Follow us on:
MENGHAJIKAN ORTU YG SUDAH MENINGGAL

bismillaah,

Tanya :

afwan, bagaimana menghajikan ortu yg sudah meninggal ?

Dan sudah ada niat dr ortu untuk melaksanakannya,,hanya saja ajal mendahului δдяi niatnya..

Kalau memang ada tuntunannya, bagaimana cara melaksanakannya ?
Apakah si anak ƴα̍nƍ melakukannya ? atau orang lain juga bisa ?

Dan apakah ƴα̍nƍ menghajikan harus sudah pernah berhaji 1x atau bisa sekalian ?

mohon jawabannya, .شُكْرًا

Jawab : 


Bolehkah perempuan/isteri menghajikan laki-laki/suami? | Bolehkah menghajikan orang lain karena alasan umur yang sudah tua, penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya atau karena ia telah meninggal ?

Jawaban Ulama Islam Tentang Bolehnya Menghajikan Orang yang Telah Meninggal

Asy Syaikh Abdurrahim Al Bukhari
 
Pertanyaan  Bolehkah menghajikan orang yang telah meninggal? Bagaimana tuntunannya?
Jawab:
Para ulama telah berbicara dalam masalah ini, dan mereka berkata bahwa boleh menghajikan orang telah meninggal dengan syarat orang yang (akan menghajikan) telah melakukan haji untuk dirinya sendiri.
 Sebagaimana dalam hadits Syubrumah, tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki bertalbiyah, “Labbaikalla ‘an Syubrumah,” Maka Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah haji untuk dirimu?” “Belum” Jawabnya. Maka beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah engkau untuk Syubrumah.”
Maka apabila seseorang telah berhaji untuk dirinya, boleh baginya (untuk menghajikan,-pent.) dan bukan wajib, apalagi bila yang dihajikan itu adalah ayahnya, ibu atau karib kerabatnya yang meninggal dan belum mampu berhaji. Maka boleh baginya (untuk menghajikan) dan tidak ada apa-apa terhadapnya.
(Dijawab oleh Asy Syaikh Abu Usamah Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari pada sore 5 syawal 1425 H, bertepatan 17/11/2004]
***
Pertanyaan
Apakah boleh seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban hajinya untuk menghajikan salah seorang kerabatnya yang berada di negeri Cina, karena ia tidak mampu sampai untuk menunaikan kewajiban haji?
Jawaban Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al Ilmiah wal Ifta:
Boleh bagi seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban haji terhadap dirinya untuk menghajikan orang lain berdasarkan hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan tentang itu, bila orang lain itu tidak mampu karena umur yang sudah tua, penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya atau karena ia telah meninggal. Adapun kalau yang akan dihajikan tidak mampu karena suatu perkara yang diharapkan hilangnya, seperti sakit yang diharapkan sembuhnya, atau suatu alasan berkaitan dnegan keadaan politik, atau tiada keamanan dalam perjalanan dan selainnya, maka tidak sah untuk dihajikan.
(Fatawa Al-Lajnah Ad Da’imah 11/51 Dalam pertanyaan pertama pada fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 2200 yang ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud)
****
Pertanyaan
Apakah boleh seorang ibu untuk menghajikan anaknya ketika ia telah meninggal, sementara ia sendiri sudah menunaikan ibadah haji?
Jawaban Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Apabila ia telah menunaikan kewajiban haji untuk dirinya sebelum itu, maka tidaklah mengapa ia menghajikan anaknya yang telah meninggal, apalagi kalau (anak itu) belum haji.”
(Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Sholih Al-Fauzan jilid 3 no.294)
****
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Boleh bagi seorang perempuan untuk menghajikan perempuan lain menurut kesepakatan para ‘ulama, baik itu putrinya atau selainnya. Dan demikian pula boleh seorang perempuan menghajikan seorang lelaki menurut imam Empat [1] dan jumhur Ulama (kebanyakan ulama), sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan perempuan Al Juts’amiyah untuk menghajikan ayahnya, tatkala ia berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji kepada hamba-hamba-Nya telah mendapati ayahku dan beliau adalah orang sudah tua,“ maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menghajikan ayahnya. Namun hajinya seorang lelaki lebih sempurna dari seorang perempuan.”
[Dinukil dari Majalah An Nashihah Volume 09 Th. 1/1426 H./2005 M. Hal. 5]
____________

