Follow us on:

TANGGAPAN SEKILAS DZIKIR BERSAMA BAGIAN 1 DARI 5

bismillaah,

Posted on May 29th, 2004 by admin
Maraknya aktifitas berdzikir di berbagai tempat, telah menggelitik kami untuk mengkritisinya. Demikian juga dengan terbitnya buku yang mengangkat masalah dzikir, yaitu "Zikir Berjama’ah Sunnah Atau Bid’ah" dan "Hakikat Dzikir". Yang pertama merupakan karya dari KH Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA dan yang kedua ditulis oleh Muhammad Arifin Ilham.

Dzikir, memang merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan Allah
dalam Al Qur’an dan Rasulullah dalam hadits-hadits Beliau. Bagi seorang
mukmin, sudah seharusnya memperbanyak dzikir kepada Allah. Allah berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya
pada waktu pagi dan petang. (QS Al Ahzab: 41, 42).
Perintah untuk memperbanyak dzikir ini, di kalangan ulama tidak teradi
perbedaan. Demikian pula dalil yang dibawakan tidak terjadi perbedaan.
Yang kemudian menjadi permasalahan, ialah menyangkut haiah (bentuk)
dzikir yang disyari’atkan. Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan
masih bersifat umum. Yakni perintah berdzikir di manapun berada dan
ketika memiliki kesempatan.

Bagaimanakah dengan cara berdzikir bersama yang sekarang ini marak?

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, kami telah mewawancarai Ustadz.
Aunur Rifiq Ghufran 1 dan Ustadz Mubarak Bamuallim 2, yang kami tuangkan dalam tulisan berikut. Kemudian kami olah dengan beberapa tambahan maraji’ (rujukan).

Namun, karena keterbatasan tempat, maka kami tidak dapat mengangkat
secara menyeluruh. Kami hanya mengangkat sebagian dari buku Zikir
Berjama’ah Sunnah Atau Bid’ah (selanjutnya disebut ZBSB). Semoga bermanfaat.

SOAL:

Penyusun buku ZBSB menyatakan di halaman 58: Pada firman-firman Allah
SWT di atas, yakni QS Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, QS Ali
lmran ayat 191: Yadzkuruunallaah dan QS Al Ahzab ayat 35: Adz
Dzaakirinallaah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari sisi tata bahasa Arab, semuanya itu menggunakan dhamir jama’ / plural (antum, hum dan hunnah) bukan dhamir mufrad / singular (anta, huwa, dan hiya). Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya dzikir secara
berjama’ah.

TANGGAPAN:

Istidlal 3 sepeti ini sangat lemah. Karena banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menggunakan
dhamir jama’, tapi tidak bisa difahami demikian. Seperti firman Allah:

Istert-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocoktanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanarm kalian itu bagaimana
saja kalian kehendaki. (QS Al Baqarah: 223).
Apakah ayat ini bisa difahami, bahwa menggauli isteri dapat atau dianjurkan
secara bersama-sama? Tidak ada seorang ulamapun yang memahami seperti
ini.

Misalnya juga firman Allah dalam surat Al Jumu’ah ayat 10:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung. (QS Al Jumu’ah:10).
Bagaimana dia memahami kalimat udzkurullah (berdzikirlah kalian)
dalam ayat ini? Padahal ayat ini sangat jelas, bahwa berdzikir ini
setelah Allah memerintahkan untuk bertebaran. Ini menunjukkan, bahwa
dzikir itu tidak mesti harus bersama; bahkan dzikir berjama’ah dengan
satu suara tidak ada contohnya. Seandainya ada contoh dari para salafush
shalih, kami akan melaksanakan dan kami akan mendukungnya.

