Follow us on:
DIMANA ALLAH ?

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Ustadz setelah membaca di beberapa tulisan tentang dimana Allah,tolong jelaskan kepada kami tentang itu berdasarkan dalil yang jelas agar umat ini kembali kepada aqidah yang benar sesuai dengan pemahaman Ahlussunnah wal jama’ah..

jazakallah khoiron

Agus [bustomi.agus@yahoo.co.id]

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Berikut potongan tulisan dari ust. Luqman Jamal hafizhahullah dalam majalah An-Nashihah edisi I, dengan judul ‘Dimana Allah’:

Allah Jalla fii ‘Ulahu yang menciptakan kita mewajibkan kepada kita untuk mengenal dan mengetahui di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berada sehingga hati-hati kita menghadap/mengarah kepada-Nya, demikian pula ketika berdo’a dan beribadah khususnya ketika sholat. Siapa yang tidak mengenal Rabbnya maka dia berada dalam keadaan tersesat, karena tidak tahu dimana beradanya yang dia sembah, dan dia juga tidak akan bisa menegakkan ibadah dengan sebaik-baiknya, bahkan dia tidak tahu siapa Ilah yang dia sembah.

Salah satu cara untuk mengenal dimana Allah adalah dengan mengenal sifat-sifat-Nya, khususnya yang berkaitan dengan masalah dimana Allah. Kemudian menetapkan dan meyakininya dengan sebenar-benarnya. Keyakinan dimana Allah termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw (sifat ketinggian Allah Azza wa Jalla dan bahwa Dia di atas seluruh makhluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa`-Nya di atas Al-Arsy[1], berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya. Namun perlu diketahui bahwa penetapan sifat Al-‘Uluw dan sifat Al-Istiwa` sama dengan penetapan seluruh sifat Allah yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya. Sebagaimana dalam Firman-Nya :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy-Syura : 11)

Dan dalam ucapan Imam Malik yang sangat masyhur ketika beliau ditanya tentang sifat Al-Istiwa`, maka beliau menjawab :

الْإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

“Al-Istiwa` bukan tidak diketahui (baca : telah dimaklumi), kaifiyatnya (gambaran bentuk/caranya) tidak bisa digapai dengan akal, mengimaninya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”. [2]

Maka tidak ada yang mengetahui kaifiat ketinggian-Nya kecuali Allah Al-‘Aliyyu Al-‘Azhim sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.

Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang harus diketahui secara darurat dalam agama yang agung ini.


Disyari’atkan Bertanya Dimana Allah

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ : كَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيْبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍِ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ آسِفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِيْ بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamy radiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Saya mempunyai seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing-kambingku di arah gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (sebelah utara Madinah). Maka suatu hari (ketika) saya mengontrol ternyata seekor serigala telah membawa (memangsa) seekor kambingku -dan saya adalah seorang lelaki dari anak Adam- sayapun marah sebagaimana (umumnya) anak Adam. Tetapi saya memukulnya dengan sekali pukulan. Lalu saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Maka beliau menganggap besar hal tersebut atasku, saya berkata : Wahai Rasulullah, bolehkah saya memerdekan dia ?. Rasulullah menjawab : “Datangkanlah dia”, maka saya mendatangkannya. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya : “Dimana Allah?”. Dia menjawab : “Di atas langit”. Dan beliau bertanya (lagi) : “Siapakah aku?”. Dia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang yang mukminah”. ( HR. Muslim no. 537)

Beberapa hukum dan faidah berkaitan dengan hadits.



Imam Al-Hafidz Ad-Darimy (wafat 280 H) menyebutkan beberapa faedah dari hadits diatas, diantaranya :

@ Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang jika dia tidak tahu bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla ada di atas langit bukan di bumi maka tidaklah ia dikatakan beriman. Tidakkah kamu perhatikan bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjadikan tanda keimanan budak tersebut dengan pengetahuannya bahwasannya Allah berada di atas langit.

@ Dan sabda beliau : “’Dimana Allah?”, membongkar kebodohan orang yang berkata bahwa Allah ada di mana-mana. Karena sesuatu yang ada pada semua tempat mustahil untuk dikatakan “di mana dia ?”. Dan tidak dikatakan “dimana” kecuali pada sesuatu yang berada di tempat tertentu.

@ Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana yang disangka oleh orang-orang yang menyimpang tersebut maka pasti Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam akan mengingkari ucapan budak perempuan tersebut, Tapi Rasulullah justru membenarkannya dan mempersaksikan keimanannya.

@ Dan seandainya Allah ada di bumi sebagaimana Allah berada di atas langit, maka tidaklah sempurna keimanan budak perempuan tersebut sampai dia mengetahui bahwa Allah berada di bumi sebagaimana dia mengetahui bahwa Allah berada di atas langit.

@ Ketika ‘Abdullah ibnul Mubarak ditanya : “Bagaimana kita mengenal Robb kita?”, beliau menjawab : “Bahwasanya Allah berada di atas langit yang ketujuh di atas Arsy berpisah dari makhluk-Nya”.

@ Dan ini sangat sesuai dengan pertanyaan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kepada budak wanita tersebut : “Dimana Allah?”, Nabi menguji keimanannya dengan pertanyaan tersebut. Maka tatkala dia menjawab : “Di atas langit”, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang yang mukminah”.

(Lihat Ar-Radd ‘alal Jahmiyah hal. 64-67, tahqiq Badr Al-Badr)

@ Berkata Imam Abu Muhammad Al-Juweiny Asy-Syafi’iy (wafat th. 438 H.) : Sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits yang shohih (hadits di atas -pent.) kepada budak perempuan : “Dimana Allah ?”, dia menjawab : “Di atas langit”. Dan beliau tidak mengingkari budak tersebut dihadapan para shahabatnya supaya tidak timbul anggapan yang menyelisihi jawaban tersebut, bahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menetapkannya dan bersabda : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang yang mukminah”. (Lihat : Majmu’atur Rosa`il Al-Muniriyah 1/176).

@ Berkata Imam Adz-Dzahaby (wafat th. 748 H.) : Hadits ini adalah hadits yang shohih dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasa`i dan Imam-Imam lainnya dalam karya-karya mereka. Mereka memahami apa adanya tanpa ta`wil (memalingkan dari makna sebenarnya tanpa dalil,-pent.) dan tidak pula merubah-rubah. Dan demikianlah kami melihat, semua orang yang ditanya “Dimana Allah ?” maka akan menjawab dengan tepat sesuai dengan fitrahnya bahwasanya Allah berada di atas langit.

Dalam hadits ini ada dua perkara yang penting :

Disyari’atkannya ucapan seorang muslim untuk bertanya : “Dimana Allah ?”.
Disyari’atkan jawaban yang ditanya : “Di atas langit”.

Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallahu ‘alaihi wa sallam.

(Lihat Mukhtashor Al-’Uluw hal. 81).



Makna Al-’Uluw Dan Al-Istiwa` Serta Perbedaan Antara Keduanya

Pengertian Al-’Uluw secara bahasa adalah bermakna As-Samuw (diatas) dan Irtifa‘ (ketinggian).

(lihat : Mu’jam Maqayis Al-Lughoh 4/122 karya Ibnu Faris).

Kata Al-‘Uluw menurut para ulama dalam nash Al-Qur`an dan Sunnah tidak keluar dari tiga makna :

1. ‘Uluwudz Dzat (Ketinggian Dzat)

Di katakan : Fulan ‘Uluw di atas gunung, yaitu apabila ia berada diatasnya.

2. ‘Uluwul Qahr (Ketinggian kekuasaan dan keperkasaan).

‘Uluw jenis ini menunjukkan makna keagungan dan kesombongan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ‘Uluw (menyombongkan diri) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Qoshosh : 83)

3. ‘Uluwul Qadr (Ketinggian derajat/kekuatan).

Dan kata Al-‘Uluw secara umum di mutlakkan pada ketinggian yang merupakan lawan dari kerendahan atau di bawah.



Adapun Al-Istiwa` secara bahasa, ada beberapa penggunaan :

Apabila Al-Istiwa` tidak Muta’addi maka ia bermakna lengkap dan sempurna. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى ءَاتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا

“Dan setelah Musa cukup umur dan telah Istiwa` (sempurna akalnya), Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan”.” (QS. Al-Qoshosh : 14)

Dan apabila Al-Istiwa` Muta’addi maka Al-Istiwa` tidak lepas dari empat makna :

@ Al-‘Uluw : Tinggi.

