Follow us on:
BERSAMA AHLI BAIT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM-1/2-

Oleh
Ustadz Abu Abdillah Al-Atsari

Nasab ahli bait/ahlul bait merupakan nasab yang mulia, karena mereka terlahir dari keturunan orang-orang pilihan, manusia terbaik yang ada di muka bumi. Namun kemuliaan nasab ini janganlah membuat kita lupa daratan kepada mereka, semisal terlalu berlebihan alias ghuluw atau menganggap mereka ma’shum dari dosa, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya bagaimana loyalitas yang benar terhadap ahli bait, cermati pembahasan berikut ini. Allahul Muwaffiq.

SIAPAKAH AHLI BAIT?
Telah terjadi silang pendapat di kalangan ulama tentang siapakah ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat yang shahih, ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang diharamkan bagi mereka shodaqoh. Mereka adalah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya, serta seluruh kaum muslimin dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib dan keturunan Bani Hasyim bin Abd Manaf, Allahu a’lam

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Telah terlahir Syaibah untuk Hasyim bin Abd Manaf dan dia adalah Abdul Muthalib, pada dirinyalah patokan kemuliaan. Tidak tersisa keturunan dari Bani Hasyim kecuali dari Abdul Mutholib saja” [Jamharoh Ansab Al-Arob hal. 14] [1]

KEUTAMAAN AHLI BAIT [2]
[1]. Allah Telah Menyucikan Mereka
Imam Muslim telah meriwayatkan dari jalan Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar, kemudian datang Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma dan memasukkannya bersamanya, kemudian datang Husain dan beliau memasukkanya pula, kemudian datang Fathimah Radhiyallahu ‘anhuma dan beliau memasukkan bersamanya, kemudian datang Ali Radiyallahu ‘anhuma dan beliau memasukkannya pula, kemudian beliau membaca ayat.

“Artinya : … Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” [Al-Ahzab : 33]

[2]. Pilihan Allah
Nasab ahlul bait merupakan nasab yang paling mulia, karena dari keturunan orang-orang pilihan. Cermatilah hadits berikut.

“Artinya : Dari Watsilah bin Asyqo Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il dan Allah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah. Allah memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan Allah memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” [HR Muslim : 2276]

[3]. Berhak Mendapat Seperlima Harta Ghonimah Dan Harta Fa’i[3]
Allah berfirman.

“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil” [Al-Anfal : 41]

Firman Allah tentang harta fa’i.

“Artinya : Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, rosul, kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan…[Al-Hasyr : 7]

[4]. Tidak Halal Meneriman Shadaqah
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas bagi keluarga Muhammad, hanyalah shadaqah itu untuk orang-orang yang kotor”[4] [HR Muslim : 1072]

[5]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Berwasiat Kepada Mereka
Imam Muslim telah meriwayatkan dari jalan Yazid bin Hayyan dia berkata : Aku pernah pergi bersama Husain bin Sabroh dan Umar bin Muslim menuju rumah Zaid bin Arqom Radhiyallahu ‘anhu. Tatkala kami telah duduk di sisinya, Husain berkata : “Wahai Zaid, sungguh engkau telah meraih kebaikan yang banyak, engkau telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hadits-hadits beliau, pernah berperang bersama beliau, dan shalat dibelakang beliau. Sungguh engkau telah meraih kebaikan yang banyak, ceritakanlah kami hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wahai Zaid!”. Zaid Radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Wahai anak saudaraku, demi Allah aku sekarang sudah tua, masaku telah lewat, aku pun telah lupa sebagian yang aku hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam maka apa yang aku ceritakan kepadamu terimalah, dan apa yang tidak aku ceritakan maka janganlah kalian mebebaniku”. Kemudian Zaid berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami pada suatu hari, beliau memuji Allah, menasehati, dan setelah itu beliau bersabda : “Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah manusia biasa, hampir datang seorang utusan Rabbku dan aku akan memenuhinya, aku tinggalkan kalian dua pedoman, yang pertama Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambilah Kitabullah itu, berpegang teguhlah. Lalu beliau melanjutkan : “Dan terhadap ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”, beliau mengulang ucapannya sampai tiga kali”. Husain berkata : “Siapa ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahai Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk ahli baitnya?” Zaid Radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Ya, istri-istri beliau termasuk ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ahli baitnya adalah orang-orang yang haram menerima shadaqah setelahnya” [HR Muslim : 2408]

[6]. Nasab Mereka Tidak Terputus Hingga Hari Kiamat
Berdasarkan hadits.

“Artinya : Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari Kiamat kecuali sebabku dan nasabku” [HR Thobari dalam Mu’jam Kabir 3/129/1, Harowi dalam Dzammul Kalam 2/108. Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shohihah 5/64 : Kesimpulannya, hadits ini dengan keseluruhan jalan-jalannya adalah shahih] [5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Tidak perlu diragukan wasiat untuk berbuat baik kepada ahli bait dan pengagungan kepada mereka, karena mereka dari keturunan yang suci, terlahir dari rumah yang paling mulia di muka bumi ini secara kebanggaan dan nasab. Lebih-lebih apabila mereka mengikuti sunnah nabawiyyah yang shahih, yang jelas, sebagaimana yang tercermin pada pendahulu mereka seperti Al-Abbas dan keturunannya, Ali dan keluarga serta keturunannya, semoga Allah meridhoi mereka semua” [Tafsir Ibnu Katsir 4/113]

[Disalin dari Majalan Al-Furqon Edisi 08 Tahun VI/Robi’ul Awal 1428 [April 2007]. Rubrik Tazkiyatun Nufus. Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
__________
Foote Note
[1]. Lihat dalil-dali masalah ini dalam Fadhl Ahli Bait wa Uluwwi Makanatihin inda Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad.
[2]. Ulama Ahlus Sunnah telah sepakat akan keutamaan ahli bait dan dibencinya mencela mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ali Al-Qari dalam Syarh Al-Misykah 5/602
[3]. Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghonimah) ialah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dianamakan fa’i.
[4]. Penyebab ahli bait haram menerima shadaqah, karena ahli bait telah Allah muliakan dan Allah sucikan dari segala kotoran. Sedangkan shadaqah untuk membersihkan harta dan jiwa manusia. (Syarah shahih Muslim 7/178]
[5]. Dalam sebagian jalan hadits, dseibutkan bahwa hadits ini di antara salah satu penyebab mengapa umar berkeinginan untuk menikah dengan Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib. (Fadhl Ahli Bait hal. 62]

Dari almanhaj.or.id


kalo untuk kalangan habib (bani alawiyin) tarekatnya khusus hanya utk (yg konon) keturunan Rasulullah Shollalahu 'Alaihi Wassalam namanya tarekat alawiyah, jadi yg orang biasa cm bisa gigit jari ga bisa masuk komunitas alawiyin.

Syi`ah di negeri kita ini diam-diam terus bekerja siang malam, tanpa kenal lelah. Hasilnya, ada begitu banyak agen-agen ajaran syi`ah yang siap merenggut umat Islam Indonesia untuk menerima dan jatuh ke pelukan ajaran ini

Iranian Corner di Perguruan Tinggi Islam
Perkembangan Iranian Corner di Indonesia khususnya Perguruan Tinggi cukup marak. Di Jakarta, Iranian Corner ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Jogjakartasebagai kota pelajar malah punya tiga sekaligus,yaitu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa dibayangkan, Yogyakarta, satu kota saja ada 3 Iranian Corner; yang satu UIN, yang dua Muhammadiyah. Di Malang juga ada di Universitas Muhammadiyah Malang

Islamic Cultural Center (ICC)
Di Indonesia Iran memiliki lembaga pusat kebudayaanRepublik Iran, ICC (Islamic Cultural Center), berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Dari ICC itulah didirikannya Iranian Corner di 12 tempat tersebut, bahkan ada orang-orang yang aktif mengajar di ICC itu.

