Follow us on:

AJARAN KEJAWEN SAPTO DARMO DALAM PANDANGAN ISLAM

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Oleh: Tri Madiyono

Pendahuluan

Banyak pertanyaan dari masyarakat seputar ajaran Kejawen. Pertanyaan tersebut tidak semata disampaikan oleh orang yang awam terhadap Islam, akan tetapi juga oleh para da'i, takmir masjid, dan tokoh masyarakat. Dari 'nada' pertanyaan mereka, penulis menangkap bahwa masyarakat masih menganggap Kejawen merupakan bagian dari Islam, sehingga mereka sering menyebut dengan nama Islam Kejawen. Untuk itulah kami menurunkan tulisan ini, yang insya Allah akan membantu menjawab kerancuan (syubhat) tersebut.

Dalam bagian pertama ini akan dibahas tentang aliran Sapto Darmo, yang merupakan salah satu aliran besar kejawen.

A. Pengertian Kejawen (Kebatinan)
------------------------------------------
Rahnip M., B.A. dalam bukunya “Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan” menjelaskan; “Kebatinan adalah hasil pikir dan angan-angan manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayaan dalam dada penganutnya dengan membawakan ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan untuk mencapai persekutuan dengan sesuatu yang mereka anggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dengan demikian –menurut anggapan mereka- dapat mencapai budi luhur untuk kesempurnaan hidup kini dan akan datang sesuai dengan konsepsi sendiri.”1

Dari pengertian diatas didapat beberapa istilah kunci dari ajaran kebatinan yaitu: (i) Merupakan hasil pikir dan angan-angan manusia, (ii) Memiliki cara beribadat (ritual) tertentu, (iii) Yang dituju adalah pengetahuan ghaib dan terkadang juga malah bertujuan menyatukan diri dengan Tuhan, (iv) Hasil akhir adalah kesempurnaan hidup dengan konsepsi sendiri.

B. Sejarah Berdirinya
-------------------------
Secara umum kejawen (kebatinan) banyak bersumber dari ajaran nenek moyang bangsa Jawa yaitu animisme dan dinamisme,2 yang diwariskan secara turun temurun sehingga tidak dapat diketahui asal-muasalnya.

Sapto Darmo —salah satu aliran besar kejawen— pertama kali dicetuskan oleh Hardjosapuro dan selanjutnya dia ajarkan hingga meninggalnya, 16 Desember 1964. Nama Sapto Darmo diambil dari bahasa Jawa; sapto artinya tujuh dan darmo artinya kewajiban suci. Jadi, sapto darmo artinya tujuh kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak berkembang di Yogya dan Jawa Tengah, bahkan sampai ke luar Jawa. Aliran ini mempunyai pasukan dakwah yang dinamakan Korps Penyebar Sapto Darmo, yang dalam dakwahnya sering dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang bergelar Juru Bicara Tuntunan Agung.

C. Ajaran pokok Sapto Darmo3 dan Bantahannya
-------------------------------------------------------------

1. Tujuh Kewajiban Suci (Sapto Darmo)
------------------------------------------------
Penganut Sapto Darmo meyakini bahwa manusia hanya memiliki 7 kewajiban atau disebut juga 7 Wewarah Suci, yaitu:

* Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
* Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang negara.
* Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa.
* Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
* Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
* Hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
* Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).

Bantahannya:

Dalam sudut pandang aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, ajaran Sapto Darmo hanya berisi keimanan kepada Allah sebatas beriman terhadap Rububiyah Allah; itupun dengan pemahaman yang salah. Rububiyah Allah hanya difahami sebatas lima sifat (Pancasila Allah) yaitu Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Padahal sifat rububiyah Allah itu banyak sekali (tidak terbatas dengan bilangan).

Keimanan secara benar terhadap Rububiyah Allah saja belum menjamin kebenaran Iman atau Islam seseorang, apalagi yang hanya beriman kepada sebagian kecil dari sifat rububiyah Allah seperti ajaran Sapto Darmo ini. (Baca: Rubrik Tauhid oleh Ustadz Abu Nida', halaman 2).

Inti ajaran Sapto Darmo hanya mengajarkan iman kepada Allah saja. Hal itu menunjukkan batilnya ajaran Sapto Darmo dalam pandangan Islam. Aqidah Islam memerintahkan untuk mengimani enam perkara yang dikenal dengan rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun buruk. al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil 'Izzi4 dalam menjelaskan rukun iman mengatakan; “Perkara-perkara tersebut adalah termasuk rukun iman.” Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Artinya; “Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya; demikian pula orang-orang yang beriman; mereka semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya…” (QS. al-Baqarah [2] : 285)

Juga firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

Artinya; “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi.” (QS. al-Baqarah [2] : 177)

Maka, keimanan yang dikehendaki oleh Allah adalah iman kepada semua perkara tersebut. Dan orang yang beriman kepada perkara-perkara tersebut dinamakan mukmin; surgalah balasan baginya. Sedangkan yang mengingkari perkara-perkara tersebut dinamakan kafir dan neraka jahannamlah tempat kembali yang pantas untuknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Artinya; “Barangsiapa tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka Kami sediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang menyala-nyala.” (QS. al-Fath [48] :13)

Dan dalam sebuah hadits yang keshahihannya tidak diperselisihkan lagi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril 'alaihis-salam kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang arti iman. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

Artinya; “Bahwa keimanan itu adalah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun buruk.”5

Inilah prinsip dasar yang telah disepakati oleh para Nabi dan Rasul.

