Follow us on:
Ada yang bertanya, KALAU Musik itu haram. lalu kenapa para Ustadz sekarang pada jadi 'PENYANYI'?




sebuah pertanyaan yg bagus, jk pertanyaan tersebut karena ingin kebenaran, dan menjadi sebuah pertanyaan buruk jika itu digunakan untuk mencari pembenaran.

jawabnya :

Pertanyaan tersebut layaknya diajukan pada para Ustadz yang menjadi Penyanyi 'dadakan tersebut', KEMANA MEREKA MENGAMBIL RUJUKAN HUKUMNYA TENTANG KEBOLEHAN MENYANYI DAN BERMUSIK RIA TERSEBUT,
bukan mempertanyakan kedudukan Hukumnya, sebab Hukum tak gugur hanya karena seorang yang 'dianggap faqih' telah mencontohkannya.

Dalam masalah ini para Ulama dari empat Mazhab tidak berbeda pendapat tentang haramnya alat Musik. sehingga sangat dipertanyakan kemana para Ustadz itu mengambil rujukan hukumnya dengan membolehkan bagi dirinya sendiri, bahkan mencontohkan kepada khalayak, sehingga hal tersebut dianggap boleh.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mensunnahkan (mencontohkan) kebiasaan yang buruk, lalu diamalkan, maka dia akan menanggung dosanya dan dosa yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

bahkan lebih jauh tentang kesepakatan para Ulama terhadap hukum Musik bs disimak di sini :


lalu bagaimana dengan nyanyian?

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian

Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.
[1] Lihat Talbis Iblis, 282.

Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”
[2] Lihat Talbis Iblis, 284.

Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”
[3] Lihat Talbis Iblis, 283.

Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”
[4] Lihat Talbis Iblis, 280.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”
[5] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.


lalu baiklah, jika masih ada orang berpendapat, kemungkinan Ulama kholaf memiliki penafsiran berbeda. Benarkah?

jawabnnya adalah TIDAK, berikut buktinya :


Hukum Alat Musik [Malahi] Menurut Keputusan Muktamar NU dan Muhammadiyah

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 M


21. Alat-alat Orkes untuk Hiburan


Soal : Bagaimana hukum alat-alat orkes (mazammirul-lahwi) yang dipergunakan untuk bersenang-senang (hiburan)? Apabila haram, apakah termasuk juga terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala dan seruling permainan anak-anak (damenan, Jawa)?


Jawab : Muktamar memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya, kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala, dan seruling permainan anak-anak dan lain-lain sebagainya yang tidak dimaksudkan dipergunakan hiburan.

Keterangan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din:

فَبِهَذِهِ الْمَعَانِي يَحْرُمُ الْمِزْمَارُ الْعِرَقِيُّ وَ الْأَوْتَارُ كُلُّهَا كَالْعُوْدِ وَ الضَّبْحِ وَ الرَّبَّابِ وَ الْبَرِيْطِ وَ غَيْرِهَا وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَيْسَ فِي مَعْنَاهَا كَشَاهِيْنٍ الرُّعَاةِ وَ الْحَجِيْجِ وَ شَاهِيْنٍ الطَّبَالِيْنَ.

“Dengan pengertian ini maka haramlah seruling Irak dan seluruh peralatan musik yang menggunakan senar seperti ‘ud (potongan kayu), al-dhabh, rabbab dan barith (nama-nama peralatan musik Arab). Sedangkan yang selain itu maka tidak termasuk dalam pengertian yang diharamkan seperti bunyi suara (menyerupai) burung elang yang dilakukan para penggembala, jama’ah haji, dan suara gendering”.

Sumber :
Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni.

Hasil scan KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 M
bisa dilihat di sini :



KEPUTUSAN TARJIH MUHAMMADIYAH

4. HUKUM ALATUL MALAHI
الة اللهو. يراد بها الالة المضروبة وحكمها يدور مع علتها, وهي علي ثلاثة اقسام : قسم يجلب الفضيلة آما يضرب لتشجيع الجنود عند الحرب فحكمه سنة, وقسم يضرب للغو فقط (لايجلب شيئا من الفضيلة ولا الرذيلة) فحكمه مكروه لقوله ضلى الله عليه وسلم من حسن اسلام المرء ما لا يعنيه (رواه الترمذىّ عن ابي هريرة)و و قسم مجلب المعصية فحكمه حرام.


Alatul Malahi yang di maksud adalah alat bunyi-bunyian (musik) dan hukumnya berkisar kepada illatnya (sebabnya). Dan ia ada 3 macam :
a. Menarik kepada keutamaan seperti menarik kepada keberanian di medan peperangan, hukumnya sunat.

b. Untuk main-main belaka (tak mendatangkan apa-apa) hukumnya makruh, menilik hadits :”Termasuk kesempurnaan keislaman seseorang ialah meninggalkan barang yang tak berarti”. (hadits ini di riwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah).

c. Menarik kepada ma’siyat hukumnya haram


Soal : Sebagaian ulama/kiai yang mengatakan kepada masyarakat awam bahwa orang mendengarkan gending-gending Jawa seperti: gong, ludruk, wayang, dan sebagainya itu haram. Benarkah kata pak Kiai tersebut?

1. Sampai sejauh mana keharaman mendengarkan gending-gending tersebut? Mohon penjelasan dengan dalil-dalil al-Quran/al-Hadist.

2. Bagaimana dengan mendengarkan suara-suara musik: dangdut, band, keroncong, samroh, dan sebagainya? Karena itu juga menjadi tambahan ilmu bagi kami. Dan semoga kami dipahamkan oleh Allah. Amin.

Jawaban:

1. Kata Pak Kyai tersebut benar, berdasar:

Dasar pengambilan hukum:

1. Tafsir Ibnu Katsir juz 3, halaman 442:
وَقَالَ الحَسَن البَصْرِى: نَوَلَتْ هَذِهِ الأيَةِ (وَمِنَ النَاسِ مَنْ يَشْتَرِى لَهْوَ الحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذُهَا هُزُوا ، أولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ) فِى الغِنَاءِ وَالمَزَامِير.

"Imam Hasan al-Bashri berkata: "telah turun ayat ini (dan diantara manusia ada yang mempergunakan perkataaan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperolah azab yang menghinakan) mengenai nyanyian dan macam-macam seruling."

2. Dalam kitab Al-Mu’jamul Mufahras juz 2 halaman 342 disebutkan sebuah hadits riwayat an-Nasa’i sebagai berikut:

"Pekerjaanmu membunyikan suara jenis-jenis kecapi dan jenis-jenis seruling adalah bid’ah dalam Islam."

Gending dan alat musik tersebut dapat menimbulkan kemunafikan dalam hati. Gending dan alat musik tersebut mengalihkan perhatian orang dari ceramah-ceramah agama Islam seperti sekarang ini. Gending dan alat musik tersebut menjadikan ayat al-Qur’an dan hadits, sebagai olok-olokan, seperti ayat-ayat dan hadits-hadits yang diterjemahkan kemudian dijadikan nyanyian. Gending dan alat musik itu dapat merangsang nafsu seksual, perbuatan durhaka dan lain sebagainya.

Dasar pengambilan hukum:
1. Surat Luqman ayat 6 seperti tersebut diatas.
2. Hadits riwayat Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud sebagai berikut:
"Sesungguhnya nyanyian itu dapat menaburkan kemunafikan dalam hati."
3. Kitab Kulfur Ru’a juz 1 halaman 306:

"Orang yang menceritakan keharaman alat-alat musik tersebut seluruhnya adalah Abu al-Abbas al-Qurthubi. Beliau adalah orang yang terpercaya dan adil. Sesungguhnya beliau telah berpendapat sebagaimana yang telah beliau kutip dan para imam kita dan para imam tersebut, membenarkannya: "Adapun macam-macam seruling, macam-macam gitar (alat-alat petik) dan gendang, maka tidak diperselisihkan) dan keharaman mendengarkannya. Dan saya tidak mendengar dari seseorang yang pendapatnya dapat dijadikan pegangan dari ulama salaf dan para imam khalaf, orang yang membolehkan mendengarkan hal tersebut. Dan bagaimana tidak haram, sedangkan alat tersebut adalah syi’ar dari pemabuk, tukang melakukan pelanggaran agama, menimbulkan pelanggaran agama, menimbulkan nafsu sahwat, kerusakan dan lawak. Dan apa yang demikian halnya, maka tidak diragukan lagi kefasikan dan kedosaan pelakunya."

