Follow us on:
Membongkar Kedok Sufisme di Hadramaut


Membongkar Kedok Sufisme di Hadramaut

Oleh : Syaikh Ali Ba Bakar bin Yahya

Diberi kata pengantar oleh :
1. Asy-Syaikh Alwi bin Abdul Qodir As-Segaf
2. Asy-Syaikh Abu Bakar bin Haddar Al-Haddar
3. Asy-Syaikh Shalih bin Bekhit Maula Dawilah
Cetakan pertama 1426 H / 2005 M

[Mereka semua Alul Bait dari keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu].

Muqaddimah


Oleh : Asy-Syaikh Alwi bin Abdul Qodir As-Segaf

Segala puja dan puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, penghulu kita, kekasih kita dan penyejuk pandangan kita Muhammad bin Abdillah, yang telah bersabda : (yang artinya)

“Barangsiapa mengada-ada (sesuatu yang baru) dalam urusan kami ini yang bukan darinya maka (sesuatu yang beru yang diada-adakannya) itu tertolak.”

Yang juga telah bersabda : (yang artinya)

“Sesungguhnya aku meninggalkan kalian di atas (jalan) yang putih, malamnya sama dengan siangnya, tiada yang menyimpang darinya sepeninggalku kecuali orang binasa.”
“Dan barangsiapa yang hidup diantara kamu dia akan melihat perbedaan yang banyak. Maka hendaklah kalian (berpegang teguh) dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah para khalifah yang berjalan diatas petunjuk yang mana mereka mendapat petunjuk, gigitlah (sunnahku dan sunnah pada khulafa’ itu) dengan geraham-geraham (kalian).”
(Demikian pula semoga shalawat dan salam itu) tercurahkan kepada keluarga beliau yang suci dan para shahabat beliau semuanya.

Wa ba’du :
Bahwasanya al-akh Asy-Syaikh Ali Ba Bakar –semoga beliau senantiasa diberi taufiq oleh Allah- telah menunjukkan kepada saya sebuah tulisan kecil perihal sufisme di Hadramaut dan sungguh sangat mengejutkan saya apa-apa yang beliau nukil dari kitab-kitab mereka yang disertai dengan penyebutan juz dan halamannya, berupa kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang dienggani oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang bertauhid (kepada Allah), serta apa-apa yang disebutnya itu berupa penisbatan keistimewaan-keistimewaan Rububiyyah kepada makhluq, diantaranya :
1. Meniupkan ruh pada benda-benda mati, padahal Allah berfirman : (yang artinya)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Qs. Al-Israa’ : 85)
2. Menghidupkan orang-orang yang telah mati, padahal Allah U berfirman : (yang artinya)

Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala suatu, (Qs. Al-Hajj : 6)
3. Mengatakan kepada sesuatu “Kun Fayakun” (jadilah maka terjadilah)! padahal Allah berfirman tentang diri-Nya : (yang artinya)
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (QS. Yasiin : 82)
4. Mendakwahkan mengetahui ilmu ghaib, padahal Allah berfirman : (yang artinya)

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al-Jin : 26-27)
5. Menyembuhkan orang-orang yang sakit, padahal Allah berfirman melalui ucapan Ibrahim al-Khalil : (yang artinya)

Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, (QS. Asy-Syuaara’ : 80)
6. Jaminan surga bagi para murid (orang yang mau mengikuti tarekat mereka, pent). Dan penghapusan berbagai dosa-dosanya dari lauhil mahfudh, serta hal-hal yang serupa dengan keenam hal tersebut diatas.
Semua ini dan lainnya dari berbagai kisah-kisah dan riwayat-riwayat lain tidak berdasarkan pada dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) dan tidak pula diterima oleh akal, semua itu dinukil oleh asy-Syaikh Ali Ba Bakar (Ali Ba Bakar bin Yahya, pent) dalam tulisannya ini.
Kisa-kisah dan riwayat tersebut adalah kekufuran yang nyata, tidak diragukan lagi oleh seorang muslim yang bertauhid. Riwayat-riwayat tersebut tidak boleh diyakini dan tidak boleh diriwayatkan kecual untuk memperolok-olok dan membantah.
Dan tidaklah kondisi manusia disana (di Hadramaut) sampai demikian melainkan disebabkan oleh hawa nafsu, kebodohan dan jauhnya dari (ajaran) al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun saya berbeda pendapat dengan peulis buku ini (Syaikh Ali Ba Bakar bin Yahya) dalam masalah yang sering disebutnya berulang-ulang bahwa semua yang disebutnya (berupa penyimpangan) didorong oleh keinginan materialis murni atau propaganda untuk pemasaran dan penggiatan pariwisata religi guna menarik para wisatawan semaksimal mungkin seperti yang beliau ungkapkan.
Dan tentunya orang-orang yang menjadi objek dalam (riwayat dan kisah-kisah itu) berlepas diri dari apa-apa yang dinisbatkan (disandarkan) kepada mereka : sebab para Rasul dan Nabi pun telah didustakan atas nama mereka. Dan hendaknya para cucu dan pengikut mereka (para habib yang disebutkan dalam dongeng-dongeng itu, pent) berlepas diri pula dari riwayat dan kisah-kisah itu serta menafikan penisbatannya kepada kakek dan panutan mereka itu serta tidak boleh meriwayatkannya untuk membenarkannya.
Dan kewajiban anak terhadap ayah-ayah mereka minimal menafikan kekufuran dari mereka serta membersihkannya dari mereka. Sikap ini termasuk perbuatan bir (bakti) terhadap ayah-ayah mereka. Sebab bukan merupakan kebanggaan sedikitpun tatkala kakek seseorang mendakwakan mampu menghidupkan orang-orang yang telah mati, atau mengetahui yang ghaib atau ia bias menyatakan pada sesuatu “jadilah maka jadilah sesuatu itu”. Wa ‘I yaadzu billah (kita mohon perlindungan dari Allah dari itu semua).
Dan sesungguhnya saya mengajak semua anak-anak para Saadah (para Sayyid) baik yang berada di Hadramaut dan yang di luar Hadramaut untuk kembali pada kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya saw kakek/Datuk mereka Muhammad bin Abdillah sesuai dengan manhaj (jalan) para salaf pendahulu mereka yang shalih, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.anhum serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

MUQADDIMAH

 
Asy-Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Kami mengucapkan shalawat dan salam kepada “yang diutus” bagi alam semesta, Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau semuanya serta orang-orang yang berjalan diatas jalan mereka dan melaksanakan sunnah mereka sampai hari kiamat.
Amma ba’du :
Bahwasanya saya telah membaca tulisan Asy-Syaikh Ali Ba Bakar yang diberi judul “Hadzihi Hiyash Shufiyyah fi Hadramaut” (Membongkar kedok sufisme di Hadramaut) maka kudapati buku tersebut sangat bagus pada bidangnya dan isinya sangat bermanfaat. Tulisan tersebut telah menelanjangi mereka para sufi itu tentang hal-hal yang mereka dakwakan berupa kekeramatan, menyingkap aib mereka dan menjelaskan berbagai kesesatan mereka dan kami berlepas diri kepada Allah dari itu semuanya.
Dan meskipun saya sepakat dengan Asy-Syaikh Ali Ba Bakar tentang apa-apa yang beliau ceritakan perihal orang-orang sesat itu, namun saya berbeda dengannya tentang sebab yang menyebabkan mereka terjerumus dalam keadaan ini.
Maka, bisa jadi karena kejahilan yang bertumpuk selama bertahun-tahun menyebabkan mereka terjerumus dalam kondisi tersebut plus disebabkan sedikitnya ulama Rabbani yang memiliki aqidah yang benar.
Kami memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang terbaik dan sifat-sifat-Nya yang termulia semoga Dia mengembalikan kita dan mereka semua kepada al-hak dan semoga dia mengilhami kepada kita petunjuk dan menampakkan kepada kita bahwa yang hak itu hak serta menganugerahkan kepada kami untuk mengikutinya dan menampakkan kepada kami bahwa yang batl itu batil serta menganugerahkan kepada kami untuk menjauhinya. Sesungguhnya Dia-lah yang mengurusi itu yang Maha Kuasa untuk melaksanakannya.

Ditulis oleh
Abu Bakar bin Haddar bin Ahmad al-Haddar
Hadramaut – Inat
Jumadul ula 1426 H.

Muqaddimah Asy-Syaikh Shaleh bin Bakhit bin Salim Muala Dawilah

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah kepada kami untuk memeluk agama Islam

“Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (QS. Al-A’raf : 43)

Demikian pula Dia telah mengajarkan kepada kita al-Hikmah (Sunnah Rasulullah) dan al-Qur’an serta menjadikan kita sebagai umat terbaik yang ditampakkan kepada manusia, dan mengenakan kepada kita pakaian ketaqwaan sebaik-baik pakaian.