Misalnya lagi, Allah berfirman dalam surat Al Anfal ayat 45

Hai, orang-orang yang beriman. Apabila kamu nnemerangi pasukan (musuh),
maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya
agar kamu beruntung. (QS Al Anfal: 45).
Apakah pemah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dalam suatu peperangan
memimpin para sahabatnya berdzikir dengan satu suara? Padahal peperangan
sangat banyak dan riwayat mengenai kejadian dalam medan tempur juga
banyak. Ini menunjukkan, bahwa dzikir disini, meskipun menggunakan
dhamir jama’, tetapi dalam pelaksanaannya secara sendiri-sendiri.

Ayat keempat, dalam surat Al Baqarah ayat 198, Allah berfirman:

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Masy’aril Haram adalah nama sabuah bukit di Muzdalifah.
Seandainya dhamir jama’ difahami dengan bolehnya dzikir secara bersama-sama
dengan dikomando, tentu Rasulullah sudah memberikan contoh, atau Beliau
memerintahkan kepada para sahabat untuk membuat halaqah dzikir, lalu
berdzikir dengan satu suara; karena pada saat ini, ada kesempatan
dan banyak orang yang sedang berkumpul.

Namun kami belum menemukan satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa
Nabi dan para sahabat melakukan hal itu di Masy’aril Haram. Padahal,
mereka merupakan generasi terbaik yang sangat bersemangat dalam berbuat
kebaikan. Memang disyari’atkan mengeraskan suara dalam bertalbiah,
tetapi tidak dipimpin; masing-masing bertalbiyah secara sendiri-sendiri.
Dan ini ada riwayat yang memerintahkannya.

Manakala Rasulullah tidak melakukannya, padahal Beliau mempunyai kesempatan
dan tidak ada sesuatu yang menghalangi Beliau; ini menunjukkan bahwa
perbuatan itu (Dzikir bersama) tidak disyari’atkan. Kesimpulannya,
ini adalah dalil-dalil umum. Untuk melaksanakannya perlu contoh dari
RasuLullah dan para sahabat. Lebih-lebih Yang berkaitan dengan cara
beribadah. Karena dzikir termasuk cara beribadah.

________________________________________
Catatan Kaki

1 Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren AI Furqon, Srowo, Gresik.
2Beliau adalah Staff Pengaiar Ma’had AI Ali Al Irsyad, Surabaya.
3Istidlal berdalil / menggunakan dalil untuk suatu pemahaman.
________________________________________
Dikutip dari majalah As-Sunnah 01/VIII/1425H hal 37 – 38


‎...

Apakah antum pernah belajar ilmu Ushul Fiqih?
Maka biasanya orang2 yang tidak pernah mempelajari ilmu ini, (dan ini biasanya di lakukan oleh orang2 muqallid dari Nahdiyyin), mereka selalu bertanya "Apakah ada larangannya?" atau "Mana dalil larangannya ?!"

Maka ketahulilah wahai saudaraku yang semoga antum di rahmati Allah,

Kaidah dalam ilmu Ushul fiqih adalah : "Hukum asal dari ibadah adalah HARAM sampai ada dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya. Sedangkan hukum asal dari muamalah adalah boleh atau halal, sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya"

Pegang kuat2 kaidah yang mulia ini, sehingga antum tidak lagi bertanya "apakah ada larangannya?"

Allahul musta'an

***


  added notes :

http://www.facebook.com/note.php?note_id=275185899172858

http://www.facebook.com/note.php?note_id=274347809256667

http://www.facebook.com/note.php?note_id=274358342588947

http://www.facebook.com/note.php?note_id=272790892745692

http://www.facebook.com/note.php?note_id=272430152781766

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271937966164318

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271949409496507

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271621072862674

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271615399529908

http://www.facebook.com/note.php?note_id=271538766204238



‎...

Berikut keterangan para ulama tentang majelis dzikir...

Abu Hazzan ‘Atha` pernah ditanya:”Apakah Majelis Dzikir itu?” Beliau menjawab: مَجْلِسُ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَكَيْفَ تُصَلِّي وَكَيْفَ تَصُوْمُ وَكَيْفَ تَنْكِحُ وَكَيْفَ تَطْلُقُ وَتَبِيْعُ وَتَشْتَرِي
“Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual-beli.” (Al Hilyah 3/313).

