Follow us on:
CARA MENJAWAB TITIPAN SALAM


by A-Ustadz Abu Asma Andre -hafizhahullah- on Tuesday, February 14, 2012 at 9:06pm

Cara Menjawab Salam Kepada Orang yang Menyampaikan dan Mengirim Salam

Syaikhah Haifa’ bintu Abdillah Ar Rosyid

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (11/41) : “ Dan disukai untuk membalas (salam) atas orang yang menyampaikan.”

Imam Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’ad (2/427) : “ Dan termasuk petunjuknya shallallahu alaihi wa sallam, jika seseorang menyampaikan kepadanya salam dari orang lain, ia membalas kepadanya dan kepada orang yang menyampaikan.”

Dan yang demikian berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (5231), Imam Ahmad (23104) dan Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra (10133) “ Bab : apa yang dikatakan jika dikatakan kepadanya : Sesungguhnya si Fulan menyampaikan salam kepadamu”.

Dan dari hadits seseorang dari Bani Numair (dan dalam Fathul Bari (11/41) : dari Bani Tamim) dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa ia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu ia berkata :
إن أبي يقرأ عليك السلام, قال: عليك وعلى أبيك السلام
“Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam kepadamu”, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “‘ Alaika wa ‘ala abika as-salaam”. Dan di dalam sanad hadits ini ada jahaalah (rawi yang tidak dikenal), akan tetapi Syaikh Al Albani menghasankannya.

Dan yang demikian telah ada dari perbuatan 2 istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Khadijah dan Aisyah radhiyallahu anhuma, dan Nabi shalallahu alaihi wa sallam mentaqrir (menyetujui) mereka berdua :

1. Khadijah radhiyallahu anha : dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata :
جاء جبريل إلى النبي صلى الله عليه وسلم وعنده خديجة وقال: إن الله يقرئ خديجة السلام, فقالت: إن الله هو السلام وعلى جبريل السلام وعليك السلام ورحمة الله
“Jibril datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ada Khadijah di sisi Nabi, Jibril berkata : “Allah menyampaikan salam untuk Khadijah” Khadijah berkata : “Sesungguhnya Allah-lah As Salam, dan as salam atas Jibril dan engkau wa rahmatullah” ( HR Imam Hakim (4/175) , Imam Nasa’i dalam Al Kubra (10134), Imam Al Bazzar (1903), dan Imam Ath Thabrani dalam Al Kabir (23/15 no 25 dan 26)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (7/172) : “ Dan dari hadits ini ada faidah membalas salam kepada orang yang mengirim salam dan kepada orang yang menyampaikan”.

2. Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya :
يا عائشة، هذا جبريل يقرأ عليك السلام، فقالت: وعليه السلام ورحمة الله وبركاته، ترى مالا أرى – تريد النبي صلى الله عليه وسلم –
“Wahai Aisyah, ini Jibril menyampaikan salam kepadamu” Aisyah menjawab : “ Wa ‘alaihis salaam wa rahmatullah wa barakaatuh, engkau (Nabi) melihat apa yang tidak aku lihat.” ( HR Imam Al Bukhari (3217) dan Imam Muslim (2447)

Akan tetapi ada tambahan pada Musnad Imam Ahmad (6/117) dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata : aku jawab :
عليك وعليه السلام ورحمة الله وبركاته
“‘Alaika wa ‘alaihis salaam wa rahmatulloh wa barakaatuh”.

Al ’Allamah Al Albani berkata dalam catatan kaki Shahih Adabil Mufrad ( hal 308-309) : “Sanadnya shahih”. Dan ini adalah tambahan yang penting dalam hadits ini.

Wallahu A’lam wa billahit Taufiq.

Al Washiyyah bi Ba’dhi As Sunan Syibhil Mansiyyah oleh Haifa bintu Abdillah Ar Rasyid.   Dan kitab ini sudah diterjemahkan dalam judul Sunnah - Sunnah Yang Dilupakan

 source

PERAYAAN ULANG TAHUN DALAM TIMBANGAN SYARI'AT

by A-Ustadz Abu Asma Andre -hafizhahullah- on Saturday, August 25, 2012 at 12:48pm


وقفات مع الشيخ سلمان العودة في عيد الميلاد

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتّقُواْ اللّهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مّسْلِمُونَ 
 يَآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْراً وَنِسَآءً وَاتَّقُوْا اللَّهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْباً
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتّقُواْ اللّهَ وَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماًً
أما بعد: فإن أصدق الكلام كلام الله وخير الهدي هدي محمد  وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.

Pengantar :

Dibawah ini akan saya terjemahkan dan ringkas bantahan Syaikh Dr Sulaiman bin Abdullah hafidzahullah terhadap fatwa Syaikh Salman Al Audah yang memperbolehkan perayaan ulang tahun.

Syaikh Dr Sulaiman bin Abdullah berkata :

Saya telah membaca fatwa dari Syaikh Salman Al Audah didalam situsnya yang memperbolehkan perayaan hari kelahiran anak dan saya berkeinginan untuk menjelaskan kebenaran dalam perkara ini.