Di antara tokoh yang mengajar di ICC itu adalah kakak beradik:
Umar Shihab ( salah seorang Ketua MUI -Majelis Ulama Indonesia Pusat) dan Prof Quraish Shihab (mantan Menteri Agama), Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir dan O. Hashem. Begitu juga sejumlah keturunan alawiyin atau habaib, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus

saudaraku sekalian, lindungi dan jauhkan dirimu, keluargamu, tetanggamu dan teman2mu dari ajaran sesat syi'ah dan segala pendekatannya. jangan biarkan ummat Islam di negeri ini membiarkan virus penyakit yg bisa mencabik-cabik negeri seperti apa yg terjadi di Lubnan, Iraq, Suury, Yaman, Pakistan dikarenakan suburnya ajaran ini. Lihatlah fakta yg terjadi di negeri pengekspornya, di mana saudara2 kita muslim sunni diberangus hak2 dan kebebasannya.

Allahul musta'aan


tentang Habaib yang banyak di Indonesia, perlu diketahui bahwa asal-usul mereka adalah dari Hadramaut (Yaman Selatan). Memang sebagian besar dari mereka mengaku keturunan Ali bin Abi Thalib, sebab itulah mereka juga disebut Bani Alawi atau Alawiyyin (sebagaimana yang diakui oleh sdr. Novel Alaydrus dalam bukunya: Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi). Tapi saya tidak berani memastikan apakah semua yang ngaku ‘habib’ berarti keturunannya Ali.

Tentang akidah mereka, menurut penulis kitab Idaamul Quut fi Dzikri Buldaani Hadramaut, yang juga ‘habib’, namanya Abdurrahman bin Ubeidillah Assegaf (w. 1375 H), dalam halaman 897 beliau mengatakan bahwa orang-orang Alawiyyin di Hadramaut terbagi dalam tiga periode:

Pertama, sejak leluhur mereka yang bernama Ahmad bin Isa Al Muhajir hingga Al Faqih Al Muqaddam. Al Muhajir, yakni yang hijrah dari Irak ke Hadramaut dan menjadi cikal bakal Alawiyyin di sana. periode ini menurut beliau masih berpenampilan seperti para sahabat dan memanggul senjata, singkatnya mereka masih berakidah Ahlussunnah wal jama’ah.






Periode kedua, adalah sejak Al Faqih Al Muqaddam ke Al Aydrus. Al Faqih Al Muqaddam adalah tokoh mereka yang pertama kali meletakkan senjata dan menganut tasawuf.

 
Periode ketiga ad
alah, setelah Al Aydrus hingga abad ketiga belas Hijriyah, yang telah terwarnai dengan tasawuf tulen. Tidak tahu pasti kapan mereka mulai datang ke Indonesia, tapi yg jelas mereka datang setelah terwarnai ajaran sufi, bukan membawa faham Ahlussunnah yang murni, seperti yang diakui juga oleh Novel Alaydrus dalam bukunya tadi. Dan sebagaimana kita ketahui, tasawuf merupakan gerbang dari banyak aliran sesat dan sarat dengan bid’ah khurafat. Oleh karenanya, setiap aliran sesat bisa saja menyusup lewat tasawuf, lewat kedok cinta kepada ahlul bait, dst… sebagaimana yang dilakukan oleh syi’ah. Apalagi ada kemiripan antara tarekat Bani Alawi dengan syi’ah, yaitu keduanya sama-sama mengajarkan umat untuk cinta kepada Ahlul Bait (baca: menyanjung para habaib), dengan cium tangan kepada mereka, menghadiri acara haul mereka,dsb… ini jelas suatu kemaslahatan yang akan mereka pertahankan, dan sedikit banyak cocok dengan ajaran syi’ah yang juga mengultuskan ahlul bait.

Makanya tidak heran jika banyak dari dedengkot-dedengkot syi’ah baik nasional maupun internasional berasal dari mereka. Contohnya Hussein Al Habsyi asal Bangil (dia sudah binasa, bukan yang buta dan pernah dipenjara itu), dia pernah langsung baiat dengan Khomeini, dan pendiri YAPI, salah satu organisasi syiah tertua di Indonesia. Demikian pula Quraisy Shihab, Haidar Bagir, dll. Mereka juga dari kalangan Habaib.

 
Menyedihkan memang, tatkala orang yang mengaku anak cucu Rasulullah justru menjadi musuh ajaran beliau. Bukannya mereka menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, namun justeru melestarikan bid’ah khurafat di masyarakat. Saya rasa sebab dari ini semua adalah hawa nafsu dan kepentingan duniawi… mereka khawatir kehilangan pamor di masyarakat kalau meninggalkan ajaran leluhurnya, mengingat sikap mereka yang sangat eksklusif dalam menjaga nasab dan tradisi. Bahkan karena eksklusivisme inilah akhirnya berdiri Yayasan Al Irsyad sebagai tandingan atas Jami’at Khair yang mereka dirikan. Al Irsyad berdiri sebagai gerakan pembaharuan atas pemikiran-pemikiran kolot yg mereka tanamkan di masyarakat Indonesia, baik yang pribumi maupun keturunan Arab. Di antara pemikiran tersebut ialah tidak bolehnya seorang wanita ‘alawiyah dinikahi oleh pria yang bukan ‘alawi, walaupun ia orang Arab. Tentu ini bukan ajaran Islam, tapi fanatisme jahiliyah yang harus direformasi, sebab Nabi sendiri menikahkan dua orang puterinya (Ruqayyah&Ummu Kultsum) kepada Utsman bin Affan yang notabene adalah Bani Umayyah, bukan Ahlul Bait, Kemudian Ali bin Abi Thalib menikahkan puterinya yang bernama Ummu Kultsum (yang berasal dari Fatimah radhiyallahu'anha) kepada Umar bin Khatthab yang bukan dari Bani Hasyim, namun dari Bani Adiy, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Dari sinilah akhirnya muncul dua kubu: Habaib dan Masyayikh. Habaib dengan tradisi tasawufnya, sedangkan Masyayikh (non Habaib) dengan gerakan pembaharuannya, seperti Al Irsyad.

 
Memang bisa dibilang 99% dari para habaib tadi yang tinggal di Indonesia adalah penganut tarekat (sufi). Itu karena mereka sangat terikat dengan tradisi keluarga yg kolot tadi. Tapi beda dg kondisi mereka yg terpelajar dan ingin membuka fikirannya, atau mereka yang tinggal di Malaysia, Saudi, atau negara-negara maju, mereka tidak lagi terikat dengan tradisi kolot tersebut sehingga banyak yang kembali menjadi salafi, atau paling tidak bukan sufi lagi.

 
Tentang taqiyyah, saya tidak berani memastikan bahwa mereka bertaqiyyah sepertt orang syi’ah, karena mayoritas mereka bukan syi’ah namun sufi, dan sufi masih berbeda dengan syi’ah karena kaum sufi masih menghargai para sahabat dan tabi’in, bahkan terkadang mengkeramatkan kuburan mereka. Ini jelas berbeda dengan keyakinan syi’ah yang mengkafirkan para sahabat tadi. Tapi kalau sudah diindikasikan syi’ah, ya siapa pun orangnya pasti akan bertaqiyyah, terlepas dari habib-kah dia atau bukan.
Demikian penjelasan ana, semoga membantu, wallaahu ta’aala a’lam.