Sa’id bin Jubair mengatakan: كُلُّ عَامِلٍ للهِ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ ذَاكِرٌ للهِ
“Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah karena Allah, maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah.”(Al Adzkar 7).

Syaikh Al Imam Abu ‘Amr Ibnu Shalah pernah ditanya ukuran seseorang dikatakan sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah?” Beliau mengatakan: إِذَا وَاظَبَ عَلَى الأَذْكَارِ المَأْثُوْرَةِ المُثْبَتَّةِ صَبَاحًا وَمَسَاءً فِي الأَوْقَاتِ وَالأَحْوَالِ المُخْتَلِفَةِ لَيْلاً نَهَارًا كَانَ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيْرًا وَ الذَّاكِرَاتِ
“Yaitu orang yang tekun melakukan dzikir-dzikir ma’tsur (diriwayatkan) yang sahih setiap pagi dan petang dalam keadaan yang berbeda, siang malam.” (Al Adzkar 7).

Imam Al Qurthubi mengatakan: مَجْلِسُ ذِكْرٍ يَعْنِي مَجْلِسُ عِلْمٍ وَتَذْكِيْرٍ وَهِيَ المَجَالِسُ الَتِي يُذْكَرُ فِيْهَا كَلاَمُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ وَأَخْبَارُ السَلَفُ الصَّالِحِينَ وَكَلَامُ الأَئِمَّةِ الزُهّّادِ الْمُتَقَدِمِينَ المُبْرَأَةِ عَنِ التَّصَنُّعِ وَالْبِدَعِ المُنَزَّهَةِ عَنِ الْمَقَاصِدِ الرَّدِيْئَةِ وَالطَمَعِ
“Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid’ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang rendah dan ketamakan.” (Fikih Sunnah 2/87).

Al Manawi mengatakan:”Hujjatul Islam (Al Ghazali –ed) mengatakan: ”Yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah, tadabbur Al Quran, mempelajari agama, dan menghitung-hitung ni’mat yang telah Allah berikan kepada kita.” (Faidlul Qadir 5/519).

Dari penukilan perkataan ‘Ulama salaf ini jelas bagi kalian bahwa yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang di dalamnya disebutkan padanya “majalis adz-dzikr” atau “hilaqudz dzikr” adalah majelis ilmu yang di dalamnya dipelajari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, jauh dari berbagai macam campuran bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.



Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)
Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

مَنْ اَغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ اْلأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الثَّانِيَةَ فَكَأَنَمَا قَرَّبَ بَقْرَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْثَّالِثَةَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً, فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الْذِّكْرَ

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berang-kat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor.

Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.”

Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat.( Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)



Itu semua menunjukkan bahwa makna “majalis adz dzikr” lebih lebih luas dari makna dzikir secara lisan, namun mencakup berbagai macam jenis amalan ketaatan seperti menuntut ilmu, belajar dan mengajar, memberi nasehat, yang jauh dari berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan.


...

Maraknya aktifitas berdzikir di berbagai tempat, telah menggelitik
kami untuk mengkritisinya. Demikian juga dengan terbitnya buku yang
mengangkat masalah dzikir, yaitu "Zikir Berjama’ah
Sunnah Atau Bid’ah" dan "Hakikat Dzikir".
Yang pertama merupakan karya dari KH Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA dan yang kedua ditulis oleh Muhammad Arifin Ilham.

Dzikir, memang merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan Allah dalam Al Qur’an dan Rasulullah dalam hadits-hadits Beliau. Bagi seorang mukmin, sudah seharusnya memperbanyak dzikir kepada Allah. Allah berfirman, yang artinya..

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan petang. (QS Al Ahzab: 41, 42).