Syaikh Salman Al Audah - semoga Allah mengampuni kami dan dia - berkata : " Yang nampak pada sisiku, bahwa perayaan lahirnya  seseorang ( anak - pent ) yang didalamnya berkumpul anak - anak, saling memberi hadiah, mempererat persahabatan, selama didalamnya tidak terdapat pelanggaran maka hal tersebut secara asal adalah tidak mengapa dan tidak terlarang.

Maka saya ( Syaikh Dr Sulaiman bin Abdullah hafidzahullah ) berkata : " Sesungguhnya yang dimaksudkan oleh Syaikh Salman Al Audah dalam masalah ini adalah - perayaan hari ulang tahun - dan beliau memperbolehkan dengan syarat tidak terdapat pelanggaran syariat didalamnya - yang dimaksudkan, wallahu 'alam - adalah tidak adanya niat buruk untuk berbuat bid'ah dan meniru - niru orang kafir, dan mafhum ( pengertian ) dari ucapan beliau apabila didalamnya ada perbuatan bid'ah dan meniru - niru orang kafir maka perbuatan tersebut dilarang. "

Bantahan Pertama :
Hari ini - yang dinamakan ulang tahun - bukanlah merupakan hari yang dikenal didalam Islam, bahkan ketika Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menjumpai orang - orang bermain - main pada dua hari tersebut beliau berkata :
مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
"Apakah maksud dari dua hari ini ? " mereka menjawab : " Kami biasa mengadakan permainan pada dua hari tersebut semasa masih Jahiliyah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : " Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban Idul Adha dan hari raya Idul Fithri." ( HR Al Imam Abu Daud no 1134 dan Al Imam An Nasa'i 3/179 dengan sanad yang shahih sebagaimana terdapat didalam Bulughul Maram )

Bantahan Kedua :
Mengagungkan hari ini ( hari ulang tahun ) dan yang semisalnya tidak lepas dari larangan pada tiga hal :
1. Mengada - ada didalam agama, karena sesungguhnya bersengaja didalam merayakan hal ini tidak pernah disebutkan didalam syariat, bahkan hal ini merupakan perbuatan mengada - ada didalam agama Allah subhanahu wa ta'ala dan mensyariatkan sesuatu yang tidak Allah subhanahu wa ta'ala idzinkan, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
 أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
" Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ? " ( QS Asy Syuura : 21 )

Dan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak." ( HR Imam Al Bukhari no 2697 dan Imam Muslim no 1718 )

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : " Id adalah nama jenis yang masuk kedalamnya setiap hari atau tempat yang didalamnya manusia berkumpul. " ( Iqtidha 2/512 )

2. Meniru orang kafir, syariat datang dengan membawa larangan untuk meniru - niru orang kafir dalam keadaan yang umum, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
" Barang siapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk mereka. " ( HR Imam Abu Daud dan Imam Ahmad ) (1)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : " Hadits ini menunjukkan sedikitnya hukum haram meniru - niru orang kafir, dan dhahirnya menunjukkan kekufuran orang yang meniru - niru orang kafir, dikarenakan Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
" Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." ( QS Al Maidah : 51 ) ( Iqtidha 1/237 )

Larangan secara khusus untuk meniru - niru sifat meraka juga tertuju kepada perayaan hari - hari raya, dari Anas bin Malik radhiallahu anhu : Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam datang ke kota Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mana mereka bermain - main dan bergembira didalamnya. Maka bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
"Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (idul Aldha) dan hari raya idul fithri." ( HR Imam Abu Daud dan Imam An Nasa'i ) (2)

Dari Aisyah radhiallahu anha berkata :
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
"Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu'ats." 'Aisyah melanjutkan kisahnya : " Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata : " Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam!" Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya 'Id. Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita." ( HR Imam Al Bukhari dan Imam Muslim )

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : " Ucapan إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا ( sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita ) menunjukkan bahwa setiap kaum memiliki hari id yang khusus untuk mereka, sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا
" Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. " ( QS Al Baqarah : 148 ) dan berfirman Allah subhanahu wa ta'ala :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
" Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. " ( QS Al Maidah : 48 )

Dari sini dapat diketahui bahwa setiap kaum memiliki kiblat dan syariat tersendiri dan kekhususan ini tidaklah diwariskan, maka Yahudi memiliki Id, Nashrani memiliki Id - yang menjadi kekhususan untuk mereka dan tidaklah kita bersekutu dengannya, sebagaimana kita ( kaum muslimin ) tidak bersekutu dengan kiblat dan syariat mereka - sebagaimana juga Id - maka tidaklah Id kita bersekutu dengan Id mereka. " ( Iqtidha 1/446 )

Sebagian kaum muslimin meniru - niru kaum kafir dalam perayaan - perayaan mereka dan tidak hanya terbatas dalam id ini saja, mereka memperluas sampai meniru kepada perayaan orang kafir yang hal tersebut merupakan shifat tertentu pada agama mereka, disini ada beberapa perkara :

Pertama : Tasyabuh kepada mereka dalam satu cabang id, maknanya kaum muslimin meniru kaum kafir didalam mengerjakan salah satu id mereka dengan gambaran yang mirip dengan id kaum kafir.
Hal ini menunjukkan kekeliruan Syaikh Salman ketika menjadikan perayaan hari ulang tahun bukanlah termasuk tasyabuh beliau berkata : " Sesungguhnya perayaan ulang tahun bukanlah tasyabuh, karena bukanlah merupakan kekhususan umat - umat kafir, dan perayaan ini terdapat - pada saat ini - dilakukan dihampir seluruh alam.