@ Al-Irtifa’ : Tinggi.

@ Al-Istiqrar : Menetap (di atas ketinggian).

@ Al-Sho’ud : Naik (di atas).



Perbedaan antara sifat Al-‘Uluw dan Al-Istiwa`:

Para ulama menyebutkan beberapa perbedaan antara keduanya :

Al-Istiwa` termasuk sifat-sifat yang ditetapkan hanya dengan perantara nash baik Al-Qur`an maupun As-Sunnah dalam artian kalau Allah tidak mengabarkan tentang Istiwa`-Nya maka kaum musliminpun tidak mengetahuinya, berbeda dengan Al-‘Uluw yang dapat ditetapkan secara nash, akal maupun fitroh. Lihat Al-Fatawa5/122, 152 dan 523.
Al-Istiwa` termasuk sifat Fi’liyah (perbuatan) yang Allah bersifat dengannya sesuai dengan kehendaknya. Adapun Al-‘Uluw adalah sifat Dzatiyahyang terus-menerus Allah bersifat dengannya.
Al-Istiwa` adalah bagian dari Al-‘Uluw namun Al-Istiwa` lebih khusus darinya atau dengan kata lain Al-Istiwa` adalah Al-‘Uluw yang khusus.



Dalil – Dalil Tentang Ketinggian Allah

Dan sungguh telah mutawatir dalil-dalil kitab dan sunnah secara lafadz dan makna tentang tetapnya sifat ini bagi Allah. Dan dalil-dalil itu mencapai seribu dalil sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari sebahagian pengikut As-Syafi’iyah (lihat Al-Fatawa 5/121 dan Ash-Showa’iqul mursalah 4/1279) dan berkata Ibnul Qoyyim : “Dan seandainya kami ingin maka kami akan datangkan seribu dalil tentang masalah ini (‘Al-‘Uluw,-pent). (Lihat Ijtima’ul Juyusy hal. 331)

Dalil-dalil dari Al-Qur`an.

Adapun dalil-dalil dari Al-Qur`an sangatlah banyak, bahkan Imam Ibnul qoyyim telah membagi dalil-dalil naqliyah yang menunjukkan akan ketinggian Allah menjadi dua puluh satu bagian, diantaranya : penyebutan secara shorih (jelas) dengan kata Istiwa` dan ketinggian Allah dari apa-apa yang ada dibawahnya, penyebutan naiknya sesuatu kepadanya, diangkatnya sebagian makhluk padanya diturunkannya kitab darinya, pengkhususan sebagian makhluk-Nya bahwa mereka disisi-Nya diatas langit, diangkatnya tangan-tangan kepada-Nya, turunnya Allah setiap malam ke langit dunia dan yang semisalnya. (lihat Mukhtasar Ash-Showa’iq 2/205 dan sesudahnya, An-Nuniyah dengan syarah Syaikh Al-Harras 1/184-251 dan Syarh Al-Aqidah At-Thohawiyah hal. 380-386).

Diantara ayat-ayat tersebut:

[ 1 ]الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)

Dan pada enam tempat dalam Al-Qur`an, Allah berfirman :

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia Istiwa` (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A‘raf : 54, Yunus : 3, Ar-Ra’d : 2, Al-Furqan : 59, As-Sajadah : 4, dan Al-Hadid : 4)

Berkata Abul ‘Aliyah : اِسْتَوَى عَلَى السَّمَاءِ artinya اِرْتِفَاعٌ (di atas) dan berkata Mujahid اِسْتَوَى artinya عَلاَ (di atas). Lihat : Fathul Bary 13/403-406.

Kata Imam Al-Qurthuby dalam Tafsirnya : “Dan para salaf terdahulu tidak mengatakan atau melafadzkan bahwa tidak ada arah (sisi) bahkan mereka sepakat mengatakan dengan lisan-lisan mereka untuk menetapkannya bagi Allah sebagaimana Al-Qur`an dan Rasul-Nya berbicara dan tidak ada seorangpun dari salaf yang mengingkari bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya secara hakiki dan mengkhususkan ‘Arsy-Nya karena dia sudah merupakan makhluk-Nya yang paling besar dan mereka tidak mengetahui kaifiat istiwa` karena tidak diketahui hakikatnya”. (Lihat : Tafsir Qurthuby 7/219).