Perintah untuk memperbanyak dzikir ini, di kalangan ulama tidak teradi
perbedaan. Demikian pula dalil yang dibawakan tidak terjadi perbedaan. Yang kemudian menjadi permasalahan, ialah menyangkut haiah (bentuk) dzikir yang disyari’atkan. Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan masih bersifat umum. Yakni perintah berdzikir di manapun berada dan ketika memiliki kesempatan.

Bagaimanakah dengan cara berdzikir bersama yang sekarang ini marak?

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, kami telah mewawancarai Ustadz.
Aunur Rifiq Ghufran
1 dan Ustadz Mubarak Bamuallim
2, yang kami tuangkan dalam tulisan berikut. Kemudian kami olah dengan beberapa tambahan maraji’ (rujukan).

Namun, karena keterbatasan tempat, maka kami tidak dapat mengangkat secara menyeluruh. Kami hanya mengangkat sebagian dari buku Zikir Berjama’ah Sunnah Atau Bid’ah (selanjutnya disebut ZBSB).

Semoga bermanfaat.



...

SOAL:

Penyusun buku ZBSB menyatakan di halaman 58: Pada firman-firman Allah SWT di atas, yakni QS Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, QS Ali
lmran ayat 191: Yadzkuruunallaah dan QS Al Ahzab ayat 35: Adz
Dzaakirinallaah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari sisi tata
bahasa Arab, semuanya itu menggunakan dhamir jama’ / plural (antum, hum dan hunnah) bukan dhamir mufrad / singular (anta, huwa, dan hiya).

Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya dzikir secara
berjama’ah.

TANGGAPAN:

Istidlal
3 sepeti ini sangat lemah. Karena banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menggunakan dhamir jama’, tapi tidak bisa difahami demikian. Seperti firman Allah:

Istert-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocoktanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanarm kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (QS Al Baqarah: 223).

Apakah ayat ini bisa difahami, bahwa menggauli isteri dapat atau dianjurkan secara bersama-sama? Tidak ada seorang ulamapun yang memahami seperti ini.



Misalnya juga firman Allah dalam surat Al Jumu’ah ayat 10:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al Jumu’ah:10).

Bagaimana dia memahami kalimat udzkurullah (berdzikirlah kalian)
dalam ayat ini? Padahal ayat ini sangat jelas, bahwa berdzikir ini
setelah Allah memerintahkan untuk bertebaran. Ini menunjukkan, bahwa dzikir itu tidak mesti harus bersama; bahkan dzikir berjama’ah dengan satu suara tidak ada contohnya. Seandainya ada contoh dari para salafush shalih, kami akan melaksanakan dan kami akan mendukungnya.

Misalnya lagi, Allah berfirman dalam surat Al Anfal ayat 45

Hai, orang-orang yang beriman. Apabila kamu nnemerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS Al Anfal: 45).

Apakah pemah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dalam suatu peperangan memimpin para sahabatnya berdzikir dengan satu suara? Padahal peperangan sangat banyak dan riwayat mengenai kejadian dalam medan tempur juga banyak. Ini menunjukkan, bahwa dzikir disini, meskipun menggunakan dhamir jama’, tetapi dalam pelaksanaannya secara sendiri-sendiri.


 Ayat keempat, dalam surat Al Baqarah ayat 198, Allah berfirman :

yang artinya..

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Masy’aril Haram adalah nama sabuah bukit di Muzdalifah.
Seandainya dhamir jama’ difahami dengan bolehnya dzikir secara bersama-sama dengan dikomando, tentu Rasulullah sudah memberikan contoh, atau Beliau memerintahkan kepada para sahabat untuk membuat halaqah dzikir, lalu berdzikir dengan satu suara; karena pada saat ini, ada kesempatan dan banyak orang yang sedang berkumpul.

