah. Oleh kerana musuh-musuh gerakan salafiyyah tidak mempunyai kekuatan yang memadai untuk menentang pergerakan Wahabiyah, maka mereka menghasut pemerintah Mesir dan Turki dengan menggunakan nama agama, seperti yang telah diterangkan pada bahagian yang lalu. Maka menyerbulah pasukan Mesir dan Turki ke negeri Hijaz untuk membebaskan kedua-dua kota suci Mekah dan Madinah dari cengkaman kaum muwahiddin, sehingga terjadilah peperangan di antara Mesir bersama sekutunya Turki di satu pihak menentang pasukan muwahidin dari Najd dan Hijaz di pihak lain. Peperangan ini telah berlangsung selama tujuh tahun, iaitu dari tahun 1226 hingga 1234 H.

Dalam masa perang tujuh tahun itu tidak sedikit kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak, terutama dari pihak pasukan Najd dan Hijaz, selain kerugian harta benda, tidak sedikit pula kerugian nyawa dan tubuh manusia. Tetapi syukur alhamdulillah, setelah lima tahun berlangsung perang saudara di antara Mesir-Turki dan Wahabi, pihak Mesir maupun Turki sudah mulai jemu dan bosan menghadapi peperangan yang berpanjangan itu. Akhirnya, secara perlahan-lahan mereka sedar bahwa mereka telah keliru, sekaligus mereka menyedari bahwa sesungguhnya gerakan Wahabi tidak lain adalah sebuah gerakan aqidah murni dan patut ditunjang serta didukung oleh seluruh umat Islam.

Dalam dua tahun terakhir menjelang selesainya peperangan, secara diam-diam gerakan muwahidin terus melakukan gerakan dakwah dan mencetak kader-kadernya demi penerusan gerakan aqidah di masa-masa akan datang.

Sebaik sahaja berakhirnya peperangan yang telah memakan waktu tujuh tahun tersebut, dakwah salafiyyah mulai lancar kembali seperti biasa. Semua kekacauan di tanah Hijaz boleh dikatakan berakhir pada tahun 1239 H. Begitu juga dakwah salafiyyah telah tersebar secara meluas dan merata ke seluruh pelusuk Najd dan sekitarnya, di bawah kepemimpinan Imam Turki bin 'Abdullah bin Muhammad bin Saud, adik sepupu Amir Saud bin 'Abdul 'Aziz yang disebutkan dahulu.

Semenjak kekuasaan dipegang oleh Amir Turki bin 'Abdullah, suasana Najd dan sekitarnya beransur-ansur pulih kembali, sehingga memungkinkan bagi keluarga Saud (al-Saud) bersama keluarga Syeikh Muhammad (al-Syeikh) untuk melancarkan kembali dakwah mereka dengan lisan dan tulisan melalui juru-juru dakwah, para ulama serta para Khutaba.

Suasana yang sebelumnya penuh dengan huru hara dan saling berperang, kini telah berubah menjadi suasana yang penuh aman dan damai menyebabkan syiar Islam kelihatan di mana-mana di seluruh tanah Hijaz, Najd dan sekitarnya. Sedangkan syi'ar kemusyrikan sudah hancur diratakan dengan tanah. Ibadah hanya kepada Allah, tidak lagi ke perkuburan dan makhluk-makhluk lainnya. Masjid mulai kelihatan semarak dan lebih banyak dikunjungi oleh umat Islam, berbanding ke maqam-maqam yang dianggap keramat seperti sebelumnya.

Khususnya daerah Hijaz dengan kota Mekah dan Madinah, begitu lama terputus hubungan dengan Kerajaan (daulah) Saudiyah, iaitu semenjak perlanggaran Mesir dan sekutunya pada tahun 1226 -1342, yang bererti lebih kurang seratus duapuluh tujuh tahun wilayah Hijaz terlepas dari tangan dinasti Saudiyah. Dan barulah kembali ke tangan mereka pada tahun 1343 H, iaitu di saat daulah Saudiyah dipimpin oleh Imam 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman bin Faisal bin Turki bin 'Abdullah bin Muhammad bin Saud, cucu keempat dari pendiri dinasti Saudiyah, Amir Muhammad bin Saud al-Awal.

Menurut sejarah, setelah Mekah - Madinah kembali ke pangkuan Arab Saudi pada tahun 1343, hubungan Saudi - Mesir tetap tidak begitu baik yang mana tidak ada hubungan diplomatik di antara kedua-dua negara tersebut, meskipun kedua-dua bangsa itu tetap terjalin ukhuwah Islamiyah.

Hanya setelah Raja Faisal menaiki tahta menjadi ketua negara Saudi, hubungan Saudi - Mesir disambung kembali sehingga kini.

Kematiannya

Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab.

Dan Allah telah memanjangkan umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau dapat menyaksikan sendiri kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya. Semuanya itu adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya yang gigih dan tidak kenal menyerah kalah itu.

Kemudian, setelah puas melihat hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar'iyah dan sekitarnya, dengan hati yang tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin 'Abdul Wahab menghadap Tuhannya. Beliau kembali ke rahmatullah pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar'iyah (Najd).

Semoga Allah melapangkan kuburnya, dan menerima segala amal solehnya serta mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah Azza wa jalla. Amin

sumber: http://assunnah-qatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=110&Itemid=144

Blog Archive