Kata Ibnu Katsir : “Manusia dalam menafsirkan ayat ini sangat banyak pendapatnya dan bukan tempatnya untuk menjelaskannya tetapi kita mengikuti pada masalah ini madzhabnya As-Salafus Sholih ; Malik, Al-‘Auza’iy, Ats-Tsaury, Al-Laitsy bin Sa’ad, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan selainnya dari Imam-Imam kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang, yaitu mentafsirkannya sebagaimana adanya (zhohirnya) tanpa takyif (membagaimanakannya), tasybih (menyerupakannya) dan ta’thil (menolaknya)”.

[ 2 ]أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”. (QS. Al-Mulk : 16)

Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya.

Kata Imam Ahmad : Ini adalah berita dari Allah yang memberitahukan pada kita bahwasanya Dia berada diatas langit dan kami mendapati segala sesuatu dibawah-Nya adalah tercela. Allah Jalla Tsana`uhu berfirman :

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An-Nisa` : 145)

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ نَجْعَلْهُمَا تَحْتَ أَقْدَامِنَا لِيَكُونَا مِنَ الْأَسْفَلِينَ

“Dan orang-orang kafir berkata : “Ya Tuhan kami perlihatkanlah kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami (yaitu) sebagian dari jin dan manusia agar kami letakkan keduanya di bawah telapak kaki kami supaya kedua jenis itu menjadi orang-orang yang hina”.” (QS. Fushshilat : 29)

(Baca : Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah karya Imam Ahmad hal 136.)

Kata Imam Al-Baihaqy, berkata Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ishaq bin Ayyub Al-Faqih : “Kadang-kadang orang-orang Arab meletakkan (في) di tempat (على) sebagaimana dalam firman Allah :

وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ

“Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma”. (QS. Thoha : 29)

Maksudnya adalah di atas pangkal pohon korma.

Dan Allah berfirman :

فَسِيحُواْ فِي الأَرْضِ

“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di permukaan bumi”. (QS. At-Taubah : 2).

Maknanya di atas permukaan bumi. Demikian pula firman-Nya (في السماء) maknanya di atas ‘Arsy di atas langit”. (Lihat : Al-Asma` wa Ash-Shifat 2/330)

[ 3 ]سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al-A’la : 1)

Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas semua makhluk-Nya. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintah untuk mengucapkan di waktu sujud :

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

“Maha Suci Robbku yang Maha Tinggi”.

Dengan pernyataan ini berarti kita tunduk dan merendahkan diri pada-Nya dengan hati dan anggota badan. Hal ini menunjukkan bahwa kita di bawah dan rendah serta pengakuan akan ketinggian Allah dengan lisan-lisan kita yang menunjukkan Allah berada di atas dan Maha Tinggi.

[ 4 ]يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”. (QS. An-Nahl : 50)

Ayat ini menetapkan ketinggian Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat ini para malaikat yang takut kepada Rabb mereka yang berada diatas mereka. Dan merupakan hal yang telah diketahui bahwa para malaikat itu berada di langit dan di atas kita, sedangkan di atas mereka adalah Rabbul ‘Izzah.

[ 5 ] وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاهَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ , أَسْبَابَ السَّمَوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ

“Dan berkatalah Fir`aun : “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Rabb Musa dan sesungguhnya aku menganggapnya sebagai seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS. Al-Mukmin : 36-37)

Dalam ayat ini ada dalil yang sangat jelas bahwasanya Musa mendakwahi Fir’aun untuk mengenal Allah yang berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan Haman untuk membangunkan untuknya bangunan yang tinggi untuk melihat Rabb Musa. Dengan mengatakan : “sesungguhnya aku menganggapnya sebagai seorang pendusta”. Lalu bagaimana kedudukan orang-orang yang mengingkari Allah berada diatas langit, manakah yang lebih baik mereka daripada Fir’aun dalam masalah ini?.