Asalkan dapat menimbulkan hal-hal seperti tersebut di atas, maka hukumnya juga haram!


Selengkapnya,silahkan klik dan baca link ini !:




Jadi, sama sekali tidak ada bukti bahwa kedua hal di atas yaitu Musik dan Nyanyian 'pernah' dihalalkan. baik oleh Ulama Salaf maupun Ulama khalaf. kecuali hanya oleh Ulama Jadi Jadian. ^^

-MENYANYI, PENYANYI dan MUSIK menurut Al-Imam Asy-Syafi'i-

قال الشافعي رحمه الله تعالى في الرجل يغني فيتّخذ الغناء صناعته يُؤتى عليه ويأتي له ويكون منسوبا إليه مشهورا به معروفا والمرأة : لا تجوز شهادة واحد منهما ، وذلك أنه من اللهو المكروه الذي يُشبه الباطل ، وأن من صنع هذا كان منسوبا إلى السَّفه وسقاطة المروءة

Berkata Al-Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm, "Seorang lelaki yang bernyanyi dan menjadikannya sebagai pekerjaan, kadang kala ia diundang dan kadang kala didatangi, hingga ia dengan julukan penyanyi serta ma'ruf dengan sebutan itu, dan seorang wanita, tidak diterima persaksian kedua-duanya. Karena menyanyi termasuk permainan yang dimakruhkan. Namun yang lebih tepat lagi, siapa saja yang melakukannya maka ia disebut orang idiot dan orang yang sudah jatuh harga dirinya."
[Al-Umm Juz 6, hal.226]

Berkata beliau Al-Imam Asy-Syafi'i rohimahulloh, "Sesungguhnya musik adalah permainan yang dimakruhkan, menyerupai kebathilan. Barangsiapa banyak melakukannya maka ia adalah orang bodoh yang ditolak persaksiannya." {Adabul Qodho'}

Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, "Rekan-rekan beliau (Al-Imam Asy-Syafi'i) yang mengetahui madzhab beliau telah menegaskan keharamannya. Dan mereka mengingkari orang-orang yang menisbatkan perkataan bahwa beliau membolehkannya. Seperti Al-Qodhi Abu Thoyyib Ath-Thobari, Asy-Syeikh Abu Ishaq dan Ibnu Shobbagh." {Risaalah fii ahkamil ghinaa', Ibnul Qoyyim}

Dalam Kitab Al-Muhadzab beliau Al-Imam Asy-Syafi'i rohimahulloh berkata, "Tidak dibolehkan memanfaatkan barang-barang berguna yang harom, karena hukumnya harom. Dan tidak boleh juga mengambil hasil penjualannya, sama hukumnya seperti bangkai dan darah."

Dan telah diriwayatkan secara mutawatir dari Imam Asy-Syafi'i rohimahulloh bahwa ia berkata, "Saya jumpai di Iraq sesuatu yang disebut taghbir yang diciptakanoleh kaum zindiq untuk memalingkan manusia dari Al-Quran."

At-Taghbir ialah sya'ir-sya'ir berisi anjuran zuhud terhadap dunia yang disenandungkan oleh penyanyi dan sebagian hadirin memukul stik kayu pada besi atau batu dengan mengikuti irama lagunya.

“Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kami dari ahli kitab terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Adapun yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu “Al-Jama’ah”.

Keterangan : derajad Hasan

Hadits ini diriwayatkan oleh :

# Abu Dawud : Kitabus Sunnah, bab Syarhus Sunnah 4 : 198 nomor 4597. Dan hadits di atas adalah lafadz Abu Dawud.

jika Islam menginginkan keberagaman, maka Rasulullah tdk akan mengatakan HANYA SATU YANG MASUK SURGA.

pasti dalil di atas berbunyi : SEMUANYA MASUK SURGA.

tanya knapa tidak? :)

itulah dalil dari prinsip ana, bhw islam hrs bersatu dlm Tauhid.

bismillaah,

Allah Ta’ala berfirman

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)

Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Itu adalah nyanyian, demi yang tidak ada sembahan yang berhak selain-Nya,” beliau mengulanginya sebanyak 3 kali.

Ini juga merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah dari kalangan sahabat. Dan dari kalangan tabi’in: Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, Al-Hasan Al-Bashri, dan selainnya. (Lihat selengkapnya dalam Tafsir Ibnu Katsir: 3/460)

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ
Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)

Kalimat ‘akan menghalalkan’ menunjukkan bahwa keempat hal ini asalnya adalah haram, lalu mereka menghalalkannya.
Lihat pembahasan lengkap mengenai keshahihan hadits ini serta sanggahan bagi mereka yang menyatakannya sebagai hadits yang lemah, di dalam kitab Fath Al-Bari: 10/52 karya Al-Hafizh dan kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah Penjelasan ringkas:

Nyanyian secara mutlak adalah hal yang diharamkan, baik disertai dengan musik maupun tanpa alat musik, baik liriknya berbau maksiat maupun yang sifatnya religi (nasyid). Hal itu karena dalil-dalil di atas bersifat umum dan tidak ada satupun dalil yang mengecualikan nasyid atau nyanyian tanpa musik.

Jadi nyanyian dan musik ini adalah dua hal yang mempunyai hukum tersendiri. Surah Luqman di atas mengharamkan nyanyian, sementara hadits di atas mengharamkan alat musik. Jadi sebagaimana musik tanpa nyanyian itu haram, maka demikian pula nyanyian tanpa musik juga haram, karena keduanya mempunyai dalil tersendiri yang mengharamkannya.

Sebagai pelengkap, berikut kami membawakan beberapa ucapan dari keempat mazhab mengenai haramnya musik dan nyanyian:

A. Al-Hanafiah.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Nyanyian itu adalah haram dalam semua agama.” (Ruh Al-Ma’ani: 21/67 karya Al-Alusi)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian dan menghukumi perbuatan mendengar nyanyian adalah dosa.” (Talbis Iblis hal. 282 karya Ibnu Al-Jauzi)

B. Al-Malikiah
Ishaq bin Isa Ath-Thabba’ berkata, “Aku bertanya kepada Malik bin Anas mengenai nyanyian yang dilakukan oleh sebagian penduduk Madinah. Maka beliau menjawab, “Tidak ada yang melakukukan hal itu (menyanyi) di negeri kami ini kecuali orang-orang yang fasik.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar hal. 142, Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 282, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 98)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Adapun Malik bin Anas, maka beliau telah melarang dari menyanyi dan mendengarkan nyanyian. Dan ini adalah mazhab semua penduduk Madinah.” (Talbis Iblis hal. 282)

C. Asy-Syafi’iyah.
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku mendapati di Iraq sesuatu yang bernama taghbir, yang dimunculkan oleh orang-orang zindiq guna menghalangi orang-orang dari membaca AL-Qur`an.” (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah: 9/146 dan Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 283 dengan sanad yang shahih)
Taghbir adalah kumpulan bait syair yang berisi anjuran untuk zuhud terhadap dunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi sementara yang hadir memukul rebana mengiringinya.
Kami katakan: Kalau lirik taghbir ini seperti itu (anjuran zuhur terhadap dunia) dan hanya diiringi dengan satu alat musik sederhana, tapi tetap saja dibenci oleh Imam Asy-Syafi’i, maka bagaimana lagi kira-kira jika beliau melihat nasyid yang ada sekarang, apalagi jika melihat nyanyian non religi sekarang?!
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah berkata mengomentari ucapan Asy-Syafi’i di atas, “Apa yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i bahwa taghbir ini dimunculkan oleh orang-orang zindiq adalah ucapan dari seorang imam yang mengetahui betul tentang landasan-landasan Islam. Karena mendengar taghbir ini, pada dasarnya tidak ada yang senang dan tidak ada yang mengajak untuk mendengarnya kecuali orang yang tertuduh sebagai zindiq.” (Majmu’ Al-Fatawa: 11/507)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Murid-murid senior Asy-Syafi’i radhiallahu anhum mengingkari perbuatan mendengar (nyanyian).” (Talbis Iblis hal. 283)
Ibnu Al-Qayyim juga berkata dalam Ighatsah Al-Luhfan hal. 350, “Asy-Syafi’i dan murid-murid seniornya serta orang-orang yang mengetahui mazhabnya, termasuk dari ulama yang paling keras ibaratnya dalam hal ini (pengharaman nyanyian).”
Karenanya Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbi Iblis hal. 283, “Maka inilah ucapan para ulama Syafi’iyah dan orang-orang yang baik agamanya di antara mereka (yakni pengharaman nyanyian). Tidak ada yang memberikan keringanan mendengarkan musik kecuali orang-orang belakangan dalam mazhabnya, mereka yang minim ilmunya dan telah dikuasai oleh hawa nafsunya.”