Aku memuji-Nya (Yang Maha Suci), aku bersyukur kepada-Nya, bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang hak kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah dan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Aku bersaksi pula bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya, Rasul-Nya dan manusia terpilih diantara makhluq ciptaan-Nya. Dia adalah sebaik-baik manusia untuk manusia, lentera yang menyala, cahaya serta pelita, rahmat dan kesejukan. Semoga shalawat dan salam-Nya senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarganya dan para shahabatnya serta orang-orang yang berjalan diatas jalan mereka dan mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat kelak. Wa ba’du :

Bahwasanya bencana tashawwuf benar-benar telah merebak dan membesar di Timur dan di Barat, menimpa berbagai belahan umat. Sampai-sampai hampir tiada suatu lembah dan suatu bukitpun yang lengang dari bencana tasawwuf ini.

Tasawwuf ini, meskipun sebuah peringatan sial dan petunjuk kepada penyimpangan. Namun demikian menurut orang-orang yang bodoh dan lalai ia adalah tolak ukur/barometer bagi sebuah pembenaran dan pengakuan [sebuah kebenaran, pent]. Dan bukan ini tempatnya untuk menjelaskan kebrobrokan barometer ini. Dan cukuplah bagi saya ayat yang termaktub dalam al-Qur’an :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (QS. Al-An’am : 116).

Dan firman Allah (yang artinya) :

Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (QS. Yusuf : 103)

Sebagaimana saya-pun tidak bermaksud dengan bala ini tashawwuf mawalid dan hadrah karena hal itu terlalu kecil untuk menyingkap kepalsuannya dan menjelaskan kebatilannya serta keterputusannya dari agama Allah dan petunjuk Rasulullah. Dan tidak pula saya maksudkan dengan bala ini, tasawwuf suluk, ar-riyadhah dan akhlaq, karena semua umat dimuka bumi ini ikut andil padanya, ia dibutuhkan menurut pendapat orang-orang berakal dialam ini. Sementara manusia dalam tasawwuf suluk, riyadhah dan akhlaq ada yang meremehkannya dan ada pula yang bersungguh-sungguh [melaksanakannya].

Dalam masalah ini orang-orang yang mendapat taufiq dan mengikuti petunjuk, mereka berjalan diatas jalan Al-habib Al-Musthafa yang mana beliau telah dibina oleh Rabbnya sebaik-baik binaan dan mensucikannya serta mengindahkan.

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qolam : 4)

Sementara orang-orang selain mereka menaiki/menempuh jalan-jalan dan madzhab-madzhab lain, lalu mereka-pun berbuat jelek dan berbuat baik, berbuat yang benar juga berbuat yang salah.

Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. (QS. Al-Israa’ : 84).

Dan tidak juga yang saya maksudkan dengan bala disini adalah tasawwuf zuhud, karena orang-orang yang zuhud begitu mulia lagi bertakwa, begitu benar lagi suci, mereka rela berlapar-lapar dan tidak mengenakan alas kaki serta menyendiri dan mengasingkan diri dari manusia :

“Apabila ia berada di pos penjagaan-ketika perang- ia terus menjaga, dan apabila ia di garis belakang pertahanan ia terus disana, apabila ia meminta izin tidaklah diizinkan dan apabila memberikan perantara tidak diterima perantaraannya”.

Mereka menganggap karomah sebagai sebuah peringatan dan ancaman, penghormatan sebagai sebuah tipuan, pujian sebagai sebuah ujian dan fitnah, walaupun mereka memperoleh itu semua.Barangsiapa yang mencintai mereka, maka haruslah lebih mencintai kebenaran diatas cintanya kepada mereka, perkataan mereka bisa diterima juga disa ditolak, mereka tidak mendakwakan bahwa diri mereka ma’shum, dan tidaklah yang mengaku ma’sum kecuali ia termasuk pembohong atau orang yang menyimpang.

Sesungguhnya yang aku maksudkan disini adalah sufisme yang merupakan sebuah musibah dan ancaman , yang mana mereka [orang-orang tasawuf] tersebut bersembunyi dari fenomena -fenomena yang telah kami singgung diatas. Yang mana mereka itu menyembunyikan dalam hati mereka hal-hal yang bertentangan dengan apa yang mereka tampakkan. Allah telah berfirman (yang artinya) :

“Dan sesungguhnya kamu dapat mengenal mereka dari hiasan perkataan mereka.” (Muhammad : 30)

Allah juga berfirman (yang artinya) :

“Mengapa kamu mencampurkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui.” (Ali Imran : 71)

§ Sufisme yang berbentuk paganisme dan penyatuan aliran-aliran kepercayaan syirik.
§ Sufisme yang meyakini “Al-Hulul” (Al-hulul menurut kaum sufi adalah : Bahwasanya Allah memilih sejumlah tubuh manusia kemudian bersemayam (hulul) disana sehingga tubuh-tubuh tersebut memiliki esensi ketuhanan, lepas dari esensi ke”manusiaan”nya, seperti tubuh orang-orang yang arif dari kalangan para wali dan orang-orang yang suci jiwanya. Ini adalah persangkaan kelompok hululiyah, ‘abdul qoohir Al-Baghdadi menyebutkan bahwa hululiyah memiliki sepuluh sekte yang berinduk kepada ekstremis rafidhah, Ibnu Taimiyah membaginya kedalam dua kelompok, yang pertama : mereka yang menyebutnya sebagai hulul khusus, ini adalah pendapat para penganut Kristen Nestorian dan ekstremis rafidhah yang mengatakan bahwasanya Allah bersemayam di tubuh ‘Ali bib Abi Thalib dan para imam Ahlilbait juga sebagian ekstremis lainnya yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di tubuh para waliNya .( Mu’jam Mushtotholah As-shufiyah hal.86, Al-farqu bainal firoq 253,Majmu’ fatawa 2/171-172. Dinukil dari Ma’aalimil jarh wa ta’dil karya Abu ‘Abdurrohman Muhammad Al-mahdi.) dan meyakini bahwa Allah bersatu dengan makhluknya, dan paham-paham sufistik yang lancang dan melenceng.
§ Sufisme yang penuh dengan kedustaan, khurofat (cerita-cerita bohong) dan tercela .
Mereka datangi semua agama yang dianut semua manusia dan pemikiran-pemikirannya dan meminta saling berlomba untuk menutup-nutupi ciri asli agama-agama tersebut .


Setelah itu merekapun bergegas untuk memutar balikkan fakta, mencoba meninjau kembali syari’at ini dan mendirikan lembaga-lembaga untuk kemudian menjebak manusia kedalam faham tersebut.
Sebuah bentuk persaingan yang gila-gilaan dan melampaui batas. Yang mana sebahagian dari mereka mengaku mampu untuk merubah apa yang tercatat di lauhul mahfudz, yang lainnya mengaku mampu untuk memadamkan api neraka dan menutupnya. Yang lainnya mengaku sebagai penyanding Allah dan dekat bersama-Nya di Arsy. Maha suci Allah dari itu semua, sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar dari ucapan dan perbuatan yang itu semua tidakklah mungkin muncul dari seorang yang berakal apalagi dari seorang muslim yang beilmu lagi terhormat.

Dari Daud bin Sholih, ia berkata : Aku berkata kepada Abdurrahman bin Mahdi : “wahai Aba Sa’id sesungguhnya di negara kita ini ada orang-orang sufi”. Abdurrahman berkata : “Jangan sampai engkau dekati mereka, sesungguhnya kita telah melihat diantara mereka kaum yang suatu hal [sufisme] telah menjadiikan mereka gila sedangkan sebahagian yang lain telah menjadi zindiq.

Parahnya lagi, mereka menyandarkan perkataan batil dan perbuatan rusak mereka kepada orang-orang terdahulu yang memiliki kemuliaan, seperti penyandaran kebatilan dan pencampuradukan yang mereka buat kepada imam ahli bait, semua itu adalah upaya untuk melariskan yang batil dan menghiasinya.

Adapun orang-orang yang benar dari kalangan Ahlulbait, maka mereka seperti manusia lainnya yang mencari kebenaran dengan metode dari umat terbaik [yaitu para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti dan meneladani mereka]. Para ahlulbait itu mengikuti dan mencontoh dan mereka bukanlah orang-orang yang membuat kebid’ahan dan mengada-ada dalam agama. Mereka adalah orang yang paling bersemangat mengikuti sunnah dan paling memperhatikan serta terdepan membela sunnah dan orang-orang yang mengikutinya, dari rumah-rumah mereka muncul pengamalan terhadap sunnah dan dengan tenaga -tenaga mereka sunnah ini ditampakkan.

