Follow us on:
MENGHAJIKAN ORTU YG SUDAH MENINGGAL

bismillaah,

Tanya :

afwan, bagaimana menghajikan ortu yg sudah meninggal ?

Dan sudah ada niat dr ortu untuk melaksanakannya,,hanya saja ajal mendahului δдяi niatnya..

Kalau memang ada tuntunannya, bagaimana cara melaksanakannya ?
Apakah si anak ƴα̍nƍ melakukannya ? atau orang lain juga bisa ?

Dan apakah ƴα̍nƍ menghajikan harus sudah pernah berhaji 1x atau bisa sekalian ?

mohon jawabannya, .شُكْرًا

Jawab : 


Bolehkah perempuan/isteri menghajikan laki-laki/suami? | Bolehkah menghajikan orang lain karena alasan umur yang sudah tua, penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya atau karena ia telah meninggal ?

Jawaban Ulama Islam Tentang Bolehnya Menghajikan Orang yang Telah Meninggal

Asy Syaikh Abdurrahim Al Bukhari
 
Pertanyaan  Bolehkah menghajikan orang yang telah meninggal? Bagaimana tuntunannya?
Jawab:
Para ulama telah berbicara dalam masalah ini, dan mereka berkata bahwa boleh menghajikan orang telah meninggal dengan syarat orang yang (akan menghajikan) telah melakukan haji untuk dirinya sendiri.
 Sebagaimana dalam hadits Syubrumah, tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki bertalbiyah, “Labbaikalla ‘an Syubrumah,” Maka Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah haji untuk dirimu?” “Belum” Jawabnya. Maka beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah engkau untuk Syubrumah.”
Maka apabila seseorang telah berhaji untuk dirinya, boleh baginya (untuk menghajikan,-pent.) dan bukan wajib, apalagi bila yang dihajikan itu adalah ayahnya, ibu atau karib kerabatnya yang meninggal dan belum mampu berhaji. Maka boleh baginya (untuk menghajikan) dan tidak ada apa-apa terhadapnya.
(Dijawab oleh Asy Syaikh Abu Usamah Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari pada sore 5 syawal 1425 H, bertepatan 17/11/2004]
***
Pertanyaan
Apakah boleh seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban hajinya untuk menghajikan salah seorang kerabatnya yang berada di negeri Cina, karena ia tidak mampu sampai untuk menunaikan kewajiban haji?
Jawaban Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al Ilmiah wal Ifta:
Boleh bagi seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban haji terhadap dirinya untuk menghajikan orang lain berdasarkan hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan tentang itu, bila orang lain itu tidak mampu karena umur yang sudah tua, penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya atau karena ia telah meninggal. Adapun kalau yang akan dihajikan tidak mampu karena suatu perkara yang diharapkan hilangnya, seperti sakit yang diharapkan sembuhnya, atau suatu alasan berkaitan dnegan keadaan politik, atau tiada keamanan dalam perjalanan dan selainnya, maka tidak sah untuk dihajikan.
(Fatawa Al-Lajnah Ad Da’imah 11/51 Dalam pertanyaan pertama pada fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 2200 yang ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud)
****
Pertanyaan
Apakah boleh seorang ibu untuk menghajikan anaknya ketika ia telah meninggal, sementara ia sendiri sudah menunaikan ibadah haji?
Jawaban Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Apabila ia telah menunaikan kewajiban haji untuk dirinya sebelum itu, maka tidaklah mengapa ia menghajikan anaknya yang telah meninggal, apalagi kalau (anak itu) belum haji.”
(Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Sholih Al-Fauzan jilid 3 no.294)
****
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Boleh bagi seorang perempuan untuk menghajikan perempuan lain menurut kesepakatan para ‘ulama, baik itu putrinya atau selainnya. Dan demikian pula boleh seorang perempuan menghajikan seorang lelaki menurut imam Empat [1] dan jumhur Ulama (kebanyakan ulama), sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan perempuan Al Juts’amiyah untuk menghajikan ayahnya, tatkala ia berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji kepada hamba-hamba-Nya telah mendapati ayahku dan beliau adalah orang sudah tua,“ maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menghajikan ayahnya. Namun hajinya seorang lelaki lebih sempurna dari seorang perempuan.”
[Dinukil dari Majalah An Nashihah Volume 09 Th. 1/1426 H./2005 M. Hal. 5]
____________