D. Al-Hanabilah
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, maka beliau menjawab, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, saya tidak menyukainya.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 142)
Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbis Iblis hal. 284, “Adapun nyanyian yang ada di zaman ini, maka terlarang di sisi beliau (Imam Ahmad), maka bagaimana lagi jika beliau mengetahui tambahan-tambahan yang dilakukan orang-orang di zaman ini.”
Kami katakan: Itu di zaman Ibnu Al-Jauzi, maka bagaimana lagi jika Ibnu Al-Jauzi dan Imam Ahmad mengetahui bentuk alat musik dan lirik nyanyian di zaman modern seperti ini?!

Kesimpulannya:

Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Imam Empat, mereka telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik yang merupakan alat-alat permainan yang tidak berguna.” (Minhaj As-Sunnah: 3/439)

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Hendaknya diketahui bahwa jika rebana, penyanyi wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka mendengarnya adalah haram menurut semua imam mazhab dan selain mereka dari para ulama kaum muslimin.” (Ighatsah Al-Luhfan: 1/350)

Al-Albani rahimahullah berkata dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 105 berkata, “Para ulama dan fuqaha -dan di antara mereka ada Imam Empat- telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik, guna mengikuti hadits-hadits nabawiah dan atsar-atsar dari para ulama salaf.”

tabik

manusia itu ada yang mengikuti kebaikan dan ada juga yang mengikuti bahkan sebagai pelopor keburukan....sekarang saya mencoba membuat permislan kepada anda wahai saudaraku yang semoga Alloh memberkahi anda...

Apakah ketika Rosululloh shollallohu 'alayhi wa'alaa aalihi wasallam sudah kuat di Madinah dan dakwah beliau telah diketahui bahkan diterima mayoritas penduduknya, lalu serta merta disana tidak ada penyelewengan?? apakah Rosul diam?? tidak berdakwah? gagal dalam dakwah? atau kita menyangka dakwah Nabi gk mantab??

jika kita beriman maka kita pasti akan berkata, "Nabi telah berdakwah dengan sempurna, hanya saja barangsiapa yang telah disesatkan oleh Alloh maka tidak akan ada yang bisa memberinya hidayah."

-Semoga Alloh memberi hidayah kepada kita semua-

Namun jika anda masih meragukan kerja dakwah para Ulama saudi yang berada diatas Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman salafushsholeh, anda masih ragu dengan semangat beliau-beliau...maka saya katakan sungguh dakwah beliau itu sangat indah dan sungguh dengan metode yang benar2 berusaha mengikuti dakwahnya para Nabi, baik dengan secara terang-terangan maupun menasehati dengan cara sembunyi-sembunyi.....dan bisa saja anda tidak mengetahui bahwa beliau-beliau telah berdakwah, dan dakwah beliau-beliau tidak dilakukan dengan syarat harus melaporkan amal sholeh dakwah itu kepada anda...

semoga Alloh menjaga para Ulama Ahlus Sunnah dimanapun mereka berada...

walloohu a'lamu bishshowaab...

pertama :

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

--> disebutkan kembali pada Allah dan Rasulnya, tdk ada tambahan kembalikan juga ke ARAB SAUDI.
jd logika anda ANEH.

APALAGI dlm masalah musik, baik ulama ARAB maupun Ulama indonesia tdk berbeda pendapat dlm masalah ini. (lihat fatwa pd artikel /makanya baca dulu sebelum koment).

dan baca juga ttg duff pd pernikahan oleh para wanita pd koment di atas. (makanya nyimak sampai koment sebelum komentar!)

kedua : saya faham bgm jengkelnya seseorang jika tiba tiba disuruh berenti menikmati kegemarannya. ^^

Al-Imam Al-Bukhari & Kisah Keajaiban Hafalan Beliau rahimahullah



Al-Imam Al-Bukhari & Kisah Keajaiban Hafalan Beliau rahimahullah

Bismillah,

Turkistan-Rusia (atau Transoksus) merupakan daerah yang sangat luas di wilayah Asia Tengah. Wilayahnya meliputi daerah antara Sungai Jaihun (kini: Sungai Amu Darya) dan Sungai Saihun (kini: Sungai Syra Darya) serta daerah-daerah yang berada di sekitarnya. Kedua sungai itulah yang menyuplai persediaan air di Danau Aral (bagian negara Uzbekistan dan Kazakhstan). Dalam sejarah, Turkistan-Rusia telah dikenal oleh bangsa Arab dahulu dengan sebutan daerah belakang (sebelah timur) Sungai Jaihun. Disebut dengan Turkistan-Rusia untuk membedakan dengan Turkistan-Cina yang kini bernama Sinkiang. Turkistan-Rusia kini terbagi menjadi 5 negara yaitu: Kazakhstan, Kisgirtan, Uzbekistan, Tajikistan dan Turkmenistan. Dan Bukhara merupakan salah satu kota terpenting di negara Uzbekistan.

Bukhara adalah sebuah kota tua yang dikenal sebagai tempat wisata yang paling indah, memiliki kebun yang banyak dan luas serta buah-buahan yang menarik dan ranum rasanya. Kota ini berada di sebelah timur sungai Jaihun dengan jarak tempuh dua hari perjalanan. Dan berada di sebelah barat Samarkand (Uzbekistan) dengan jarak tempuh delapan hari perjalanan.

Kota ini telah melahirkan sosok ahli hadits yang cukup disegani semisal Al-Imam Al-Bukhari dan semisalnya.

Nasab Beliau

“Tak kenal maka tak sayang”, begitulah pepatah mengatakan. Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari.

Beliau dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 Hijriyah di kota Bukhara.

Bardizbah berasal dari keturunan Persia dan beragama Majusi. Bardizbah dalam bahasa Persia bermakna orang yang suka bercocok tanam (petani).

Al-Mughirah masuk Islam melalui tangan Yaman Al-Ju’fi seorang penguasa Bukhara.

Oleh karena itulah Al-Imam Al-Bukhari disandarkan pula kepada Al-Ju’fi.

Mengenai Ibrahim bin Al-Mughirah, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada satu riwayat pun yang menjelaskan tentang keadaannya.” Adapun Isma’il ayah beliau, pernah meriwayatkan hadits dari Hammad bin Zaid dan Al-Imam Malik serta sempat berjabat tangan dengan Abdullah Ibnul Mubarok. Kemudian orang-orang Irak meriwayatkan hadits dari Isma’il.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Ayahnya wafat ketika beliau masih kecil, sehingga beliau dibesarkan dalam pangkuan ibunya.

Beliau mulai menghafal hadits sekitar umur 10 tahun di madrasah anak-anak (Kuttab).

Setelah itu, beliau belajar kepada seorang ahli hadits terkenal bernama Ad-Dakhili. Suatu hari Ad-Dakhili membacakan hadits kepada manusia: “… Sufyan (telah meriwayatkan) dari Abu Zubair, kemudian Abu Zubair (telah meriwayatkan) dari Ibrahim.” Maka Ad-Dakhili: “Sesungguhnya Abu Zubair tidak pernah meriwayatkan dari Ibrahim.” Maka Ad-Dakhili marah kepada beliau. Beliau berkata kepada Ad-Dakhili: “Coba lihatlah kitab catatanmu!” Maka masuklah Ad-Dakhili ke rumahnya kemudian melihat kepada kitab catatannya, ternyata benarlah apa yang dikatakan beliau. Selanjutnya Ad-Dakhili ke rumahnya bertanya kepada beliau: “Bagaimana sanad yang benar wahai anak muda?” Maka beliau menjawab: “Dia adalah Az-Zubair bin ‘Adi meriwayatkan dari Ibrahim (jadi bukan Abu Zubair).” Ad-Dakhili meminjam pena kepada beliau dan membenarkan catatannya, kemudian mengatakan kepada beliau: “Kamu benar.”