Footnote :

[1] Yaitu Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hambal,-admin

http://darussalaf.or.id
http://sunniy.wordpress.com/2011/09/21/jawaban-ulama-islam-tentang-bolehnya-menghajikan-orang-yang-telah-meninggal/#more-3660
 

source 

 



 

* HIKMAH DARI UJIAN *

bismillaah,

Ustadz Rochmad supriyadi LC

Allah سبحانه وتعالى memerintahkan kpd kita agar memohon kesehatan dan keslamatan dan menempuh jalan2 dan sebab2 terhindar dari petaka.


Akan tetapi bilamana Allah سبحانه وتعالى menimpakan ujian maka disana ada beberapa hikmah, diantaranya ;

- Mendapat pahala besar dari Allah سبحانه وتعالى bilamana ia sabar dan beriman atas Taqdir Allah.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda," Sesungguhnya besarnya balasan disertai dg besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah bila cinta kpd hamba, Dia akan menguji nya. Maka barang siapa yg ridho,ia akan memperolih keridhoan, dan barang siapa yg murka, ia akan mendapat kemurkaan". HR At-Tirmidy.

- Menghapus dosa dan menutupi kesalahan dan mengangkat derajat.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda," Tidaklah seorang muslim tertusuk duri dan yg lebih besar dari itu,melainkan Allah akan mengangkat satu derajat dan dihapus padanya satu kesalahan". HR Muslim.

- Dicatat baginya amal yg biasa ia lakukan tatkala sehat,sekalipun ketika sakit ia tdk lakukan. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda," Apabila seorang hamba sakit / safar maka dicatat baginya amalan semisal apa yg ia lakukan tatkala tdk safar Ðan sehat ". HR Bukhary.

Salaf on facebook

MEMBACA AL QUR'AN DI SISI KUBUR

bismillaah,

by Al-Akhi Al-Fadhil De Blackdwarf -Hafizhahullah-



bismillaah,
bantahan untuk syubhat si ujun orang yang saya nilai secara dzahir 'tidak waras' yang sedang menebar syubhat di salah satu postingan orang yang saya nilai secara dzahir tidak perduli dengan postingannya sendiri

===

[Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur]

Adapun membaca Al Qur’an terus menerus di sisi kubur, maka ini tidaklah pernah dikenal oleh para ulama salaf.

Para ulama pun berselisih pendapat mengenai masalah membaca Al Qur’an di kuburan. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad (menurut kebanyakan pendapat dari beliau) melarang hal ini. Namun, Imam Ahmad memberikan keringanan dalam masalah ini dalam pendapat beliau yang terakhir. Yang menjadi dasar Imam Ahmad dari pendapatnya yang terakhir adalah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mewasiatkan agar dibacakan bagian awal dan akhir surat Al Baqarah ketika pemakamannya. Begitu pula ada riwayat dari beberapa kaum Anshor bahwasanya Ibnu ‘Umar pernah mewasiatkan agar membaca surat Al Baqarah di kuburnya (sebelum pemakaman). Namun ingat, ini semua dilakukan sebelum pemakaman.

Adapun pembacaan Al Qur’an untuk mayit sesudah pemakaman, maka tidak ada satu riwayat pun dari salaf tentang hal ini. Oleh karena itu, pendapat ketiga ini membedakan antara membacakan Al Qur’an ketika pemakaman dan pembacaan Al Qur’an terus menerus sesudah pemakaman. Pembacaan Al Qur’an sesudah pemakaman adalah amalan yang tidak ada tuntunan dalam agama ini (baca: bid’ah). Amalan seperti ini tidak memiliki landasan dalil sama sekali.