Kemudian sesudah itu, mereka ini seperti manusia pada umumnya – selain dalam hal yang Allah memberikan kekhususan bagi mereka -, diantara mereka ada orang alim dan bodoh, ada yang diberi pentunjuk, ada juga yang sesat, ada yang memperoleh hidayah, dan juga ada yang menyimpang, bahkan ada yang muslim dan ada juga yang kafir,

“Barangsiapa yang lamban amal perbuatannya maka nasabnya tidak akan dapat mendahuluinya” (Muslim 2699, dari Abu Hurairah)

Nasab mereka sebenarnya lebih tepat sebagai sebuah beban daripada sebuah penghormatan, dan sikap mereka yang acuh tak acuh terhadap upaya untuk menyebarkan dan membela sunnah akan menjerumuskan mereka kedalam kehinaan.

Adapun karomah maka ia adalah pokok bahasan tulisan ini, sebagaimana pembahasan lainnya mengenai aqidah. Dimana manusia terbagi antara yang berlebih-lebihan dan yang menyepelekan. Ada yang ke-timur dan ada yang ke-barat, ada yang setuju dan ada yang mengingkari, masing-masing kelompok itu tercela.

Yang benar adalah (sikap tengah) berada diantara sikap berlebih-lebihan dan menyepelekan. Hanya saja cacat yang ada pada orang-orang sufi dalam masalah aqidah ini dapat ditinjau dari beberapa segi :

Pertama :

Mereka suka menggembar-gemborkan masalah karomah. Padahal seharusnya para ahlul ‘ilmi memiliki rasa takut dan rendah hati – sebagaimana sikap para salaf- seperti dalam perkataan Umar berikut ini ( Demi Allah.. seandainya aku memiliki emas sebesar bumi ini, akan aku pergunakan untuk menebus diriku ini dari azab neraka sebelum aku menghadap Allah)

Adapun mereka, hampir-hampir ada tidak akan mempercayai bahwa yang berbicara tentang karomah ini adalah orang Islam, yang menyerah, mengagungkan dan memuliakan untuk Allah Rabbul Alamin. Perhatikan perkataan Abu Yazid al-Bustami ini, ketika ia berkata : Aku berharap agar kiamat itu terjadi, sehingga tempat tinggalku ini terperosok kedalam neraka. Ada seorang bertanya : Mengapa demikian wahai Abu Yazid ? Aku tahu bahwa neraka akan padam jika melihatku sehingga aku menjadi anugerah untuk penghuni neraka yang lain, jawabnya.

Kedua :

Mereka bermain-main dan bersenda gurau dalam masalah karomah ini, bahkan seringkali hanya untuk memuaskan selera dan hawa nafsu saja . seakan-akan salah seorang diantara mereka di restoran atau hidangan, ia meminta apa saja yang diinginkannya.

An-nuuri berkata : Ketika aku berada disebuah kolam, ada beberapa orang mendatangiku dan mereka berkata : kami datang kesini untuk memancing ikan , lalu mereka berkata kepadaku : Wahai Abu Hasan (An-Nuuri), tunjukkan kepada kami ikan seberat 3 pound, tidak lebih dan tidak kurang, sebagai hasil ibadah dan kesungguhanmu dalam beramal ! Akupun berkata kepada waliku : Seandainya engkau tidak memberikanku seekor ikan seperti yang mereka pinta maka aku akan menceburkan diriku kedalam kolam ini, lalu keluarlah seekor ikan dan ketika aku timbang ternyata beratnya 3 pound tepat.

Hal seperti ini terjadi karena kebodohan mereka terhadap hikmah dibalik karomah itu sendiri, padahal tujuan dari karomah adalah guna menolong agama Allah, menegakkan sunnah serta mengokohkan agama ini. Bukannya sebagai gurauan, pemuasan terhadap hawa nafsu, pamer otot, menakut-nakuti umat ataupun untuk memperoleh kedudukan dan melariskan objek-objek wisata rohani/religi.

Ketiga :

Penjiplakan cerita tentang karomah, silahkan anda melihat buku-buku peninggalan sufisme dari masa dan tempat yang berbeda-beda niscaya anda akan melihat bagaimana “karomah” mereka ini hanya berkisar seputar permasalahan yang sama, nama dan tempatnya berbeda namun kejadiannya serupa, hal ini dapat anda temukan pada sufisme yang biasa di Hadramaut, Sudan, Mesir atau Maroko bahkan dimana-mana saja.

Keempat :

Menisbatkan karamah dengan dugaannya : (Diantara mereka ada yang melihat seberkas cahaya di angkasa. Jika terjadi pada bulan Ramadhan maka ia akan berkata : Aku telah melihat lailatul qadar sedangkan jika terjadi pada selain bulan Ramadhan maka ia akan berkata pintu langit telah terbuka untukku).

Mungkin saja sesuatu yang diinginkan itu terjadi, lalu ia menyangka hal itu sebuah karamah, padahal bisa saja kejadian yang ia lihat itu sebagai sebuah ujian atau tipu daya Iblis. Seorang yang berakal tentulah tidak akan mempercayai sepenuhnya hal tersebut walaupun hal itu adalah karamah. Ini semua adalah buah dari sikap terlalu berlebih-lebihan mereka terhadap karamah, sehingga mereka menjadikan tujuan pengikut mereka mencari karamah, padahal yang diperhatikan orang-orang shalih itu adalah mencari keistiqamahan bukan mencari karamah.

Ibnul Jauzi berkata : Iblis telah memasukkan perangkapnya kepada suatu kelompok manusia, dimana mereka membuat dongengan-dongengan tentang karamah-karamah para wali untuk menyokong keadaan mereka, padahal kebenaran tidak membutuhkan sokongan dari kebatilan, dan Allah akan menyingkap perbuatan mereka ini melalui para ulama-ulama sunnah.

Mereka akan terus menerus seperti itu sampai-sampai mereka mengaku memiliki sesuatu yang sebenarnya khusus dimiliki oleh Allah saja. Seperti mengetahui hal-hal ghoib dan dapat mengetahui isi lauhul mahfud dan dapat membacanya, serta mengatur alam semesta beserta galaxinya, atau mereka berbuat keharaman lalu mengatakannya sebagai karamah.

Ibnul Jauzi melanjutkan : dari Abdul Aziz al-Baghdadi ia berkata : aku membaca hikayah-hikayah sufisme, suatu hari aku naik atap, tiba-tiba aku mendengar suara berkata :

“Dan Dia-lah yang melindungi orang-orang yang shalih” (al-Araf : 196)

Aku menoleh, namun tidak kujumpai suatu apapun, lalu aku meloncat dari atap dan berdiri di udara.

Komentar saya : ini kedustaan serta mustahil, dan akal akan meragukan kedustaan ini, kalaupun kita menganggap benar maka loncatnya ia dari atap adalah haram, dan dugaannya bahwa Allah akan menolong orang yang melakukan hal terlarang adalah hal batil, Allah berfirman (yang artinya) :

“Dan janganlah dirimu menjatuhkan kedalam kebinasaan” (al-Baraqah : 195)

Bagaimana mungkin orang seperti ini adalah seorang yang sholeh, sedangkan ia menyelisihi Tuhannya? Maka dapat diperkirakan bahwa barangsiapa yang memberitakan hal-hal seperti ini maka maka ia dari golongan mereka?! Telah menyempal dalam tubuh sufisme ini suatu kelompok yang serupa dengan mereka dan bersikap sama dengan mereka dalam permasalahan karomah dan dakwaan-dakwaan mereka lainnya yang mereka ini menunjukkan kepada orang-orang awam berbagai kedustaan yang membuat hati orang awam ini mati.

Kelima :

Mereka menjadikan “karomah” sebagai syarat ataupun tanda sebuah kewalian, dan mengantarkan sikap pengagungan dalam hati terhadap orang diberikan karomah, dan melegitimasi, mengkultuskan dan menyetujui apa yang mereka katakan dan apa yang mereka perbuat.

Ibnu Taimiyah berkata : Kebanyakan manusia mengalami kerancuan dalam masalah ini, sehingga ia menyangka seorang tokoh tertentu adalah wali Allah, dan wali Allah tersebut dapat diterima seluruh perkataan maupun perbuatannya, walaupun bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, sehingga orang ini mengikuti tokoh tersebut dan menyelisihi apa yang Rasulullah diutus dengannya, padahal Allah telah mewajibkan kepada seluruh manusia agar membenarkan ajaran yang disampaikannya dan mentaati perintahnya, dan Allah juga telah menjadikan Rasulullah sebagai pembeda antara wali Allah dan musuh-musuhNya, antara penghuni surga dan penghuni neraka, dan antara orang-oarang yang bahagia dan yang celaka, barangsiapa yang mengikutinya maka ia adalah wali Allah yang bertakwa dan tentaranya yang berjaya, serta hamba-hambanya yang sholeh, dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka ia termasuk musuh-musuh Allah yang merugi dan pendosa. Sikap orang seperti ini (yang menyelisihi Allah dan rasulNya namun malah mengikuti tokoh ini) akan menjerumuskannya kedalam dua hal ini : yang pertama, kedalam bid’ah dan kesesatan, kedua, kedalam kekufuran dan kemunafikan, maka orang seperti ini layak mendapat ancaman dari firman Allah (yang artinya) :

“Dan (ingatlah) hari(ketika itu) orang-orang yang dzalim menggigit kedua tangannya(( menyesali perbuatannya)) seraya berkata “aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama rasul. Kecelakaan besarlah bagiku kiranya aku tidak menjadikan sifulan itu sebagai teman karibku. Sesungguhnya ia telah menyesatkan aku dari Al-qur’an ketika al-qu’an itu datang kepadaku, dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia (al-furqon 27-29 )

Ibnu taimiya melanjutkan : Segala orang yang dianggap wali Allah yang menyelisihi ajaran Rasulullah, dan ia diikuti dalam perbuatannya yang menyelisihi syariat itu, dan ia menetapkan bahwa dirinya adalah wali Allah, padahal seorang wali Allah itu tidak akan menyelisihi perintah Allah sedikitpun, seandainya orang ini termasuk diantara wali-wali Allah yang terkemuka, seperti para sahabat dan tabi’in (orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik), maka Allah tidak akan menerima amalan-amalan mereka yang menyelisihi al-Qur’an dan sunnah, lalu bagaimana halnya jika ia tidak termasuk wali Allah?