Semoga bermanfaat...

Dinukil dari sesi tanya jawab dalam artikel yang berjudul Hegemoni Syi'ah di muslim.or.id.

http://muslim.or.id/manhaj/hegemoni-syiah.html


Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah

(Resume Ceramah MT Ar Rusydu #4 091210)

AHLUS SUNNAH WAL JAMAA’AH

MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMAA’AH

Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc. MM.Pd

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته



Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Di zaman sekarang, fitnah telah merajalela. Dunia dihiasi oleh para ahli pidato, ahli Bid’ah telah membuka kedok jati dirinya sendiri sehingga tersebarlah Bid’ah mereka di muka bumi, dihidupkannya kembali madzhab nenek moyang mereka yang menyimpang dari Syar’i, serta maraknya pemikiran-pemikiran baathil dan tumbuh suburnya berbagai jamaa’ah-jamaa’ah modern yang menyimpang dari kebenaran. Semua ini adalah tindakan pengrusakan yang sangat keji dari musuh-musuh Allooh سبحانه وتعالى untuk merusak ‘aqidah kaum muslimin dan memutus mereka dari jalan yang lurus menuju kepada Allooh سبحانه وتعالى setelah jalan itu dibentangkan dengan demikian jelasnya bagi kaum muslimin oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
1432 tahun yang lalu.

Namun orang yang beriman tidak mudah terpedaya oleh tipuan musuh-musuh Allooh سبحانه وتعالى, justru mereka akan semakin kokoh keimanannya, sadar sepenuhnya akan kebenaran pesan yang telah disampaikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Al Imaam At Turmudzy dalam Sunan-nya no: 2676 dari shohabat Al Irbaad Ibnu Saariyah رضي الله عنه sebagai berikut:

أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا

Artinya:

“Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allooh, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup diantara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak…”

Dan juga firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al An’aam (6) ayat 153 :

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya:

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allooh kepadamu agar kamu bertakwa.”

Maka wajib bagi kaum muslimin untuk mengetahui mana Jalan yang Lurus itu, jalan dari Ath Thoo ifatul al Mashuuroh (Kelompok yang ditolong Allooh سبحانه وتعالى), yakni Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.

Maka melanjutkan kajian kita sebelumnya, kali ini pembahasan kita adalah mengenal “Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah”. Bukan menurut versi ahli Bid’ah. Bukan menurut versi orang Syi’ah (dimana mereka mencampuradukkan antara yang haq dengan yang baathil, dan berusaha menipu manusia dengan menggunakan istilah “Syi’ah yang Sunni” dan sejenisnya, sehingga memperdaya orang-orang awam untuk menutupi jati diri mereka). Mari kita membahas Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah itu sendiri, bukan dari pemahaman selainnya, atau kaum yang mengaku sepertinya.

Pembagian Dien berdasarkan Proses Diturunkannya

Berdasarkan proses diturunkannya, maka Dien itu terbagi menjadi 2 yakni:

1. Dienullooh, yakni dien atau ajaran yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى.

Disebut pula Samawi, yakni dien yang berasal dari Langit, karena landasannya adalah Wahyu. Pengitkutnya disebut Muslim dan Ahli Kitab, yaitu: Yahudi dan Nashroni.

2. Ghoiru Dienillaah, yakni dien atau ajaran yang berasal dari selain Allooh سبحانه وتعالى.

Disebut pula Watsani (penyembah Berhala), yakni dien yang landasannya bukan berasal dari Wahyu, melainkan berdasarkan: Filsafat, Budaya, Mimpi, Rasa, Kesepakatan, Undang-Undang buatan manusia, dan lain sebagainya. Jumlah ajaran Watsani itu adalah tak terhingga banyaknya. Pengikutnya disebut Musyrikin.

Pembagian tersebut adalah sebagaimana diberitakan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Bayyinah (98) ayat 1 :

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Artinya:

“Orang-orang kaafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Lalu perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS Aali ‘Imroon (3) ayat 83 :

أَفَغَيْرَ دِينِ اللّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Artinya:

“Maka apakah mereka mencari dien yang lain (selain) dari dien Allooh, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allooh lah mereka dikembalikan.”

Kemudian dalam QS Aali ‘Imroon (3) ayat 85 :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya:

“Barangsiapa mencari dien selain dienul Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Pada mulanya, dien yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى itu aslinya hanyalah satu nama, yakni bernama “Islaam”. Namun, oleh pembesar-pembesar bani Isroo’iil nama tersebut diubah menjadi “Yahudi”, karena sifat ghuluuw (berlebih-lebihan) mereka sehingga mereka pun menisbatkan suatu nama kepada Nabi Ya’qub عليه السلام.

Demikian pula “Nashroni” itu berasal dari kata “Nashoro” yang artinya adalah “Menolong”, yang dimaksud mereka adalah “Menolong Isa عليه السلام”, yang kemudian dijadikan pula sebagai suatu nama dien.

Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 77 :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ

Artinya:

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam dien-mu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”

Jadi pada asal muasalnya, seluruh dien itu adalah satu nama yakni Al Islaam, namun karena sifat ghuluuw / hawa nafsu yang diperturutkan dari pengikut-pengikut Nabi Ya’qub عليه السلام dan Nabi Isa عليه السلام yang menyimpang dari ajaran nabi-nabi mereka, maka nama Islaam pun dirubah menjadi Yahudi dan Nashroni, dan dirubah pula isi ajaran-ajarannya sehingga tidak lagi sesuai dengan apa yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 132-133:

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٣٢﴾ أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿١٣٣

Artinya:

(132) “Dan Ibrohim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrohim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allooh telah memilih dien ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk dienul Islam“.

(133) Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu ibadahi sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan beribadah pada Illah-mu dan Illah nenek moyangmu, Ibrohim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Allooh Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (muslim).”

Juga dalam QS Al Baqoroh (2) ayat 136 :

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya:

“ Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allooh dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Robb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (muslim)“.

Juga dalam QS Aali ‘Imroon (3) ayat 52 :

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللّهِ آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Artinya:

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isroo’iil) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan dien) Allooh?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (dien) Allooh. Kami beriman kepada Allooh; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslim).”

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah / tariikh Islaam, Nabi Ibrohim عليه السلام mempunyai 2 orang istri yakni Sarah (tinggal di Palestina) dan Hajar (tinggal di Mekkah). Dari Sarah, lahirlah nabi Ishaq عليه السلام. Dari Nabi Ishaq عليه السلام, lahirlah nabi Ya’qub عليه السلام. Dari nabi Ya’qub عليه السلام, lahirlah nabi Yusuf عليه السلام, dan seterusnya nabi-nabi yang merupakan keturunan bani Isroo’iil seperti: nabi Musa عليه السلام, nabi Harun عليه السلام sampai dengan nabi Isa عليه السلام. Sementara dari Hajar lahirlah nabi Ismail عليه السلام yang tidak menurunkan seorang nabi dan rosuul pun sampai dengan lahirnya nabi dan rosuul penutup, dialah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Tetapi sesungguhnya, mereka semua adalah menganut dien yang satu, yakni Al Islaam. Pengikut-pengikutnyalah yang menyelewengkan ajaran mereka sehingga muncullah Yahudi dan Nashroni, sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Yahudi sendiri, kemudian terbagi menjadi 71 golongan. Yang selamat dari mereka hanya satu golongan; sedangkan 70 golongan lainnya adalah diancam masuk neraka oleh Allooh سبحانه وتعالى.

