Segala puji hanya
bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan hidup dan
mati untuk menguji manusia siapa yang terbaik amalannya. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kepada keluarganya,
shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik.
Ketahuilah hamba-hamba Allah, sadar atau tidak sadar, kita semua saat
ini sama-sama sedang menuju garis akhir kehidupan kita di dunia,
meskipun jaraknya berbeda-beda setiap orang. Ada yang cepat, ada yang
lama. Tetapi, perlahan tapi pasti, setiap orang menuju garis akhir
kehidupannya di dunia, itulah kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا
تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ
النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali ‘Imran : 185)
Setelah mati, seorang hamba hanya tinggal memetik apa yang selama ini ia
tanam di dunia, tidak ada kesempatan kedua untuk menambah amal. jika
kebaikan yang ia tanam, itulah yang akan ia panen. Jika keburukan yang
ia tanam, maka dialah yang akan merasakannya sendiri. Oleh karena itulah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk
banyak-banyak mengingat kematian. Beliau bersabda,
“أكثروا ذكر هازم اللذات” يعني : الموت.
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian) ”[1]
Dan di antara cara untuk mengingat kematian adalah dengan berziarah
kubur. Banyak sekali manfaat yang dapat dipetik dari amalan berziarah ke
kubur. Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kali ini[2] mengingat
masih banyaknya kaum muslimin yang salah dalam menyikapi ziarah ini
sehingga bukannya manfaat yang mereka raih, akan tetapi ziarah mereka
justru mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah Ta’ala
memberikan kita semua petunjuk.
Hukum ziarah kubur
Ziarah kubur adalah sebuah amalan yang disyari’atkan. Dari Buraidah
Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah” [3]
Bolehkah wanita berziarah kubur?
Para ulama berselisih dalam hal ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ada 5 pendapat ulama dalam masalah ini
:
- Disunnahkan seperti laki-laki
- Makruh
- Mubah
- Haram
- Dosa besar[4]
Ringkasnya, pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam- adalah wanita
juga diperbolehkan untuk berziarah kubur asal tidak sering-sering. Hal
ini berdasarkan beberapa alasan :
Pertama: Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sudah lewat :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”[5]
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita.
Kedua: Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya wanita berziarah lebih
shahih daripada hadits yang melarang wanita berziarah. Hadits yang
melarang wanita berziarah tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
أن رسول الله لعن زوّارات القبور
“Rasulullah melaknat wanita yang sering berziarah kubur”[6]
Ketiga: Lafazh زوّارات dalam hadits di atas menunjukkan makna wanita
yang sering berziarah. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Al
Qurthubi : “Laknat dalam hadits ini ditujukan untuk para wanita yang
sering berziarah karena itulah sifat yang ditunjukkan lafazh hiperbolik
tersebut (yakni زوّارات )”[7]. Oleh karena itu, wanita yang sesekali
berziarah tidaklah masuk dalam ancaman hadits ini.
Keempat:
Persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang
wanita yang sedang menangis di sisi kubur kemudian beliau hanya
memberikan peringatan kepada wanita tersebut seraya berkata,
اتقى الله و اصبرى
“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah!”[8]
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
mengingkari perbuatan wanita tersebut. Dan sudah diketahui bahwa taqrir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah.
Kelima:
Wanita dan laki-laki sama-sama perlu untuk mengingat kematian, mengingat
akhirat, melembutkan hati, dan meneteskan air mata dimana hal-hal
tersebut adalah alasan disyari’atkannya ziarah kubur. Kesimpulannya,
wanita juga boleh berziarah kubur
Keenam: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para wanita untuk
berziarah kubur. Dalilnya adalah hadits dari shahabat Abdullah bin Abi
Mulaikah :
أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر، فقلت لها: يا أم
المؤمنين من أين أقبلت؟ قالت: من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر، فقلت لها:
أليس كان رسول الله نهى عن زيارة القبور؟ قالت: نعم: ثم أمر بزيارتها
“Aisyah suatu hari pulang dari pekuburan. Lalu aku bertanya padanya :
“Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?” Ia menjawab : “Dari kubur
saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakr”. Lalu aku berkata kepadanya :
“Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” Ia berkata : “Ya, kemudian
beliau memerintahkan untuk berziarah” “[9]
Ketujuh: Disebutkan
dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah bertanya
kepada Rasulullah,
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام
على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا
والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Ya Rasulullah, apa
yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?” Rasulullah
menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari
kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang
yang mendahului kami dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya
Allah kami akan menyusul kalian”[10]
Syaikh Al Albani
rahimahullah berkata setelah membawakan hadits ini : “Al Hafizh di dalam
At Talkhis (5/248) berdalil dengan hadits ini akan bolehnya berziarah
kubur bagi wanita”[11]
Dengan berbagai argumen di atas jelaslah
bahwa wanita juga diperbolehkan berziarah kubur asalkan tidak
sering-sering. Inilah pendapat sejumlah ulama semisal Al Hafizh Ibnu
Hajar Al ‘Asqalani, Al ‘Aini, Al Qurthubi, Asy Syaukani, Ash Shan’ani,
dan lainnya rahimahumullah.[12]
Hikmah ziarah kubur
Ziarah kubur adalah amalan yang sangat bermanfaat baik bagi yang
berziarah maupun yang diziarahi. Bagi orang yang berziarah, maka ziarah
kubur dapat mengingatkan kepada kematian, melembutkan hati, membuat air
mata menetes, mengambil pelajaran, dan membuat zuhud terhadap dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ
يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا
تَقُولُوا هُجْرًا
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah
kubur, sekarang berziarahlah karena ziarah dapat melembutkan hati,
membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat. Dan janganlah kalian
mengucapkan al hujr[13]”[14]
Dalam hadits tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dibalik ziarah kubur.