Anda akan menjumpai sebagian dari mereka yang pijakan mereka dalam meyakini bahwa ia adalah seorang wali adalah tersingkapnya kepada mereka perkara-perkara masa depan, atau kejadian-kejadian supranatural seperti menyantet orang hingga mati, atau ia mampu terbang di udara menuju kota mekkah atau tempat lainnya, atau kadang-kadang berjalan diatas air, memenuhi ceret dari udara, atau berbicara hal-hal gaib, atau dapat menghilang dari pandangan manusia, atau ketika seseorang memohon pertolongan kepadanya padaha ia tidak disitu atau bahkan telah mati kemudian pemohon tersebut melihatnya mendatanginya dan mengabulkan permohonannya, atau memberitahukan manusia tentang barang-barang mereka yang dicuri, keadaan orang yang tidak ada dihadapan mereka, atau orang yang sakit, dan berbagai perkara lainnya. Yang menunjukkan bahwa pelakunya merupakan wali Allah, padahal para wali Allah (yang sebenarnya) telah bersepakat dan mengatakan bahwa jika ada seseorang yang mampu terbang atau berjalan diatas air janganlah kita tertipu, sampai kita menyaksikan sejauh mana ia mengikuti sunnah Rasulullah, mengerjakan perintahnya dan menjauihi apa yang dilarangnya.

Karomah para wali Allah sesunggahnya lebih agung dari itu semua, ini adalah masalah supranatural, bisa saja pelakunya adalah seorang wali Allah atau bisa saja ia adalah musuh Allah, hal-hal tersebut bisa saja dimiliki oleh orang-orang kafir, orang musyrik, ahli kitab dan orang-orang munafik, dan bisa saja dimiliki oleh para ahli bid’ah bahkan oleh syaitan, maka tidak boleh menduga bahwa barangsiapa yang memiliki sebagian kemampuan tersebut sebagai wali Allah, namun hendaklah seorang wali Allah itu diakui dengan sejauh mana sifat, perbuatan maupun keadaannya yang lain yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka dapat dikenali berdasarkan cahaya iman dan al-Qur’an yang mereka miliki dan dengan hakikat keimanan yang ada dalam hati mereka serta syari’at-syari’at Allah yang mereka tampakkan.

Dan saya menukil perkataan diatas secara panjang lebar karena begitu berharga dan menyeluruh. Karena dalam masah ini yang terlarang bukanlah cerita tentang karomah-karomah, walaupun cerita tersebut dipenuhi dengan kemungkaran, akan tetapi yang terlarang adalah syariat-syariat, istighasah-isthigasah, ziarah-ziarah, pengkultusan, perayaan-perayaan, mimpi-mimpi, dongeng-dongeng yang dibangun dari karamah-karamah itu, mereka membesar-besarkan keanehan hal-hal tersebut dan menyibukkan manusia dengannya demi mempopulerkan kesyirikan-kesyirikan serta kebidahan-kebidahan yang mereka lakukan,

“Maka hati-hatilah kalian terhadap mereka.” (at-Thaghabun : 14)

Syaikh Ali Babakar – semoga Allah memberinya taufiq – dalam karya beliau ini memfokuskan pembicaraannya mengenai sejumlah cerita-cerita dusta, khurofat, propropaganda-propaganda sufi, dan kemungkaran-kemungkaran yang mereka nisbatkan atau mereka jiplak, atau riwayat-riwayat dengan sanad yang majhul. Beliau mebongkar itu semua, yang semua itu menunjukkan bahwa sikap beliau, saya yakini sejalan dengan perkataan ibnu jauzy : Seandainya cerita-cerita tersebut benar datang dari orang-orang shalih maka kita harus menolaknya jika tidak sejalan dengan “al-haq”, apalagi kalau hal tersebut hanya dusta belaka, maka kita harus memperingatkan manusia dari hal tersebut, dan sikap seperti ini berlaku kepada siapapun juga….Allah Maha Mengetahui bahwa ketika kami menjelaskan penyimpangan-penyimpangan tersebut semata-mata hanyalah untuk menyucikan syari’at, dan karena didorong oleh rasa cemburu terhadapnya dari berbagai bentuk pengkhianatan, bukan karena didorong oleh rasa benci kepada para pelaku penyimpangan tersebut, karena sesungguhnya kami melakukan ini semua dalam rangka memenuhi amanah ilmiah, para ulama senantiasa menerangkan kesalahan masing-masing mereka dengan tujuan menerangkan kebenaran dan bukan bertujuan menampakkan aib orang yang salah, dan perkataan orang bodoh yang mengatakan seperti ini tidak dianggap : “Bagaimana dia membantah fulan yang zuhud”. Karena tunduk itu adalah kepada syariat agama dan bukan tunduk kepada seseorang, bisa jadi seseorang itu termasuk dari kalangan para wali Allah dan calon penghuni surga namun ia mempunyai kesalahan-kesalahan, maka keadaannya itu tidak menghalangi untuk dijelaskan ketergelincirannya …..dst.

Banyaknya orang-orang yang berkeyakinan salah seperti ini bukanlah hal penting bagi pengarang kitab ini, – menurut dugaan saya – namun tujuan pengarang kitab ini hanyalah menyingkap penyimpangan mereka, serta menunjukkan kebatilan mereka kepada orang-orang yang mempunyai fitrah yang lurus dan akal yang sehat, yang tertipu dengan ucapan dan hiasan kata-kata mereka, adapun mereka itu adalah seperti apa yang di hikayatkan oleh Ibnul Jauzi tentang syaikh mereka al-Qusyairi, yang berkata : “Hujjah-hujjah sufisme lebih nyata dari hujjah siapapun, dan kaidah-kaidah madzhab mereka lebih kuat dari kaidah-kaidah madzhab manapun, karena manusia itu bisa jadi ia pengikut al-Qur’an dan sunnah atau sebagai pendewa akal pikiran, para syaikh dari golongan sufiyah lebih tinggi derajatnya dari apa yang telah disebutkan ini.”
Mereka itu tidak berakal, dan tidak mempunyai dasar, bagaimana mungkin petunjuk diharapkan dari orang yang menyingkapkan keadaannya dengan perkataannya yang jelek, semoga Allah menjaga syariat ini dari kejelekan kelompok ini.

Barangsiapa yang mengharapkan keselamatan hari esok dan berkumpul bersama para imam yang memperoleh petunjuk dan selamat dari jalan yang sesat, maka ia harus berpegang pada kitabullah, mengamalkannya, dan hendaknya mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya, dan dan hendaknya melihat ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, dan janganlah ia membenci ajarannya baik melalui ucapan maupun perbuatan, dan hendaknya ia menjadikan segala ibadah dan kesungguhannya di atas sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, dan berperilaku dengan akhlak mereka, dan sesantiasa semangat untuk berjumpa dengan mereka, karena sesungguhnya jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang lurus, yang Allah mengajarkan kita untuk memohon jalan yang lurus ini, dan menjadikan sholat kita berisikan permintaan terhadapnya, Allah berfirman

” Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang yang telah engkau beri ni’mat atas mereka, bukan jalannya orang orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan orang orang yang tersesat. Amin (Al-fatihah 6-7)

Barangsiapa yang meragukan bahwa Rasulullah berada diatas jalan yang lurus, sungguh ia telah keluar dari agama ini dan keluar dari jama’ah kaum muslimin. Dan barangsiapa yang mengetahui hal tersebut dan meyakininya serta ridho terhadap Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagi nabinya, dan ia mengetahui bahwasanya Allah telah memerintahkan kita untuk mengikuti nabi-Nya, melalui firmanNya

“Ikutilah ia (Muhammad) niscaya kalian akan memperoleh petunjuk (Al-a’raf 158 ),

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut.