Demikian pula Nashroni, kemudian terbagi menjadi 72 golongan. Yang selamat dari mereka hanyalah satu golongan; sedangkan 71 golongan lainnya adalah diancam masuk neraka oleh Allooh سبحانه وتعالى.

Sementara Islam, juga terbagi menjadi 73 golongan. Satu golongan yang mengikuti Al Qur’an, As Sunnah dengan pemahaman As Salafush Shoolih (yakni Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah) adalah merupakan golongan yang selamat; sedangkan 72 golongan lainnya adalah diancam masuk neraka oleh Allooh سبحانه وتعالى.

Darimanakah pembagian ini? Pembagian ini adalah berdasarkan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri dalam Hadits melalui Abu Hurairoh رضي الله عنه:

تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث وسبعين فرقة

Artinya:

“Yahudi telah berpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan Nashoro seperti itu dan ummatku berpecah menjadi 73 golongan.” (Hadits Shohiih Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2640)

Lalu pertanyaannya, apabila ada 1 golongan selamat dari Yahudi dan 1 golongan selamat dari Nashroni, masih bolehkah ummat manusia sekarang mengikuti ajaran Yahudi dan Nashroni? Jelas tidak. Karena 1 golongan yang selamat dari Yahudi itu hanyalah berlaku pada masa nabi-nabi dan rosuul-rosuul dari kalangan bani Isroo’iil sebelum munculnya nabi dan rosuul terakhir yaitu Muhammad صلى الله عليه وسلم, demikian pula 1 golongan yang selamat dari Nashroni itu hanyalah berlaku pada masa nabi-nabi dan rosuul-rosuul dari kalangan bani Isroo’iil sebelum munculnya nabi dan rosuul terakhir yaitu Muhammad صلى الله عليه وسلم. Tetapi, begitu Allooh سبحانه وتعالى turunkan Syari’at Islam yang telah disampaikan oleh Muhammad Rosuululllooh صلى الله عليه وسلم, maka syari’at-syari’at yang ada sebelum turunnya Syari’at Islam tersebut telah dihapuskan atau tidak berlaku lagi. Karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم diutus tidak hanya pada bani Isroo’iil saja (sebagaimana Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Isa عليه السلام), namun Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم diutus bagi seluruh ummat manusia di muka bumi ini.

Perhatikan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Saba’ (34) ayat 28 :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيراً وَنَذِيراً وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya:

“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”

Juga Hadits dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melalui Abu Hurairoh رضي الله عنه, dimana beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:

وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Artinya:

“Demi yang jiwaku ditangan-Nya, tidak ingin kudengar seorangpun dari ummat ini Yahudi atau Nashroni yang mati lalu tidak beriman kepada ajaran yang kubawa, kecuali dia akan menjadi penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 403)

Bayangkan, betapa banyak musuh-musuh Al Islaam? Yang terdiri dari Musyrikin (Watsani), dan juga 213 Golongan yang Celaka (Al Firoqu Al Haalikatu), yang berasal dari 70 sekte Yahudi, 71 sekte Nashroni dan 72 sekte Islam yang menyimpang dari kebenaran.

Sementara yang selamat hanyalah 1 Golongan, yang disebut: Al Firqotu An Najiyyah (Golongan yang Selamat) yakni Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, sebagaimana dikhobarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam sabdanya melalui Mu’awiyah رضي الله عنه sebagai berikut:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى قَائِمَةً بِأَمْرِ اللَّهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ

Artinya:

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang tegak diatas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menghina dan menyelisihi mereka sehingga datang hari Kiamat sedang mereka tetap berada dalam kemenangan terhadap manusia.” (Hadits Shohiih Riwayat Imaam Muslim no: 5064)

Dari shohabat ‘Abdullooh bin ‘Amr رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث وسبعين فرقة

Artinya:

“Sesungguhnya Bani Isroo’iil terpecah menjadi 72 golongan, dan akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan, semuanya didalam Neraka kecuali satu golongan.” Lalu para Shohabat bertanya: “Wahai Rosuulullooh, siapa dia?” Beliau menjawab, “Yaitu mereka yang berada pada apa yang telah ditempuh olehku dan oleh Shohabatku.” (Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2640, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه dan dihasankan oleh Syaikh Al Albaany)

Juga Hadits berikut ini:

وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي

Artinya:

“Dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, seluruhnya didalam neraka kecuali satu”, Lalu para shohabat bertanya, “Siapa dia ya Rosuul?” Rosuul صلى الله عليه وسلم menjawab, “Apa-apa yang aku dan para shohabatku diatasnya.”

(Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2641 dari ‘Abdullooh bin ‘Amr, رضي الله عنه, dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany)

Jadi semua diancam masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadits, diatas pemahaman As Salafus Shoolih.

Karena hidup di dunia ini hanyalah sekali, lalu mengapa kita menyia-nyiakan waktu dengan menengok ke berbagai ajaran lain yang diancam neraka oleh Allooh سبحانه وتعالى? Hendaknya kita mencukupkan diri untuk berusaha semoga Allooh سبحانه وتعالى memasukkan kita ke dalam 1 golongan yang selamat tersebut, berusaha menuntut ‘ilmu dien untuk mengetahui perkara-perkara apa saja yang diperintah dan dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى, lalu sesudahnya ber-‘amal shoolih sesuai tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan mendakwahkannya kepada orang-orang di sekitar kita, agar kita semua dapat bersama-sama selamat menuju ridho dan surga Allooh سبحانه وتعالى di hari kiamat nanti.

Dan janganlah kita tergolong orang-orang yang diberitakan oleh Hadits berikut yang diriwayatkan oleh Shohabat Sahl bin Sa’ad رضي الله عنه, ia berkata, “Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ فَمَنْ وَرَدَهُ شَرِبَ مِنْهُ وَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ بَعْدَهُ أَبَدًا لَيَرِدُ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ قَالَ أَبُو حَازِمٍ فَسَمِعَنِي النُّعْمَانُ بْنُ أَبِي عَيَّاشٍ وَأَنَا أُحَدِّثُهُمْ هَذَا فَقَالَ هَكَذَا سَمِعْتَ سَهْلًا فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ وَأَنَا أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَسَمِعْتُهُ يَزِيدُ فِيهِ قَالَ إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي

Artinya:

“Aku akan mendahului kalian tiba di Haudh (telaga Al Kautsar). Barangsiapa yang tiba disana, pasti minum dan siapa saja yang minum darinya, pasti tidak akan dahaga selama-lamanya. Akan datang kepadaku sejumlah ummatku, aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku. Kemudian aku dipisahkan dari mereka.”

Abu Hazim berkata, “An Nu’man bin Abi ‘Ayyasy رضي الله عنه mendengarnya ketika aku sedang menyampaikan hadits ini kepada mereka. Beliau berkata, ‘Begitukah engkau mendengarnya dari Sahl bin Sa’ad?’”

“Benar!”, kataku. Ia lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Abu Saa’id Al Khudry رضي الله عنه menambahkan (apa yang ia dengar dari sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tersebut),

“Sesungguhnya mereka dari ummatku.” Lalu dikatakan kepadaku, “Engkau tidak tahu apa yang mereka tukar / ganti sepeninggalmu!”

Maka aku katakan, “Menjauhlah, menjauhlah! Bagi yang menukar-nukar dien sepeninggalku!” - (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no : 7050)

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah?

Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah berasal dari 4 kata:

1. Ahlu

2. Sunnah

3. Wa

4. Al Jamaa’ah.

Berikut ini, akan kita pelajari masing-masing kata tersebut, baik secara Etimologis maupun Terminologis-nya.

1. “Ahlu”

Didalam bahasa Arab, kata “Ahlu” baru memiliki makna sempurna bila digabungkan dengan suatu kata lain, contohnya:

- Ahlur rojul, bermakna: Istri Seseorang

- Ahlul Bayt, bermakna: Warga Rumah

- Ahlu An Nabiy, bermakna: Ummat Nabi

- Ahlul Hadiits, bermakna: Pemelihara Hadiits

- Ahlus Sunnah, bermakna: Pemelihara Sunnah

2. “Sunnah”

Sebagaimana telah dijelaskan dalam kajian kita yang lalu, yang disebut sebagai “Sunnah” itu mengandung 4 (empat) komponen, yaitu:

1. Qowlun = Perkataan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم

2. ‘Amaalun = Perbuatan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم

3. Taqriirun = Apa-apa (dari para Shohabat) yang didiamkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم (yang berarti disetujui oleh beliau صلى الله عليه وسلم)

4. Shifat = baik Perilaku maupun Fisik Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم

Al Imaam Al Barbahaary رحمه الله berkata, “Sunnah itu adalah Islaam, dan Islaam itu adalah Sunnah.”

Imaam Ibnul Mandzuur رحمه الله dalam kitabnya yang berjudul “Lisaanul ‘Arob” menjelaskan bahwa, “Ahlul Qur’an adalah Hafadzotuhu (para Penghafal dan Pemelihara Al Qur’an).”

Maka makna dari “Haafidz” adalah “Menghafal” dan “Memelihara”.

Maka apabila “Ahlus Sunnah” adalah bermakna “Pemelihara Sunnah”, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu apa saja yang dimaksud dengan “Memelihara Sunnah” itu, yakni:

a) Menghafal (Al Qur’an maupun Hadiits)

b) Mempelajari (Al Qur’an Maupun Hadiits)

c) Memisah-misah / memilah-milahkannya, sehingga dapat diketahui mana yang tergolong :

c.1) Hadiits Maqbuul (Diterima):

- Shohiih

- Hasan

- Muttawatir

c.2) Hadiits Marduud (Ditolak):

- Maudhuu’ (Palsu)

- Dho’iif (Lemah)

d) Menyebarkan / mendakwahkannya

e) Menghidupkan sunnah / mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari

f) Membelanya, bila ada musuh-musuh Islam yang mencelanya.

Lalu hendaknya kita introspeksi diri kita masing-masing, sudahkah kita mengamalkan apa yang menjadi makna “Memelihara Sunnah” diatas?

Sudahkah kita menghafal ayat-ayat Al Qur’an?

Sudahkah kita menghafal Hadiits-Hadiits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم?

Atau apakah, Al Qur’an itu malah teronggok disudut-sudut rumah kita karena jarangnya disentuh, dibaca apalagi dipelajari, direnungkan serta diamalkan isinya?

Atau apakah, satu buku Hadiits pun kita tidak punya didalam rumah-rumah kita; apalagi membaca, memahami serta mengamalkan isinya kalau memilikinya pun juga tidak?

Lalu kita menepuk-nepuk dada sambil menyeru lantang “Aku ini adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah” atau “Ana Salafy“, padahal Al Qur’an dan Hadiits pun kita tidak tahu apalagi hafal; karena kita lebih sibuk memenuhi akal dan pikiran kita dari televisi, majalah, koran serta meninggalkan Al Qur’an dan As Sunnah. Jangan-jangan kita barulah sebatas mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.

Sudahkah kita ber-‘amal shoolih berdasarkan Hadits-Hadits yang Shohiih, Hasan atau Muttawatir saja?

Ataukah, kita tidak peduli Hadits jenis apa yang dipakai? Semata-mata hanyalah berdasarkan: “Ah yang penting kan ber-‘amal toh?…” atau “Palsu-Palsu kan juga Hadits…”, atau berdasarkan: “….katanya Ustadz begitu kok….” atau “…katanya pak kyai harus seperti itu….”, dan berbagai jenis “…katanya….” tanpa memperhatikan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aa’isyah رضي الله عنها sebagai berikut:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya:

“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan dien kami ini yang bukan termasuk darinya, maka ia (‘amalan itu) tertolak.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 4590)

Tidakkah kita mempunyai usaha untuk menjaga agar ‘amalan kita itu hendaknya sesuai tuntunan yang shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم agar ‘amalan tersebut tidak tertolak, sebagaimana yang diberitakan dalam Hadits diatas?

Adapun bagi para penyebar / pendakwah dien ini, sudahkah memilah dan memilih untuk hanya menyampaikan Hadits-Hadits yang Shohiih, Hasan dan Muttawatir saja?

Tidak takutkah kepada ancaman yang telah disampaikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Shohabat Al Mughiiroh bin Syu’bah رضي الله عنه sebagai berikut,

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Artinya:
“Barangsiapa meriwayatkan sebuah Hadits dariku, dilihat ternyata hadits itu dusta, maka sesungguhnya ia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1)

Dan Hadits shohiih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya:

“Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah dengan tempat duduknya di Neraka.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 110 dan Imaam Muslim no: 4)

Atau dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al Mughiroh bin Syu’bah رضي الله عنه, ia berkata, “Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya:

“Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidaklah seperti berdusta atas nama orang lain, barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah dengan tempat duduknya di dalam api Neraka.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 5)

Maka hendaknya para Da’i memperhatikan ancaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ini, dan berhati-hati agar menyampaikan / mendakwahkan Hadits-Hadits yang Maqbuul saja. Seandainya menyampaikan Hadits yang Dho’iif dan Maudhuu’, itu pun adalah untuk menjelaskan tentang ke-dho’iif-an dan ke-maudhuu’-an Hadits tersebut.

Lalu sudahkah kita mengaplikasikan sunnah tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Janganlah kita mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, namun di dalam perkara-perkara yang sederhana sekalipun, seperti contohnya perkara berpakaian, kita enggan untuk mengamalkan syari’at Allooh سبحانه وتعالى bahkan lebih rela mengikuti syari’at orang kaafir; para akhwatnya enggan untuk berjilbab dan lebih suka mengikuti pakaian orang kaafir ataupun ber-tabarruj, para ikhwannya enggan untuk tidak ber-Isbal bahkan lebih suka mengikuti pakaian orang Barat dengan jeans ketat yang menampakkan aurot-nya.

Tidakkah kita memperhatikan peringatan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Shohabat Abu Saa’id Al Khudry رضي الله عنه berikut ini:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »

Artinya:

“Kalian akan mengikuti adat tradisi ummat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga sekiranya mereka masuk dalam lubang dobb (– sejenis biawak –) sekalipun, niscaya kalian akan mengikutinya juga.”

Para Shohabat bertanya, “Wahai Rosuulullooh, apakah yang dimaksud itu orang-orang Yahudi dan Nashroni?”

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

(Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 6952)

Lalu sudahkah kita membela Al Qur’an dan As Sunnah dikala dihina dan diolok-olok oleh musuh-musuh Al Islaam? Bila istri dan anak kita dicela atau dihina orang, kita merasa marah; tetapi mengapa tatkala dien kita (Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) yang dicela, dihina, diolok-olok dan dipojokkan lalu kita malah diam saja?

3. “Wa”, artinya adalah “Dan”.

Merupakan kata sambung yang menyetarakan antara kata sebelum dan sesudahnya.