Namun kami belum menemukan satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa Nabi dan para sahabat melakukan hal itu di Masy’aril Haram. Padahal, mereka merupakan generasi terbaik yang sangat bersemangat dalam berbuat kebaikan. Memang disyari’atkan mengeraskan suara dalam bertalbiah, tetapi tidak dipimpin; masing-masing bertalbiyah secara sendiri-sendiri. Dan ini ada riwayat yang memerintahkannya.

Manakala Rasulullah tidak melakukannya, padahal Beliau mempunyai kesempatan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi Beliau; ini menunjukkan bahwa perbuatan itu (Dzikir bersama) tidak disyari’atkan. Kesimpulannya, ini adalah dalil-dalil umum. Untuk melaksanakannya perlu contoh dari RasuLullah dan para sahabat. Lebih-lebih Yang berkaitan dengan cara beribadah. Karena dzikir termasuk cara beribadah.

Catatan Kaki

1 Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren AI Furqon, Srowo, Gresik.
2 Beliau adalah Staff Pengaiar Ma’had AI Ali Al Irsyad, Surabaya.
3 Istidlal berdalil / menggunakan dalil untuk suatu pemahaman.
ikutip dari majalah As-Sunnah 01/VIII/1425H hal 37 – 38

***


...

Bid’ahnya Dzikir Berjamaah Ala Arifin Ilham (1)
Filed under: Fiqh, Manhaj by biladillah — Tinggalkan komentar
13 Mei 2010

Penulis: Ustadz Abu Karimah Askari

Mukaddimah

إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صلى الله عليه، وعلى آله وصحبه وسلم. وبعد
Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, mengharapkan petunjuk-Nya dan ampunan-Nya, serta berlindung kepada Allah dari kejahatan hawa nafsu kita dan kejahatan amalan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada satupun yang dapat menyesatkannya, sebaliknya siapapun yang disesatkan Allah, niscaya tidak satupun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi tidak ada Ilah yang haq kecuali Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi pula bahwa Muhammad itu adalah seorang hamba dan utusan Allah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”(Ali ‘Imran 102).

Dan:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثََّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(An Nisa` 1).

Dan:
يَاأَيُّهَا الَّذِِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا .يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan kamu dana mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Dan:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan kamu dana mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”(Al Ahzab 70-71).
Amma ba’du:

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitab Allah. Dan sebaik-baik tuntunan (petunjuk) adalah tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Dan semua yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan bid’ah itu adalah sesat. Dan kesesatan itu di neraka.
Sesungguhnya, di antara kenikmatan yang Allah limpahkan kepada ummat ini adalah menyempurnakan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, di mana mereka mengembalikan semua permasalahan agama yang mereka hadapi ini kepada Kitab Allah (Al Quran) dan As Sunnah yang shahih.

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan: Kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan abadi. Nikmat tersebut adalah Islam dan As Sunnah. Inilah kenikmatan yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk senantiasa mengharapkannya dalam setiap shalat yang kita tegakkan, yaitu agar Dia memberi hidayah (petunjuk) kepada kita jalan orang-orang yang telah memperoleh kenikmatan hakiki tersebut, orang-orang yang Allah istimewakan dengan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang berada di derjat yang tertinggi.

Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka bersama orang-orang yang telah Allah diberi kenikmatan, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada` (mereka yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”(An Nisa` 69). (Ijtima’ Al Juyusy 5).

Abul ‘Aliyah rahimahullah mengatakan:”Saya telah membaca ayat-ayat muhkam sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sekitar sepuluh tahun. Tenyata Allah telah menganugerahkan kepadaku dua kenikmatan yang saya tidak tahu mana yang lebih utama, yaitu Allah memberiku hidayah untuk menerima Islam dan tidak menjadikan aku seorang Haruri (Khawarij).”(Diriwayatkan ‘Abdurrazaq, Ibnu Sa’d dan Al Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad :230 dengan lafadz yang berbeda, lihat mukaddimah Madarikun Nazhar Syaikh Ar Ramadlani hal 21).