Peristiwa itu terjadi pada saat beliau berusia 11 tahun.

Ketika usia 16 tahun, beliau telah menghafal kitab-kitab karya Abdullah ibnul-Mubarak, Waki’, serta berbagai pendapat ulama kota Roy.

Bahkan pada usia 18 tahun beliau menulis kitab yang berjudul “Qadhaya Ash Shahabah wat Tabi’in wa Aqawilihim”.

Memang semenjak kecilnya beliau telah sibuk menuntut ilmu. Beliau belajar kepada para ahli hadits di kota Bukhara seperti Muhammad bin Sallam Al-Bikandi, Muhammad bin Yusuf Al-Bikandi, Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi dan Ibnul Asy’ats serta selain mereka.

Kemudian pada tahun 210 Hijriyah beliau pergi menunaikan ibadah haji ke kota Makkah bersama ibu dan saudara laki-lakinya yang bernama Ahmad bin Ismail. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, sang ibu beserta Ahmad bin Ismail kembali ke kampung halaman. Sementara beliau tetap tinggal di kota Makkah untuk menuntut ilmu. Di kota Makkah belajar kepada Al-Humaidi dan selainnya. Kemudian di kota Madinah belajar kepada Abdul ‘Aziz Al-Uwaish, Mutharrif bin Abdillah dan selain mereka. Di sanalah beliau menulis kitab yang berjudul “At-Tarikh”. Kemudian beliau melanglang buana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu kepada para ahli hadits seperti ke negeri Khurasan, Syam, Mesir, berbagai kota di Irak dan berkali-kali beliau mengunjungi kota Baghdad.

Jumlah total guru-guru beliau mencapai 1080 orang.

Kisah Keajaiban Hafalan Beliau

Beliau dikenal memiliki kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar biasa.

Beliau mengatakan: “Aku hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits dhaif.”

Suatu ketika beliau pernah mengambil kitab tentang ilmu kemudian kitab tersebut beliau amati mulai dari awal sampai akhir dengan sekali pengamatan, maka beliau telah menghafal semua hadits yang ada di dalamnya.

Hasyid bin Ismail dan selainnya menceritakan: “Dahulu Abu Abdillah Al-Bukhari belajar bersama kami kepada para ulama Bashrah, ketika itu beliau masih muda. Beliau tidak menulis hadits yang disampaikan oleh sang guru. Hal itu berlangsung selama beberapa hari. Maka kami berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau belajar bersama kami tapi engkau tidak menulis. Lalu apa yang kamu lakukan? Maka setelah berlalu 16 hari beliau berkata kepada kami: ‘Sesungguhnya kalian berdua terus menerus mengeluhkanku. Coba tunjukkan kepadaku hadits yang telah kalian tulis!’ Maka kami tunjukkan kepada beliau hadits yang telah kami tulis. Kemudian beliau menambahkan 15.000 hadits (ke dalam catatan kami) yang dia bacakan dari hafalannya sampai kami membenarkan catatan kami dari hafalan beliau.

Dikisahkan pula suatu ketika Al-Imam Al-Bukhari singgah di kota Baghdad. Begitu mendengar kedatangan beliau, para ahli hadits kota Baghdad berkumpul dan bermusyawarah untuk menyambut kedatangan beliau. Akhirnya diambillah kesepakatan untuk menguji kekuatan hafalan beliau. Kemudian para ahli hadits mengumpulkan seratus hadits. Seratus hadits tersebut diacak, baik matan maupun sanadnya. Setelah itu, dibagikan kepada sepuluh ahli hadits, sehingga masing-masing membawa sepuluh hadits.

Singkat cerita tibalah saat dinantikan. Manusia pun berkumpul untuk menyaksikan acara tersebut. Mulailah salah seorang penguji menyampaikan hadits satu persatu kepada Al-Bukhari. Tatkala sang penguji menyampaikan hadits pertama, Al-Bukhari menyatakan, “Tidak tahu.” Sampai penguji pertama selesai menyampaikan sepuluh hadits, Al-Bukhari tetap menjawab: “Tidak tahu.” Para ahli hadits yang hadir dalam acara tersebut terlihat saling memandang satu sama lain seraya berkata: “Laki-laki ini benar-benar mengetahui.” Sedangkan orang-orang yang awam justru menyangka sebaliknya yaitu Al-Bukhari tidak tahu apa-apa.

Kemudian tiba giliran penguji kedua. Mulailah ia menyampaikan sepuluh hadits satu per satu. Dan Al-Bukhari tetap menjawab, “Tidak tahu.” Demikian seterusnya penguji ketiga, keempat sampai penguji kesepuluh telah menyampaikan seluruh haditsnya, Al-Bukhari tetap menjawab: “Tidak tahu.” Kemudian Al-Bukhari mengatakan kepada penguji pertama: “Hadits pertama yang engkau bacakan demikian dan demikian, maka yang benar adalah demikian dan demikian.” Demikianlah Al-Bukhari menyebutkan kembali hadits tersebut persis sama seperti yang dibacakan oleh sang penguji, kemudian beliau membetulkan letak kesalahannya. Beliau melakukan hal ini mulai dari hadits pertama sampai hadits keseratus. Manusia pun mengakui akan kehebatan hafalan beliau.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Semua orang menunduk di hadapan Al-Bukhari, yang menakjubkan dari beliau bukan pada sisi kemampuan membenarkan hadits yang salah karena beliau memang seorang penghafal hadits. Namun yang menakjubkan adalah kemampuan beliau menyebutkan kembali hadits-hadits yang telah diacak tadi secara tertib dan urut hanya dengan sekali dengar.” Subhanallah..

Ibadah dan Akhlak Beliau

Para ulama Bashrah mengatakan: “Tidak ada di dunia ini orang yang seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dalam masalah ilmu dan akhlak.”

Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengatakan kepada penduduk Naisabur ketika Al-Bukhari berkunjung ke negeri Naisabur: “Pergilah kalian kepada laki-laki yang shalih tersebut dan dengarlah hadits darinya.”

Al-Husain bin Muhammad As Samarqandi berkata: “Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dikhususkan dengan tiga sifat terpuji: sedikit berbicara, tidak rakus terhadap sesuatu yang ada di tangan manusia, tidak sibuk dengan urusan orang lain dan seluruh kesibukan beliau adalah dalam masalah ilmu.”

Sulaiman bin Mujahid berkata: “Belum pernah aku melihat dengan mata kepala sendiri semenjak 60 tahun yang lalu orang yang paling faqih, paling wara’ dan paling zuhud di dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al-Imam Al-Bukhari mengkhatamkan Al-Qur’an setiap siang hari di bulan Ramadhan. Kemudian di waktu malam harinya beliau mengkhatamkannya setiap tiga malam sekali pada waktu shalat Tarawih. Beliau rajin melaksanakan shalat malam sebanyak 13 rakaat pada waktu sahur setiap hari.

Suatu hari beliau diundang dalam satu keperluan di kebun milik muridnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat Zhuhur dan shalat sunnah bersama mereka. Maka tatkala selesai dari shalat, beliau mengangkat ujung pakaiannya kemudian berkata kepada seseorang: “Tolong lihatlah apakah ada sesuatu di bawah pakaianku?” Ternyata seekor kumbang besar telah menyengat beliau sebanyak 16 atau 17 sengatan. Yang menyebabkan bengkak pada tubuh beliau. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada beliau: “Mengapa engkau tidak membatalkan shalat ketika kumbang tersebut mulai pertama kali menyengat?” Kata beliau: “Aku saat itu sedang membaca surat, dan aku tidak ingin memutus surat tersebut.”

Beliau pernah mengatakan: “Aku tidak lagi berbuat ghibah kepada seorangpun semenjak aku mengetahuh bahwa perbuatan ghibah akan membahayakan pelakunya.”

Karya Tulis Beliau

Beliau banyak menghasilkan karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu. Di antaranya:

1. Al-Jami’ Ash Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi atau (biasa disebut dengan, ed.) Shahih Al-Bukhari.