[Mayit Mendapatkan Pahala karena Mendengar Al Qur’an yang Dibacakan padanya]

Sedangkan jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.

diterjemahkan dari Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 24/317-321, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H (oleh Muhammad Abduh Tuasikal)

===

dan untuk teman2 yang masih 'mau' menanggapi orang yang tidak waras itu, satu2nya kunci untuk mengalahkannya adalah :

kejar terus dia dengan perkataannya dimana dia mengklaim sebelumnya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bahwa pahala amalan bacaan AL Quran (terutama Al Fatihah) akan sampai kepada mayit, minta haditsnya

--> selama dia tidak mampu menunjukkan haditsnya, maka argumen apapun yg dia lontarkan, dia akan tetap kalah dengan satu pertanyaan kunci ini

===

ps: kalau saya pribadi, saya sudah malas membagi ilmu dengan orang yang seperti itu, karena :

"membagi ilmu kepada orang yang tidak bersungguh-sungguh itu dzalim"

--> dzalim terhadap diri saya sendiri karena telah membuang-buang waktu saya untuk orang yang hanya bermain-main saja

===

end

***

bantahan syubhat dia berikutnya :

Benarkah bacaan al-Qur'an seperti surat al Fatihah tidak sampai pahalanya kepada mayit ? (4).

--> Ini JUDULNYA (ingat baik2), dan setelah di akhir saya membantah syubhat ini, maka silahkan anda temukan, apakah judul ini berkaitan dengan isi postingan ?? sungguh aneh orang yg membawakan syubhat ini apalagi penulis syubhat ini

Telah berkata Asy Syaikh Ibnul Qayyim, " Ada yang berkata : 'Sesungguhnya seorang Salaf tidak melakukan itu.'" Orang yang berkata demikian itu sebenarnya TIDAK MENGETAHUINYA.
Dan telah berkata Ibnul Qayyim, " DAN INI ADALAH PERBUATAN SELURUH MANUSIA TERMASUK ORANG-ORANG YANG MENGINGKARINYA SEPANJANG MASA DI SELURUH NEGERI TANPA BANTAHAN DARI PARA ULAMA DAN DIHUBUNGKAN KESAMPAIANNYA ITU PADA SEBAGIAN ORANG-ORANG SALAF."

--> Dua perkataan Ibnul Qayyim ini ditujukan dalam hal apa tidak dijelaskan dan dimananya pun tidak dijelaskan, jadi statement Ibnul Qayyim ini bersifat ‘ambigu’ (tidak jelas untuk menerangkan apa)

Asy Syaikh Taqiyyuddiin Abil-Abbas Ahmad bin Taimiyyah (Ibnu Taimiyyah, guru dari Ibnul Qayyim) telah berkata, " BARANGSIAPA YANG MEYAKINI BAHWA MANUSIA ITU TIDAK MENDAPAT MANFAAT KECUALI DENGAN AMALNYA SENDIRI, MAKA BERARTI IA TELAH MEROBEK-ROBEK KESEPAKATAN, DAN ITU ADALAH BATIL DI PANDANG DARI SEGALA SUDUT PANDANG.

--> Kita ‘anggap’ saja statement ini benar dari Ibnu Taimiyyah, lantas dimana letak pembolehan pengiriman al fatihahnya ? ada ? dan statement diatas hanya menjelaskan secara umum dan memang benar dan ada haditsnya bahwa mayit tidak akan mendapat tambahan pahala apa apa kecuali yang tiga point yg disebutkan dalam hadits, jadi, tidak ada yg bertentangan antara statement diatas dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi kembali ke pertanyaan semula, DIMANA LETAK pembolehannya kirim2 al fatihah ??

YANG PERTAMA, Bahwa manusia itu mendapat mafaat dengan do'a orang lain BERARTI MENDAPAT MANFAAT DENGAN AMAL ORANG LAIN.---------

YANG KEDUA, Bahwa Nabi Saw memberi syafaat kepada orang2 yg ada di mauqif (mahsyar) ketika diadakan hisab (pemeriksaan amal), kemudian untuk para penghuni surga ketika memasukinya, kemudian untuk orang2 yg mempunyai dosa besar ketika keluar dari neraka. DAN INI ADALAH KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN.----------

YANG KETIGA, Bahwa semua Nabi as dan orang2 shalih mempunyai syafaat, dan itu adalah KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN.----------