Footnote :

[1] Yaitu Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hambal,-admin

http://darussalaf.or.id
http://sunniy.wordpress.com/2011/09/21/jawaban-ulama-islam-tentang-bolehnya-menghajikan-orang-yang-telah-meninggal/#more-3660
 

source 

 



 

* HIKMAH DARI UJIAN *

bismillaah,

Ustadz Rochmad supriyadi LC

Allah سبحانه وتعالى memerintahkan kpd kita agar memohon kesehatan dan keslamatan dan menempuh jalan2 dan sebab2 terhindar dari petaka.


Akan tetapi bilamana Allah سبحانه وتعالى menimpakan ujian maka disana ada beberapa hikmah, diantaranya ;

- Mendapat pahala besar dari Allah سبحانه وتعالى bilamana ia sabar dan beriman atas Taqdir Allah.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda," Sesungguhnya besarnya balasan disertai dg besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah bila cinta kpd hamba, Dia akan menguji nya. Maka barang siapa yg ridho,ia akan memperolih keridhoan, dan barang siapa yg murka, ia akan mendapat kemurkaan". HR At-Tirmidy.

- Menghapus dosa dan menutupi kesalahan dan mengangkat derajat.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda," Tidaklah seorang muslim tertusuk duri dan yg lebih besar dari itu,melainkan Allah akan mengangkat satu derajat dan dihapus padanya satu kesalahan". HR Muslim.

- Dicatat baginya amal yg biasa ia lakukan tatkala sehat,sekalipun ketika sakit ia tdk lakukan. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda," Apabila seorang hamba sakit / safar maka dicatat baginya amalan semisal apa yg ia lakukan tatkala tdk safar Ðan sehat ". HR Bukhary.

Salaf on facebook

MEMBACA AL QUR'AN DI SISI KUBUR

bismillaah,

by Al-Akhi Al-Fadhil De Blackdwarf -Hafizhahullah-



bismillaah,
bantahan untuk syubhat si ujun orang yang saya nilai secara dzahir 'tidak waras' yang sedang menebar syubhat di salah satu postingan orang yang saya nilai secara dzahir tidak perduli dengan postingannya sendiri

===

[Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur]

Adapun membaca Al Qur’an terus menerus di sisi kubur, maka ini tidaklah pernah dikenal oleh para ulama salaf.

Para ulama pun berselisih pendapat mengenai masalah membaca Al Qur’an di kuburan. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad (menurut kebanyakan pendapat dari beliau) melarang hal ini. Namun, Imam Ahmad memberikan keringanan dalam masalah ini dalam pendapat beliau yang terakhir. Yang menjadi dasar Imam Ahmad dari pendapatnya yang terakhir adalah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mewasiatkan agar dibacakan bagian awal dan akhir surat Al Baqarah ketika pemakamannya. Begitu pula ada riwayat dari beberapa kaum Anshor bahwasanya Ibnu ‘Umar pernah mewasiatkan agar membaca surat Al Baqarah di kuburnya (sebelum pemakaman). Namun ingat, ini semua dilakukan sebelum pemakaman.

Adapun pembacaan Al Qur’an untuk mayit sesudah pemakaman, maka tidak ada satu riwayat pun dari salaf tentang hal ini. Oleh karena itu, pendapat ketiga ini membedakan antara membacakan Al Qur’an ketika pemakaman dan pembacaan Al Qur’an terus menerus sesudah pemakaman. Pembacaan Al Qur’an sesudah pemakaman adalah amalan yang tidak ada tuntunan dalam agama ini (baca: bid’ah). Amalan seperti ini tidak memiliki landasan dalil sama sekali.