Ini adalah sebuah kumpulan hadits yang berisi hadits-hadits yang shahih. Beliau menyusun kitab ini selama 16 tahun. Tidaklah beliau mencantumkan satu hadits dalam kitab tersebut kecuali beliau mandi terlebih dahulu kemudian shalat dua rakaat.

2. Al-Adab Al-Mufrad

3. Raf’ul Yadain fi Shalat

4. Al-Qira’ah Khalfa Al-Imam

5. Khalqu Af’alil ‘Ibad

6. At-Tarikh Al-Kabir, dll.

Wafat Beliau

Beliau pernah mengalami ujian yang berat dalam hidupnya. Ceritanya adalah ada sebagian orang yang iri dengan kelebihan yang Allah Ta’ala berikan kepada beliau. Maka mereka pun menyebarkan isu bahwasanya beliau memiliki keyakinan yang mengarah kepada pendapat “Al-Qur’an adalah makhluk”, sebuah keyakinan yang kufur. Beliau akhirnya mengalami beberapa kali pengusiran mulai dari daerah Naisabur, Bukhara dan terakhir Khartanka. Beliau hadapi semua itu dengan ketabahan, dengan tidak melakukan reaksi apapun.

Suatu malam beliau pernah berdoa: “Ya Allah sesungguhnya bumi yang luas ini telah terasa sempit bagiku, maka matikanlah aku.” Tidak sampai sebulan setelah itu beliau meninggal dunia. Beliau meninggal pada malam Sabtu bertepatan dengan malam Idul Fitri seusai shalat Isya. Dan dikuburkan pada keesokan harinya setelah shalat Zhuhur pada tahun 256 Hijriyah di desa Khartanka bagian dari kota Samarkand. Beliau wafat pada usia 62 tahun. Semoga Allah merahmati beliau rahimahullahu, dan memasukkannya ke dalam Al-Jannah (Surga). Amin.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Kalau seandainya pintu pujian para ulama belakangan terhadap beliau dibuka, niscaya akan menghabiskan lembaran kertas dan menghabiskan nafas manusia, karena yang demikian merupakan lautan yang tiada batas.”

Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi:

1. “Siyar A’lamin Nubala” Al-Imam Adz-Dzahabi, Mu’assasah Ar Risalah hal. 391-470

2. “Al-Imam Al-Bukhari wa Kitabuhu Al-Jami’ Ash-Shahih” Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad

3. “Ta’rif bil A’lam Al-Waridah fi Al-Bidayah wa An Nihayah li Ibni Katsir” -Maktabah Asy-Syamilah

1. “Mu’jam Al-Buldan”

2. “Atsar Al-Bilad wa Akhbar Al-Ibad”

3. “Sirah Al-Imam Al-Bukhari”, karya Asy-Syaikh Abdus Salam Al-Mubarakfuri

Sumber: Buletin Islam Al-Ilmu Pekalongan, edisi: 10/I/4/1432.

semoga bermanfaat

'Aisyah Radhiyallahu 'anha



Ketika sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berselingkuh oleh sekawanan manusia maka cukup Allah azza wa jalla lah yang membela kesuciannya.

bismillaah,

By As Toni in generasi bangsa indonesia. doc

Firman Allah :

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagimu,bahkan ia adalah baik bagimu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakan. (QS. An Nur/24: 11)

Peristiwa haditsul ifki (gosip yang penuh kebohongan )yang kelihatan sangat merugikan itu tetap memiliki nilai positif bagi kaum mu’minin, yaitu :

1. Orang-orang yang menjadi sasaran fitnah, yaitu Aisyah, Rasulullah, Abu Bakar dan Shafwan bin Al Mu’aththil, dapat bersabar karena mengharapkan ridha Allah. Inilah cara orang-orang beriman dalam menyikapi kezaliman yang menimpa dirinya.

  2. Dengan munculnya tuduhan ini ke permukaan maka terbuktilah siapa yang benar dan siapa yang dusta. Jika haditsul ifki tidak muncul maka akan menjadi pertanyaan sejarah yang krusial.

  3. Menunjukkan kehormatan dan kemuliaan orang-orang yang menjadi sasaran fitnah ini. Ayat-ayat Al Qur’an yang turun secara khusus membersihkan Aisyah ra. dari tuduhan itu sudah sangat jelas menunjukkan kedudukan Ummul Mu’minin ini di hadapan Allah.

  4. Peristiwa ini menjadi batu uji keimanan dan kekufuran seseorang. Penyikapan terhadap peristiwa ini menjadi salah satu ukuran keimanan

Jika seandainya kaum muslimin mau bertanya kepada diri sendiri pada waktu itu, dengan kembali kepada fitrahnya yang lurus, maka persoalannya akan lain.

Firman Allah:

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

Artinya: Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (QS. An Nur/24: 12)

Inilah langkah pertama yang seharusnya dilakukan kaum muslimin menghadapi berita seperti itu, husnuzhzhan (berbaik sangka) pada diri sendiri. Memposisikan diri dalam ketidak mungkinan seperti itu. Apalagi kepada isteri Nabi yang dikenal sangat bersih, dan seorang laki-laki sahabat mujahid fi sabilillah. Mereka adalah bagian dari diri kita sendiri. Berbaik sangka kepada seorang mukmin jauh lebih utama dibandingkan terhadap diri sendiri.

firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (QS. Al Hujurat/49: 12)  

Tuduhan berselingkuh kepada Aisyah radhiyallahu 'anha adalah tuduhan terbesar dalam sejarah Islam, karena tuduhan itu menyerang kepada orang yang selama ini dikenal sebagai lambang kebersihan dan kesucian. Maka sangat tidak logis dan sangat tidak realistis ketika masalah yang sebesar itu dapat lolos dan beredar di tengah-tengah masyarakat tanpa saksi yang kuat dan bukti nyata.

Firman Allah :

  لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ

Artinya: Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS. AnNur/24: 13)

Ketidak mampuan mereka untuk mendatangkan bukti dan saksi menunjukkan bahwa berita itu adalah berita bohong. Dua langkah ini, yaitu: bertanya kepada hati nurani dan pengukuhan dengan bukti dan saksi, dilupakan kaum muslimin pada saat mereka menghadapi haditsul-ifki. Konspirasi jahat untuk menghujat Rasulullah dan keluarganya dapat menyebar di Madinah selama satu bulan penuh. Jika saja bukan karena rahmat dan kasih sayang Allah, tentulah kaum muslimin layak mendapatkan azab yang pedih karena kelalaian mereka dalam menyikapi persoalan ini. Dari itulah Allah memperingatkan agar hal serupa tidak terjadi di kemudian hari.

Firman Allah :

يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Artinya : Allah memperingatka kamu agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. An Nur/24:17)  

Haditsul-ifki adalah pelajaran pahit bagi kaum muslimin yang sedang tumbuh pada waktu itu. Hanya dengan anugerah dan rahmat Allah mereka terbebas dari azab dan hukuman Allah. Fitnah yang demikian adalah perbuatan yang sudah selayaknya mendapatkan azab yang pedih.