YANG KE-EMPAT, Bahwa para Malaikat mendo'akan dan memohonkan ampunan untuk yang ada bi bumi (manusia dan jin) dan itu KEMANFAATAN MURNI DENGAN AMAL ORANG LAIN.---------

YANG KE-LIMA, bahwa anak-anak kaum mukminin akan memasuki surga dengan amal-amal bapak mereka, DAN ITU KEMANFAATAN MURNI DENGAN AMAL ORANG LAIN. ----------

YANG KE-ENAM, Allah Ta'ala telah berfirman mengenai kisah dua orang anak yatim: "Sedang ayah mereka adalah orang yang shaleh." (QS.Al-Kahfi: 82). JADI MEREKA TELAH MEMPEROLEH MANFAAT DENGAN KESALEHAN BAPAK MEREKA, DAN KESALEHAN ITU BUKAN USAHANYA.----------

YANG KE-TUJUH, bahwa seorang mayit itu telah mendapat manfaat dari sedekah atas namanya dan juga dengan qurban atas namanya, sesuai nash As-Sunnah dan Ijma'. DAN ITU ADALAH DARI AMAL ORANG LAIN.----------

YANG KE-DELAPAN, bahwa ibadah haji yang wajib akan terbebas dari mayit, karena dihajikan oleh walinya sesuai nash As-Sunnah, DAN ITU ADALAH KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN.------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

YANG KE-DUA PULUH, bahwa --------------Barangsiapa memperhatikan ilmu ini, ia akan mendapatkan BAHWA SESEORANG AKAN MEMPEROLEH KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN, SEDANG IA TIDAK MENGAMALKANNYA DAN ITU HAMPIR-HAMPIR TAK TERHITUNG.

Bagaimana boleh ayat itu, "Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain yang telah diusahakannya." (QS. An Najm: 39) ditafsirkan bertentangan dengan ayat al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' umat dan tujuan insan secara umum.

--> Perhatikan semua yg saya ada diatas, diatas hanya menyebutkan yg akan sampai adalah do’a, sedekah, haji, dan apa apa yang memang ada haditsnya, tapi bagaimana dengan INTI DARI CATATAN ini ?? mana hadits mengenai kirim2 al fatihahnya ?? ada ??

==

Ini yang saya namakan si jaahil (bodoh) kuadrat sedang mencoba menjelaskan sesuatu yang dia sendiri TIDAK MENGERTI dengan apa yang dia sampaikan, jadi tidak salah jika saya mengatakan orang ini maaf.. ‘tidak waras’, karena bahkan dia sendiri pun TIDAK MEMAHAMI dan MUNGKIN tidak meneliti apa yang dia copas sendiri, sehingga yang terjadi adalah ‘dagelan komedi’, dimana dia saat ini sedang mempermalukan dirinya sendiri tanpa sadar dan dia menganggap dia berada dalam kebenaran,

Kasihan..

==

semoga kita dijauhkan dari orang-orang seperti ini dan ilmu yang tidak bermanfaat. aamiin

Suami Istri Bergandengan tangan di Tempat Umum

bismillaah,

Pertanyaan:

Bolehkah suami istri saling bergandengan tangan ketika jalan-jalan di tempat umum?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Wajib bagi muslim dan muslimah, apabila berjalan bersamaan, untuk menjaga rasa malu dan memperhatikan sopan santun. Terlebih jika mereka telah mengenal sunah dan adab-adab islam. Karena umumnya masyarakat menjadikannya sebagai panutan, menghormati dan memuliakannya. Untuk itu, dia harus menjaga kewibawaan dirinya.

Bergandengan tangan antara suami istri di jalan umum, pada asalnya tidak masalah, dan tidak ada dosa untuk perbuatan yang mereka lakukan. Bahkan terkadang keadaan tertentu menuntut dilakukan tindakan ini. Seperti ketika berjalan di keramaian dan jalan yang sesak.

Akan tetapi, ketika hendak melakukan perbuatan semacam ini, selayaknya mempertimbangkan adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat. Jika perbuatan semacam ini biasa dilakukan oleh masyarakat, termasuk tokoh agama di lingkungannya maka semacam ini tidak masalah.