Ketika seseorang melihat kubur tepat di depan matanya, di tengah suasana
yang sepi, ia akan merenung dan menyadari bahwa suatu saat ia akan
bernasib sama dengan penghuni kubur yang ada di hadapannya. Terbujur
kaku tak berdaya. Ia menyadari bahwa ia tidaklah hidup selamanya. Ia
menyadari batas waktu untuk mempersiapkan bekal menuju perjalanan yang
sangat panjang yang tiada akhirnya adalah hanya sampai ajalnya tiba
saja. Maka ia akan mengetahui hakikat kehidupan di dunia ini dengan
sesungguhnya dan ia akan ingat akhirat, bagaimana nasibnya nanti di
sana? Apakah surga? Atau malah neraka? Nas-alullahas salaamah wal
‘aafiyah.
Selain itu, ziarah kubur juga bermanfaat bagi mayit
yang diziarahi karena orang yang berziarah diperintahkan untuk
mengucapkan salam kepada mayit, mendo’akannya, dan memohonkan ampun
untuknya. Tetapi, ini khusus untuk orang yang meninggal di atas Islam.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن النبي كان يخرج إلى البقيع، فيدعو لهم، فسألته عائشة عن ذلك؟ فقال: إني أمرت أن أدعو لهم
“Nabi pernah keluar ke Baqi’, lalu beliau mendo’akan mereka. Maka
‘Aisyah menanyakan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab :
“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendo’akan mereka””[15]
Adapun jika mayit adalah musyrik atau kafir, maka tidak boleh mendo’akan
dan memintakan ampunan untuknya berdasarkan sabda beliau,
زار
النبي قبر أمه. فبكى, وأبكى من حوله، فقال: استأذنت ربي في أن أستغفر لها،
فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي، فزوروا القبور فإنها
تذكر الموت
“Nabi pernah menziarahi makam ibu beliau. Lalu
beliau menangis. Tangisan beliau tersebut membuat menangis orang-orang
disekitarnya. Lalu beliau bersabda : “Aku meminta izin kepada Rabb-ku
untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan
aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya.
Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan
kalian kepada kematian”[16]
Maka ingatlah hal ini, tujuan utama
berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, bukan untuk
sekedar plesir, apalagi meminta-minta kepada mayit yang sudah tidak
berdaya lagi.
Adab Islami ziarah kubur
Agar berbuah
pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang
mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :
Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarah
Ingatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.
Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas
menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah
dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam
hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya) : “Karena di dalam ziarah terdapat
pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap
dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka ziarah tersebut bukanlah
ziarah yang diinginkan secara syari’at”[17]
Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ
الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah melakukan perjalanan jauh
(dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram,
Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil
Aqsha”[18]
Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan
“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar
menuju pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ
شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum
mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang
terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya
Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi
kami dan bagi kalian”[19]
Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan
Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba
beliau melihat seseorang sedang berjalan diantara kuburan dengan memakai
sandal. Lalu Rasulullah bersabda,
يَا صَاحِبَ
السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ
فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
“Wahai pemakai sandal, celakalah
engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang
meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan
melemparnya”[20]
Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ،
فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga
membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk
di atas kubur”[21]
Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim
Telah lewat haditsnya di footnote no. 14. Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.
Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak
boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah
menghadap kiblat)
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi
yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan
mereka.[22] Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan.
Sedangkan do’a adalah intisari sholat.
Kedelapan: Tidak mengucapkan al hujr
Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr
adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan :
“Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika
berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan
meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al
hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib
bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah
dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan
dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut”[23]
Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit
Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat
orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat
meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah,
maka hal ini diharamkan.
Rambu-rambu untuk para peziarah
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan ziarah kubur
ini agar ziarah kubur yang dilakukan menjadi amalan shalih, bukan
menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Hikmah
disyari’atkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran dan
mengingat akhirat, bukan untuk tabarruk kepada mayit meskipun dia dahulu
orang sholeh. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan :
“(Hendaknya) tujuan ziarahnya adalah untuk mengambil pelajaran, nasihat,
dan mendo’akan mayit. Jika tujuannya adalah untuk tabarruk dengan
kubur, atau melakukan ritual penyembelihan di sana, dan meminta mayit
untuk memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari kesulitan, maka ini
ziarah yang bid’ah lagi syirik”[24]
Tidak boleh mengkhususkan
waktu-waktu tertentu untuk berziarah karena hal itu tidak ada dalilnya.