Allah Ta’ala tidak hanya menyempurnakan agama ini dari segi ilmu tapi juga pengamalan. Karena sebagaimana tidak pernah hilangnya masa di mana Allah menegakkan hujjah terhadap para hamba-Nya, maka tidak pernah hilang pula masa di mana tetap eksisnya satu kelompok orang-orang mu`min yang mengamalkan ajaran agama ini.

Humaid bin ‘Abdirrahman mengatakan:”Saya pernah mendengar Mu’awiyah berkhutbah, katanya:”Saya pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنْ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي وَلَنْ تَزَالَ مِنْ هَذِهِ الْأَمَةِ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُهُمْ مِنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

“Siapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih terhadap agamanya. Saya hanya membagi dan Allah yang memberi. Akan senantiasa dari ummat ini ada kelompok yang tegak di atas perintah Allah, tidak merugikan mereka orang-orang yang meremehkan mereka ataupun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah, dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”(HSR. Bukhari-Muslim).


Di hari-hari belakangan ini, kaum muslimin kembali menghadapi ujian dengan merebaknya metode (manhaj) baru yang mencampuradukkan antara yang haq dengan yang batil, sunnah dengan bid’ah dan yang ma’ruf dengan yang munkar. Dan tidak jar
ang dibumbui dengan kesyirikan lalu menjadi ajaran agama yang digunakan dalam beribadah kepada Allah. Celakanya lagi, mereka menganggap diri mereka benar.

Keadaan mereka tidak lain seperti yang Allah terangkan dalam firman-Nya:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah:”Maukah kamu, kami terangkan tentang orang-orang yang paling merugi amalannya, sia-sia usaha mereka di dunia, dalam keadaan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi 103).

Dan firman Allah Ta’ala:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
‘Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar lidah-lidah mereka membaca Al Kitab agar kamu menyangka itu adalah Al Kitab, padahal bukan Al Kitab. Mereka mengatakan ini dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu.”(Ali ‘Imran 78).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Bazzar dari ‘Umar bin Al Khaththab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أََخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ الْلِّسَانِ

“Sesungguhnya yang paling aku khawtirkan menimpa ummatku adalah setiap orang munafik yang pandai bicara.”(hadits ini pada awalnya dihasankan oleh syeikhuna Muqbil rahimahullah Ta’ala dalah “Al-jami’ as-shohih,namun beliau kemudian merojihkan bahwa ini adalah perkataan Umar bin Khattab, bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,sebagaimana yang dikuatkan oleh Daruquthni,lihat: Ahadits mu’allah karangan syaikhuna Muqbil: 330-331).
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Ath Thabrani dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

بَيْنَ يَدَي السَّاعَةَ سِنُوْنَ خَدَّاعَةِ يَتَّهِمُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيُؤْتَمَنْ فِيْهَا الْمُتَّهَمُ
وَ يَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ. قَالُوا: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ يَا رَسُوْلَ الله قَالَ: السَّفِيْهُ يَنْطِقُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ

“Menjelang hari kiamat ada tahun-tahun yang menipu. Seorang yang amanah menjadi orang yang dicurigai, sementara orang yang dicurigai dipercaya. Pada masa itu para ruwaibidlah angkat bicara. Beliau ditanya:”Apa ruwaibidlah itu, wahai Rasulullah?”Beliau mengatakan:”Orang yang bodoh berbicara tentang permasalahan umum.”(Disahihkan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullahu sebagaimana dalam Shahihul Musnad).

Akan tetapi walhamdulillah, tidak ada satu kesesatan atau penyimpangan yang muncul melainkan bangkitlah ulama Ahlus Sunnah membela agama ini, membeberkan kesesatan orang-orang yang membuat kerancuan dan mengotori dakwah yang haq yang telah diajarkan serta dijalankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya ini.