Dan sabda Nabi (yangartinya) :

“Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin sepeninggalku, gigitlah sunnah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama), karena hal itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah tempatnya di neraka”

Dan sabda beliau (yang artinya) :

Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah perkara baru (dalam agama)

Lalu bagaimana halnya dengan orang yang menoleh ke kanan dan ke kiri dari jalan Nabi, dan berpaling darinya setahap-setahap, dan mencari jalan penyampai kepada Allah dengan selain jalan Nabi, dan mengharap ridha Allah dengan menempuh selain jalannya?

Apakah dia melihat jalan yang lebih memberi petunjuk dari Jalan Nabi? Dan mengikuti petunjuk manusia yang lebih mulia dari Rasulullah?

Sekali-kali tidak, ia tidak akan mendapatkan selain jalan Allah kecuali jalan syaitan, dan ia tidak akan sampai tanpa jalan Allah melainkan akan mendapatkan kemurkaan Allah, Allah berfirman :

“Dan inilah jalan-Ku yang lurus ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (al-An’am : 153)

Dan diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau menggaris garis yang lurus, lalu bersabda : inilah jalan Allah. Dan beliau menggaris garis yang lain, dan bersabda :

Ini adalah jalan-jalan syaitan, setiap jalan itu ada syaitan yang menyeru untuk menempuhnya, barangsiapa memenuhi seruan syaitan untuk menempuh jalan itu, maka akan dilemparkan kedalam api neraka. (HR Ahmad dan Nasai)

Nabi memberitahukan bahwa selain jalan Allah adalah jalan-jalan syaitan, barangsiapa menempuhnya maka akan dilemparkan dalam api neraka, adapun jalan Allah yang telah ditempuh Nabi dan para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat, Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha pada Allah, dan Allah sediakan bagi mereka surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan itulah kemenangan yang besar, maka barangsiapa menempuhnya pasti bahagia, dan barangsiapa meninggalkannya pasti akan jauh.

Dan jalan Rasulullah, beserta sunnah, ahklak, sejarah beliau, beserta ibadah-ibadah dan keadaan beliau sudah mashur d kalangan ulama, nampak jelas bagi orang yang cinta untuk mengikuti dan menempuh manhaj beliau, dan kebenaran itu jelas bagi orang yang menghendaki petunjuk dan keselamatannya :

“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (al-Kahfi : 17) (Kitab “Fi dzammi ma a’lanahu ahlut tashawwuf” hal 18-21)

Dan pengarang kitab ini – semoga Allah memberi petunjuk kepadanya – meminta kepada kami al-fakir untuk menulis muqaddimah ini lantaran kencintaannya kepada ahli bait, dan kecemburuannya atas mereka karena kebatilan, kebid’ahan dan khurafat telah tersebar dengan nama mereka, sekaligus lantaran keinginannya untuk menjelaskan hakikat kedudukan mereka di tengah banyaknya keyakinan-keyakinan, ucapan-ucapan serta garis keturunan yang ada.

Ya Allah perlihatkanlah yang haq itu berupa yang haq dan berilah kami rezki untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah yang batil itu batil dan berilah kami rezki untuk menjauhinya, dan janganlah kebatilan itu menyelubungi kami sehingga kami tersesat

Dan semoga shalawat, salam serta barakah tercurahkan kepada Muhammad bin Abdillah, keluarga, sahabat dan siapa yang menolongnya.

Shaleh bin Bakhit bin Salim Maula Dawilah
26/1/1424 H

(bersambung Insya Allah)

Rujukan:
Adz-Dzakhirah edisi 17 & 18

Sumber: Salafindo.com

http://abusalma.wordpress.com/2007/06/13/membongkar-kedok-sufisme-di-hadramaut/

TAUHID PENGHAPUS DOSA



Sesungguhnya diantara keutamaan tauhid yang sangat agung, yaitu kedudukannya sebagai penghapus dosa. Penjelasan mengenai keutamaan ini dijelaskan dalam beberapa poin berikut ini, insya Allahu Ta’ala.

Jangan Mencampur Keimananmu dengan Kezhaliman!

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An ‘am : 82)

Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa ketika turunnya ayat ini, para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang tidak pernah berbuat zhalim?” Maka beliau menjawab, “Maksud ayat ini bukanlah seperti yang kalian katakan, akan tetapi yang dimaksud dengan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anak-anaknya, ‘Wahai anak-anakku, janganlah kalian mempersekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar’?”

Lantas apa makna “keamanan” dalam ayat di atas? Jawabannya tergantung dari jenis kezhaliman yang diperbuat oleh manusia. Perbuatan zhalim terbagi menjadi tiga jenis :

1. Kezhaliman yang paling besar, yaitu syirik.

2. Kezhaliman manusia pada dirinya sendiri, yaitu dengan tidak memberikan hak bagi tubuhnya. Misalnya berpuasa namun tidak berbuka, atau shalat semalam suntuk tanpa tidur, termasuk juga bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

3. Kezhaliman manusia kepada manusia lainnya. Misalnya membunuh, mengambil harta saudaranya tanpa hak, dan sebagainya.

Maka barangsiapa yang terjatuh dalam perbuatan syirik, hilanglah baginya keamanan secara muthlaq, yaitu terbebas dari kekalnya adzab di neraka. Pelakunya, jika belum bertaubat, akan kekal diadzab di neraka dan tidak akan pernah merasakan manisnya surga. Adapun barangsiapa yang terjatuh ke dalam perbuatan zhalim kepada diri sendiri atau orang lain, namun selamat dari perbuatan syirik, maka baginya keamanan dalam artian ia tetap diadzab sesuai kadar kezhaliman yang diperbuat, akan tetapi terbebas dari kekalnya adzab neraka. Bahkan, jika Allah berkehendak, akan diampuni dosa-dosanya.

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’ : 116)

Ucapkan “Laa Ilaaha Illallah” dengan Ikhlas, dan Bagimu Surga!

Dari shahabat Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah kalimat ‘laa ilaaha illallaah’, masuk surga”

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan RasulNya, dan bahwa Isa adalah hamba dan RasulNya, dan kalimatNya yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dari padaNya, dan surga adalah haq, neraka juga haq, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, betapapun amal yang telah diperbuatnya”

Sebagian kaum muslimin memahami hadits di atas secara muthlaq, yaitu siapa saja yang hingga akhir hayatnya “berhasil” mengucapkan kalimat tauhid, atau sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Tidak peduli seburuk apapun amalan yang telah ia kerjakan, bahkan terjatuh dalam dosa syirik sekalipun.

Padahal dalam hadits yang semakna dengan ini, disebutkan bahwa salah satu syarat yang mengikat janji surga tersebut, adalah ikhlas. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari shahabat ‘Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah”

Maka pemaknaan hadits-hadits yang berlaku muthlaq seperti dalam hadits pertama dan kedua, haruslah dibawa ke dalam makna yang muqayyad, yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan penghalang-penghalang yang harus dinafikan. Salah satu syaratnya, berdasarkan hadits ‘Itban, adalah diamalkan dalam bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala semata, dan tidak berbuat syirik kepada selain-Nya. Sungguh indah perkataan Wahb bin Munabbih ketika ditanya, “Bukankah laa ilaaha illallaah adalah kunci surga?”, maka beliau menjawab, “Ya, akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang bergerigi tersebut, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.”

Seputar Hadits Bithaqah

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat. Ketika itu dibentangkan 99 gulungan (dosa) miliknya. Setiap gulungan dosa panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman, ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah menganiayamu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabbku’. Allah bertanya, ‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?’ Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Allah berfirman, ‘Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun’. Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’. Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’. Dia berkata, ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?’ Allah berfirman, ‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya’. Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah”.

Lantas apakah fenomena masuk surga dengan sebab bithaqah (kartu) ini berlaku bagi setiap orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah? Pertama, hendaklah diingat bahwa dhahir hadits ini digunakan kata “rojulun”, bentuk tunggal yang menunjukkan makna “seorang”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini hanya berlaku untuk satu orang saja. Kedua, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh, keutamaan ini tidaklah didapat melainkan oleh seseorang yang kadar tauhid dalam hatinya sangat besar, demikian pula dengan rasa cintanya kepada Allah Jalla wa ‘Alla dan RasulNya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ikhlas kepada Allah, bertauhid baik dalam rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (peribadahan), dan asma’ wa shifat (nama-nama dan sifat-sifatNya).

Tiga Golongan Manusia

Berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menyimpulkan bahwa manusia dibagi dalam tiga golongan, yaitu :

1. Mereka yang mentahqiq tauhid, yaitu bersih dari syirik, baik syirik akbar maupun ashghar, segala bentuk kemaksiatan dan dosa, baik dosa besar maupun kecil (yaitu terhapus dengan taubat nasuha –pen), dan beramal shalih sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Jalla wa ‘Alla. Mereka ini tergolong dalam orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab, dan berjumlah 70.000 dari ummat ini. Inilah medan juang bagi setiap manusia, dan hendaklah masing-masing berupaya meraih keutamaan ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq pada kita.