Kapan saja ziarah itu dibutuhkan, maka berziarahlah. Ingatlah,
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara hal yang tidak ada tuntunannya juga adalah kebiasaan
menabur bunga di atas kuburan. Penta’liq Matan Abi Syuja’ –kitab fikih
madzhab syafi’i- berkata : “Diantara bid’ah yang diharamkan adalah
menaburkan/meletakkan bunga-bunga di atas jenazah atau kubur karena
hanya buang-buang harta”[25]
Selesailah pembahasan tentang
ziarah kubur ini. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan amal ini
sebagai amalan yang memberatkan timbangan kebaikan di hari perhitungan
kelak dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengannya. Aamiin.
Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.
Penulis: Yananto
Artikel
www.muslim.or.id
[1] HR. At Tirmidzi (no. 2307), Ibnu Majah (no. 4258), An Nasa’I (4/4),
Ahmad (2/292,293). Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah mengatakan:
“hadits shahih li ghairihi”. Lihat Bahjatun Nazhirin (1/581), Daar Ibnul
Jauzy
[2] Dan hal yang sangat mengherankan bagi penulis yakni
adanya orang-orang yang menuduh Salafiyyun Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
atau yang mereka sebut sebagai Wahhabi, yang senantiasa berpegang teguh
dengan sunnah Nabi, mengharamkan ziarah kubur secara mutlak. Semoga
Allah memberikan mereka petunjuk kepada sunnah.
[3] HR. Muslim no. 977. Lihat Bahjatun Nazhirin (1/583)
[4] Lihat Asy Syarhul Mumti (5/380)
[5] HR. Muslim no. 977
[6] Hadits ini hasan dengan beberapa penguatnya. Diriwayatkan oleh
Tirmidzi no. 1056 dan beliau berkomentar : hadits hasan shahih, juga
oleh Ibnu Majah no. 1576 dan Al Baihaqi (4/78). Lihat Jaami’ Ahkaamin
Nisaa (1/580).
[7] Lihat Fathul Baari (3/149), Maktabah As Salafiyyah (versi pdf)
[8] HR. Bukhari no. 1283
[9] HR. Al Hakim (1/376) dan Al Baihaqi (4/78). Adz Dzahabi berkata :
“Shahih”. Al Bushiri berkata : “Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah”.
Syaikh Al Albani berkata : “Hadits ini (derajatnya) sebagaimana
penilaian mereka berdua”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 230, Maktabah Al
Ma’arif
[10] HR. Muslim (3/14), Ahmad (6/221), An Nasa’I (1/286), dan Abdurrazzaq (no. 6712)
[11] Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 232, Maktabah Al Ma’arif
[12] Lihat Bahjatun Nazhirin (1/583), Daar Ibnul Jauzy
[13] Al Hujr adalah ucapan yang bathil. Lihat Al Majmu’ (5/310), Maktabah Syamilah
[14] HR. Al Hakim (1/376), dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz hal. 229
[15] HR. Ahmad (6/252). Syaikh Al Albani berkata : “Shahih sesuai
syarat Syaikhain (yakni Bukhari dan Muslim-ed)”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz
hal. 239
[16] HR. Muslim (3/65). Dalam hadits ini juga
terdapat dalil bolehnya menziarahi makam orang kafir dengan tujuan hanya
untuk mengambil pelajaran saja, bukan untuk mendo’akannya.
[17] Lihat Subulus Salaam (1/502), Maktabah Syamilah
[18] Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
[19] HR. Muslim no. 974
[20] HR. Abu Dawud (2/72), An Nasa’I (1/288), Ibnu Majah (1/474), Ahmad
(5/83), dan selainnya. Al Hakim berkata : “Sanadnya shahih”. Hal ini
disetujui oleh Adz Dzahabi dan juga Al Hafizh di Fathul Baari (3/160).
Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 173, Maktabah Al Ma’arif
[21] HR. Muslim (3/62)
[22]Syaikh Al Albani mengatakan : “Diriwayatkan oleh Ahmad (6/92), dan
hadits ini terdapat di Al Muwaththo’ (1/239-240), dan An Nasa’I dengan
redaksi yang semisal tetapi disana tidak disebutkan (kalau Nabi)
mengangkat tangan. Dan sanad hadits ini hasan”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz
hal. 246, Maktabah Al Ma’arif
[23] Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal.227, Maktabah Al Ma’arif
[24] Lihat Al Mulakhkhos Al Fiqhi hal. 248, Daarul Atsar
[25] Ta’liq Matan Al Ghayah wat Taqrib fi Fiqhis Syafi’I hal. 106, Daar Ibnu Hazm