Maka aku ( Syaikh Sulaiman  - pent ) katakan : Sesungguhnya kebanyakan dari penghuni alam ini bukanlah orang Islam, kaum muslimin sekitar 1/4 dari penghuni bumi, hal ini dilupakan oleh Syaikh ( Salman - pent ), ini dari salah satu sisi, adapun dari sisi yang lain perayaan hari lahir merupakan sebuah kekhususan dari agamanya orang kafir, mereka sangat mengagung - agungkan berbagai macam id yang pada hakikatnya bid'ah pada agama mereka, kemudian sebagian kaum muslimin mengikuti atau taklid kepada kaum kafir didalam hal tersebut dan memasukkan berbagai macam perayaan dalam agama mereka ( Islam - pent ), sebagai contoh :
- Perayaan hijrahnya Nabi menyerupai dengan tahun baru masehi.
- Maulid Nabi dan Maulid orang tertentu menyerupai dengan hari lahirnya Isa alaihi salam.
- Isra dan Miraj menyerupai dengan kenaikan Al Masih disisi orang Nashrani.

( Kemudian Syaikh Sulaiman menyebutkan beberapa contoh perayaan, kemudian beliau berkata )

Maulid Nabi dikerjakan oleh ahlul bid'ah diatas pemahaman bahwa Muhammad shalallahu alaihi wa sallam lebih patut dimuliakan dibanding Isa alaihi sallam, maka terjatuhlah mereka kedalam tasyabuh kepada Nashrani yang mana mereka ( kaum muslimin yang merayakan Maulid ) mendakwahkan kecintaan kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebagaimana ghuluw nya Nashrani didalam mencintai Isa alaihi salam.

Bahkan perayaan Natal disisi Nashrani yang bertepatan dengan tanggal 25 Desember merupakan warisan dari agama Yunani penyembah berhala, didalam At Tarikh (3) disebutkan bahwa " Tuhan Matahari ( ميترا ) " disisi orang Yunani lahir pada tanggal 25 Desember juga.

Maka urutannya secara zaman seperti ini :
    - Perayaan lahirnya " Tuhan Matahari " disisi orang Yunani, kemudian
    - Perayaan lahirnya Al Masih alaihi salam, kemudian
    - Perayaan lahirnya Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, kemudian
    - Perayaan lahirnya anak atau tokoh secara umum selain Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, seperti " Wali " , orang - orang shalih, pembesar negara sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Rafidhah dan yang serupa dengannya.

Kedua : Perayaan hari lahirnya anak hal tersebut merupakan tasyabuh didalam penentuan waktu, karena perayaan ulang tahun waktu yang dipergunakan adalah hisab syamsiyyah ( penanggalan matahari - pent ), dan dengan sebab itu maka ditinggalkanlah hisab qamari ( penanggalan bulan - pent ) dan inilah yang terjadi pada hampir seluruh ummat, andaikata saya tidak khawatir panjang, niscaya akan saya nukilkan ucapan - ucapan ulama dalam masalah ini.

3 . Pengkhususan sesuatu, maknanya bahwa pengkhususan sebuah waktu seperti hari ulang tahun atau selainnya dengan berkumpul, atau melakukan sebuah pekerjaan atau ibadah, menunjukkan pengagungan kepada hari yang dikhususkan dan tidak pada hari yang tidak dikhususkan.

Pengagungan kepada sebuah waktu didalam syariat Islam tidaklah diperbolehkan kecuali dengan dalil, karena syariat Islam melarang mengkhususkan dan mengagungkan sebuah waktu kecuali apa yang dikhususkan ( oleh syariat - pent ), hal ini sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu : dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : "Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at dengan shalat malam di antara malam-malam yang lain, dan jangan pula dengan puasa, kecuali memang bertepatan dengan hari puasanya." ( HR Imam Muslim )

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnat) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya." ( HR Imam Al Bukhari dan Imam Muslim )

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : " Segi pendalilan : bahwasanya syariat membagi hari - hari ditinjau dari sisi puasa pada tiga bagian :
    1. Syariat mengkhususkannya untuk berpuasa, baik diwajibkan sebagaimana Ramadhan ataupun disunnahkan seperti puasa Arafah atau Asyura'.
    2. Syariat melarang untuk berpuasa secara mutlak, seperti pada dua hari raya Id.
    3. Syariat melarang untuk mengkhususkan berpuasa pada hari tersebut seperti puasa di hari Jum'at.