Seseorang tidak dikatakan beriman kecuali dengan mengimani para Rasul dan rukun iman yang lainnya.

2. Panca Sifat Manusia
---------------------------
Menurut Sapto Darmo, manusia harus memiliki 5 (lima) sifat dasar yaitu:

* Berbudi luhur terhadap sesama umat lain.
* Belas kasih (welas asih) terhadap sesama umat yang lain.
* Berperasaan dan bertindak adil.
* Sadar bahwa manusia dalam kekuasaan (purba wasesa) Allah.
* Sadar bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari Nur Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.

Bantahannya:

Salah satu dari ajaran Sapto Darmo dalam Panca Sifat Manusia –yang perlu dikritisi- adalah bahwa hanya ruhani manusia yang berasal dari sinar cahaya Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.

Dalam pandangan Islam keyakinan seperti ini sangat bathil. Sebab semua yang ada di alam semesta ini selain Allah adalah makhluk; dan semua makhluk adalah tidak kekal, termasuk juga manusia, baik ruhnya maupun jasadnya. Manusia adalah makhluk; yang diciptakan oleh Allah dari tanah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat ash-Shaffat:

Artinya: “…Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. ash-Shaffat [37] :11)

Dalam ayat lain disebutkan bahwa manusia diciptakan dari at-thin (tanah), sebagaimana dikatakan oleh Iblis laknatullahu 'alaihi ketika menolak bersujud kepada Adam 'alaihis-salam, ia berdalih:

Artinya; “Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah.” (QS. al-A'raf [7]: 12)

Karena manusia itu makhluk, maka baik ruh maupun jasadnya tidak ada yang abadi.

Keyakinan Sapto Darmo tentang keabadian ruh manusia muncul dari anggapan mereka bahwa pada diri manusia terdapat 'persatuan dua unsur' yaitu unsur jasmani -dari tanah- dan unsur ruhani -yang mereka dakwakan sebagai- cahaya Allah yang abadi. Dalam terminologi kebatinan hal itu disebut dengan ajaran Panteisme, yakni bersatunya unsur Tuhan (Laahut) dan unsur manusia (Naasut).

Terhadap pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu abadi, al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil 'Izzi menjelaskan; “Dikatakan bahwa ruh itu azali (qadim). Padahal para Rasul telah bersepakat bahwa ruh itu baru, makhluk, diciptakan, dipelihara, dan diurus. Ini adalah perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama bahwa alam itu baru (muhdats). Para sahabat dan tabi'in juga memahami yang seperti ini kecuali setelah muncul pemikiran yang bersumber dari orang yang dangkal pemahamannya terhadap al-Qur'an dan As-Sunnah lalu menyangka bahwa ruh itu qadim. Dia berhujjah bahwa ruh itu termasuk urusan Allah (min amrillah) sedangkan amrullah bukan makhluk karena di-idhafah-kan kepada Allah seperti 'ilmu, qudrah, sama', bashar', dan tangan. Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah telah sepakat bahwa ruh itu makhluk. Diantara ulama yang menyebutkan tentang ijma' tersebut adalah Muhammad bin Nashr al-Muruziy, Ibnu Qutaibah, dan lainnya. Adapun dalil bahwa ruh itu makhluk adalah firman Allah Ta'ala:

Artinya; 'Allah-lah Pencipta segala sesuatu.' (Q.S. Az Zumar: 62)”

Dalam alenia berikutnya Beliau melanjutkan keterangannya; “Allah Ta'ala adalah Al-Ilah yang memiliki sifat kesempurnaan. Maka ilmu-Nya, Kekuasaan-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan semua sifat-sifat-Nya termasuk dalam sebutan nama-Nya. Maka Dia, Allah Subhanahu, Dzat maupun Sifat-Nya adalah Pencipta (Al-Khaliq) dan selain Dia adalah makhluk. Dan telah difahami secara qath'iy bahwa ruh itu bukan Allah dan bukan pula salah satu dari sifat Allah melainkan salah satu dari ciptaan-Nya.” Adapun terkait dengan penisbatan (idhafah) ruh kepada Allah maka Beliau menjelaskan; “Perlu diketahui bahwa penisbatan kepada Allah ada dua macam;

Pertama: Penisbatan sifat yang menyatu dengan dzat Allah seperti ilmu, qudrah, kalam, sama', dan bashar. Maka penisbatan ini adalah penisbatan sifat kepada yang disifati (idhafatu shifah ila maushuf). Oleh karena itu ilmu, kalam, sama', dan bashar adalah sifat Allah. Demikian juga wajah dan tangan Allah.