(lihat Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah hal 45)



Dalil-dalil dari As-Sunnah yang shahih:

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak bahkan digolongkannya sebagai hadits yang mutawatir oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Mukhtashor Al-‘Uluw dan yang lainnya. Dan dalil-dalil tersebut kadang dari ucapan beliau, kadang dari perbuatannya dan kadang dari taqrir (penetapan) dari beliau terhadap perbuatan shohabat, diantara dalil-dalil tersebut adalah :

1. Dari Abi Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

أَلآ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ, يَأْتِيْنِي خَبَرٌ مِنَ السَّمَاءِ فِي الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ

“Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

2. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنِ, اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang akan di sayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan di sayangi oleh Yang berada di atas langit”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam As-Shahihah no : 922).

3. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قاَلَ فِيْ خُطْبَتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ : (( أَلآ هَلْ بَلَغْتُ ؟ )) فَقَالُوْا : نَعَمْ. فَجَعَلَ يَرْفَعُ أُصْبُعَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَيُنْكِتُهَا إِلَيْهِمْ وَيَقُوْلُ : (( اَللَّهُمَّ اشْهَدْ !))

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda pada khutbah ‘Arafah : “Apakah aku sudah menyampaikan (risalah)?”, para shahabat menjawab : “Ya”, kemudian Rasulullah mengangkat telunjuknya ke langit kemudian beliau menunjuk ke arah para shahabat sambil bersabda : “Ya Allah, saksikanlah !”.” (HR. Muslim)

Isyarat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dengan telunjuk beliau yang mulia ke langit dan meminta persaksian Rabbnya atas ummatnya adalah isyarat yang pasti atas ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengetahui dimana Rabbnya dengan wahyu dari Allah Jalla fii ‘Ulahu.

4. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

أَنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَالنبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ, فَقَالَ : يَا رسولَ اللهِ, هَلَكَتِ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ فاَدْعُ اللهَ يُغِيْثُنَا. فَرَفَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ : (( اَللَّهُمَّ اَغِثْنَا, اَللَّهُمَّ اَغِثْنَا ))

‘Sesungguhnya seorang laki-laki masuk ke mesjid pada hari Jum’at sedangkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sedang berdiri berkhutbah, kemudian laki-laki tersebut berkata : “Wahai Rasulullah, telah hancur harta benda, telah putus jalan-jalan, maka berdo’alah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami”. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a : “Ya Allah, hujanilah kami, ya Allah, hujanilah kami”.” (HR. Al-Bukhary-Muslim)

Nabi shollallahu “alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengangkat kedua tangannya adalah isyarat bahwa Allah Azzat ‘Azhomatuhu berada di atas langit.



Dalil-dalil dari Ijma’:

Telah dinukil kesepakatan para ulama tentang ketinggian Allah diatas makhluk-Nya, diantaranya dari :

1. Al-Imam Ad-Darimy di dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal Jahmiyah hal. 44 berkata : “Kemudian kesepakatan dari orang-orang terdahulu dan belakangan, orang alimnya dan jahilnya bahwa jika salah seorang di antara mereka ber-istighotsah, berdo’a atau meminta kepada Allah, dia menengadahkan kedua tangannya dan mengangkat pandangannya ke langit kemudian berdo’a. Dan tidak seorangpun dari mereka berdo’a mengarah ke bawah, ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri tetapi ke arah langit karena pengetahuan mereka bahwa Allah berada di atas …”.

Dan beliau berkata di hal. 66 : “Celaka kalian !, kesepakatan para shahabat, tabi’in dan seluruh umat terhadap tafsir Al-Qur`an, Fara`idh, hudud dan hukum-hukum tentang turunnya ayat ini, begini bunyinya dan sebabnya begini dan begini, dan turunnya surat ini pada keadaan begini dan begini. Kami tidak mendengar seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini bersumber dari bawah bumi, dari depan atau dari belakang, akan tetapi turun dari atas langit”.

2. Berkata Ishaq bin Rahawaih : “Merupakan kesepakatan di kalangan ahlul ‘ilmi bahwasanya Allah istiwa` di atas Arsy-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di lapis bumi yang tujuh, di dasar lautan, di puncak gunung, di perut bumi dan di seluruh tempat sebagaimana Dia mengetahui apa yang ada di langit yang tujuh dan apa yang ada di bawah Arsy, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu”.