Bagian ini ( bagian ketiga - pent ) andaikata seseorang berpuasa bersama dengan hari lainnya maka tidaklah dimakruhkan, apabila dikhususkan hanya hari tersebut maka terdapat larangan padanya, sama saja apakah maksud dari puasa tersebut adalah pengkhususan atau dia tidak bermaksud sedemikian...

( Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ) : Lafadz larangan dari mengkhususkan suatu waktu untuk puasa atau shalat mengandung makna rusaknya perbuatan yang dikhususkan tersebut, apabila hari Jum'at adalah hari yang utama dan disukai didalamnya untuk shalat, berdoa, berdzikir, membaca Al Qur-an, bersuci ( mandi - pent ), memakai wangi - wangian dan pakaian yang indah bersamaan dengan itu apabila seseorang mengerjakan puasa pada hari tersebut ( secara pengkhususan - pent ) adalah perbuatan yang tidak utama. ( dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa contoh yang lain, kemudian beliau berkata )

Kemudian didalam pengkhususan waktu terkandung keyakinan akan agung dan mulianya waktu tersebut, yang mana hal ini juga batil dan tidak datang dari agama Allah subhanahu wa ta'ala. ( Iqtidha 2/608 )

Bantahan Ketiga :
Berkata Syaikh ( Salman Al Audah - pent ) :  Perayaan ini adalah hal yang telah maklum secara kebiasaan.

Makna dari ucapan ini adalah perayaan ulang tahun tidaklah dimaksudkan untuk beribadah tidak juga untuk tasyabuh, alasan ini tidaklah dikenal dan diucapkan oleh ahli ilmu, maka dari mana Syaikh mengambil ucapannya ? bahkan tertolah berdasarkan hadits yang berikut :
 ثَابِتُ بْنُ الضَّحَّاكِ قَالَ
نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ قَالُوا لَا قَالَ هَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ قَالُوا لَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
Dari Tsabit bin Adh Dhahhak ia berkata : seorang laki-laki bernadzar pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Buwanah. Kemudian ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : " Sesungguhnya saya telah bernadzar untuk menyembelih unta di Buwanah. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Apakah padanya terdapat berhala diantara berhala-berhala jahiliyah yang disembah?" Mereka berkata : Tidak. Beliau berkata:  "Apakah padanya terdapat hari besar diantara hari-hari besar mereka ?" Mereka berkata : tidak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Penuhi nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar dalam bermaksiat kepada Allah, dalam perkara yang tidak dimiliki anak Adam." ( HR Imam Abu Daud ) (4)

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini : " Larangan dari menyerupai kaum musyrikin didalam id mereka walaupun tidak bertujuan demikian ( untuk menyerupai - pent ) ( Kitabut Tauhid hal 23)

Maksudnya adalah : bahwa para shahabat radhiallahu anhum tidaklah memaksudkan menjadikan tempat yang diagungkan kaum musyrikin untuk dijadikan tempat bagi mereka ( untuk nadzar - pent ), bersamaan dengan itu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melarangnya, dikarenakan gambaran dari perbuatan tersebut menyerupai perbuatan kaum musyrikin walaupun mereka ( shahabat - pent ) tidak meniatkannya.

Begitu pula Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melarang shalat pada saat matahari terbit hingga meninggi, dikarenakan waktu tersebut adalah waktu sujudnya kaum kufar(5) dan telah maklum bahwa kaum muslimin tidaklah mereka sujud kepada matahari ketika shalat pada saat tersebut, akan tetapi dikarenakan gambaran dari perbuatannya adalah sama maka hal tersebut dilarang oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

Seperti inilah dalam masalah perayaan ulang tahun, walaupun seseorang tidak meniatkan untuk tasyabuh, sesungguhnya tasyabuh tersebut akan didapatkan sama saja dia meniatkan atau tidak.

Bantahan Keempat :
Berkata Syaikh ( Salman Al Audah - pent ) : " Sesungguhnya penamaan hari kelahiran seseorang tidaklah dinamakan dengan id."

Aku ( Syaikh Sulaiman - pent ) katakan : " Sebagaimana perbuatan kesyirikan yang dilakukan oleh sebagian manusia tidaklah dinamakan oleh mereka sebagai kesyirikan akan tetapi dinamakan oleh mereka dengan tabaruk atau tawasul, sebagaimana perbuatan dosa besar dinamakan oleh sebagaian manusia dengan selain namanya semisal khamr dinamakan dengan minuman pembangkit stamina dan ruh, menamakan riba dengan faidah.

Maka tidak terdapat dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan ulang tahun walaupun tidak dinamakan id, karena sesunguhnya id memiliki makna secara istilah dan syariat.