Kedua: Penisbatan dzat yang terpisah (munfashilah) dari Allah seperti rumah, hamba, Rasul, dan ruh. Maka penisbatan rumah, hamba, rasul, dan ruh kepada Allah adalah penisbatan makhluk kepada Pencipta-Nya.”

3. Konsep Kitab Suci
-------------------------
Kitab suci penganut Sapto Darmo adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yang tidak lain adalah pendirinya itu sendiri, Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab ini berasal dari kumpulan 'wahyu' dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah.

Bantahannya:

Kitab Suci penganut Sapto Darmo sebagaimana disebutkan di muka adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yaitu Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab suci mereka itu berasal dari 'wahyu' yang berasal dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah. Itu berarti bahwa 'kitab suci' tersebut baru, lahir sekitar 40 tahun yang lalu.

Bagaimana kalau dikembalikan kepada ajaran Islam? Aqidah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup kenabian dan kerasulan. Dan al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala; karena tidaklah kitab suci itu diturunkan melainkan melalui para Rasul; dan Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab [33] : 40)

Dengan meyakini 'kitab suci' yang dibikin sekitar 40 tahun itu berarti sama saja dengan mengingkari Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Itu berarti ajaran ini secara tidak langsung mengakui dan menetapkan adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu ajaran seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

4. Konsep tentang Alam
-----------------------------
Konsep alam dalam pandangan Sapto Darmo adalah meliputi 3 alam:

* Alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini.
* Alam Abadi yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam terminologi Islam maknanya mendekati alam akhirat.
* Alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.

Bantahannya:

Aliran Sapto Darmo meyakini adanya alam halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan atau berkeliaran karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Kata mereka, roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.

Aqidah Islam tidak mengenal alam yang demikian itu. Setelah manusia meninggal dunia –bagaimanapun cara meninggalnya– maka selanjutnya ia berada dalam suatu alam yang disebut dengan alam kubur atau alam barzakh, sebagaimana dijelaskan oleh al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil 'Izzi. “Ketahuilah, bahwa adzab kubur adalah adzab barzakh. Semua orang yang mati dalam keadaan membawa dosa berhak mendapat adzab sesuai dengan dosa yang dilakukannya, baik jasadnya dikuburkan, dimakan serigala, terbakar sehingga menjadi abu, melayang-layang di angkasa, disalib, atau tenggelam di lautan. Adzab kubur akan dirasakan oleh si mati dengan jasad dan ruh-nya, meski jasadnya tidak terkubur. Hal-hal ghaib yang berkaitan dengan bagaimana duduknya orang yang mati ketika di kubur, seperti apa tulang rusuknya, dan hal-hal yang semacamnya, maka wajib kita pahami (yakini) sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah; tidak boleh kita menambah-nambah ataupun menguranginya…”6

Terkait dengan alam, Ibnu Abil 'Izzi pada alenia berikutnya menjelaskan; “Kesimpulannya adalah bahwa alam itu ada tiga; alam dunia (dar ad-dunya), alam barzakh (dar al-barzakh), dan alam akhirat (dar al-qarar). Allah telah memberlakukan hukum-hukum tertentu bagi tiap-tiap alam tersebut, dan manusia (jasad maupun ruh) akan berjalan sesuai dengan hukum tersebut. Allah menjadikan hukum-hukum dunia berlaku bagi jasad dan ruh sesuai keadaannya di dunia. Demikian juga; Allah menjadikan hukum-hukum di alam barzakh berlaku bagi jasad dan ruh sesuai keadaannya di alam barzakh. Kemudian, tatkala datang hari dibangkitkannya semua jasad dan manusia dari kubur mereka, maka akan berlakulah hukum-hukum yang ada di sana; pemberian pahala dan siksa, juga kepada ruh dan jasad secara bersama-sama.” (ed)

–bersambung–
(Bagian Kedua dari Dua Tulisan di Link berikut : 


http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1697897929777&set=a.1653325175486.2085068.1307751853&ref=nf)


Catatan Kaki:
---------------
1. ^Rahnip M., B.A., Aliran Kebatinan dan Kepercayaan dalam Sorotan, Pustaka Progressif, hal. 11.
2. ^Animisme adalah kepercayaan kepada ruh-ruh yang mendiami suatu benda (pohon, batu, sungai, gunung, dll), sedangkan dinamisme adalah kepercayaan bahwa sesuatu benda mempunyai tenaga atau kekuatan. (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1997).
3. ^Disarikan dari buku Rahnip M., BA., idem, hal. 73-112.
4. ^Syarah ath-Thahawiyah fi al-Aqidah as-Salafiyah, hal. 183-184, Darul-Fikr, 1408H./1988M.
5. ^Muslim hadits no. 9, at-Tirmidzi hadits no. 2535, Nasa-i hadits no. 4904, Abu Dawud hadits no. 4075, Ibnu Majah hadits no. 62, dan Ahmad hadits no. 179, 186, 346.
6. ^Syarah at-Thahawiyah fi al-Aqidah as-Salafiyah, ibid, hal. 264.

semoga bermanfaat


FIRQAH2 SESAT

SYIAH, JAHMIYAH DAN ATSYARI'AH

Syi’ah terpecah ke dalam golongan dan aliran yang banyak. Qadariyah terpecah ke dalam golongan dan aliran yang banyak. Khawarij terpecah ke dalam golongan dan aliran yang banyak seperti al azriqah, al haruriyyah, an najdat, ash shafariyyah, al ibadhiyyah. Sebagian mereka ghuluw dan sebagian lain tidak.