2. Mereka yang beramal dengan tauhid, namun mereka bercampur antara amalan shalih dan amalan buruk. Mereka ini terbagi lagi ke dalam golongan sebagai berikut :

a. Golongan yang bertaubat kepada Allah, mereka akan menjadi sebagaimana golongan pertama

b. Golongan yang bertemu Allah dengan membawa dosa-dosa besar namun tanpa diiringi taubat, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni bagi siapa saja yang Ia kehendaki, dan mengadzab siapa saja yang Ia kehendaki (lihat QS. An Nisa’ : 116 -pen). Apabila Allah berkehendak mengadzab mereka, yang dimaksud bukanlah adzab neraka secara kekal. Melainkan sesuai dengan kadar dosa yang telah mereka perbuat.

c. Golongan yang amal buruknya lebih banyak apabila ditimbang, akan tetapi amalan tauhidnya mengalahkan timbangan amal buruk, dan inilah keutamaan dari Allah Jalla wa ‘Alla

3. Seseorang yang datang dengan membawa kadar tauhid yang besar, namun ia membawa berbagai dosa dan kesalahan. Maka kondisinya adalah seperti yang terdapat dalam hadits bithaqah. . Adapun apabila kadar tauhidnya lemah, maka ia tetap akan dimasukkan ke dalam neraka.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Putschy posted on Jalan yang Lurus


source :

http://yhougam.wordpress.com/2011/01/20/tauhid-penghapus-dosa/



Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.

Ketika itu dibentangkan 99 gulungan (dosa) miliknya. Setiap gulungan dosa panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman,
...
‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah menganiayamu?’

Dia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabbku’. Allah bertanya,

‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?’

Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Allah berfirman,

‘Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun’.

Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’. Lalu Allah berfirman,

‘Datangkan timbanganmu’.

Dia berkata, ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?’ Allah berfirman,

‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya’.

Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat.

Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.”

(HR. Tirmidzi, shahih)

source : Jalan yang Lurus

Makna Tauhid

Tauhid secara istilah adalah beriman dengan wujud Allah dan meng – Esakan – Nya dalam hal rububiyah ( perbuatan ) dan uluhiyah ( ibadah ) dan beriman dengan semua nama – nama dan sifat – sifat – Nya. [1]

Pembagian Tauhid

Asy Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan2hafidzahullah menyatakan ( dalam kitab beliau3 ),”Dan dibagilah ( tauhid ) menjadi tiga melalui hasil penelitian ( para ulama ) dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam, dan ini adalah hasil penelitian dari mahdzab Ahlusunnah Wal Jamaah. Maka barangsiapa yang menambahkannya menjadi empat atau lima, hal tersebut adalah tambahan – tambahan belaka. Dan sesungguhnya para ulama telah membagi tauhid ini menjadi tiga pembagian dari Kitab ( Al Qur`an ) dan Sunnah. Semua ayat – ayat dari Al Qur`an dan As Sunnah tentang masalah aqidah, tidaklah lepas dari pembagian tauhid yang tiga ini.

1. Tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan Allah dan meng – Esakan ( Allah ) dalam semua perbuatan – Nya, seperti mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan.

2. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah

Uluhiyah bermakna ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ( motif ) rasa cinta, rasa takut, dan rasa harap kepada – Nya, mentaati perintah – Nya dan menjauhi semua larangan – Nya.

3. Tauhid Asma wa Ash Shifat adalah menetapkan semua ( nama dan sifat ) yang Allah telah tetapkan bagi diri – Nya sendiri atau nama dan sifat yang Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam tetapkan / kabarkan.

Jalan yang Lurus
 

again..99 gulungn amal..

‘Abdullâh bin ‘Amr radhiyallâhu'anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pernah bersabda:

“Sesungguhnya Allâh akan menyendirikan seorang dari umatku
(untuk dihadapkan) di depan semua makhluk pada hari Kiamat.
Lalu Allâh menghamparkan sembilan puluh sembilan lembaran (catatan amal) miliknya.

Setiap lembaran seperti sejauh mata memandang.

Kemudian Allâh berfirman:
“Apakah kamu mengingkarinya? Apakah malaikat pencatat amalan menzhalimimu”.

Maka ia pun menjawab: “Tidak wahai Rabbku”.

Lalu Allâh berfirman lagi: “Apakah kamu memiliki udzur?”

Ia menjawab: “Tidak ada wahai Rabb”.

Lalu Allâh berfirman: “(Yang benar) ada, sesungguhnya kamu
memiliki kebaikan di sisi Kami,
tidak ada kezhaliman atasmu pada hari ini”.

Lalu dikeluarkan satu kartu berisi syahadatain.

Kemudian Allâh berfirman: “Masukanlah dalam timbangan!”

Ia pun berkata: “Wahai Rabbku apa gunanya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran itu?”

Maka Allâh berfirman: “Sungguh kamu tidak akan dizhalimi”.

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut diletakkan dalam satu anak timbangan dan kartu tersebut di anak timbangan yang lain.

Ternyata lembaran-lembaran terangkat tinggi dan kartu tersebut lebih berat.
Maka tidak ada satu pun yang lebih berat dari nama Allâh”.

HR at-Tirmidzi kitab Iman bâb Mâ Jâ‘a Fîman Yamûtu Wahuwa Yasyhadu An Lâ Ilâha Illallâh dan dishahîhkan al-Albâni dengan no. 2639

source : Ukhti Beebah Ahmed -Hafizhahallah-

^^GULUNGAN DOSA^^

Bismillah,

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.

Ketika itu dibentangkan 99 gulungan (dosa) miliknya. Setiap gulungan dosa panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman,

‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah menganiayamu?’

Dia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabbku’. Allah bertanya,

‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?’

Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Allah berfirman,

‘Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun’.

Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’. Lalu Allah berfirman,

‘Datangkan timbanganmu’.

Dia berkata, ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?’ Allah berfirman,

‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya’.

Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat.

Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.”

(HR. Tirmidzi, shahih)
__________________________________________


Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya,

“orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS.al-An‘am :82)

--> ketika ayat ini turun,

para Shahabat (radhiyallahu anhum-pen) bertanya,

“wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang tidak pernah berbuat zalim?”

Beliau menjawab,

“Maksud ayat ini bukanlah seperti yang kalian katakan, akan tetapi yang dimaksud dengan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya, ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar’?”

(HR. Bukhari)

Allah subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“sesungguhnya Allah TIDAK mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’ : 116)

intinya..

TAUHID !

insyaAllah, Allah subhanahu wa Ta'ala akan mengampuni sebanyak apapun dosa2 kita, asal kita tidak 'mempersekutukan'-Nya,

dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan RasulNya, dan bahwa Isa adalah hamba dan RasulNya, dan kalimatNya yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dari padaNya, dan surga adalah haq, neraka juga haq, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, betapapun amal yang telah diperbuatnya”

(HR. Bukhari dan Muslim)

semoga kita menjadi hamba2 yang tetap 'berdiri' diatas TAUHID yang murni dan meninggal tidak dalam keadaan 'mempersekutukan' Nya

Kewajiban awal bagi setiap mukallaf adalah bersaksi LAA ILAAHA ILLALLAH (tidak ada ILLAH yang berhak disembah kecuali Allah), serta MENGAMALKANNYA..

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yg berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu...".

[Qs. Muhammad :19]

itu aja dari aku,

subhaanakallaahumma wabihamdika asyadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa'atuubu ilaika

wassalamu'alaykum wa rahmatullaahi wa baarakaatuh

semoga bermanfaat
 
 
 

^13 GOLONGAN FAHAM SESAT BERATAS NAMA TASAWUF (SUFI)^




Kutipan dari kitab “Tuhfah Al-Raghibin Fi Bayan Haqiqatu Iman Al-Mu’minin” oleh ‘Alim Al-Fadhil Muhammad Arshad

Perkataan tasawuf dan ahli sufi sering kita dengar di masyarakat, akan tetapi bagaimana mengenal ahli taswauf/sufi yang sebenarnya? Kita tidak tahu. Oleh sebab itu kita lihat banyak orang terjebak dengan ajaran sesat yang berlindung dibalik nama tasawuf atau ahli sufi.

Ajaran sesat yang berlindung dibalik nama tasawuf ini telah timbul sebelum Imam Al-Ghazali. Sejak agama Islam tersebar luas keseluruh pelosok dunia dan bukan saja disekitar negara arab tapi mencakupi disekitar Roma dan Persia. berbagai budaya telah menyerap masuk kedalam Islam. Hasilnya juga faham yang berasal dari budaya lain telah menyerap masuk kedalam masyarakat Islam. Kesempatan inilah yang telah diambil oleh musuh Islam untuk merusak Islam dengan orang Islam sendiri.