4. “Al Jamaa’ah”,

Secara etimologis (secara bahasa), adalah bermakna:

a) Ijma’ (إجماع) artinya adalah Ittifaq ( اتفاق) = adalah “Sepakat”, merupakan lawan dari kata “Berselisih “ (Ikhtilaaf / اختلاف)

b) Ijtima’ = الاجتماع = artinya adalah “Berkumpul”, merupakan lawan dari kata “Iftirooq (افتراق)” yaitu “Berpecah”.

c) Al Jam’u ( الجمع) = artinya adalah “Bergabung” merupakan lawan dari kata “Tafarruq (التفرق)” yaitu “Bercerai-berai”

Sedangkan pengertian “Al Jamaa’ah” secara terminologis, maksudnya adalah:

a) Shohabat,

b) Apa-apa yang Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan shohabatnya (pada zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hidup) diatas ajaran / sunnah itu,

c) Kelompok yang dipimpin seseorang.

Kelompok yang dipimpin seseorang ini bisa merupakan:

- Kelompok Kecil (Shughro), dimana pimpinannya disebut Imaam dan orang yang dipimpinnya disebut Ma’muum.

Jumlah pimpinan kelompok-kelompok kecil (shughro) ini banyak, diantara mereka ada yang benar dan ada pula yang baathil.

- Kelompok Besar (Kubro) yang ber-skala dunia, dimana pimpinannya disebut dengan Imaam atau Al Kholiifah atau Amiirul Mu’miniin dan orang yang dipimpinnya disebut Jamaa’ah.

Pimpinan kelompok besar bagi kaum muslimin (seluruh dunia) ini sekarang masih ghoib.

Bahkan bisa juga, Al Jamaa’ah itu berarti sekelompok orang / sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.

Al Jamaa’ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah.

Perintah agar Bersatu dan Larangan untuk Berpecah-belah

Berikut ini adalah berbagai perintah baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu diatas kebenaran dan melarang mereka untuk bercerai-berai, sebagaimana Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 103:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (dien) Allooh, dan janganlah kamu bercerai-berai…”

Juga firman-Nya dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 105 :

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih, sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka….”

Hadits dari Shohabat Jaabir bin Samuroh dari ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنهما, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنَالَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ الْجَمَاعَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنْ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَلَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ تَسُرُّهُ حَسَنَتُهُ وَتَسُوءُهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

Artinya:

“Barangsiapa diantara kalian yang menginginkan di tengah-tengah Surga, maka hendaknya ia berjamaa’ah (bersatu)! Sesungguhnya syaithoon itu bersama seorang, dan dia dari dua orang adalah lebih jauh….”

(Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 177, Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth berkata Hadits ini Shohiih, para perawinya tsiqoot (terpercaya), termasuk para perawi dari Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim)

Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه berkata, “Al Jamaa’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” (diriwayatkan oleh Imaam Al Laalika’i dalam kitabnya “Syarah Ushuul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah”)

Jadi makna “Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah” adalah satu golongan yang telah dijanjikan selamat oleh Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, karena berlandaskan pada ittiba’us Sunnah (mengikuti As Sunnah) dan apa-apa yang dibawa oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, akhlaq, maupun perilaku, dan selalu menyertai jamaa’ah kaum muslimin yang sepakat diatas kebenaran.

Nama lain dari “Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah” adalah:

- Ahlus Sunnah (Pemelihara Sunnah)

- Ahlil Atsar (Pemelihara Peninggalan Rosuul صلى الله عليه وسلم, Shohabat, Taabi’iin, Taabi’ut Taabi’iin)

- Ahlil Hadiits (Pemelihara Hadiits)

- Al Firqotun Naajiyyah (Golongan yang Selamat)

- Ath Thoo’ifah Al Manshuuroh (Kelompok yang Ditolong)

- Ahlul Jamaa’ah (Kelompok yang Berpegang teguh pada Jamaa’ah kaum Muslimin)

- As Salafus Shoolih (Salaf yang Shoolih)

“As Salaf” secara etimologi (secara bahasa), bermakna “Terdahulu”.

Sedangkan secara terminologi, bila dikatakan “As Salaf” oleh para ‘Ulama, maka yang dimaksud adalah: Shohabat (Pendamping Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم), Taabi’iin (Yang Mengikuti Shohabat), Taabi’ut Taabi’iin (Yang Mengikuti Pengikut Shohabat)

“As Salaf” dari sisi tinjauan waktu, maka mereka sudah tidak ada lagi karena ketiga generasi pertama tersebut sudah meninggal. Namun “As Salaf” dari sisi ajaran, maka yang dimaksud adalah mereka yang mengikuti ajaran As Salaf (Shohabat, Taabi’iin, Taabi’ut Taabi’iin), dan mereka (para pengikut Salaf) itu disebut sebagai “Salafy”. Sedangkan dalam bentuk jamak, apabila jumlahnya banyak, maka mereka disebut “Salafiyyuun”.

Namun, hendaknya perlu diperhatikan bagi siapa pun yang mengaku bermanhaj Salaf bahwa sesungguhnya bukanlah merupakan sesuatu hal yang penting, apalagi menjadi bahan untuk berbangga-bangga diri yang dapat berujung pada Ashobiyyah ataupun Hizbiyyah untuk menyematkan kata “As Salafy” misalnya, sebagai suatu julukan atau pengakuan atau publikasi diri; namun disisi lain ‘aqidah, ibadah, perilaku, maupun akhlaq-nya dalam kiprah dan kehidupannya sehari-hari justru tidaklah mencerminkan apa yang dicontohkan oleh As Salaf. Karena jikalau demikian, maka itu bukannya mendekatkan, malah justru mencoreng nama baik Salaf itu sendiri.

Cukup dan hendaknya puas jika kita berusaha segigih, sekeras, seserius dan sesadar mungkin dalam berbagai peri kehidupan kita untuk selalu berkiblat, berorientasi dan mencontoh pola hidup dalam berbagai sisinya dari kalangan Shohabat, Taabi’iin, Taabi’ut Taabi’iin.

Justru, jika ada yang mengaku-ngaku “si Fulan Salafy”, padahal ucapan dan tindakannya tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam kriteria Salaf sebagaimana diterangkan diatas, maka orang itu adalah “Salafy Al Maz’uum” atau “Salafy yang Baru Mengaku-Ngaku saja”, dimana hal ini justru akan membuat nama Salafy tercoreng olehnya.

Kembali pada bahasan kita sebelumnya tentang “Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah”.

Ada sebagian kalangan di beberapa belahan dunia Islam, termasuk di tanah air kita Indonesia ini, yang menyematkan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah itu pada Abul Hasan Al Asy’ary رحمه الله dan Abu Manshuur Al Maaturidy. Padahal Abul Hasan Al Asy’ary رحمه الله (dari Iraq) dan Abu Manshuur Al Maaturidy (dari Samarkandi) tersebut hidupnya di abad ke-3 Hijriyah, berarti 200 tahun lebih sesudah zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para shohabatnya. Sungguh sangat “kesiangan” bila menyematkan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah itu kepada mereka. Bahkan kedua orang ini bukan saja berbeda negara, tetapi keduanya tidak pernah bertemu, tidak pernah bersepakat dan tidak pernah mendirikan ‘aqidah yang disebut dengan Asy’ariyyah dan atau Al Maaturidiyyah, apalagi Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.