Sebaliknya, jika bergandengan tangan suami istri semacam ini termasuk perbuatan yang bisa menjatuhkan wibawa, atau tercela secara adab dan akhlak di masyarakat setempat, maka pasangan suami istri tidak boleh bergandengan tangan di tempat yang banyak dilihat orang lain. Misalnya, di masyarakat tersebut, perbuatan semacam ini hanya dilakukan oleh orang jelek, orang pacaran, orang kafir, atau semacamnya.

Hanya saja, ketika bergandengan tangan di tempat umum antara suami istri diterima di masyarakat, yang harus dinampakkan adalah bergandengan tangan untuk menunjukkan keharmonisan keluarga atau saling membantu antara suami istri. Bukan bergandengan tangan seperti layaknya orang yang sedang pacaran, yang itu termasuk zina tangan. Karena itu, tidak selayaknya melakukan hal yang berlebihan dalam perkara mubah, sampai menyebabkan kita meniru orang fasik.

Allahu a’lam

***

http://muslimah.or.id/

KAMI DIPERKOSA,DILECEHKAN, DAN DISIKSA HANYA KARENA NAMA KAMI " A'ISYAH "

bismillaah,

 

Dukung MUI Keluarkan Fatwa Syi'ah Sesat Dan Haram Di Indonesia

KAMI DIPERKOSA,DILECEHKAN, DAN DISIKSA HANYA KARENA NAMA KAMI " A'ISYAH "

حرائر الشام : " عذبونا ، اغتصبونا ، ليس إلا لأن أسمائنا عائشة "

Cerita ini dipaparkan dari seorang gadis Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah) bernama Aisyah di Rumah Sakit di Turki, Istanbul. Dilengkapi keterangan dari salah seorang saksi hidup yang selamat.

Tanggal: 15 – 28 Juni 2011

Lokasi: Pabrik Gula Jisr Al-Shughour, Suriah Utara, kota Sunni, 20km dari Turki, perbatasan Syria.

----

Pada tanggal 14 Juni, pasukan Basyar mengitari Jisr Al-Shughour dengan formasi 3000 tentara dan 300 tank, untuk menggerebek kota pada keesokan harinya, yaitu tanggal 15 Juni.

Berita bocoran terakhir dari kota tersebut adalah, hampir 30 orang dibunuh dan dikubur di Pabrik Gula, kemudian di atasnya dilapisi semen. Hari-hari berikutnya hingga 28 Juni, berita mengenai peristiwa di Jisr Al-Shughour ditutup-tutupi dari dunia. Berita tersebut mulai bocor ke luar, 13 hari kemudian. Tepatnya tanggal 28 Juni, ketika tentara Assad meninggalkan kota itu untuk menggerebek kota lain.

Pada hari Jumat tanggal 17 Juni 2011, para jenderal Assad membunuh kurang lebih 30 pemuda dan menguburkannya di Pabrik Gula, lalu melapisinya dengan semen. Tapi saat malam tiba, para jenderal itu tidak menemukan tempat yang lebih baik untuk tidur dan menginap kecuali Pabrik Gula ini, sehingga merekapun memutuskan untuk memanfaatkannya sebagai markas selama operasi penyerangan kota.

Untuk menghidupkan situasi, sebuah ide sadis melintas di benak para jenderal itu. Mereka ingin beberapa budak Sunni telanjang untuk hiburan!

Mereka memerintahkan menangkap gadis-gadis tercantik di kota yang bernama Aisyah, sebanyak kurang lebih 20 orang gadis....

"Pertama kali kami memasuki pabrik, kami ditelanjangi dan menjadi sasaran pelecehan serta pemukulan, kemudian para jenderal itu memerintahkan tentaranya untuk berhenti memukul karena mereka ingin menikmati daging putih bersih kami," kata Aisyah.

"Setelah beberapa hari, saya pasrah tentang perkosaan tersebut. Sudah menjadi bagian dari hidup saya. Tapi jika menggunakan tubuh saya dan sayapun menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam serta menghidangkan teh dan kopi, setidaknya mereka memakaikan selembar baju di tubuh saya. Saya benci menjadi budak telanjang. Saya hanya berharap mereka menutupi tubuh saya," kata Aisyah.