Dikatakan didalam Lisanul Arab : " Dinamakan id karena manusia kembali setiap tahunnya untuk berkumpul dan bergembira. " ( Lisanul Arab 3/318-319 karya Ibnu Manzhur )

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : " Id adalah nama yang menunjukkan berkumpulnya secara umum dan bersengaja, dan id bisa terjadi dalam jangka tahunan(6), pekanan atau bulanan, atau semisalnya." ( Iqtidha 1/441 )

Maka perayaan ulang tahun  :
    - Dilakukan setiap tahun
    - Waktunya tertentu
    - Dan bermaksud untuk dzatnya yaitu dikerjakan diwaktu hari dia dilahirkan.
Dan didalamnya ada perbuatan, perkumpulan, kegembiraan dan apa - apa yang ada pada Id yang disyariatkan, maka jadilah perayaan ulang tahun sebagai bid'ah idhafiyyah didalam kehidupan kaum muslim yang tidak Allah subhanahu wa ta'ala idzinkan.

Bantahan Kelima :
Berkata Syaikh ( Salman Al Audah - pent ) : " Dan sebagiannya melakukan perayaan hari ulang tahun ini tidak diharinya, melainkan sebelumnya atau sesudahnya "

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : " Id adalah nama jenis yang masuk kedalamnya hari, atau tempat yang mana manusia berkumpul dan setiap amalan yang diada-adakan didalam tempat atau waktu tersebut, larangan ini tidak tertuju khusus untuk harinya saja, bahkan kepada pengagungan semua waktu dan tempat yang tidak ada asalnya dalam agama Islam, dan apa saja yang diada - adakan masuk kedalamnya, pengharaman ini juga menyangkut sebelum atau sesudah hari Id tersebut. " ( Iqtidha 2/512 )

Bantahan Keenam :
Yang saya khawatirkan bahwa dari ucapan Syaikh ( Salman Al Audah - pent ) akan berkonsekuensi membolehkannya Maulid Nabi secara khusus, apabila didalamnya tidak ada unsur peribadahan kepada Allah subhanahu wa ta'ala ( hanya perayaan saja - pent ) karena sesungguhnya ( berdasarkan konsekuensi ini - pent ) perayaan kelahiran Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, tidaklah tersembunyi - lebih utama daripada merayakan hari ulang tahun seseorang atau kemerdekaan suatu negara.

Penutup :

Apabila Syaikh Salman dan yang selain beliau dari para dai yang menghendaki kebaikan dengan mempersatukan kalimat, maka tidak tersembunyi bahwasanya bid'ah adalah salah satu penyebab terbesar dari berpecah belahnya ummat, karena Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan kebenaran hanya satu sedangkan kebatilan berbilang, sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
 وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
" Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa." ( QS Al An'am : 153 )

Sebagai penutup saya bawakan fatwa - fatwa ulama kita terkait dengan masalah ini :

Ditanya Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, beliau menjawab :
" Perayaan hari kelahiran tidak ada asalnya dari syariat yang suci ini, bahkan dia termasuk perbuatan bid'ah sedangkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak." ( HR Imam Al Bukhari no 2697 dan Imam Muslim no 1718 ) ( Majmu Fatawa Syaikh ibn Baaz 4/283 )

Ditanya Syaikh Utsaimin rahimahullah tentang hukum mengerjakan perayaan kelahiran anak atau ulang tahun pernikahan beliau menjawab : " Tidak ada didalam Islam hari Id selain hari Jum'at yang dia adalah id pekanan, atau id diawal bulan Syawal ( Idul Fitri - pent ) dan hari kesepuluh dari bulan Dzulhijjah ( Idul Adha - pent ) dan dikatakan hari Arafah adalah id - nya orang yang sedang berkumpul di Arafah, juga hari tasyriq adalah Id yang bersamaan dengan Idul Adha, adapun hari kelahiran seseorang atau anak, atau hari ulang tahun pernikahan dan semisalnya semuanya tidaklah disyariatkan, dan perbuatan ini adalah bid'ah. " ( Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin )

Syaikh Sulaiman berkata: " Aku meminta kepada Allah Ta'ala agar ditampakkan kepadaku kebenaran dan diberikan kekuatan untuk mengikutinya dan ditampakkan bahwa kesalahan adalah kesalahan dan diberi kekuatan untuk menjauihinya dan tidak menjadikan pada diriku tersamar diantaranya sehingga aku tersesat."

Diterjemahkan dan diringkas oleh
Abu Asma Andre
Ciangsana - Cileungsi - Depok
12 Syaban - 7 Ramadhan 1433 H

Janganlah kalian haramkan berdoa kepada Allah ta'ala untuk diriku dan kaum muslimin.