SYI'AH
--------
Syi’ah adalah mereka yang mengaku-aku mengikuti dan menolong ahli bait. Allah berfirman ketika menyebutkan kisah Nuh:

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).” (QS. Ash Shaffat : 83)

Yaitu Ibrahim mengikutinya dan menolong agamanya (Nuh) karena setelah Allah mengisahkan Nuh ‘Alaihis Salam, Dia berfirman dengan ayat di atas. Makna asal syi’ah berarti mengikuti dan menolong.

Kemudian nama ini diterapkan kepada golongan ini yaitu golongan yang menyatakan bahwasanya mereka mengikuti ahli bait yaitu Ali bin Abi Thalib Radliyallahu ‘Anhu dan keturunannya.

Mereka menganggap bahwa Ali diwasiati kekhalifahan sesudah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bahwasanya Abu Bakar, Umar, Utsman dan para shahabat telah menzhalimi Ali dan merampas kekhalifahan darinya. Demikianlah mereka menyatakan. Sungguh mereka telah berdusta tentang hal itu karena sesungguhnya para shahabat berkumpul dan sepakat untuk membaiat Abu Bakar dan Ali pun termasuk dari mereka (shahabat) ketika dia ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Hal itu berarti bahwa sesungguhnya mereka telah menuduh Ali Radliyallahu ‘Anhu mengkhianati wasiat itu (karena beliau ikut membaiat, ed.).

Mereka mengkafirkan para shahabat kecuali sedikit dari para shahabat yang mereka anggap baik. Mereka melaknat Abu Bakar dan Umar dan memberi gelar keduanya dengan sebutan “dua berhala Quraisy”.

Termasuk dari madzhab mereka, mereka ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap imam-imam dari kalangan ahli bait. Bahkan mereka memberikan hak kepada imam-imam tersebut untuk membuat syariat dan menghapus hukum-hukum.

Mereka juga menyangka bahwa Al Quran telah diselewengkan dan dikurangi. Bahkan perbuatan mereka sudah sampai pada menjadikan para imam sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan mereka membangun kubur-kubur imam tersebut dan memberi kubah-kubah di atasnya kemudian mereka ber-thawaf mengelilinginya. Di atas kuburan itu juga mereka menyembelih dan bernadzar.

Syi’ah terpecah menjadi golongan yang banyak, sebagiannya lebih ringan kesesatannya dari yang lain dan sebagian lebih keras dari yang lain. Di antara golongan syi’ah: Zaidiyyah, rafidlah itsna ‘asyariyah, ismailiyyah dan fathimiyyah, qaramithah dan lain-lain.

Demikianlah setiap orang yang berpaling dari kebenaran, mereka senantiasa dalam perselisihan dan perpecahan. Allah Ta’ala berfirman:

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 137)

Maka barangsiapa yang berpaling dari Al Haq akan diberi musibah dengan kebatilan, penyimpangan, perpecahan dan tidak akan tercapai tujuan bahkan berakhir dengan kerugian. Wal iyadzu billah.

Syi’ah terpecah ke dalam golongan dan aliran yang banyak. Qadariyah terpecah ke dalam golongan dan aliran yang banyak. Khawarij terpecah ke dalam golongan dan aliran yang banyak seperti al azriqah, al haruriyyah, an najdat, ash shafariyyah, al ibadhiyyah. Sebagian mereka ghuluw dan sebagian lain tidak.

JAHMIYYAH
--------------
Jahmiyyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan yang belajar kepada Ja’d bin Dirham. Ja’d bin Dirham belajar kepada Thalut. Thalut belajar kepada Labib bin Al ‘Asham seorang yahudi maka jadilah mereka semua murid-murid yahudi. Ajaran/madzhab jahmiyyah adalah tidak menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah dan mereka beranggapan bahwa Allah adalah zat yang kosong dari nama-nama dan sifat-sifat karena menetapkan nama-nama dan sifat-sifat menurut anggapan mereka akan mengakibatkan kesyirikan dan berbilangnya sesembahan. Perkataan mereka tersebut ini adalah syubhat dan kerancuan yang terkutuk.

Kita tidak tahu apa yang akan mereka katakan tentang diri-diri mereka? Padahal salah satu dari mereka menyatakan bahwa dirinya seorang yang alim, kaya, tukang dan pedagang. Demikian juga mereka menyatakan bahwa mereka mempunyai banyak sifat. Akan tetapi apakah yang demikian itu berarti menunjukkan bahwa ia menjadi banyak orang?