"Pelecehan sebenarnya ditujukan pada ' nama Aisyah'. Maka ketika para jenderal itu kembali dari peperangan, mereka memerintahkan kami berbaris dan menjilati sepatu booth mereka sampai bersih sebagai rasa terimakasih pada mereka. Mereka bilang, mereka akan membunuh pemberontak dan melindungi kami dari pemerkosaan. Mereka biasa mengatakan, "Aisyah….. Kemari. Jilati booth-ku", "Aisyah….. Bawa kopiku", "Aisyah….. Siapa Allah-mu sekarang?" dan hal-hal sangat buruk lainnya," kata Aisyah.

"Saya sudah tahu apa yang akan terjadi sejak diberitahu bahwa yang ditangkap adalah gadis-gadis cantik yang muda. Tapi saya tidak pernah tahu mereka memilih kami karena nama kami, sampai keesokan harinya saat mereka mulai memanggil kami semua, Aisyah, dan melecehkan kami dengan berbagai cara yang mungkin, barulah kami mengerti apa yang mereka inginkan"; kata Aisyah.

"Hari pertama dia menyuntikkan sesuatu ke kaki saya hingga kami tidak mampu berdiri. Saya berharap dia membunuh saya saja malam itu, namun mereka tidak pernah menyuntik kami lagi."

"Pada hari ke-3 mereka membunuh salah satu gadis yang melawan salah seorang tentara. Mereka memotong putingnya karena dia menentangnya. Lalu kami tahu dari pembicaraan para tentara itu bahwa mereka memperkosanya kemudian membunuhnya dan menguburnya bersama 'yang lainnya' di bawah pabrik! Ini untuk menakuti para gadis agar tidak ada lagi yang berpikir untuk menentangnya," kata saksi mata yang selamat.

"Kami takut, kami dipaksa melayani mereka, dan kami dipaksa memuaskan seksual mereka bahkan di depan umum. Mereka 'memperkosa' kami bahkan di atas meja saat mereka sedang merencanakan bagaimana memindahkan tank-tank mereka untuk menghancurkan kota kami. Satu-satunya yang biasa membuat kami sedikit tenang adalah saat kami memasak untuk mereka. Kami bisa saling bertemu,walau tentu saja kami dilarang saling berbicara ataupun saling melihat. Tapi kami menikmati makanan sejak kami yang memasaknya," kata Aisyah.

"Setelah hari ke-10, mereka bangun dan menghilang begitu saja. Kami telanjang. Kami sendirian di pabrik. Kami tidak berani kabur. Kami tidak berani saling bertanya apakah kami sudah boleh saling berbicara atau tidak. Kami benar-benar takut. Lalu beberapa pria dari desa kami datang dan menyelamatkan kami" kata Aisyah.

"Alhamdulillah, saya telah keguguran dan dapat berjalan lebih baik sekarang. Saya masih ingat wajah-wajah mereka, nama-nama mereka dan kota-kota asal mereka. Saya bersumpah akan membalas dendam. Hanya kakak (laki-laki) saya yang tahu cerita keseluruhannya, yang tidak mungkin saya paparkan kepada keluarga saya karena mereka tidak akan lagi mengakui saya sebagai anak mereka setelah orang Syiah memperkosa saya. Tidak ada pria akan menikahi saya karena saya seorang budak. Saya akan mencoba mengubah nama saya dan tidak akan ada seorangpun mengenal saya," kata Aisyah.

------

Sungguh besar kebencian mereka kepada Aisyah, ummul mukminin.
Sungguh durjana perbuatan mereka kepada muslimat Suria. Saya jadi ingat perlakuan para penjajah Jepang dulu terhadapa wanita Indonesia, namun tetap perbuatan Syi'ah Suria ini lebih bejat.

Ya Allah, hancurkanlah syi'ah Rafidhah sehancur-hancurnya di manapun mereka berada. Dan bukalah mata dan hati saudara2 kami yang telah tertipu dengan Fatamorgana titisan Abdullah bin Saba' Al-Yahudi dan Abu Lu'lu'ah Al-Majusi ini.