Lalu ada lagi sebagian kalangan, yang memberikan julukan “Wahaby” kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, padahal Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab رحمه الله (‘Ulama dari Saudi Arabia) itu hidupnya di abad ke-11 Hijriyah. Lebih jauh dan lebih “kesiangan” lagi dari zaman para Shohabat, Taabi’in, Taabi’ut Taabi’iin.

Sikap maupun tuduhan mereka yang seperti itu sesungguhnya sangat keliru dan tidak berdasar sama sekali, karena para ‘Ulama yang teguh didalam menyerukan Sunnah, tidaklah semata-mata berpatokan pada Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab رحمه الله ataupun Ibnu Taimiyah رحمه الله; melainkan (sebagaimana telah dijelaskan secara panjang lebar diatas) adalah menyeru manusia untuk ittiba’us Sunnah (mengikuti As Sunnah) dan apa-apa yang dibawa oleh Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, Shohabat, Taabi’iin, dan Taabi’ut Taabi’iin, baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, akhlaq, maupun perilaku, dan selalu menyertai jamaa’ah kaum muslimin yang sepakat diatas kebenaran.

Apabila ‘ilmu yang disampaikan oleh ‘Ulama Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab رحمه الله ataupun Ibnu Taimiyah رحمه الله sesuai Al Qur’an, As Sunnah yang shohiihah dengan pemahaman As Salafush Shoolih, maka seorang Salafy tentunya mengambil ‘ilmu tersebut dari mereka. Apabila tidak berkesesuaian, maka dia pun tidak akan mengambilnya. Demikianlah sikap seorang Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah atau Salafy, yang tidak menjadikan dirinya taqlid pada ‘Ulama atau madzhab tertentu, namun dia hanyalah tunduk sepenuhnya terhadap dalil yang shohiih, karena itulah yang datang dari Pimpinan Salafush Sholiih, yakni Muhammad bin ‘Abdillah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tidaklah keluar dari definisi As Salaf. Jadi As Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam Hadits-Hadits yang telah dijelaskan diatas. Dan Ahlus Sunnah adalah Salafush Shoolih dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.

Itulah pengertian yang lebih khusus dari Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli Bid’ah dan orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya, seperti induk dari berbagai sempalan dan sekte yang muncul setelah terbunuhnya Kholiifah ke-3 yakni Utsman bin Affan رضي الله عنه: Roofidhoh (Syi’ah), Qodariyyah, Jahmiyyah, Jabariyyah, sebagaimana diutarakan oleh Al Imaam ‘Abdullooh Ibnul Mubarok رحمه الله (seorang Taabi’iin).

Al Imaam Muhammad Ibnus Siriin رحمه الله, seorang Taabi’iin berkata,

“Orang-orang terdahulu tidak pernah bertanya tentang sanad, tetapi begitu terjadi fitnah, maka mulailah ditanya tentang sanad. Kalau mereka Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka diambil Hadiitsnya. Dan jika dari Ahlul Bid’ah maka tidak diambil Hadiitsnya.”

Demikian sekelumit tentang pengenalan dari Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, semoga bermanfaat.

Sekian dulu bahasan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى selalu melimpahkan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk istiqomah sampai akhir hayat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Kamis malam, 3 Muharrom1432 H – 09 Desember 2010 M.


repost


Jalan yang Lurus

#FATWA ULAMA AHLUS SUNNAH TTG FILM INNOCENCE OF MUSLIMS#

bismillaaah,
  
Inilah Fatwa Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh Tentang Film Innocence of Muslims.

Syaikh Abdulaziz bin Abdullah Alu Syaikh, yang mana beliau adalah Ulama Ahlussunnah, termasuk jajaran Kibarul Ulama dan Ketua Lajnah Daimah lil Buhuts Al Ilmiah wal Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia, menekankan bahwa :

Jalan terbaik membela Nabi Shallallahu’alaihi wasallam adalah dengan mengikuti sunnah-sunnahnya (tuntunan beliau), menyebarkan dakwah beliau, mencontoh perikehidupan beliau, dan menyebarkan nilai-nilai Islam.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan hari ini, Syaikh mengatakan bahwa tindakan tercela dan jahat dalam upaya mengedarkan film yang menghina Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tidak akan merendahkan kedudukan Nabi Shallalahu’alaihi wasallam dan Islam, karena Allah Azza wajalla berfirman dalam Alquran,

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. Al Kautsar: 3)


Namun dalam menyikapi tindakan jahat yang seperti ini hendaknya harus sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan As Sunnah.

Kaum Muslimin tidak boleh membiarkan kemarahan mereka menjadik
an mereka membunuh orang yang tidak bersalah dan menyerang fasilitas umum. Jika umat Islam mudah terpancing emosi, justru musuh2 Islam akan tercapai maksud dan tujuan mereka dalam memproduksi film ini.

Syaikh Abdul Aziz menghimbau semua negara dan organisasi internasional untuk mempidanakan tindakan menghina semua nabi dan rasul ‘Alaihis Sholatu wassalam.

(SPA – Saudi Press Agency / Website resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia)

http://sunniy.wordpress.com/2012/09/17/inilah-fatwa-syaikh-abdul-aziz-alu-syaikh-tentang-film-innocence-of-muslims/

Semoga bermanfaat.

┈┈»̶✽♈̷̴✽«̶┈┈
 


FATWA SEPUTAR FILM YANG MENGHINA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Oleh : Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah

Pertanyaan :

Fadhilatusy Syaikh, semoga Allah memberi taufiq kepada Anda. Pertanyaan yang masuk banyak sekali. Di antaranya ada yang bertanya tentang bimbingan Anda bagi para penuntut ilmu dan juga selain mereka tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini berkaitan dengan film yang menghina Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Apa bimbingan Anda dalam hal ini?

Jawaban :

Bimbingan kami dalam hal ini adalah :
—● hendaknya kita tetap tenang
—● dan tidak mengingkari hal ini dengan cara-cara seperti demonstrasi, mendhalimi orang-orang yang tidak memiliki keterkaitan dengan hal ini, atau merusak harta benda. Ini adalah cara-cara yang tidak diperbolehkan.

Yang wajib untuk membantah mereka adalah :
—● para ulama, bukan orang awam!

—● Para ulamalah yang berhak membantah dalam perkara-perkara ini. Hendaknya kita senantiasa tenang.

Orang-orang kafir itu ingin mengganggu kita serta memancing amarah kita. Ini yang mereka inginkan. Mereka juga ingin agar kita saling membunuh. Aparat keamanan berusaha menghalang-halangi, sedangkan yang lain (para demonstran muslim) berusaha menyerang, sehingga terjadilah pemukulan, pembunuhan, dan banyak yang terluka. Mereka menginginkan hal ini.

—● Hendaknya kita senantiasa tenang,
—● hendaknya kita senantiasa tenang.

Yang berhak untuk membantah mereka adalah :
✉►orang-orang yang memiliki ilmu dan bashirah,
✉►atau hendaknya mereka tidak perlu dibantah. Orang-orang yang membantah mereka juga tidak boleh disamaratakan.

Dahulu
—● orang-orang musyrik berkata terhadap Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, "Penyihir…dukun…tukang bohong…," dan sebagainya, dan Allah memerintahkan RasulNya untuk bersabar.

—● Kaum muslimin ketika itu tidak melakukan demonstrasi di Mekkah,
—● tidak menghancurkan sedikitpun dari rumah-rumah kaum musyrikin,
—● juga tidak membunuh seorangpun.

Sabar dan tenang, sampai Allah subhanahu wa ta'ala memudahkan adanya jalan keluar bagi kaum muslimin.