Hal ini bertentangan dengan akal karena tidaklah mesti dengan banyaknya nama-nama dan sifat-sifat menjadikan banyak/berbilangnya ilah (tuhan). Oleh karena itulah ketika orang-orang musyrik dahulu mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa:

“Wahai Yang Maha Pengasih, wahai Yang Maha Penyayang.” Mereka berkata: “Orang ini (nabi) menyatakan bahwasanya dia hanya menyembah Tuhan yang satu sedangkan dia masih menyeru kepada tuhan yang banyak.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:

Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai Al Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik)24.” (QS. Al Isra : 110)

Nama-nama Allah itu banyak dan hal itu menunjukkan kesempurnaan dan keagungan-Nya tidak menunjukkan kepada berbilangnya sesembahan sebagaimana yang mereka katakan.

Adapun zat kosong yang tidak mempunyai sifat maka tentunya hal ini tidak mempunyai wujud. Mustahil selama-lamanya jika ada sesuatu yang tidak mempunyai sifat, minimal dia mempunyai sifat wujud (ada).

Di antara syubhat mereka adalah bahwa menetapkan sifat akan mengakibatkan penyerupaan karena sifat-sifat tersebut juga terdapat pada makhluk. Perkataan ini adalah batil sebab sifat-sifat pencipta sesuai dengan-Nya dan sifat-sifat makhluk sesuai dengan mereka dan keduanya tidak saling menyerupai.

Sesungguhnya berkumpul pada jahmiyyah kesesatan dalam hal nama-nama dan sifat-sifat, kesesatan jabriyyah dalam hal menetapkan takdir dimana jahmiyyah berkata: “Sesungguhnya seorang hamba tidak mempunyai keinginan/kehendak dan tidak mempunyai pula usaha, dia hanyalah dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya.” Ini berarti bahwasanya jika dia disiksa karena kemaksiatannya maka dia adalah orang yang terzhalimi karena (menurut mereka) kemaksiatan itu bukan perbuatan dia dan dia hanyalah dipaksa untuk melakukan hal itu. Maha Tinggi Allah dari hal yang demikian.

Dengan demikian mereka mengumpulkan antara jabriyah dalam masalah takdir dan jahmiyah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat dan mereka mengumpulkan pula dalam hal itu kepada perkataan murjiah yang mereka gabungkan dengan pernyataan bahwa Al Quran adalah makhluk maka jadilah mereka di atas kesesatan yang bertumpuk.

Berkata Ibnu Qayyim:

(Huruf) jim dan jim kemudian bersama keduanya beriringan huruf-hurufnya dalam satu wazan jabriyyah, murjiah dan jim jahmiyyah. Maka perhatikanlah semuanya dalam satu timbangan maka hukumilah dengan memperhatikan siapa yang sampai terlepas dari ikatan iman25.

Maksudnya semua kelompok sesat tersebut terdapat padanya huruf jim yaitu jabariyyah, murjiah dan jahmiyyah jadi semuanya ada tiga jim. Ketahuilah bahwa jim yang keempat adalah Jahannam.

Kesimpulannya bahwa ajaran jahmiyyah ini terkenal dalam hal meniadakan nama-nama dan sifat-sifat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pecahan dari jahmiyyah adalah ajaran mu’tazilah, asy’ariyyah dan maturidiyyah.

Ajaran mu’tazilah menetapkan nama-nama dan meniadakan sifat-sifat tetapi dalam menetapkan nama-nama mereka menetapkan semata-mata hanya lafazh yang tidak menunjukkan kepada makna dan sifat.

Mereka dinamakan dengan mu’tazilah (kelompok yang memisahkan diri) karena imam mereka yaitu Washil bin Atha’ adalah salah seorang murid Hasan Al Bashri Rahimahullah, seorang imam tabi’in yang mulia. Ketika Hasan Al Bashri ditanya tentang pelaku dosa besar apa hukumnya? Maka beliau berkata dengan perkataan Ahlus Sunnah wal Jamaah: “Sesungguhnya dia seorang Mukmin yang kurang imannya, dinamakan Mukmin karena imannya dan fasik karena dosa besarnya.”

Akan tetapi Washil bin Atha’ tidak mau menerima jawaban dari gurunya maka dia keluar dan berkata: “Tidak, saya beranggapan bahwa pelaku dosa besar bukan termasuk orang Mukmin dan bukan pula orang kafir, ia berada di suatu kedudukan di antara dua kedudukan.”

Kemudian dia memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al Bashri dan duduk di salah satu sisi masjid dan berkumpul dengan kaum dari kalangan awam jahil yang mau mengambil ucapannya.

Seperti itulah dai yang sesat di setiap waktu pasti akan ada yang bergabung kepadanya dari kebanyakan manusia, inilah hikmah Allah. Mereka meninggalkan majlis Hasan Al Bashri, Syaikh Ahlus Sunnah yang majlisnya merupakan majlis kebaikan dan majlis ilmu tetapi mereka lebih suka memilih bergabung kepada majlis seorang yang berpaham mu’tazilah yaitu Washil bin Atha’ seorang yang sesat dan menyesatkan.