سبحانك اللهم وبحمدك اشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

-----

Catatan Kaki :
1. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Iqtidha 1/234 : " Sanadnya jayyid." , berkata Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam ta'liq beliau terhadap Bulughul Maram halaman 788 : " Dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan. ", dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Jami'us Shaghir 5/ 270 )
2. Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Bulughul Maram hal 99 dan Fathul Bari 2/513 : " Sanadnya hasan. "
3. Tarikh Az Zaidiyyah hal 432 karya Muhammad An Nashir Shidiqi dan Dirasat Mu'ashirah Fii Al Ahdi Al Jadiid hal 299 karya Dr Muhammad bin Ali Al Barr.
4. HR Imam Abu Daud ( Tahdzib 4/382 no 3172 ), berkata Al Hafidz Ibnu Hajar : " Sanadnya shahih " ( Talkhisul Khabir 4/180 )
5. HR Imam Muslim dari shahabat 'Amru bin Abasyah radhiallahu anhu. ( An Nawawi 6/116 )
6. Saya ( Abu Asma Andre ) katakan : " Kalau dinegeri kita ini biasa diistilahkan Haul untuk perayaan tahunan kematian atau Milad untuk perayaan tahunan ulang tahun suatu organisasi atau partai, wallahu musta'an."

sumber tulisan ini adalah 

http://islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=17075&Itemid=48&fb_source=message

source 

***

 HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT ULANG TAHUN

Tanya :
assalamu'alaikum..
afwan ustadz, ana minta tolong dijelaskan tentang hukum mengucapkan “selamat ulang tahun” pada hari kelahiran, serta memberikan ucapan “selamat (met milad” kepada orang lain yang pada saat itu sedang ulang tahun. Karena setau ana merayakan ulang tahun itu haram, lantas bagaimana dengan mengucapkannya?
barokallohufiykum
Abdillah

Jawab :
Wa'alaikumussalam warahmatullah..
Ulang tahun termasuk di antara hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tatkala penentuan hari raya adalah tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka menentukan suatu hari sebagai hari raya tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah dalam agama dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu :

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ,وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”. (HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4460)

Maka hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan yang diakui dalam Islam hanyalah hari raya idul fithri dan idul adh-ha.

Kemudian, perayaan ulang tahun ini merupakan hari raya yang dimunculkan oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَمِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha`hal. 83
Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.

Karenanya tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada siapapun yang merayakan hari raya yang bukan berasal dari agama Islam (seperti ultah, natalan, waisak, tahun baru dan semacamnya), karena mengucapkan selamat menunjukkan keridhaan dan persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah tersebut. Dan ini bertentangan dengan syariat nahi mungkar, dimana seorang muslim wajib membenci kemaksiatan.
Wallahu a’lam...

www.al-atsariyyah.com


source 

Hukum Ucapan Selamat Ultah

Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun (= Perkataan Sia-sia)

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 06 Agustus 2011 jam 0:45

Di antara perbuatan yang harus kita hindari  dalam berpuasa ( tidak puasa juga-SI)adalan perbuatan yang sia-sia.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah: Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH, ulama ahli hadits menshahihkannya).

Ada kalimat yang masih banyak di antara sahabat kita yang mengucapkan dan atau menerima ucapan "SELAMAT ULANG TAHUN"  alasan mereka toh ucapan tersebut bukan yang berupa hura-hura atau pesta, atau apa salahnya men doa kan teman kita?!/ Itu lah syubhat. Sekarang kita akan tinjau dari segi sejarah Uang Tahun.

SEJARAH ULANG TAHUN

* Menurut Scwbische Zeitung, April 1981, hal 4, mengatakan:

“Berbagai kebiasaan yang dilakukan orang-orang dewasa ini dalam merayakan hari ulang tahun mereka, mempunyai sejarah yang panjang. Asal-usulnya ialah dari alam gaib dan agama. Kebiasaan memberikan ucapan selamat, memberikan hadiah dan merayakannya, lengkap dengan lilin-lilin yang dinyalakan pada zaman purba, dimaksudkan untuk melindungi orang yang berulang tahun dari hantu-hantu dan guna menjamin keselamatannya untuk tahun mendatang."

* Menurut The Lore of Birthdays (New York, 1952), Ralph dan Adelin Linton, hal 8,18-10, mengatakan

“Orang-orang Yunani percaya bahwa setiap orang mempunyai roh pelindung atau daemon yang hadir pada setiap kelahirannya dan menjada dia selama hidupnya. Roh ini mempunyai hubungan mistik dengan tuhan (dewa) yang hari kelahirannya sama dengan orang yang merayakan hari ulang tahun itu. Orang-orang Romawi juga menganut gagasan ini. Gagasan ini dibawa serta dalam kepercayaan dan dicerminkan sebagai malaikat pelindung, peri yang menjadi wali ibu (godmother) dan santo pelindung.

Kebiasaan menyalakan lilin pada kue dimulai oleh orang-orang Yunani. Kue-kue madu yang bulat seperti bulan dan diterangi dengan lilin-lilin kecil ditaruh pada altar dari kuil ARTEMIS. Lilin ulang tahun dalam kepercayaan rakyat, mengandung kegaiban istimewa yang dapat mengabulkan permohonan. Lilin-lilin kecil yang dinyalakan dan api persembahan mempunyai makna mistik yang istimewa sejak manusia pertama kali mendirikan altar-altar untuk ilahnya (dewa-dewa).

Di Adaptasi dalam Injil

Pada masa Herodeslah acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14:6;

Tetapi pada HARI ULANG TAHUN Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes. (Matius14 : 6)

Dalam Injil Markus 6:21

Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada HARI ULANG TAHUNNYA mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. (Markus 6:21).