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=485410441503031&set=a.421250954585647.97831.421237251253684&type=1&theater


MUI Pusat mengesahkan dan mendukung Fatwa MUI Jatim tentang Kesesatan Syiah

bismillaah,


Harian Republika pada tanggal (8/11/2012),

Ketua MUI Pusat, KH. Ma'ruf Amin mengatakan :

MUI Pusat mengesahkan dan mendukung Fatwa MUI Jatim tentang Kesesatan Syiah

Kaum Muslimin Indonesia hendaknya bersyukur pada Allah subhanahu wa ta'ala, pasalnya penjelasan MUI Pusat tentang Fatwa MUI Jatim yang mengatakan Syiah adalah Sesat dan Menyesatkan yang selama ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang sudah lama kebingunan akhirnya keluar juga.

Dalam penjelasannya di Harian Republika pada hari ini (8/11/2012), Ketua MUI Pusat, KH. Ma'ruf Amin mengatakan, "Setelah melakukan serangkaian penelitian dan berkonsultasi dengan MUI Pusat, MUI Jatim mengukuhkan fatwa serupa.

Mencermati hal itu, penulis menyimpulkan, bahwa Fatwa MUI Jawa Timur tentang Syiah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan ."

KH. Ma'ruf Amin adalah ulama di MUI Pusat yang diberikan amanah oleh Dewan Pimpinan MUI Pusat untuk dapat berbicara atas nama MUI, selain beliau di jajaran ketua-ketua MUI Pusat tidak berhak mengeluarkan statement dan pernyataan tentang berbagai masalah atas nama MUI, seperti Umar Shihab yang selama ini banyak mengeluarkan pernyataan bahwa Syiah tidak sesat. Ini sesuai dengan rapat Dewan Pimpinan MUI Pusat hari Selasa, 9 shafar 1433 H/ 3 jan 2012. Agendanya membahas masalah syiah.

Hasilnya antara lain sbb :

1. Rapat memutuskan Umar Shihab (salah satu ketua MUI, bukan ketua umum!) bersalah karena menyatakan Syiah tidak sesat dengan mengatasnamakan institusi MUI. Yang berhak memberi statement adalah K.H. Ma’ruf Amin (selaku koordinator Ketua II MUI) atau yg ditunjuk oleh Rapim DP MUI.

2. MUI tetap konsisten dengan Keputusan Rakernas MUI tgl 7 Maret 1984 tentang faham Syiah (yang berbeda dengan ahlussunnah dan wajib diwaspadai).

Sebelumnya, MUI Pusat juga mengukuhkan dan mendukung Fatwa MUI Sampang tentang kesesatan Syiah, beliau mengatakan, "Berdasarkan bukti- bukti lapangan, akhirnya MUI Sampang menetapkan bahwa ajaran Syiah yang diajarkan Tajul Muluk adalah menyimpang dan ditetapkanlah fatwa sesat terhadap ajaran tersebut.

Semoga bermanfaat

┈┈»̶✽♈̷̴✽«̶┈┈

BENARKAH IA SAYANG PADAMU?

bismillaah,


by ust Firanda Andirja Lc

Seseorang berkata: "Aku bertanya kepada seorang bijak, Bagaimanakah aku mengetahui siapa yang mencintai dan sayang kepadaku?"

Ia berkata : "Yaitu orang yang ikut memikul kesedihanmu…, selalu bertanya tentangmu…, tidak bosan denganmu…, memaafkan kesalahan-kesalahanmu…, menasehatimu jika bersalah…, selalu mengingatmu dan menyertakanmu dalam doanya"

Apalah ƴα̍nƍ bisa terbawa di tubuh ini kelak di saat kubur kita tertutup tanah..?

apa ƴα̍nƍ bisa kita banggakan δдяi diri ini ƴα̍nƍ banyak salah ?!

Hanya amalan dan pahala ƴα̍nƍ berhasil kita kumpulkan kelak..?

Masalah orang suka, cinta dll dll itu bukan permasalahan lg ƴα̍nƍ bisa membuat rasa aman nyaman..

Semoga bermanfaat

┈┈»̶✽♈̷̴✽«̶┈┈

SHALAT DUHA YANG BEGITU MENAKJUBKAN


bismillaah,

Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.