Banyak orang-orang yang serupa dengan mereka di jaman kita ini, mereka meninggalkan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bergabung dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang menyimpang26.

Sejak waktu itulah mereka dinamakan dengan mu’tazilah karena mereka memisahkan diri dari Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana mereka menafikan sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menetapkan bagi-Nya nama-nama yang kosong dari makna dan menghukumi pelaku dosa besar sebagaimana yang diyakini oleh khawarij yaitu mereka kekal di neraka. Akan tetapi mu’tazilah menyelisihi khawarij tentang hukum pelaku dosa besar di dunia dimana mereka mengatakan: “Sesungguhnya dia berada di suatu kedudukan di antara dua kedudukan bukan orang Mukmin bukan pula kafir.” Sedangkan khawarij mengatakan: “Kafir.”

Maha Suci Allah! Apakah masuk akal bahwa manusia tidak Mukmin dan tidak pula kafir? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah berfirman:

“Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman.” (QS. Ath Thaghabun : 2)

Tidaklah Dia (Allah) mengatakan di antara kalian ada yang berada di suatu kedudukan di antara dua kedudukan. Tetapi apakah mereka (mu’tazilah) memahaminya? Kemudian bercabang dari madzhab mu’tazilah yaitu madzhab asy’ariyah.

ASY'ARIYAH
---------------
Asy’ariyah dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy’ari Rahimahullah. Dulunya Abul Hasan Al Asy’ari seorang yang berpemahaman mu’tazilah kemudian Allah mengaruniai anugerah hidayah kepadanya sehingga dia mengetahui kebatilan madzhab mu’tazilah maka dia berdiri di masjid pada hari Jumat dan mengumumkan bahwa ia berlepas diri dari madzhab mu’tazilah dan melepaskan bajunya seraya berkata:

“Saya melepaskan madzhab mu’tazilah sebagaimana saya melepaskan bajuku ini.” Akan tetapi setelah berlepasnya dia dari madzhab mu’tazilah lalu beralih kepada madzhab kullabiyyah yaitu pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Abdullah bin Sa’id bin Kullab adalah seorang yang menetapkan 7 (tujuh) sifat dan menafikan selainnya. Dia berkata: “Akal tidak dapat membuktikan kecuali hanya tujuh sifat saja yaitu Al Ilmu, Al Qudrah, Al Iradah, Al Hayah, As Sam’u, Al Bashar dan Al Kalam (sifat Mengetahui, Mampu, Iradah, Hidup, Mendengar, Melihat dan Berbicara).”

Dia berkata: “Inilah yang dapat dibuktikan/dipahami oleh akal, adapun apa yang tidak ditunjukkan oleh akal (menurut dia) tidak bisa ditetapkan.”

Kemudian Allah mengaruniakan kembali hidayah kepada Abul Hasan Al Asy’ari sehingga dia meninggalkan madzhab kullabiyyah dan kembali kepada ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan dia berkata: “Sekarang saya mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahlus

Sunnah wal Jamaah Ahmad bin Hanbal. Sesungguhnya Allah bersemayam di atas Arsy dan sesungguhnya Dia mempunyai tangan dan wajah.” Beliau menyebutkan hal ini dalam kitabnya, Al Ibanah ‘an Ushul Ad Diyanah dan juga dalam kitabnya yang kedua, Maqaalat Al Islamiyyin wa Ikhtilaf Al Mushallin.

Disebutkan bahwasanya Abul Hasan Al Asy’ari berada di atas madzhab Imam Ahmad bin Hanbal walaupun masih tersisa padanya beberapa penyimpangan ..

Sedangkan pengikut Abul Hasan Al Asy’ari tetap berada di atas madzhab kullabiyyah dan kebanyakan mereka senantiasa berada di atas madzhabnya yang pertama sehingga mereka dinamakan dengan asy’ariyyah sebagai nisbat (penyandaran) kepada Abul Hasan Al Asy’ari dalam madzhabnya yang pertama. Adapun setelah beliau kembali ke madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah maka penisbatan madzhab ini (asy’ariyyah) kepada beliau adalah suatu kekeliruan. Yang benar adalah madzhab kullabiyyah bukan madzhab Abul Hasan Al Asy’ari Rahimahullah karena dia telah bertaubat dari hal tersebut. Dan beliau telah menulis tentang hal tersebut dalam kitabnya, Al Ibanah ‘an Ushul Ad Diyanah yang menjelaskan secara terang-terangan kembalinya beliau berpegang sebagaimana yang diyakini pada Ahlus Sunnah wal Jamaah khususnya Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah. Walaupun masih ada padanya beberapa penyimpangan misalnya perkataannya tentang Al Kalam:

“Sesungguhnya Kalamullah adalah makna tersendiri yang berdiri sendiri dengan Dzat-Nya. Dan Al Quran adalah pengulangan ucapan atau ungkapan dari Kalamullah. Al Quran itu bukan Kalamullah itu sendiri.”