Apakah dalam perayaan tersebu tak ada ucapan "Selamat Ulang Tahun". Abu Hada berkata ada, karena ana sendiri sekolah SMA di sekolah Protestan. Lebih gamblangnya yaitu " Selamat Natal" = Selamat Ultah/ selamat Milad/ Selamat Harla/ Maulid dan semacamnya yang merpakan rangkaian dari perayaan Ulang Tahun.

Bagaimana dengan niat Mendoakannya?. SI berkata, sungguh tak ada dalam assunah megkhususkan waktu berdoa kepada orang yang berulang tahun. Jika mau doa kanlah sesama muslim setiap saat , bahkan sangat afdol jika yang di doa kan itu tidak tahu kita yang mendoakannya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang bertugas mengaminkan do’anya kepada saudarany). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang semisal dengannya.” (HR. Muslim no. 2733)
  • Dari Abu Sa‘id Al Khudri, ia berkata: “Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  bersabda: ‘Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang dhob (sejenis biawak), niscaya kalianpun akan masuk kedalamnya.’ Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka kaum Yahudi dan Narsani?’ Sabda beliau: “Siapa lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti apa yang terjadi pada kurun-kurun sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, seperti bangsa Parsi dan Romawi?” Sabda beliau: “Manusia siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Taimiyah menyatakan: “Kekafiran kaum Yahudi berpangkal dari sikap tidak mau melaksanakan hal-hal yang telah mereka ketahui. Mereka tidak mau mengamalkan kebenaran dan tidak mau mengikutinya, baik dalam ucapan maupun perbuatan.”
Kekafiran kaum Nasrani berpangkal dari sikap mereka yang  suka  beramal  tanpa  ilmu. Mereka  suka  melakukan berbagai macam ibadah yang tidak ada tuntunannya dari syari‘at Allah, mereka suka berdusta atas nama Allah atas hal-hal yang tidak mereka ketahui. Dalam hal ini, Sufyan bin ‘Uyainah salah seorang kaum salaf menyatakan: “Kerusakan ulama kita serupa dengan kerusakan yang terjadi pada kaum Yahudi, sedangkan kerusakan kalangan awam kita serupa dengan yang terjadi pada kaum Nasrani.”

Syubhat lain > Tapi niat mengucapkan Ultah kan baik, SI katakan> niat baik tidak akan menyelisihi sunnah!.
Jadi jangan sia-sia kan puasa anda dengan mengucapk selamat ulang tahun atau senang di beri ucapan tersebut. Ironisnya yang sudah ngaji salaf ( sahabat ana di darat dan dunia maya) senang di ucapin selamat ulang tahun, ho ho. Selesai!

source

Jalan yang Lurus


***HUT***

bismillahirrohmaanirrohiim,

alhamdulillah..

sejak mengenal manhaj yg lurus ini (manhaj salaf), saya pribadi pelan2 mulai tahu dan paham satu persatu mengenai apa2 yg diperbolehkan dan apa2 yang dilarang oleh DIEN ini, dan salah satunya adalah :

"merayakan ulang tahun"

dalam Islam,

tidak dikenal perayaan ulang tahun ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, begitu juga para shahabat radhiyallahu anhum, tabi'in, tabi'ut tabi'in, generasi selanjutnya, dan orang2 yang mengikuti mereka dengan baik, mereka semua tidak pernah melakukan perayaan ini,

lantas pertanyaannya adalah, "darimana perayaan ini berasal ?"

kalau Islam tidak mengenalnya, maka jelas sudah bahwasanya perayaan ini berasal dari yang bukan Islam, padahal..

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “

"barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.”

(HR. Abu Dawud)

“Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya : Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Baginda bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

(HR. Bukhari Muslim)

jadi..

jika kita 'mengaku beragama Islam', jelas bahwasanya hukum merayakan ultah adalah haram, dan otomatis berdosa bila merayakannya,

mungkin sebagian dr kalian akan berkata,

"kan kita cuma ucapin selamat, mendo'akannya panjang umur, kita cuma kumpul2, berdo'a dan makan2.. kenapa tidak boleh?"

--> maka saya akan menjawab,

"memang benar berdo'a, makan2, itu adalah perkara2 yg dibolehkan, tapi ketika berdo'a dan makan2 itu dikaitkan/ dilakukan/ dikhususkan pada saat seseorang berulang tahun, maka itu terkena hukum haram (ber-tasyabbuh bil kuffar/ menyerupai orang kafir)" --> disini telah bertemu 2 hukum, yaitu halal dan haram,

lalu, bagaimana kaidah syara' mengenai permasalahan ini ?

“idza ijtama’a al halaalu wal haraamu, ghalaba al haramu al halaala.” = “jika bertemu halal dan haram (pada satu keadaan) maka yang haram mengalahkan yang halal.”

nah..

berdasarkan kaidah syar'i diatas, maka merayakan ulang tahun masuk kategori perkara yang diharamkan,

Allah subhanahu wa Ta'ala berfirman,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.”