Yang wajib dilakukan adalah :
tenang, khususnya di hari-hari ini, di saat munculnya banyak fitnah dan kejelekan di negeri-negeri kaum muslimin.

Wajib untuk tenang dan tidak tergesa-gesa dalam masalah-masalah ini. Orang-orang awam tidaklah pantas untuk menghadapinya. Mereka bodoh, tidak memahami hakikat masalah. Tidak boleh menghadapi masalah ini kecuali orang yang memiliki ilmu dan bashirah.

Na'am.

Sumber : klik di sini [http://alturl.com/76drj]

Catatan :
Fatwa tersebut termasuk dalam rangkaian tanya jawab pada kajian Shifatush Shalat dari kitab 'Umdatul Fiqh oleh Syaikh Al Fauzan hafidhahullah ba'da Maghrib di Masjid Jami' Mut'ib bin Abdul Aziz, Malaz, Riyadh, Arab Saudi pada hari Sabtu, 28 Syawal 1433 H (15 September 2012).

http://media-sunni.blogspot.com/2012/09/fatwa-seputar-film-yang-menghina-nabi.html

Posted by : Al-Akhi Prima Ibnu Firdaus Al-Mirluny -hafizhahullah-


***

Dari Al Ustadz Abu Riyadl -Hafizhahullah-


Ketika orang kafir kafir itu membuat suatu adegan memperolok nabi kita maka seharusnya tangan kita tidak ikut menyebarkan info tsb ...

Karena Tanpa kita sadari kita telah menyebarkan olok olok ini ...

Dan apa pula yg bisa kita lakukan?
Dari sebelum sebelum ini sering kita dapati hal demikian ...

Maka tingalkan web atau link mereka dan tak perlu kita sebarkan ...
Tangan ini jangan terkotori oleh penyebaran info tsb.

Jika anda mencintai Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
Maka carilah tahu tentang ilmu ýαπğ telah Allah turunkan kepada beliau melalui ∕̴ƖƖ-Qųr'αη ϑαπ αs-Súnnαh sesuai pemahaman salaf ...

Jangan hanya marah meledak Τǎp¡ tiada-tindakan ýαπğ positif.. Dan tidak pula mencari ilmu ...

Atau hanya boikot sana boikot sini ... Namun ɐsok harinya beli lagi ... Karena butuh ... X_X

Atau hanya turun kejalan jalan
Dan bawa sepanduk sana sini membuat jalan ýαπğ sudah macet menjadi ɐkstara macet ... 

Akhirnya siapa yg rugi

Mari kita disamping marah kpd orang kafir, tapi mencarilah Ilmu wahai saudaraku ...
Ia akan menguatkan cinta kita kpd Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam

Ilmu wahai saudaraku ...
Ia akan menjadikan umat dan penguasa sesuai aturan Allah ...

Ilmu wahai saudaraku ...
Ia dapat membuat kita unggul diatas kau kuffar ... Dan membuat mereka takut dengan kaum muslimin ...

Ingatlah wahai saudaraku ... Kaum muslimin itu banyak Τǎp¡ lemah ilmu amal dan iman ...
Menjadi santapan kaum kafirin seperti makanan ýαπğ ada di nampan besar


Prima Ibnu Firdaus Al-Mirluny

DEMO POLUSI, BUKAN SOLUSI

Menyelesaikan masalah dengan DEMO, bukanlah penyelesaian.
Tetapi malah membuat masalah BARU lagi.

Demo adalah buatan orang kafir.
Demo mengeluarkan wanita - wanita Islam dari rumahnya.
Demo mencampurkan antara laki - laki dan wanita.
Demo dijalan menghambat lalu lintas dan kepentingan orang banyak.
Demo akan mudah menimbulkan sikap anarkis.
Demo melalaikan seseorang dari mengingat Allah, baik itu shalat ataupun dzikir yang lain nya.
Demo tidak termasuk kedalam ajaran Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.
Demo adalah POLUSI, buakn SOLUSI.
Demo adalah Strategi orang kafir, untuk menghancurkan Islam.
dan 1001 kerusakan lain nya...

Islam tidak mengenal istilah demo. Pernahkah kalian membaca Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berdemo dengan para sahabatnya, ketika beliau dicaci maki orang kafir?

TIDAK, Beliau tidak pernah berdemo. Beliau berpaling dari orang kafir.
Bagaimana mungkin kita akan menyelesaikan masalah -film Nabi- dengan cara yang tidak pernah ditempuh oleh Rasulullah dan para Sahabatnya yakni DEMO..?


Ekspresi Cinta Rasul..

Berbagai macam cara manusia ketika mengekspresikan cintanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam.. Tapi cara yang paling menarik hati adalah:

1. Mengamalkan sunnah Beliau dan mendakwahkannya.
2. Mengedepankan akal sehat dan akhlakul karimah seperti yang Beliau contohkan.
3. Banyak bershalawat kepada Beliau dan keluarga Beliau.

Cara yang paling tidak menarik hati dan tidak mendatangkan simpati, bahkan merugikan Islam wal muslimin adalah cara-cara emosional dan mengedepankan emosi yang jauh dari akal sehat dan akhlakul karimah..

[Al-'Ilmu Qoblal Qouli Wal 'Amal; Berilmu Sebelum Berucap dan Berbuat]

@AbdullahHadrami


***

Membenci Nabi

Memetik Hikmah Dari Ayat 3 Surat AL-Kautsar

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :

 
أنّ شانئك هو الأبتر
 

"Sungguh, orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)." [Al-Qur'an Surat Al-Kautsar ayat 3]

Tafsir Ayat :

أنّ
Inna artinya Sungguh. Kata ini adalah kata yang mengandung Sumpah.

شانئك
Syani'aka artinya orang - orang yang membencimu, yakni orang yang tidak suka kepada mu (Muhammad), orang yang mencela mu, orang yang menghina mu, dimana pun saja, dan kapan pun saja. HUWAL ABTAR...

هو الأبتر
Huwal Abtar artinya Dialah yang terputus. Abtaru artinya adalah yang paling sedikit, paling hina dan terputus keturunan dan nasabnya.

Hakikat Al-Abtar adalah orang yang terputus bagian tubuhnya. Kata ini lebih sering digunakan untuk hewan yang ekornya terputus. Digunakan pula untuk orang yang kurang baik dimata manusia diserupakan dengan seekor hewan yang terputus ekornya.

Maka dari itu makna Huwal Abtar adalah dialah yang paling tercela dan paling hina karena mereka akan terputus dari semua kebaikan, terputus dari semua amalan dan nama baiknya.

Kesimpulan :
Kesimpulan ayat ini adalah Allah Subhanahu wa ta'ala bersumpah, bahwa orang yang tidak suka dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, orang yang mencela beliau, orang yang mencela agama (syariat) yang beliau bawa, dimana pun dan kapan pun. Mereka akan mendapatkan celaan, dan hinaan dari Allah Subhanahu wa ta'ala dengan adzab yang pedih.

Faidah Ayat :
1. Mencela Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam termasuk kekufuran.
2. Tidak menyukai ajaran yang Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bawa termasuk dalam mencela Rasulullah.
3. Ancaman dari Allah terhadap orang - orang yang mencela beliau, tidak suka kepada beliau dan ajaran beliau, dengan adzab yang pedih.

[Tafsir ini disadur dari Tafsir As-Sa'di dan Tafsir Al-Jazairi]

Abu Abdillah prima Ibnu Firdaus ar-Roni Al-Mirluny -Hafizhahullah-
Jambi, Selasa : 2 Dzulqo'dah 1433 H / 18 September 2012 M
 


source 

source 

source