[Mayit Mendapatkan Pahala karena Mendengar Al Qur’an yang Dibacakan padanya]

Sedangkan jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.

diterjemahkan dari Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 24/317-321, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H (oleh Muhammad Abduh Tuasikal)

===

dan untuk teman2 yang masih 'mau' menanggapi orang yang tidak waras itu, satu2nya kunci untuk mengalahkannya adalah :

kejar terus dia dengan perkataannya dimana dia mengklaim sebelumnya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bahwa pahala amalan bacaan AL Quran (terutama Al Fatihah) akan sampai kepada mayit, minta haditsnya

--> selama dia tidak mampu menunjukkan haditsnya, maka argumen apapun yg dia lontarkan, dia akan tetap kalah dengan satu pertanyaan kunci ini

===

ps: kalau saya pribadi, saya sudah malas membagi ilmu dengan orang yang seperti itu, karena :

"membagi ilmu kepada orang yang tidak bersungguh-sungguh itu dzalim"

--> dzalim terhadap diri saya sendiri karena telah membuang-buang waktu saya untuk orang yang hanya bermain-main saja

===

end

***

bantahan syubhat dia berikutnya :

Benarkah bacaan al-Qur'an seperti surat al Fatihah tidak sampai pahalanya kepada mayit ? (4).

--> Ini JUDULNYA (ingat baik2), dan setelah di akhir saya membantah syubhat ini, maka silahkan anda temukan, apakah judul ini berkaitan dengan isi postingan ?? sungguh aneh orang yg membawakan syubhat ini apalagi penulis syubhat ini

Telah berkata Asy Syaikh Ibnul Qayyim, " Ada yang berkata : 'Sesungguhnya seorang Salaf tidak melakukan itu.'" Orang yang berkata demikian itu sebenarnya TIDAK MENGETAHUINYA.
Dan telah berkata Ibnul Qayyim, " DAN INI ADALAH PERBUATAN SELURUH MANUSIA TERMASUK ORANG-ORANG YANG MENGINGKARINYA SEPANJANG MASA DI SELURUH NEGERI TANPA BANTAHAN DARI PARA ULAMA DAN DIHUBUNGKAN KESAMPAIANNYA ITU PADA SEBAGIAN ORANG-ORANG SALAF."

--> Dua perkataan Ibnul Qayyim ini ditujukan dalam hal apa tidak dijelaskan dan dimananya pun tidak dijelaskan, jadi statement Ibnul Qayyim ini bersifat ‘ambigu’ (tidak jelas untuk menerangkan apa)

Asy Syaikh Taqiyyuddiin Abil-Abbas Ahmad bin Taimiyyah (Ibnu Taimiyyah, guru dari Ibnul Qayyim) telah berkata, " BARANGSIAPA YANG MEYAKINI BAHWA MANUSIA ITU TIDAK MENDAPAT MANFAAT KECUALI DENGAN AMALNYA SENDIRI, MAKA BERARTI IA TELAH MEROBEK-ROBEK KESEPAKATAN, DAN ITU ADALAH BATIL DI PANDANG DARI SEGALA SUDUT PANDANG.

--> Kita ‘anggap’ saja statement ini benar dari Ibnu Taimiyyah, lantas dimana letak pembolehan pengiriman al fatihahnya ? ada ? dan statement diatas hanya menjelaskan secara umum dan memang benar dan ada haditsnya bahwa mayit tidak akan mendapat tambahan pahala apa apa kecuali yang tiga point yg disebutkan dalam hadits, jadi, tidak ada yg bertentangan antara statement diatas dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi kembali ke pertanyaan semula, DIMANA LETAK pembolehannya kirim2 al fatihah ??