(QS.al-Isra':36)

mungkin itu saja dari aku,

jadi..

untuk semua teman2 yang sudah meluangkan waktunya utk memberikan ucapan selamat via postingan di wall, inbox, sms, telf dll dll, saya ucapkan jazaakumullahu khairan atas perhatiannya, dan mungkin dengan postingan ini saya bisa 'membalas' kebaikan kalian serta 'meluruskan' sesuatu yang selama ini kita anggap benar tapi pd hakikatnya itu adalah sebuah kekeliruan bahkan masuk kategori bid'ah (apabila diniatkan utk ibadah, dan meniru kaum kafir bila diniatkan hanya utk merayakannya, karena dlm Islam, perkara yg diada-adakan dlm urusan beribadah kpd Allah adalah bid'ah/ sesat, dan Islam hanya mengenal 2 perayaan/ hari raya)

itu saja dari aku..

subhaanakallaahumma wabihamdika asyadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa'atuubu ilaika..

wassalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa baarakaatuh

by Al-Akh De Blackdwarf -hafizhahullah-

semoga bermanfaat





KETIKA (BARU) MULAI NGAJI: TERLALU SEMANGAT, KERAS & KEBABLASAN

by Syeh Abu Muhammad Herman -hafizhahullah-


Kami sempat melakukanya di awal-awal kami mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. Kemudian kami ingin membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar.
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain.
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.
4. Keras dan kaku dalam berdakwah.
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.
6. Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh.
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/ tokoh agama tertentu.
8. Tidak serius belajar bahasa arab.
9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik.
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia.

Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar

Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akherat. Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar di atasnya.

Ingatlah, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:

فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح

“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]

Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.

“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” (HR.Hakim dalam Al-Mustadrok 3:357, no 5382, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 7:103, no 34522dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 1: 504, no 848, shahih)

2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain

Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:

- Ikhwan kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar di kota A, menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama di sana – di sini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.

- Seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.

Kita seharusnya memperhatikan firman Allah:

وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141). Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi nafkah pada keluarga. Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah

Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 185)

Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:

- Seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti disangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:

Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”. Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan dari hukum sunnah.

- Begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah di luar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat [bercampur-baur laki-laki dan perempuan], maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi di tempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat. Karena diterapkan kaidah:

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.

” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “

Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 159)

4. Keras dan kaku dalam berdakwah

Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:

- Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata ,“ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata, “Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani ceramahi saya?”.

- Seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. Kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukannya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.

- Seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.

Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)

5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar

Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghafal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.

Memang ada yang sudah hafal dalilnya dan mengetahui metode istidlal (cara pendalilan). Akan tetapi, ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.

Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghafal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.

Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،

“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. (HR. Muslim 55/95)

Yang dimaksud dengan nasehat adalah menghendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.

Mengenai suka berdebat, para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ “

“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah)

Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. At-Thoha: 43-44). Kepada orang selevel Fir’aun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman? Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.

6. Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh

Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:

- Di kampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan, “Kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

- Di kampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insya Allah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:

باسم الله الرحمان الرحيم
من محمد رسول الله إلى عظيم الروم

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”

Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.(HR. Muslim no. 2564)

Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.

Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut berkata,

يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن

“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”

Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]

Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk Thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.

Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana. Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya. Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat kepada rabb-nya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (HR. Muslim no. 2626)

7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu

Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut. Tema yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul, majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot di sana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.

Seharusnya ada prioritas dalam belajar. Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman,

إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”. (Muttafaqun ‘alaih)

Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran. Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah Murji’ah, syaikh fulan ikut merestui kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.

Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه

“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)

Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah, belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.

‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” (Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah)

8. Tidak serius belajar bahasa arab

Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah. Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti orang yang sangat tua. Fadhu ‘ain juga pada ilmu yang mencukupkan ia paham agamanya dan fadhu kifayah pada ilmu tambahan seperti ilmu syair. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“Di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” (Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof)

Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah menghapal Al-Quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.

Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.

Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian di sana-sini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca di rumah dan di internet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet berjam-jam, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:

وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ

“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal 156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah).

Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, amal dan dakwah. Finally, mereka pun bisa merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.

9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik

Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)

Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah. lingkungan dan teman yang baik memang dibutuhkan bagi semua orang.

Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran,

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.(QS. Al-Qashash: 34)

10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia

Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat me-recharge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. (HR. Muslim nomor 6793)

Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling menasehati. Di mana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah)

Tidak sedikit kita mendengar berita:

- Ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.

- Akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu, memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau di luar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.

Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini. Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda,

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا

“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. (HR.Muslim no 144)

Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:

1. Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
2. Dakwah tidak diterima oleh orang lain
3. Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
4. Memecah belah persatuan umat Islam

Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ (HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

6 Syawwal 1432 H, bertepatan 5 September 2011

Penyusun: Raehanul Bahraen
 

Editor: Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal -hafizhahullah-

Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
(Artikel muslim.or.id)

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-


Abu Muhammad Herman.