(Lihat : Ijtima‘ul Juyusy hal. 171 dan Mukhtashor Al-’Uluw hal. 194)

3. Berkata Ibnu ‘Abdil Barr : “Sepakat para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in –yang ilmu ta`wil (tafsir) diambil dari mereka- mereka menta`wilkan (mentafsirkan) firman Allah : “Tidaklah tiga orang berbisik-bisik kecuali Allah yang keempat”, yaitu Dia (Allah) berada di atas Arsy dan Ilmu-Nya di semua tempat dan tidak ada seorangpun -yang menyelisihi mereka- diambil perkataannya sebagai hujjah”. Lihat Mukhtashor Al-’Uluw hal. 268

4. Berkata Imam Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah : “Semua makhluk sepakat bahwa apabila mereka berdo’a seluruhnya mengangkat tangannya ke langit. Kalaulah seandainya Allah ‘Azza wa Jalla berada di bawah yaitu bumi, maka tidak mungkin mereka mengangkat tangan ke langit (ketika berdo’a) sedangkan Allah bersama mereka di bumi. Kemudian riwayatnyapun datang secara mutawatir bahwasanya Allah menciptakan Arsy kemudian istiwa` diatasnya dengan Dzat-Nya. Kemudian Allah ciptakan bumi dan langit maka menjadilah doa mereka dari bumi ke langit dan dari langit ke Arsy dan Allah berada di atas langit, di atas Arsy dengan Dzat-Nya, tidak bercampur, (melainkan) berpisah dari makhluk-Nya, Ilmu-Nya bersama mereka dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari Ilmu-Nya”. (Lihat Kitabul ‘Arsy hal. 58)

5. Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Dan para imam kami –seperti : Ats-Tsaury, Malik, Ibnu ‘Uyyainah, Hammad bin Zaid, Al-Fudhoil, Ahmad dan Ishaq- semuanya sepakat bahwa Allah berada di atas Arsy dengan Dzat-Nya dan sesungguhnya Ilmu-Nya ada di seluruh tempat”. (Lihat : Ijtima‘ul Juyusy hal. 97)

6. Berkata Abu ‘Umar Ath-Thalmanky di dalam kitabnya yang berjudul Al-Ushul : “Sepakat kaum muslimin dari kalangan Ahlussunnah bahwasanya Allah istiwa` di atas Arsy dengan Dzat-Nya”.

(Lihat : Ijtima‘ul Juyusy hal. 101 dan Syarh Haditsun Nuzul hal. 142).



Dalil-dalil secara akal:

1. Dari dulu Allah itu ada dan tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya kemudian Allah menciptakan makhluk maka tatkala Allah menciptakan mereka maka hanya ada dua kemungkinan, Allah menciptakan makhluk-Nya berada dalam diri-Nya atau menciptakannya diluar diri-Nya, yang pertama adalah bathil secara pasti dengan kesepakatan. Sebab Allah di sucikan dari hal-hal yang bertentangan dan disucikan merasuk di kotoran-kotoran, Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.

Hal itu mengharuskan Allah berpisah dari makhluk-Nya dan makhluk tidak mungkin bersatu dengan Allah.

2. Dan dikatakan : kemungkinan Allah masuk (berada) di alam atau berpisah dengan Alam dan sungguh telah pasti dan harus Allah itu berpisah dengan alam, dan kalau berpisah maka mengharuskan Allah berada diatasnya, hal ini diperjelas dengan perkara berikut :

3. Bahwasanya arah diatas adalah arah yang paling mulia dan itu menunjukkan sifat kesempurnaan, tidak ada kekurangan dari sisi manapun juga, maka dengan hal itu mengharuskan akan kekhususan Allah dengan hal tsb dan ini adalahi kelaziman Dzat-Nya maka tidak ada wujud selain Dzat-Nya kecuali Allah tinggi berada diatasnya.

4. Sesungguhnya diketahui dengan akal yang sehat tidak mungkinnya ada dua wujud salah satunya tidak sederetan pada yang lain dan tidak berpisah darinya dari satu sisipun.