Keutamaan Shalat Dhuha

Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.”[1]

Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.”[2]

Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,

أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »

“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]

An Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.”[4]

Asy Syaukani mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5]

Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,

عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ الْغَطَفَانِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ ».

Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.”[6]

Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.”[7]

Hukum Shalat Dhuha

Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,

أَوْصَانِى خَلِيلِى - صلى الله عليه وسلم - بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.”[8]

Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”[9]

Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [10]

Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit.[13]

Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di masing-masing daerah dan kami tidak bisa memberitahukan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda.

Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu[14], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat[15]) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.”[16]

An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.”[17]

Jumlah Raka’at Shalat Dhuha

Jumlah raka’at shalat Dhuha, minimalnya adalah dua raka’at sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat[18]. Jadi boleh hanya dua raka’at, boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.

Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,

مُعَاذَةُ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى صَلاَةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.

Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.”[19]

Bolehkah Seorang Pegawai (Bawahan) Melaksanakan Shalat Dhuha?

Mungkin setiap pegawai punya keinginan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor tentu lebih utama daripada melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas dari atasan adalah wajib sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka sudah seharusnya amalan yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang sunnah. Hal ini berbeda jika kita menjalankan usaha sendiri (wirausaha) atau kita adalah pemilik perusahaan, tentu sekehendak kita ingin menggunakan waktu. Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau pegawai, kita tentu terikat aturan pekerjaan dari atasan.

Maka kami nasehatkan di sini, agar setiap pegawai lebih mendahulukan tanggung jawabnya sebagai pegawai daripada menunaikan shalat Dhuha. Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor. Lihat penjelasan waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di atas.

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah diketahui adalah shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15 menit setelah matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285.[20]

Bolehkah Melaksanakan Shalat Dhuha secara Berjama’ah?

Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[21]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[22]

Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23]

An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[24]

Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab,

“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25]. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[26], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[27]

Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Intinya adalah:

1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

“Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731)

2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.

3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.

4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.

Demikian penjelasan singkat dari kami mengenai shalat Dhuha. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com/

Disempurnakan di Panggang, Gunung Kidul, 24 Dzulhijah 1430 H

[1] HR. Muslim no. 720.

[2] HR. Muslim no. 1007.

[3] HR. Ahmad, 5/354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi.

[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[5] Nailul Author, Asy Syaukani, 3/77, Idaroh At Thob’ah Al Munirah.

[6] HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi, 4/118, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, tahun 1415 H.

[8] HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.

[9] Nailul Author, 3/76.

[10] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[11] Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/425, Al Maktabah At Taufiqiah.

[12] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,hal. 289, Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[13] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah yang akan kami bawakan selanjutnya.

[14] Idem

[15] Syarh Muslim, 6/30.

[16] HR. Muslim no. 748.

[17] Syarh Muslim, 6/30.

[18] Pendapat ini dipilih juga oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah,hal. 289.

[19] HR. Muslim no. 719.

[20] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhut ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 23/423, Darul Ifta’.

[21] Sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh penanya.

[22] Al Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah.

[23] Fathul Baari, 3/421

[24] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[25] Hadits muttafaq ‘alaih.

[26] Hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah ‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah 266 (658)

[27] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah

Artikel lainnya:

Shalat Dhuha bisa Menggantikan Sedekah dengan Seluruh Persendian

http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3049-shalat-dhuha-bisa-menggantikan-sedekah-dengan-seluruh-persendian.html

Hukum Mengerjakan Shalat Dhuha Secara Berjama’ah

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2698-hukum-mengerjakan-shalat-dhuha-secara-berjamaah.html

Melaksanakah Shalat Dhuha di Saat Jam Kantor

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3042-bolehkah-melaksanakan-shalat-dhuha-di-saat-jam-kerja-kantor.html

Adakah Do’a Khusus Ketika Shalat Dhuha?

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3036-adakah-doa-khusus-ketika-shalat-dhuha.html

Adakah Bacaan Surat Tertentu dalam Shalat Dhuha?

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3032-apakah-ada-bacaan-surat-tertentu-dalam-shalat-dhuha.htm

Blog Archive