Termasuk mereka yang mengotori adalah kaum sufi yang banyak mengada-adakan bid’ah yang sama sekali tidak pernah Allah turunkan satu keteranganpun tentangnya. Mereka datang dengan syari’at baru dan berbagai tatacara ibadah yang bersumber dari hawa nafsu mereka dalam keadaan menyangka bahwa amalan ini akan mendekatkan mereka kepada Allah Jalla Jalaluhu. Mulailah mereka mengajak manusia hingga akhirnya sebagian besar kaum muslimin mengikuti (taklid) kepada apa yang mereka kerjakan. Dan tatkala bid’ah dan penyimpangan ini disambut dan diamalkan oleh manusia (mayoritasnya), orang yang jahil akan mengatakan,”Kalau perbuatan ini munkar, mengapa banyak yang mengerjakannya?”

Tentu saja alasan ini sangat tidak logis. Suatu kebenaran tidak dapat dinilai dari banyak sedikitnya orang yang mengamalkannya. Rujukan kita untuk mengenal al haq (kebenaran) adalah Kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Al Baqarah 147, Ali ‘Imran 60, Al Kahfi 29):

الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ

“Al Haq itu datangnya dari Rabbmu (Allah)..”
Alangkah tepatnya perkataan Ibnul Qayyim dalam qasidah Nuniyahnya:

فَاعْجَبْ لِعُمْيَانِ الْبَصَائِرِ أَبْصَرُوا كَوْنَ الْمُقَلَّدِ صَاحِبَ الْبُرْهَانِ
وَرَأَوْهُ باِلتَّقْلِيْدِ أَوْلَى مِن سِوَاهُ بِغَيْرِ مَا بَصَرَ وَلاَ بُرْهَانِ
وَعَمُوْا عَنِ الْوَحْيَيْنِ إِذْ لَمْ يَفْهَمُوْا مَعْنَاهُمَا عَجَبًا لِذِي الْحُرْمَانِ

“Alangkah anehnya mereka yang buta bashirahnya, mereka melihat seakan para muqallad (yang ditaqlidi) itu orang yang benar
Mereka menilai melalui taqlid itu dia lebih utama dari yang lainnya, tanpa ilmu dan burhan Mereka buta dari dua wahyu (Al Quran dan As Sunnah), karena tidak memahaminya, mengherankan, betapa jauhnya mereka dihalangi”.

Allah telah mencela dalam beberapa ayat-Nya orang-orang mengikuti kebanyakan manusia. Firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ
يَخْرُصُونَ

“Dan kalau kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti dugaan-dugaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.”(Al An’am 116).

Syaikh As Sa’di rahimahullahu Ta’ala mengatakan:”Ayat ini menjelaskan kepada kita agar jangan menilai suatu kebenaran karena banyaknya pengikut. Sedikitnya jumlah orang yang menempuh suatu jalan bukan patokan bahwa jalan itu tidak benar. Bahkan realita yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Karena sesungguhnya orang-orang yang berjalan di atas al haq (kebenaran) mereka justeru adalah golongan minoritas, namun mereka orang-orang yang mulia dan agung kedudukan atau pahalanya di sisi Allah. Dan wajib kita menilai tentang haq dan batilnya suatu perkara dengan jalan yang mengantarkan kepada keduanya.” (At Taisir 270 cet. Maktabah Ar Rusyd).

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ضَلَّ قَبْلَهُمْ أَكْثَرُ اْلأَوَّلِيْنَ

“Dan sungguh telah tersesat sebagian besar orang-orang terdahulu sebelum mereka.”(Ash Shaffat 71).

Dan firman Allah Ta’ala:
وَمَا أَكْثَرُ اْلنَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

“Dan sebagian besar tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.”(Yusuf 103).

Dan:

فَأَبَى أَكْثَرُ اْلنَّاسِ إِلاَ كَفُورًا

“Namun kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali kekufuran.”(Al Isra` 89).