(Lihat : Syarah Aqidah Thohawiyah hal 389-390, Dar`ut Ta’arudh Baina Al-Aql wan Naql 6/143-146 dan 7/3-10, Ar-Radd ‘Alal Jahmiyah karya Imam Ahmad hal 139 dan Al-Fatawa 5/152 dan yang lainnya.)



Dalil-dalil secara fitroh:

Bahwasanya seorang hamba yang masih berada dalam fitrohnya, ia akan mendapatkan suatu perkara yang dhorury (pasti) yaitu tatkala dia berdoa kepada Allah dalam keadaan gawat maka dia akan tujukan/arahkan hatinya kepada Allah yang Maha Tinggi dan berada diatas.
Di mendapatkan gerakan mata dan tangannya dengan isyarat keatas mengikuti isyarat hatinya keatas dan ia mendapatkan hal itu secara dhorury (spontan dan pasti).
Bahwasanya barbagai macam umat telah bersepakat akan hal itu tanpa disengaja.
Mereka mengatakan dengan lisan-lisan mereka : “Bahwa kami mengangkat tangan-tangan kami kepada Allah dan mereka mengabarkan tentang diri-diri mereka bahwa hal itu mereka dapatkan pada hati-hati mereka secara dhorury (spontan dan pasti) mengarah keatas.

(lihat : Naqdhut Ta`sis 2/447, At-Tahmid karya Ibnu Abdil Baar 7/137, Ar-Raddu ‘Alalal Jahmiyyah karya Ad-Darimy hal 37 dan lain-lain).

Dalam masalah ini kebanyakan ulama menyebutkan kisah Abul Ma’aly Al-Juwainy bersama Abu Ja’far Al-Hamadzany.

Secara global kisahnya adalah sebagai berikut :

Pada suatu ketika Al-Hamadzany datang dan ustadz Al-Juwainy berkata di atas mimbar : “Dari dulu Allah ada dan Arsy belum ada”, di mana beliau berusaha menafikan Istiwa`, maka Abu Ja’far Al-Hamadzany membantahnya dan berkata kepadanya : “Tinggalkan kami dari hal ini dan kabarkan kepada kami tentang perkara yang darurat ini yang kami dapatkan di hati-hati kami tidaklah seorang yang ‘Arif berkata “Ya Allah…” sama sekali kecuali ia mendapatkan dari hatinya suatu makna yang menuntut ketinggian, ia tidak akan menoleh kekanan dan tidak pula kekiri maka bagaimana kita menolak suatu perkara yang dhorury (spontan dan pasti) ini dari hati-hati kami”.

Maka Abul Ma’aly berteriak dan meletakkan tangannya diatas kepalanya dan berkata : “Al-Hamadzany telah membuat saya bingung, Al-Hamadzany telah membuat saya bingung lalu iapun turun dari mimbar”.”

(lihat Al-Fatawa 3/220 dan 4/44,61, Al-Istiqomah 1/167, As-Siyar 18/474-475, Al-‘Uluw karya Adz-Dzahaby hal 177, Thobaqot As-Syafi’iyyah karya As-Subky 3/262-263 dan lainnya dan Syaikh Al-Albany membawakan Atsar dalam Mukhtashor Al-‘Uluw hal 277 bahwa sanad kisah ini shohih musalsal dengan Al-Huffadz.

Dan Syaikhul Islam memberikan catatan kaki terhadap kisah ini dan berkata : “Maka Syaikh ini mengabarkan dari setiap orang yang mengetahui Allah bahwasannya ia mendapatkan di dalam hatinya gerakan yang dhorury (spontan dan pasti) menuju keatas apabila berkata : “Ya Allah…”, dan hal ini mengharuskan bahwa didalam fitroh-fitroh dan perbuatan-perbuatan mereka ada ilmu bahwa Allah itu diatas dan mengarahkannya bahwa arah menghadap kepada-Nya keatas”.

(lihat Naqdhut Ta`sis dengan perantara tahqiq Hamd bin Abdul Hasan At-Tuwaijiry terhadap Al-Fatawa Al-Hamawiyah hal 114.)