YANG PERTAMA, Bahwa manusia itu mendapat mafaat dengan do'a orang lain BERARTI MENDAPAT MANFAAT DENGAN AMAL ORANG LAIN.---------

YANG KEDUA, Bahwa Nabi Saw memberi syafaat kepada orang2 yg ada di mauqif (mahsyar) ketika diadakan hisab (pemeriksaan amal), kemudian untuk para penghuni surga ketika memasukinya, kemudian untuk orang2 yg mempunyai dosa besar ketika keluar dari neraka. DAN INI ADALAH KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN.----------

YANG KETIGA, Bahwa semua Nabi as dan orang2 shalih mempunyai syafaat, dan itu adalah KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN.----------

YANG KE-EMPAT, Bahwa para Malaikat mendo'akan dan memohonkan ampunan untuk yang ada bi bumi (manusia dan jin) dan itu KEMANFAATAN MURNI DENGAN AMAL ORANG LAIN.---------

YANG KE-LIMA, bahwa anak-anak kaum mukminin akan memasuki surga dengan amal-amal bapak mereka, DAN ITU KEMANFAATAN MURNI DENGAN AMAL ORANG LAIN. ----------

YANG KE-ENAM, Allah Ta'ala telah berfirman mengenai kisah dua orang anak yatim: "Sedang ayah mereka adalah orang yang shaleh." (QS.Al-Kahfi: 82). JADI MEREKA TELAH MEMPEROLEH MANFAAT DENGAN KESALEHAN BAPAK MEREKA, DAN KESALEHAN ITU BUKAN USAHANYA.----------

YANG KE-TUJUH, bahwa seorang mayit itu telah mendapat manfaat dari sedekah atas namanya dan juga dengan qurban atas namanya, sesuai nash As-Sunnah dan Ijma'. DAN ITU ADALAH DARI AMAL ORANG LAIN.----------

YANG KE-DELAPAN, bahwa ibadah haji yang wajib akan terbebas dari mayit, karena dihajikan oleh walinya sesuai nash As-Sunnah, DAN ITU ADALAH KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN.------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

YANG KE-DUA PULUH, bahwa --------------Barangsiapa memperhatikan ilmu ini, ia akan mendapatkan BAHWA SESEORANG AKAN MEMPEROLEH KEMANFAATAN DENGAN AMAL ORANG LAIN, SEDANG IA TIDAK MENGAMALKANNYA DAN ITU HAMPIR-HAMPIR TAK TERHITUNG.

Bagaimana boleh ayat itu, "Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain yang telah diusahakannya." (QS. An Najm: 39) ditafsirkan bertentangan dengan ayat al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' umat dan tujuan insan secara umum.

--> Perhatikan semua yg saya ada diatas, diatas hanya menyebutkan yg akan sampai adalah do’a, sedekah, haji, dan apa apa yang memang ada haditsnya, tapi bagaimana dengan INTI DARI CATATAN ini ?? mana hadits mengenai kirim2 al fatihahnya ?? ada ??

==

Ini yang saya namakan si jaahil (bodoh) kuadrat sedang mencoba menjelaskan sesuatu yang dia sendiri TIDAK MENGERTI dengan apa yang dia sampaikan, jadi tidak salah jika saya mengatakan orang ini maaf.. ‘tidak waras’, karena bahkan dia sendiri pun TIDAK MEMAHAMI dan MUNGKIN tidak meneliti apa yang dia copas sendiri, sehingga yang terjadi adalah ‘dagelan komedi’, dimana dia saat ini sedang mempermalukan dirinya sendiri tanpa sadar dan dia menganggap dia berada dalam kebenaran,

Kasihan..

==

semoga kita dijauhkan dari orang-orang seperti ini dan ilmu yang tidak bermanfaat. aamiin

Suami Istri Bergandengan tangan di Tempat Umum

bismillaah,

Pertanyaan:

Bolehkah suami istri saling bergandengan tangan ketika jalan-jalan di tempat umum?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Wajib bagi muslim dan muslimah, apabila berjalan bersamaan, untuk menjaga rasa malu dan memperhatikan sopan santun. Terlebih jika mereka telah mengenal sunah dan adab-adab islam. Karena umumnya masyarakat menjadikannya sebagai panutan, menghormati dan memuliakannya. Untuk itu, dia harus menjaga kewibawaan dirinya.

Bergandengan tangan antara suami istri di jalan umum, pada asalnya tidak masalah, dan tidak ada dosa untuk perbuatan yang mereka lakukan. Bahkan terkadang keadaan tertentu menuntut dilakukan tindakan ini. Seperti ketika berjalan di keramaian dan jalan yang sesak.