Dalam kitab “Tuhfah Al-Raghibin Fi Bayan Haqiqatu Iman Al-Mu’minin” oleh ‘Alim Al-Fadhil Muhmammad Arshad telah menyatakan terdapat tiga belas golongan faham sesat yang berlindung dibalik nama sufi atau ahli tasawuf. Golongan ini layak digelar sebagai kafir atau fasiq. Kerana ajaran-ajaran mereka bertentangan dengan ajaran Islam yang berpandukan Al-Quran dan sunnah Rasulullah s.a.w. Golongan tersebut ialah:

Pertama: Habibiyyah, :

1. Apabila seseorang itu telah sampai kepada martabat kasih kepada Allah, maka terlepas dari taklif syara’. Segala yang haram menjadi halal . Sholat fardu, puasa dan sebagainya adalah tidak harus bagi mereka untuk mengerjakannya .
2. Golongan mereka tidak perlu menutup aurat.
3. Apabila samPAI ketahap yang paling tinggi sekali kasih kepada Allah segala dosa besar seperti zina, minum arak dan sebagainya boleh dilakukan dan tidak mendapat azab daripada Allah.
4. Segala ibadat zahir tidak perlu dilakukan dan mereka hanya perlu bertafakkur saja untuk beribadat.
5. Harus bagi mereka untuk bersetubuh dengan segala perempuan.
6. Segala harta didunia ini adalah milik anak Adam. Dan kita semua adalah dari keturunan anak Adam, jadi kita berhak segala harta yang berada di muka bumi ini.

Kedua: Auliyaiyyah, :

Apabila seseorang itu sampai kepada darjat wilayah, mereka bebas dari segala perintah dan larangan dan martabat wali lebih mulia dari martabat nabi.

Ketiga: Thamrakhiyyah.

Golongan ini antara lain, bahwa tidak lagi terikat dengan perintah dan larangan Allah. Golongan ini mengharuskan menyanyi dan segala alat musik. Mereka diharuskan untuk berzina dan sebagainya. Golongan ini diasaskan oleh Abdullah Thamrakhiyyah.

Keempat: Ibahiyyah, :

1. Kita tidak perlu melakukan kerja-kerja mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran kerana kita sendiri tidak mampu melakukan kerja-kerja tersebut apalagi untuk mengajak orang lain.
2. Golongan ini mengharuskan zina dan tidak berdosa.

Kelima: Haliyah.

1. Diharuskan menari dan bertepuk tangan sambil menyanyi sehingga pingsan.
2. Kata mereka bahwa “Sheikh kami berada dalam suatu hal”.

Keenam: Huriyyah.

Iktiqad golongan ini hampir sama dengan iktiqad golongan Haliyah, cuma mereka menambah waktu pingsan ketika menyanyi, ketika itu seolah merasa didatangi oleh bidadari daripada syurga lalu kami jima’ dengan mereka dan setelah sadar kami mandi junub.

Ketujuh: Waqi’iyyah.

Iktiqad golongan ini ialah bahwa kita tidak perlu kenal Allah Taala. Ini karena kita ini lemah sebagai seorang hamba. Jadi kita tidak perlu mengenal Allah.

Kelapan: Mutajahiliyyah/Mutahalliyyah.

Golongan ini memakai pakaian-pakaian yang bagus dan melakukan pekerjaan fasiq. Antara kata mereka bahwa: Kami tidak dapat lari dari melakukan zina.

Kesembilan: Mutakasilah.

Golongan ini malas bekerja. Kerja mereka hanyalah meminta-minta atas nama zakat atau sedekah.

Kesepuluh: Ilhamiyyah.

Iktiqad golongan ini sama seperti al-Dahriyyah. Golongan ini malas belajar dan membaca Al-Quran. Dalam pandangan mereka, Al-Quran itu hanya merupakan hijab untuk mengenal Allah. Karana itu mereka hanya mempelajari syair-syair dan kata hikmah saja sebagai tarikat mereka.

Kesebelas: Hululiyyah.:

1. Bahwa setiap makhluk bersatu dengan Allah Taala.
2. Harus kita memandang kepada perempuan yang cantik dan boleh menari dan memeluknya. Kerana sifat cantik itu adalah sifat Allah yang dianugerahkan kepada kita semua.
3. Apabila seseorang itu hilang dari hawa nafsu dan ikhlas kepada Allah, maka gugurlah segala amal syariat. Segala ibadah seperti sembahyang, puasa, zakat dan sebagainya.

Keduabelas: Kaum Wujudiyyah.

Iktiqad golongan ini berdasarkan kepada tafsir kalimah “La Ilaha IllaLlah” iaitu: Tidak wujud melainkan wujud Allah. Dan pandangan mereka bahwa tidak maujud melainkan dalam kandungan ujud segala makhluk. yaitu setiap makhluk terdapat wujud Allah. Allah dan makhluk adalah dari satu jenis dan sebangsa. Golongan ini juga beriktiqad bahwa tuhan memiliki ruang dan waktu.

Ketigabelas: Mujassimah. Iktiqad golongan ini ialah:

1. Allah mempunyai anggota seperti tangan, kaki, berdaging dan sebagainya.
2. Allah Taala itu berupa tetapi tidak tahu bagaimana rupanya.
3. Allah Taala bergerak naik atau turun. Dan tempat kediaman Allah Ta'ala ialah diatas ‘Arash.

Itulah antara faham-faham yang tersebar dikalangan umat Islam sejak dahulu. Faham-faham ini tersebar dari satu generasi ke satu generasi sehingga sampai kehari ini. Faham ini mendapat pengaruh umat Islam di seluruh dunia. Oleh itu kita harus benar-benar bisa melihat dan menyeleksi faham-faham seperti ini.

Coba saudara nilai sendiri, ajaran sai baba(Bhagavan Sri Sathya Sai Baba) dari india itu masuk ke golongan mana? Karena sai baba dari india itu konon katanya Inkarnasi Sai Baba dari Shirdi seorang mistikus sufi sesat..

posted AL-FIRQAH AN-NAJIYAH (Jalan Golongan Yang Selamat)

semoga bermanfaat



^AKU ADALAH ALLAH, TUHANMU! (PENGAKUAN JIN SUFI)^

Diposting oleh Team Ihya As-Sunnah di 1:46 AM

Marak sekali wirid-wirid bid’ah yang tidak ada dalil dari Hadits dan Al Qur’an sekarang beredar. Bahkan perguruan beladiri yang memakai tenaga dalam dengan merapal wirid-wirid tertentu. Kadang berbahasa Arab, bahkan tak pelak kata Allah sering disangkut pautkan kedalam wirid-wirid mereka. Ini sebuah kisah nyata, seorang anak muda yang "katanya" sudah memiliki ilmu paling tinggi dalam Thariqah.

Pada suatu kali datang di ruqyah massal, niatnya sih baik. Yaitu mau ikut membantu para peruqyah untuk menyembuhkan orang-orang yang sedang terganggu oleh para Jin Jahil. Saat sesi taujih (ceramah/nasehat) semuanya duduk diam mendengarkan seorang ustad yang memberikan taujih tentang dunia para jin. Dan tentang orang-orang yang diganggu jin. "Jangan menganggap orang yang tidak shalat saja yang terganggu oleh Jin. Bahkan orang-orang yang biasanya memakai wirid atau dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah apalagi niatnya juga salah, mereka malah yang lebih mudah diganggu oleh Jin". Tetapi pemuda tersebut kayaknya tidak ingin mendengarkan taujih yang di sampaikan ustad yang sedang mengisi taujih. Saya diajak berbincang-bincang terus oleh pemuda itu. Mulai dari macam-macam thariqah, ilmu laduni, dan banyak hal. Dia menjelaskan layaknya seorang ustad!

Ketika sudah memasuki sesi terapi ruqyah. Suara seorang ustad menggelegar di microphone "HAI KALIAN JIN-JIN JAHIL YANG SEDANG MENGANGGU MANUSIA, DEMI ALLAH. PERGILAH, SEBELUM KAMI BACAKAN AYAT-AYAT ALLAH YANG AKAN MEMBAKAR KALIAN" Beberapa orang langsung sedikit bereaksi. Macam-macam reaksinya, ada yang ngomel-ngomel, ada yang bernyanyi, dan yang paling "menggelikan" si Ustad thariqah disamping saya ini tangannya langsung gemetar, dan matanya melotot tajam kearah peruqyah. Saya yang ada disampingnya sudah merasa kalau pemuda ini sudah mulai bereaksi, tetapi saya diamkan saja. Menunggu sampai ustad yang meruqyah didepan untuk membacakan ayat-ayat Allah.