Dan termasuk kisah yang sangat baik untuk diangkat dan disebutkan disini adalah peristiwa yang terjadi antara Syaikhul Islam dengan salah seorang Syaikh yang menafikan Al-‘Uluw, berkata Syaikhul Islam mengabarkan hal itu “Sesungguhnya telah terjadi pada diriku dengan mereka yang menafikan hal ini yakni sifat Al-‘Uluw, dengan salah seorang masya`ikh mereka dan dia meminta dariku suatu keperluan maka sayapun mengajaknya bicara tentang masalah ini seakan-akan saya tidak mengingkarinya. Kemudian saya mengakhirkan untuk memenuhi keperluannya sehingga dadanya menjadi sempit maka iapun mengangkat matanya dan kepalanya kearah langit dan berkata : “Ya Allah…”, maka saya pun berkata kepadanya, kamu menguatkan dan membenarkan orang yang mengangkat mata dan kepalanya !? apakah di atasmu ada seseorang ? maka ia berkata Astghfirullah dan ia pun rujuk kembali dari hal itu takkala telah jelas bahwa keyakinannya menyelisihi fitrohnya, kemudian saya menjelaskan rusaknya perkataan ini maka iapun bertaubat dari hal ini itu dan rujuk pada perkataan kaum muslimin yang telah tetap pada fitroh-fitroh mereka”. (Dar`ut-Ta’arudh Al-’Aql wan Naql 6/343-344).

[1] Singgasana Allah, Allah istiwa’ diatasnya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Dan Al-Arsy adalah salah satu makhluk Allah yang sangat besar.

[2] Baca uraian lengkap tentang takhrij dan penjelasan ucapan beliau ini dari tulisan Syaikh Doktor ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin ‘Al-‘Abbad dalam Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah no. 111 dan 112 tahun 1421 H.

http://al-atsariyyah.com/dimana-allah.html

source : http://habibah21.wordpress.com/2011/06/29/dimana-allah/



Syi'ah yang percaya riwayat palsu tentang "Allah ada tanpa tempat"

Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:


كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ “

Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat”

(Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h.333).

Beliau juga berkata:

إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ “

Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h.333).

riwayat tsb, seperti biasa, tidak ada sanad yg jelas.

:P

Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi

Oleh Fadhl Ihsan

Mengapa ahlu bid'ah dan orang-orang kafir menjuluki pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai 'Wahhabi'? Tak lain tujuan mereka hanyalah untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid. Sejatinya, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)

Begitulah kalau seseorang telah dibutakan hawa nafsunya, tidak peduli apakah yang dikatakannya itu benar atau salah. Dan demi menipu umat mereka pun tak segan-segan membuat kedustaan yang dituduhkan kepada beliau rahimahullah. Berikut ini adalah bantahan terhadap tuduhan-tuduhan dusta yang sering dilontarkan para musuh dakwah terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullah:

1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi (1), ingkar terhadap Hadits nabi (2), merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.

Bantahan:

- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

- Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats- Tsalatsah)

- Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)

- Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)

2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait.

Bantahan:

- Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)

- Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.

3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.

Bantahan:

- Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah (3). Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.

Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah–: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”

Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.

- Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya (4).

- Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.

4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka. (5)

Bantahan:

- Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami...?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)

5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam. (6)

Bantahan:

- Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)

- Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–: “Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)

- Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)

6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar).

Bantahan:

- Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)

7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan! (7)

Jawaban:

- Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.

- Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak, (8) di antaranya adalah:

Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman (9) dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman. (10)

Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i. (11)

Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif. (12) Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani, (13) Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i, (14) Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani, (15) Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.

Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i. (16)

Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.

8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka.

Jawaban:

- Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.”(17)

- Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–. (18) Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.

Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)

Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:

- Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi.

- Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.

- Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.

- Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.

- ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.

- Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Wallahu a’lam bish-shawab.

_______________

(1) Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

(2) Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.

(3) Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah. (Silakan baca di sini: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=334)

(4) Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.

(5) Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.

(6) Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.

(7) Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.

(8) Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.

(9) Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.

(10) Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.

(11) Hafizh negeri Hijaz di masanya.

(12) Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.

(13) Ulama besar Madinah di masanya.

(14) Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.

(15) Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.

(16) Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.

(17) Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119

(18) Ibid, hal. 76.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=337