Inilah madzhab asy’ariyyah pecahan dari madzhab mu’tazilah dan madzhab mu’tazilah pecahan dari madzhab jahmiyyah kemudian terpecah-pecah menjadi madzhab-madzhab yang banyak. Semuanya berasal dari madzhab jahmiyyah.

Inilah kira-kira pokok firqah-firqah (golongan-golongan) 27.
Yang secara berurutan sebagai berikut:

Pertama qadariyyah.
Kemudian asy’ariyyah.
Kemudian khawarij.
Kemudian jahmiyyah.

Kemudian firqah-firqah tersebut terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang dapat menghitung jumlahnya kecuali Allah, dimana telah disusun kitab tentang perkara ini di antaranya:

1. Kitab Al Farqu baina Al Firaq, Al Baghdadi.
2. Kitab Al Milal wa An Nihal, Muhammad bin Abdil Karim Asy Syahristani.
3. Kitab Al Fishal fi Al Milal wa An Nihal, Ibnu Hazm.
4. Kitab Maqaalat Al Islamiyyin wa Ikhtilafi Al Mushallin, AbulHasan Al Asy’ari.

Setiap kitab tersebut menjelaskan tentang golongan-golongan beserta macamnya, jumlahnya, penyimpangannya dan perkembangannya. Hingga sampai di jaman kita ini senantiasa berkembang, bertambah dan tumbuh darinya menjadi madzhab yang lain dan berpecah darinya pemikiran-pemikiran yang baru yang muncul dari pokok pemikiran 4 kelompok tersebut. Tidak satu pun kelompok yang masih tetap berada di atas kebenaran kecuali Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di setiap jaman dan tempat mereka selalu di atas kebenaran sampai terjadinya hari kiamat.

Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas Al Haq (kebenaran), tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang perkara Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu 28.”

Segala puji bagi Allah, sungguh mereka Ahlus Sunnah wal Jamaah menyelisihi qadariyyah nufat (yang menolak takdir). Mereka beriman kepada takdir yang sesungguhnya ini termasuk dari rukun iman yang enam. Bahwasanya tidak terjadi sesuatu pun di alam ini kecuali dengan Qadha dan Qadar-Nya Subhanahu wa Ta’ala karena Dia Maha Pencipta, Pengatur, Raja dan Penguasa.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az Zumar : 62)

Tidak ada yang dapat mengatur alam ini kecuali karena Kehendak-Nya, Iradah-Nya, Qudrah-Nya dan Takdir-Nya. Allah mengetahui segala apa yang ada dan segala apa yang akan terjadi sejak azali.

Kemudian Dia menulisnya di Lauh Mahfuzh kemudian Dia menghendaki dan mengadakan serta menciptakannya. Sesungguhnya seorang hamba mempunyai kehendak dan usaha serta pilihan. Tidaklah seorang hamba dicabut iradahnya hingga ia dipaksa dalam semua perbuatan-perbuatannya sebagaimana yang dikatakan oleh jabriyyah al ghullat maka Ahlus Sunnah menyelisihi mereka dalam perkara ini.

Madzhab mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) tentang para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bahwa mereka berwala’ (berloyalitas) kepada semua para shahabat, baik itu Ahlul Bait maupun bukan. Berwala’ kepada semuanya, Muhajirin, Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik yang dengan itu mereka telah merealisasikan firman Allah Ta’ala:

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunanlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman ….” (QS. Al Hasyr : 10)

Berbeda dengan syi’ah, Ahlus Sunnah wal Jamaah menyelisihi mereka karena syi’ah membedakan di antara para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka berloyalitas kepada sebagian shahabat dan membenci/memusuhi sebagian shahabat yang lain sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah berwala’ mencintai mereka semua. Semua shahabat saling mempunyai keutamaan dan yang paling utama di antara mereka adalah Khulafa Ar Rasyiddin kemudian sepuluh orang yang diberi kabar masuk Surga kemudian Muhajirin yang lebih mulia dari Anshar, para shahabat yang ikut perang Badr, yang ikut Baiat Ridwan maka mereka semua Radliyallahu ‘Anhum memiliki keutamaan.

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini adanya keharusan mendengar dan taat terhadap pemerintah berbeda dengan khawarij.

Ahlus Sunnah meyakini keharusan untuk mendengar dan taat kepada penguasa/pemerintah Muslimin dan mereka berpendapat tidak bolehnya keluar (memberontak) terhadap imam Muslimin meskipun mereka melakukan kesalahan selama kesalahannya bukan kekafiran dan kesyirikan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memberontak terhadap mereka karena semata-mata maksiat sebagaimana beliau bersabda:

“Kecuali kalian lihat kekufuran yang nyata yang di sisi kalian ada keterangan dari Allah tentangnya 29.”