Tak pelak ketika sudah dibacakan ayat-ayat Allah, pemuda ini langsung berdiri sambil berteriak "SAMPEYAN NANTANG AKU (KAMU MENANTANG SAYA)". Saya sendiri kaget. Tidak seberapa lama, si Pemuda itu berteriak sambil merapal do’a-do’a Arab. Saya nggak tahu itu do’a apa karena belum pernah mendengarnya. Langsung saja saya dekap pemuda itu, beberapa teman-teman peruqyah juga mendekapnya. Setelah kami telentangkan, kami membacakan ayat ayat Allah. Dan dia juga merapalkan wirid-wiridnya. Tapi anehnya, kalau wirid itu benar dari Rasulullah kenapa dia harus merasakan kepanasan saat kami membacakan ayat-ayat Allah. Saya dan beberapa teman-teman peruqyah mengintensifkan kepada si pemuda itu, dan beberapa peruqyah yang lain memfokuskan kepada peserta yang lain.

Setelah jin yang ada ditubuh si pemuda itu tenang, kami menanyakan siapa dia. Apa alasan dia masuk kedalam tubuh si pemuda itu "Aku Allah, aku yang menguasai langit dan bumi. Dan pemuda ini yang aku pilih karena dia terus memanggilku" ucapnya sambil menatap tajam. "Mana mungkin kamu Allah, lah wong dibacakan ayat-ayat Allah saja kamu kepanasan" ucap salah satu peruqyah. "Aku Allah, Tuhanmu" itu yang hanya terucap oleh si Jin. "Yo wes, terserah kamu. Pokoknya sekarang kamu keluar dari tubuh ini" perintah peruqyah. "Gak, aku nggak gelem metu teko awak’e arek iki (Tidak, aku tidak mau keluar dari tubuh anak ini)". "Kalau kamu nggak keluar, tak bacakan lagi ayat-ayat Allah biar tubuhmu kepanasan dan mati!" perintah si peruqyah lagi.

Akhirnya dibacakan lagi ayat-ayat Allah. Dan jin yang berada dipemuda itu terlihat menggelepar-gelepar. Berteriak-teriak tidak karuan, dan akhirnya si pemuda lemas, pingsan. Tidak seberapa lama si pemuda sadar, dan kami-pun bertanya tentang beberapa hal. Pemuda itu menjelaskan hikmah tentang amalan-amalannya, tentang wirid-wiridnya, bahwa itu semua dari kyai thariqahnya. Setelah kami menjelaskan tentang wirid-wirid yang tidak sesuai dengan Rasulullah, si pemuda ini tetap keukeuh kalau wirid-wiridnya itu bagus. Bahkan masih tetap menceramahi kami, tim peruqyah!

Yah manusia memang seperti itu, ketika dijelaskan tentang kesalahannya mereka tidak akan mau menerima kesalahannya. Kecuali orang-orang yang beriman yang selalu memperbaiki dirinya dengan meminta diingatkan atas kesalahan-kesalahannya.

Kita, Mau milih yang mana? Terserah deh mau milih yang mana, pokoknya siap-siap menerima segala apa yang kita pilih sajalah.

source :

http://www.facebook.com/groups/132093920201459?view=permalink&id=150368711707313


TAREKAT-TAREKAT SUFI DAN WIRID-WIRIDNYA

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Bufiuts Al-'Ilmiyah Wal lfta ditanya : Bagaimana hukum tarekat-tarekat sufi dan wirid-wirid yang mereka susun dan mereka dengungkan sebelum shalat Shubuh dan se
telah shalat Maghrib. Apa pula hukum orang yang mengaku bahwa ia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dengan mengu-capkan, 'semoga kesejahteraan diliimpahkan atasmu wahai matanya semua mata dan ruhnya semua ruh.'?

Jawaban:
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada RasulNya, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba 'du,

Tarekat-tarekat dan wirid-wirid yang anda sebutkan itu adalah bid'ah, di antaranya adalah Tarekat Tijaniyah dan Kitaniyah. Dari wirid-wirid mereka itu tidak ada yang disyari'atkan kecuali yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.

Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan ini, bahwa ada seseorang yang menganut faham Kitani lalu ia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan inderanya dalam keadaan jaga dan mengatakan, 'semoga kesejahteraan dilimpahkan atasmu wahai matanya semua mata .. dst.' adalah suatu kebatilan yang tidak ada asalnya. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan pernah terlihat oleh seseorang dalam keadaan terjaga (tidak dalam keadaan tidur) setelah beliau wafat, dan beliau tidak akan keluar dari kuburnya kecuali pada Hari Kiamat nanti, sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di Hari Kiamat. " [Al-Mukminun: 15-16]

Dan sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan yang pertama kali dibukakan kuburnya. [2]

Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta', 2/184]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Ada bab tersendiri yang membahas tentang tijaniyah dan bid'ah-bid'ahnya. Sebaiknya merujuk fatwa Lajnah Da'imah mengenai hal ini.
[2]. Imam Muslim meriwayatkan seperti itu dalam Al-Fadha'il(2278)..
 
***
 
 


Membujang Ala Sufi

Written by Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
Tuesday, 05 April 2011 08:04


Membujang Ala Sufi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak)



Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah l. Benarkah?



Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah l adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah l berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah l yang agung. Allah l syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga….” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)

Bahkan Allah l menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah l berfirman:

“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n berkata:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”

Ibnu ‘Abbas c berkata kepada Sa’id bin Jubair t: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya)

Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)

Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah l. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n berkata:

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ

“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)

Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah l menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya. Allah l berfirman:

“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)



Tabattul ala Shufiyah (Sufi)

Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah l. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.

Al-Imam Ahmad t berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah t)

Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah n dan bertanya tentang ibadah beliau n. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada beliau n, beliau n berkata:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam t berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah l dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah l telah berfirman:

“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah t dinukil dari Taudhihul Ahkam]

Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi t menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi t)



Dalil-dalil yang Melarang Tabattul

Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash z berkata:

رَدَّ رَسُولُ اللهِ n عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

“Rasulullah n menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Anas bin Malik z berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)



Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat

Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil t ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau t berkata:

“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah l halalkan berupa menikah –padahal menikah merupakan sunnah para rasul–. Allah l berfirman dalam kitab-Nya:

“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)

Nabi kita n berkata:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”

Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi n. Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi n datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:

أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah l dan paling bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas jalanku.”

Rabbul ‘Izzah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)

Allah l berfirman dalam Al-Qur`an:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)

Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.

Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah l untuk meng-qishash-ku.” Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.

Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual) dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya membaca ayat Allah k:

“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)

Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita....” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)

Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah l berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)

Ketahuilah, di antara sebab kesesatan manusia adalah ketika bersandar kepada akal dan perasaannya semata dalam beragama, seperti apa yang menimpa kaum Shufiyah. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan taufiq sampai akhir hayat kita.


sumber : http://www.asysyariah.com/syariah/akidah/212-membujang-ala-sufi-akidah-edisi-39.html

posted AL-FIRQAH AN-NAJIYAH (Jalan Golongan Yang Selamat)

semoga bermanfaat

Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab






by Al-Akhi Umar Al Mukhtar -Hafizhahullah- on Tuesday, September 11, 2012 at 7:48pm

Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab
 

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, 


Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.
 

Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden,

Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar. mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan

Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)

Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan

"Sunda Wiwitan"

Dua Pendekatan dakwah para wali.

1. Pendekatan Sosial Budaya

2. Pendekatan aqidah Salaf

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina"

(itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga).

Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena

Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi)

[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag,

Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam
 

hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]

Nasehat Sunan Bonang

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:

“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.

Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.

[2]

[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di

Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis

Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers

tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.

[2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926

mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang 'aneh' asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum'at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)". (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA

TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :

Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :

Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya

MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

KETERANGAN :

Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:

MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :

“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan

TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH

, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN ORANG-ORANG BODOH "

(yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
 

Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh

KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah

Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni

Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166

Seperti terlampir di bawah ini :

وقد أرسل الامام الشافعي - رضي الله عنه - إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة * * من الخلود، ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.

وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر الكفر.

وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت، وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.

(وصورتهما).

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران أهله - أي الميت - تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.

ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة

- كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.

اه.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.

اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر

، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.

كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان - مفتي الشافعية بمكة المحمية - غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم، يثاب والي الامر - ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده - على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.

قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل جعفر

طعاما

(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.

ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت

، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة - كان الله لهما حامدا مصليا مسلما

Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi di atas, di dalam Kitab I'anatut Thalibin :

1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk

Bid'ah Mungkar, yang bagi orang (ulil amri) yang melarangnya akan diberi pahala.

2. Dan apa yang telah menjadi
kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid'ah yang dibenci.

3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid'ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.

4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari'atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid'ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah"

5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.

Hasil kutipan halaman kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166

Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad, sepakat mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan Kematian) adalah perkara bid'ah, dan harus ditinggalkan

Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak,
Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?
Jarir menjawab: Ya
Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap".

(al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier)
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepada kami, Waki' bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah".

Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien

(Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: "al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid'ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong

Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286) 


source