Firman Allah :

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya : Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (QS. An Nur/24: 14)

Rasulullah, putera bani Hasyim yang paling utama, dihujat rumah tangganya bersama orang yang paling dicintainya, rumah tangga suci yang menebarkan kesucian. Ia dihujat kehormatannya, padahal dialah orang yang gigih menegakkan kehormatan ummatnya. Ia dihujat telah berkhianat kepada Allah padahal ia adalah utusan Allah. Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetaplah manusia yang merasakan penderitaan sebagaimana manusia lain. Keragu-raguan ikut pula bermain di hatinya, meskipun indikasi kuat mengatakan bahwa Aisyah bersih, tetapi ia belum dapat menyimpulkan indikasi itu menjadi ketenangan. Aisyah ra, orang yang sangat bersih dan lurus pikirannya, dihujat kehormatan yang paling dibanggakannya. Puteri As Shiddiq yang tumbuh dalam lingkungan yang bersih dan mulia, dihujat amanahnya padahal ia adalah isteri Muhammad bin Abdillah. Ia dihujat kesetiaannya kepada suaminya, padahal ia adalah isteri tercinta yang sangat dekat dan dimanjakan. Ia dihujat imannya, padahal ia adalah wanita muslimah yang tumbuh dalam ruang Islam sejak ia membuka matanya. Aisyah sangat menderita dengan berita-berita itu, hingga demamnya tinggi, ia sangat terpukul ketika berita itu juga didengar oleh ibu bapaknya. Sangat menderita lagi ketika Rasulullah menemuinya dan mengatakan kepadanya: “Saya sudah mendengar tentang dirimu ini dan itu. Jika memang kamu bersih maka Allah akan membersihkanmu, dan jika kamu berbuat dosa maka mintalah ampun kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya seorang hamba yang mengakui kesalahannya lalu bertaubat, Allah akan memberinya taubat” Aisyah melihat ada keraguan pada diri Rasulullah meskipun tidak melancarkan tuduhan kepadanya. Allah belum menurunkan wahyu yang membersihkan suasana. Abu Bakar as Siddiq, orang yang sangat sensitif, dihujat kehormatannya karena hujatan pada puterinya, isteri sahabat yang dia cintai, seorang Nabi yang dia imani dengan sepenuh hati. Ia tidak dapat melakukan pembelaan apapun. Luka hatinya terlihat dari ucapannya : “Demi Allah, di masa jahiliyah saja, tidak pernah dituduh seperti ini, apakah pantas terjadi di masa Islam? Sahabat Shafwan bin Al Mu’aththil seorang mujahid, dituduh berkhianat pada Nabinya. Ia dihujat amanahnya, kehormatannya, dan loyalitasnya pada Islam. Maka sudah sangat layak jika kaum muslimin pada waktu itu mendapatkan azab Allah sesuai dengan racun mematikan yang mereka sebarkan dalam masyarakat Islam yang sedang tumbuh, dan menyerang simbol-simbol kesucian yang menjadi tonggak berdirinya masyarakat itu. Sangat layak jika Allah turunkan azab yang sebanding dengan kejahatan kaum munafik yang berusaha mencabut keimanan umat dari akarnya. Mereka menggoyang kepercayaan umat kepada Tuhannya, Nabinya, dan sesama muslim selama satu bulan penuh. Ketidak pastian, kebimbangan, dan keresahan melingkupi Madinah. Akan tetapi karunia dan rahmat Allah melimpah kepada kaum muslimin yang sedang tumbuh membangun. Dan rahmat itupun akhirnya dinikmati pula oleh mereka yang menyebarkan malapetaka di Madinah.

Al Qur’an menggambarkan masa bimbang, tanpa kendali dan ukuran itu dengan mengungkapkan :

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

Artinya: Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia di sisi Allah adalah besar. (QS. An Nur/24: 15)

Ayat yang menggambarkan sikap ceroboh, melakukan sesuatu yang sangat berbahaya tanpa ada beban dosa. Masalah yang sebesar itu seharusnya disikapi dengan ekstra hati-hati, mendengarnya saja sudah merupakan goncangan, apalagi mempercayai dan ikut mengucapkan/menyebarkan. Seharusnya kaum muslimin menghadapkan diri kepada Allah, meminta agar nabinya tidak didiskriditkan seperti itu.

Firman Allah:

وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

Artinya: Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha suci Engkau Ya Tuhan kami. Ini adalah dusta yang besar. (QS. An Nur/24:16)

Jika cara ini dihayati dengan seksama, maka masalah itu tidak akan berkembang menyudutkan Nabi dan keluarganya. Mendengarkan hal seperti itu saja sudah harus dihindari, sebagai konsekwensi iman, apalagi ikut serta dalam penyebarannya.

Firman Allah:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3)

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. (QS. Al Mu’minun/23: 1-3)

Artinya: Dan apabila mereka mendengar perkataan yag tidak bermanfaat, mereka berpaling dari padanya. (QS. Al Qashash/28: 55) Dari itulah Allah subhanahu wa Ta'ala mengingatkan umat ini untuk tidak mengulang perbuatan ceroboh seperti itu di kemudian hari.

Firman Allah :

يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Artinya: Allah memperingatkan kamu agar ( jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. An Nur/24:17)

Allah menasehati dengan cara yang halus dan mendidik, sesuai dengan keadaan kaum muslimin yang sangat peka terhadap teguran, setia dengan perintah dan cerdas mengambil pelajaran. Kesetiaan untuk tidak mengulang kesalahan itu dikaitkan dengan iman sebagai garansinya.

Peristiwa ini juga memberikan tarbiyah imaniyah yang mendalam yaitu :

a. Bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan status kenabian dan kerasulannya tidak pernah mengeluarkannya dari realitas dirinya sebagai manusia biasa. (sifat basyariyah).

b. Bahwa wahyu Allah bukanlah ilusi jiwa yang keluar dari seorang Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana wahyu Allah itu tidak dapat diproduk sesuai dengan keinginan dan harapan Nabi Muhammad. Sebab jika wahyu Allah dapat diatur sedemikian rupa oleh keinginan-keinginan manusia (Nabi Muhammad) maka sangat mudah bagi Nabi untuk mengakhiri kemelut haditsul ifki ini sebelum berkembang menjadi fitnah bagi diri dan keluarganya, dengan menjadikan apa yang diyakininya sebagai Al Qur’an dan kebenaran yang diyakini oleh kaum muslimin.

Tetapi Rasulullah tidak melakukan hal itu karena memang di luar kemampuannya sebagai seorang rasul utusan Allah.

Sesungguhnya peristiwa haditsul ifki telah memberi pelajaran penting bagi kaum muslimin dalam membangun masyarakat, yaitu :

a. Sterilisasi masyarakat muslim dari isu-isu yang meresahkan, berupa ucapan-ucapan jorok atau tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.

b. Sikap yang benar terhadap kehormatan sesama muslim, terutama dalam menjaga mulut/bicara.

c. Mengembangkan budaya husnuzh-zhan (berbaik sangka) kepada sesama muslim.

d. Mengajarkan adab Islam dalam mendengar sesuatu yang tidak berguna, dengan memposisikan diri sebagai orang yang tidak layak mendengarkannya, apalagi ikut menyebarkannya.

Allah subhanahu wa Ta'ala mengancam orang-orang yang suka menyebarkan keburukan dengan menuduh wanita-wanita muhshanat melakukan perselingkuhan dengan azab Allah di dunia dan akhirat.

Firman Allah :

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An Nur/24: 19)

Orang-orang yang menuduh wanita muhshanat, khususnya Aisyah ra yang ada dalam baitun-nubuwwah (rumah kenabian)[12], sesungguhnya sedang menggoyang sendi kepercayaan kaum mukminin terhadap al khair (kebaikan) al Iffah ( pemeliharaan diri) dan An Nazhafah (kebersihan) masyarakat, dan menghilangkan rasa malu dan risih bagi orang yang suka berbuat keji. Hal ini dilakukan dengan membangun opini bahwa perbuatan keji telah terjadi di mana-mana termasuk dalam rumah tangga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai pimpinan dan teladan umat Islam.

Cara ini akan menumbuhkan keberanian pada penakut yang ingin berbuat keji. Karena menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan dapat terjadi pada siapa saja. Inilah yang sering kali menjadi pendorong terjadinya gaya hidup permisif. Karena demikian besar bahaya yang ditimbulkan oleh iklan keji, Allah menyebut orang-orang yang menuduh zina pada wanita-wanita muhshanat sebagai orang-orang yang menginginkan tersiarnya perbuatan keji di tengah-tengah kaum mu’minin. Allah menyediakan azab yang pedih bagi mereka di dunia dan akhirat.

Firman Allah :

لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ

Artinya: Bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. (QS. An Nur/24:19)

Inilah salah satu bentuk pendidikan akhlaq dalam usaha memproteksi penyebaran perbuatan tercela di tengah-tengah masyarakat. Sebuah konsep pendidikan yang diajukan sesuai dengan pengalaman kemanusiaan dalam pengendalian selera dengan mengarahkan pada ilmu Allah.