Demikian juga Ahlus Sunnah wal Jamaah menyelisihi jahmiyyah dan sempalan-sempalan mereka dalam hal Asma Allah dan Sifat-Nya. Ahlus Sunnah wal Jamaah beriman sebagaimana yang Allah sifatkan bagi Diri-Nya dan sebagaimana yang Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sifatkan Bagi-Nya dan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dalam hal tersebut tanpa penyerupaan (tasybih), pemisalan (tamtsil), penyelewengan (tahrif) dan menolak (ta’thil).

“ … tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura : 11)

Segala puji bagi Allah, sesungguhnya pada madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah telah terkumpul Al Haq dalam semua perkara dan terhadap semua masalah dan mereka berselisih/berbeda dengan setiap apa yang ada pada firqah (golongan) yang sesat dan aliran yang batil. Maka barangsiapa yang menginginkan keselamatan sesungguhnya inilah madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bab ibadah. Mereka beribadah kepada Allah berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh syariat berbeda dengan sufi atau ahlul bid’ah dan khurafiyyin (orang-orang yang meyakini khurafat yang tak berdalil) yang tidak mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dalam peribadatan mereka tetapi mereka mengikuti apa-apa yang ditetapkan bagi mereka oleh syaikh-syaikh thariqat dan imam-imam mereka yang sesat. Kita memohon kepada Allah agar Dia menjadikan saya dan kalian termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan karunia-Nya dan kemuliaan-Nya, semoga Dia memperlihatkan kepada kita yang haq (kebenaran) itu suatu kebenaran dan memberikan kita (kekuatan) mengikutinya dan memperlihatkan pada kita kebatilan itu suatu kebatilan dan memberikan kita (kekuatan) untuk menjauhinya.

Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan (permohonan).

Demikianlah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kepada keluarganya serta para shahabatnya

Catatan Kaki:
----------------
25 Nuniyah Ibnul Qayyim halaman 115. Yakni mereka mengumpulkan antara jabriyyah dan jahmiyyah dan murjiah tiga huruf jim dan jim yang keempat adalah Jahannam.

26 Maka kamu akan menjumpai mereka mengumpulkan kaset-kaset, kitab-kitab mereka dan mereka bersemangat untuk mendapatkannya. Apabila kamu katakan kepada mereka bahwa di kitab-kitab ini terdapat kesalahan-kesalahan yang menyelisihi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah Salaful Ummah dimana terdapat padanya perkataan Al Quran adalah makhluk atau ta’wil terhadap sifat-sifat Allah atau hasutan untuk memberontak kepada pemerintah Muslimin atau kesalahan- kesalahan lainnya maka mereka akan berkata: “Ini adalah kesalahan yang sepele tidak menghalangi kamu untuk membaca dan mendengarnya.” Padahal dalam kitab- kitab ulama kita baik dahulu maupun sekarang telah mencukupi semuanya. Demikianlah mereka berusaha menyesatkan setiap orang yang mendengar omongan mereka.

“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh- penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An Nahl : 25)

Apakah mereka tidak mengetahui bahwa pendahulu (Salaf) kita ada yang menjauhi orang yang hanya berkata dengan satu bid’ah atau hanya mentakwil satu sifat saja? Abdul Wahhab bin Abdul Hakam Al Waraq, salah seorang sahabat Imam Ahmad Rahimahullah ditanya tentang Abu Tsaur maka dia berkata: “Saya tidak beragama padanya kecuali dengan perkataan Ahmad bin Hanbal. Dijauhi Abu Tsaur dan orang yang berkata seperti perkataannya.”

Hal itu karena (Abu Tsaur) menafsirkan hadits tentang gambar yang tafsirnya menyelisihi dari perkataan Salaf. Maka bagaimana dengan orang yang tidak bisa dikumpulkan banyaknya kesalahan dan dihitung (kesalahan tersebut) kecuali melalui kitab-kitab (ulama). Walaupun demikian kamu masih mendengar sebagian mereka berkata: “Kesalahan-kesalahan yang sepele tidak berarti menghalangi untuk membacanya.”
Dan tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah.

27 Berkata Ibnu Abi Randaq Ath Thurthusyi dalam kitabnya, Kitab Al Hawadits wal Bida’ halaman 14:
Ketahuilah bahwa ulama kita --Radliyallahu ‘Anhum-- berkata: “Pokok bid’ah ada 4 (empat) dan jenisnya ada 72 kelompok yang merupakan pecahan dan sempalan dari 4 pokok yaitu khawarij, mereka adalah kelompok pertama yang memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib Radliyallahu ‘Anhu kemudian rawafidh, qadariyyah dan murjiah.”

28 Telah terdahulu takhrij-nya, catatan kaki halaman 17 nomor 10.

29 Bagian dari hadits Ubadah bin Ash Shamit dan lafazhnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyeru kami maka kami membaiatnya dan yang beliau ambil dari kami adalah agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan semangat maupun lesu, dalam keadaan susah maupun senang dan kita dalam keadaan dizhalimi dan tidak mencabut ketaatan dari pemiliknya. Beliau bersabda:

“Kecuali kalian lihat padanya kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari (7056) dan Muslim (III/1470, 42).

===




added note

source 1 

source 2

semoga bermanfaat

Blog Archive