Dan:

إِنَّ السَّاعَةَ َلآتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيهَا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya hari kiamat itu pasti terjadi, tidak diragukan lagi, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mempercayainya.”(Ghafir 59).
Dan

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.”(Yusuf 106).
Dan ayat-ayat lain, di mana Allah menerangkan keadaan keadaan mayoritas manusia, bahwa mereka tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui (tidak berakal) dan sebagainya. Bahkan kita dapati bahwa Allah Ta’ala menyebutkan bahwa keb
aikan dan kebenaran itu pada golongan yang sedikit. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الْشَّكُوْرُ

“Sangat sedikit dari hamba-Ku yang bersyukur.”(Saba` 13).
Dan:

إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الْصَالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْ

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan mereka ini sangat sedikit.”(Shaad 24).

Firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيْلاً مِّنْهُمْ
“Maka ketika diwajibkan atas mereka untuk berperang, sebagian mereka berpaling kecuali sedikit.”(Al Baqarah 246).

Dan

وَلَوْ لاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمْ الْشَّيْطَانَ إِلاَ قَلِيْلاً

“Kalaulah tidak karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil.”(An Nisa` 83).
Bahkan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَجُلُ وَالرَجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

“Ditampakkan kepadaku ummat-ummat sebelumku, maka aku lihat ada seorang Nabi yang datang bersama segelintir pengikutnya, dan Nabi bersama satu atau dua orang pengikutnya, dan Nabi yang tidak ada seorangpun bersamanya.”

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab An Najdi rahimahullahu Ta’ala menganggap merasa bangga dengan jumlah banyak adalah salah satu sikap jahiliyah. Beliau mengatakan:”Termasuk pedoman (kaidah) utama mereka adalah bangga dan berhujjah (berdalil) dengan jumlah mayoritas terhadap benarnya suatu keyakinan, dan mereka berdalil batilnya (salahnya) suatu keyakinan dengan jumlah minoritas (sedikit pengikutnya).” (Syarh Masail Jahiliyah Sa’id Yusuf 1/178).
Selanjutnya,

Sesungguhnya kami menulis risalah ini sebagai peringatan bagi kaum muslimin atas bid’ah yang diada-adakan Muhammad Arifin Ilham dengan nama ‘Amaliyah Adzkarit Taubat. Dan dia melakukan talbis (pemalsuan) terhadap sebagia

n besar kaum muslimin tentang sahnya amalan ini dengan berbagai dalil mujmal (bersifat global) sehingga seolah-olah amalan ini ada sumbernya dalam syari’at Islam.
Keadaannya ini tidak lain seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

فَإِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِيْنَ يَتَبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّاهُمُ الله فَاحْذَرُوْهُمْ

“Maka apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabihat dari Al Quran, itulah orang-orang yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah, maka jauhilah!”(HSR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah).

Pembaca, terimalah sajian kami ini, yang akan menjelaskan batilnya amalan ini dan menyingkap syubhat (kerancuan) orang-orang yang mengada-adakan kebohongan.

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan mereka yang menyebarkannya.
Semoga shalawat dan salam Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Hanya kepada Allah tempat kita meminta pertolongan, hanya kepada-Nya kita berserah diri. Dan tiada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Ditulis Oleh Hamba Allah Yang Faqir
Kepada Ampunan Rabbnya Yang Maha Mulia
Abu Karimah ‘Askari
Ibnu Jamaluddin Al Bugisi
Balikpapan, Kalimantan Timur
Rabu Sore, 18 Sya’ban 1424 H
Atau 14 November 2003 M

(Disalin dari “Bid’ah ‘Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap ‘Arifin Ilham Al Banjari”, Penulis: Al Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Yaman. Diterbitkan dalam buku berjudul “Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya” oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press, Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP. 081316093831 Email: darussalafpress@plasa.com)

fin copas ^^

alhamdulillah..

Blog Archive