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Dan Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An Nur/24:19)

Ayat di atas memberikan pesan tarbiyah yang sangat mendalam bagi pendidikan lain :

a. Keberadaan anggota masyarakat muslim yang suka menyerang kehormatan orang lain, menuduhnya berselingkuh tanpa bukti yang benar, adalah realitas sosial yang telah, sedang dan akan terus ada di setiap ruang dan waktu.

b. Kondisi ini bisa dijadikan sebagai indikator penguatan dan perlemahan akhlak Islam di masyarakat. Ini adalah kenyataan buruk yang harus mendapatkan tindakan sesuai dengan syari’ah Allah.

c. Keberadaan oknum yang berbuat demikian tidak boleh mengurangi kebaikan masyarakat secara umum. Di tengah masyarakat tentu masih banyak orang-orang yang lebih mencintai kebajikan. Keberadaan oknum-oknum ini harus menjadi pemicu bagi ahlu-khair untuk melancarkan perbaikan-perbaikan sosial dengan sabar, dan penuh hikmah.

d. Siapapun, anggota masyarakat yang melakukan hujatan terhadap kehormatan orang lain akan diancam dengan hukuman dunia dan akherat. Dengan sanksi ini diharapakan akan terjadi pengendalian yang ketat pada masing-masing orang untuk tidak mudah melontarkan tuduhan kepada orang lain.

e. Ketika kita mendengar tuduhan yang dilontarkan seseorang kepada fihak lain, maka kita bangun dalam diri kita sikap husnuzh-zhan (berbaik sangka) kepada orang yang dituduh itu, bila perlu dengan melakukan pembelaan kehormatan orang yang dihujat.

تفسير القرطبي
قوله تعالى : إن الذين جاءوا بالإفك عصبة منكم لا تحسبوه شرا لكم بل هو خير لكم لكل امرئ منهم ما اكتسب من الإثم والذي تولى كبره منهم له عذاب عظيم لولا إذ سمعتموه ظن المؤمنون والمؤمنات بأنفسهم خيرا وقالوا هذا إفك مبين لولا جاءوا ع...
ليه بأربعة شهداء فإذ لم يأتوا بالشهداء فأولئك عند الله هم الكاذبون ولولا فضل الله عليكم ورحمته في الدنيا والآخرة لمسكم في ما أفضتم فيه عذاب عظيم إذ تلقونه بألسنتكم وتقولون بأفواهكم ما ليس لكم به علم وتحسبونه هينا وهو عند الله عظيم ولولا إذ سمعتموه قلتم ما يكون لنا أن نتكلم بهذا سبحانك هذا بهتان عظيم يعظكم الله أن تعودوا لمثله أبدا إن كنتم مؤمنين ويبين الله لكم الآيات والله عليم حكيم إن الذين يحبون أن تشيع الفاحشة في الذين آمنوا لهم عذاب أليم في الدنيا والآخرة والله يعلم وأنتم لا تعلمون ولولا فضل الله عليكم ورحمته وأن الله رءوف رحيم ياأيها الذين آمنوا لا تتبعوا خطوات الشيطان ومن يتبع خطوات الشيطان فإنه يأمر بالفحشاء والمنكر ولولا فضل الله عليكم ورحمته ما زكا منكم من أحد أبدا ولكن الله يزكي من يشاء والله سميع عليم ولا يأتل أولو الفضل منكم والسعة أن يؤتوا أولي القربى والمساكين والمهاجرين في سبيل الله وليعفوا وليصفحوا ألا تحبون أن يغفر الله لكم والله غفور رحيم [ ص: 181 ]

الأولى : قوله تعالى : إن الذين جاءوا بالإفك عصبة منكم عصبة خبر إن . ويجوز نصبها على الحال ، ويكون الخبر لكل امرئ منهم ما اكتسب من الإثم . وسبب نزولها ما رواه الأئمة من حديث الإفك الطويل في قصة عائشة - رضوان الله عليها - ، وهو خبر صحيح مشهور ، أغنى اشتهاره عن ذكره ، وسيأتي مختصرا . وأخرجه البخاري تعليقا ، وحديثه أتم . قال : وقال أسامة ، عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، عن عائشة ، وأخرجه أيضا ، عن محمد بن كثير ، عن أخيه سليمان من حديث مسروق ، عن أم رومان أم عائشة أنها قالت : لما رميت عائشة خرت مغشيا عليها . وعن موسى بن إسماعيل من حديث أبي وائل قال : حدثني مسروق بن الأجدع ، قال : حدثتني أم رومان وهي أم عائشة ، قالت : بينا أنا قاعدة أنا ، وعائشة إذ ولجت امرأة من الأنصار ، فقالت : فعل الله بفلان وفعل ، فقالت أم رومان : وما ذاك ؟ قالت : ابني فيمن حدث الحديث ، قالت : وما ذاك ؟ قالت : كذا وكذا . قالت عائشة : سمع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ؟ قالت : نعم . قالت : وأبو بكر ؟ قالت : نعم ، فخرت مغشيا عليها ؛ فما أفاقت إلا وعليها حمى بنافض ، فطرحت عليها ثيابها ، فغطيتها ، فجاء النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال : ما شأن هذه ؟ فقلت : يا رسول الله ، أخذتها الحمى بنافض . قال : فلعل في حديث تحدث به ، قالت : نعم . فقعدت عائشة فقالت : والله ، لئن حلفت لا تصدقوني ! ولئن قلت لا تعذروني ! مثلي ومثلكم كيعقوب وبنيه والله المستعان على ما تصفون . قالت : وانصرف ولم يقل شيئا ؛ فأنزل الله عذرها . قالت : بحمد الله لا بحمد أحد ولا بحمدك . قال أبو عبد الله الحميدي : كان بعض من لقينا من الحفاظ البغداديين يقول الإرسال في هذا الحديث أبين ، واستدل على ذلك بأن أم رومان توفيت في حياة رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، ومسروق لم يشاهد النبي - صلى الله عليه وسلم - بلا خلاف . وللبخاري من حديث عبيد الله بن عبد الله بن أبي مليكة أن عائشة كانت تقرأ إذ تلقونه بألسنتكم وتقول : الولق الكذب . قال ابن أبي مليكة : وكانت أعلم بذلك من غيرها لأنه نزل فيها . قال البخاري : وقال معمر بن راشد ، عن الزهري : كان حديث الإفك في غزوة المريسيع . قال ابن إسحاق : وذلك سنة ست . وقال موسى بن عقبة : سنة أربع . وأخرج البخاري من حديث معمر ، عن [ ص: 182 ] الزهري قال : قال لي الوليد بن عبد الملك : أبلغك أن عليا كان فيمن قذف ؟ قال : قلت لا ، ولكن قد أخبرني رجلان من قومك أبو سلمة بن عبد الرحمن ، وأبو بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام أن عائشة قالت لهما : كان علي مسلما في شأنها . وأخرجه أبو بكر الإسماعيلي في كتابه المخرج على الصحيح من وجه آخر من حديث معمر ، عن الزهري ، وفيه : قال كنت عند الوليد بن عبد الملك فقال : الذي تولى كبره منهم علي بن أبي طالب ؟ فقلت : لا ، حدثني سعيد بن المسيب ، وعروة ، وعلقمة ، وعبيد الله بن عبد الله بن عتبة كلهم يقول سمعت عائشة تقول : والذي تولى كبره عبد الله بن أبي . وأخرج البخاري أيضا من حديث الزهري ، عن عروة ، عن عائشة : والذي تولى كبره منهم عبد الله بن أبي .

الثانية : قوله تعالى : ( بالإفك ) الإفك الكذب . والعصبة ثلاثة رجال ؛ قاله ابن عباس . وعنه أيضا من الثلاثة إلى العشرة . ابن عيينة : أربعون رجلا . مجاهد : من عشرة إلى خمسة عشر . وأصلها في اللغة وكلام العرب الجماعة الذين يتعصب بعضهم لبعض . وال...
خير حقيقته ما زاد نفعه على ضره . والشر ما زاد ضره على نفعه . وإن خيرا لا شر فيه هو الجنة . وشرا لا خير فيه هو جهنم . فأما البلاء النازل على الأولياء فهو خير ؛ لأن ضرره من الألم قليل في الدنيا ، وخيره هو الثواب الكثير في الأخرى . فنبه الله تعالى عائشة وأهلها وصفوان ، إذ الخطاب لهم في قوله لا تحسبوه شرا لكم بل هو خير لكم ؛ لرجحان النفع والخير على جانب الشر .

الثالثة : لما خرج رسول الله - صلى الله عليه وسلم - بعائشة معه في غزوة بني المصطلق وهي غزوة المريسيع ، وقفل ودنا من المدينة آذن ليلة بالرحيل قامت حين آذنوا بالرحيل فمشت حتى جاوزت الجيش ، فلما فرغت من شأنها أقبلت إلى الرحل فلمست صدرها فإذا عقد من جزع ظفار قد انقطع ، فرجعت فالتمسته فحبسها ابتغاؤه ، فوجدته وانصرفت ، فلما لم تجد أحدا ، وكانت شابة قليلة اللحم ، فرفع الرجال هودجها ، ولم يشعروا بنزولها منه ؛ فلما لم تجد أحدا اضطجعت في مكانها رجاء أن تفتقد فيرجع إليها ، فنامت في الموضع ولم يوقظها إلا قول [ ص: 183 ] صفوان بن المعطل : إنا لله وإنا إليه راجعون ؛ وذلك أنه كان تخلف وراء الجيش لحفظ الساقة . وقيل : إنها استيقظت لاسترجاعه ، ونزل عن ناقته وتنحى عنها حتى ركبت عائشة ، وأخذ يقودها حتى بلغ بها الجيش في نحر الظهيرة ؛ فوقع أهل الإفك في مقالتهم ، وكان الذي يجتمع إليه فيه ، ويستوشيه ، ويشعله عبد الله بن أبي بن سلول المنافق ، وهو الذي رأى صفوان آخذا بزمام ناقة عائشة ، فقال : والله ما نجت منه ، ولا نجا منها ، وقال : امرأة نبيكم باتت مع رجل . وكان من قالته حسان بن ثابت ، ومسطح بن أثاثة ، وحمنة بنت جحش . هذا اختصار الحديث ، وهو بكماله وإتقانه في البخاري ، ومسلم ، وهو في مسلم أكمل

: امرأة نبيكم باتت مع رجل . وكان من قالته حسان بن ثابت ، ومسطح بن أثاثة ، وحمنة بنت جحش .

mulut mereka berkata :

''sesungguhnya istri nabimu ('Aisyah ) semalaman telah berduaan dengan seorang laki2''

tafsirnya tafsir al qurtubi adapun yang memfitnah sayyidah 'Aisyah adalah Hasan bin Stabit dan mistih bin Ustastah dan Hamnah binti Jahs

الخامسة عشرة : قوله تعالى : إن كنتم مؤمنين توقيف وتوكيد ؛ كما تقول : ينبغي لك أن تفعل كذا وكذا إن كنت رجلا . السادسة عشرة : قوله تعالى : يعظكم الله أن تعودوا لمثله أبدا يعني في عائشة ؛ لأن مثله لا يكون إلا نظير القول في المقول عنه بعينه ، أ...
و فيمن كان في مرتبته من أزواج النبي - صلى الله عليه وسلم - ؛ لما في ذلك من إذاية رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في عرضه وأهله ؛ وذلك كفر من فاعله .

السابعة عشرة : قال هشام بن عمار سمعت مالكا يقول : من سب أبا بكر ، وعمر أدب ، ومن سب عائشة قتل لأن الله تعالى يقول : يعظكم الله أن تعودوا لمثله أبدا إن كنتم مؤمنين فمن سب عائشة فقد خالف القرآن ، ومن خالف القرآن قتل . قال ابن العربي : قال أصحاب الشافعي من سب عائشة - رضي الله عنها - أدب كما في سائر المؤمنين ، وليس قوله : إن كنتم مؤمنين في عائشة لأن ذلك كفر ، وإنما هو كما قال : عليه السلام - : لا يؤمن من لا يأمن جاره بوائقه . ولو كان سلب الإيمان في سب من سب عائشة حقيقة لكان سلبه في قول : لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن حقيقة . قلنا : ليس كما زعمتم ؛ فإن أهل الإفك رموا عائشة المطهرة بالفاحشة ، فبرأها الله تعالى فكل من سبها بما برأها الله منه مكذب لله ، ومن [ ص: 190 ] كذب الله فهو كافر ؛ فهذا طريق قول مالك ، وهي سبيل لائحة لأهل البصائر . ولو أن رجلا سب عائشة بغير ما برأها الله منه لكان جزاؤه الأدب .

الثامنة عشرة : قوله تعالى : إن الذين يحبون أن تشيع الفاحشة أي تفشو ؛ يقال : شاع الشيء شيوعا وشيعا وشيعانا وشيعوعة ؛ أي ظهر وتفرق . في الذين آمنوا أي في المحصنين والمحصنات . والمراد بهذا اللفظ العام عائشة ، وصفوان - رضي الله عنهما - . والفاحشة : الفعل القبيح المفرط القبح . وقيل : الفاحشة في هذه الآية القول السيئ . لهم عذاب أليم في الدنيا أي الحد . وفي الآخرة عذاب النار ؛ أي للمنافقين ، فهو مخصوص . وقد بينا أن الحد للمؤمنين كفارة . وقال الطبري : معناه إن مات مصرا غير تائب .

ulama syiah al-Sayyid Abdullah Syibr (w 1242 H), menerangkan tafsir surat al-Nuur ayat 11 :

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ م...
ِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Ternyata

نزلت في مارية القبطية وما رمتها به عائشة من أنها حملت بإبراهيم من جريح القبطي وقيل في عائشة

tafsir Qummi terkait dengan ayat 11 surah al-Nuur tersebut.
Katanya :

فان العامة رووا انها نزلت في عائشة وما رميت به في غزوة بني المصطلق من خزاعة واما الخاصة فانهم رووا انها نزلت في مارية القبطية وما رمتها به عايشة‌ء المنافقات


barangsiapa berkata kotor pada sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu 'anha maka hendaknya dia di ajari tata kerama akan tetapi apabila dia membangkang maka darah orang tersebut halal untuk di tumpahkan karena telah menyakiti perasaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam SEBAB telah menghina martabat Rasulullah dan rumah tangga Rasulullah dan telah menentang perintah Allah ta'ala

لخامسة عشرة : قوله تعالى : إن كنتم مؤمنين توقيف وتوكيد ؛ كما تقول : ينبغي لك أن تفعل كذا وكذا إن كنت رجلا . السادسة عشرة : قوله تعالى : يعظكم الله أن تعودوا لمثله أبدا يعني في عائشة ؛ لأن مثله لا يكون إلا نظير القول في المقول عنه بعينه ، أ
و فيمن كان في مرتبته من أزواج النبي - صلى الله عليه وسلم - ؛ لما في ذلك من إذاية رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في عرضه وأهله ؛ وذلك كفر من فاعله .

السابعة عشرة : قال هشام بن عمار سمعت مالكا يقول : من سب أبا بكر ، وعمر أدب ، ومن سب عائشة قتل لأن الله تعالى يقول : يعظكم الله أن تعودوا لمثله أبدا إن كنتم مؤمنين فمن سب عائشة فقد خالف القرآن ، ومن خالف القرآن قتل . قال ابن العربي : قال أصحاب الشافعي من سب عائشة - رضي الله عنها - أدب كما في سائر المؤمنين ، وليس قوله : إن كنتم مؤمنين في عائشة لأن ذلك كفر ، وإنما هو كما قال : عليه السلام - : لا يؤمن من لا يأمن جاره بوائقه . ولو كان سلب الإيمان في سب من سب عائشة حقيقة لكان سلبه في قول : لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن حقيقة . قلنا : ليس كما زعمتم ؛ فإن أهل الإفك رموا عائشة المطهرة بالفاحشة ، فبرأها الله تعالى فكل من سبها بما برأها الله منه مكذب لله ، ومن [ ص: 190 ] كذب الله فهو كافر ؛ فهذا طريق قول مالك ، وهي سبيل لائحة لأهل البصائر . ولو أن رجلا سب عائشة بغير ما برأها الله منه لكان جزاؤه الأدب

Sesungguhnya sayyidah 'Aisyah radhiyallahu 'anha  telah disucikan oleh Allah dan diabadikan didalam alqur'an,, maka barang siapa mencela atau mendustakannya , maka orang itu telah mendustakan al-qur'an..

posted on group : generasi bangsa indonesia




semoga bermanfaat