Akan tetapi, ketika hendak melakukan perbuatan semacam ini, selayaknya mempertimbangkan adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat. Jika perbuatan semacam ini biasa dilakukan oleh masyarakat, termasuk tokoh agama di lingkungannya maka semacam ini tidak masalah.

Sebaliknya, jika bergandengan tangan suami istri semacam ini termasuk perbuatan yang bisa menjatuhkan wibawa, atau tercela secara adab dan akhlak di masyarakat setempat, maka pasangan suami istri tidak boleh bergandengan tangan di tempat yang banyak dilihat orang lain. Misalnya, di masyarakat tersebut, perbuatan semacam ini hanya dilakukan oleh orang jelek, orang pacaran, orang kafir, atau semacamnya.

Hanya saja, ketika bergandengan tangan di tempat umum antara suami istri diterima di masyarakat, yang harus dinampakkan adalah bergandengan tangan untuk menunjukkan keharmonisan keluarga atau saling membantu antara suami istri. Bukan bergandengan tangan seperti layaknya orang yang sedang pacaran, yang itu termasuk zina tangan. Karena itu, tidak selayaknya melakukan hal yang berlebihan dalam perkara mubah, sampai menyebabkan kita meniru orang fasik.

Allahu a’lam

***

http://muslimah.or.id/

KAMI DIPERKOSA,DILECEHKAN, DAN DISIKSA HANYA KARENA NAMA KAMI " A'ISYAH "

bismillaah,

 

Dukung MUI Keluarkan Fatwa Syi'ah Sesat Dan Haram Di Indonesia

KAMI DIPERKOSA,DILECEHKAN, DAN DISIKSA HANYA KARENA NAMA KAMI " A'ISYAH "

حرائر الشام : " عذبونا ، اغتصبونا ، ليس إلا لأن أسمائنا عائشة "

Cerita ini dipaparkan dari seorang gadis Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah) bernama Aisyah di Rumah Sakit di Turki, Istanbul. Dilengkapi keterangan dari salah seorang saksi hidup yang selamat.

Tanggal: 15 – 28 Juni 2011

Lokasi: Pabrik Gula Jisr Al-Shughour, Suriah Utara, kota Sunni, 20km dari Turki, perbatasan Syria.

----

Pada tanggal 14 Juni, pasukan Basyar mengitari Jisr Al-Shughour dengan formasi 3000 tentara dan 300 tank, untuk menggerebek kota pada keesokan harinya, yaitu tanggal 15 Juni.

Berita bocoran terakhir dari kota tersebut adalah, hampir 30 orang dibunuh dan dikubur di Pabrik Gula, kemudian di atasnya dilapisi semen. Hari-hari berikutnya hingga 28 Juni, berita mengenai peristiwa di Jisr Al-Shughour ditutup-tutupi dari dunia. Berita tersebut mulai bocor ke luar, 13 hari kemudian. Tepatnya tanggal 28 Juni, ketika tentara Assad meninggalkan kota itu untuk menggerebek kota lain.

Pada hari Jumat tanggal 17 Juni 2011, para jenderal Assad membunuh kurang lebih 30 pemuda dan menguburkannya di Pabrik Gula, lalu melapisinya dengan semen. Tapi saat malam tiba, para jenderal itu tidak menemukan tempat yang lebih baik untuk tidur dan menginap kecuali Pabrik Gula ini, sehingga merekapun memutuskan untuk memanfaatkannya sebagai markas selama operasi penyerangan kota.

Untuk menghidupkan situasi, sebuah ide sadis melintas di benak para jenderal itu. Mereka ingin beberapa budak Sunni telanjang untuk hiburan!

Mereka memerintahkan menangkap gadis-gadis tercantik di kota yang bernama Aisyah, sebanyak kurang lebih 20 orang gadis....

"Pertama kali kami memasuki pabrik, kami ditelanjangi dan menjadi sasaran pelecehan serta pemukulan, kemudian para jenderal itu memerintahkan tentaranya untuk berhenti memukul karena mereka ingin menikmati daging putih bersih kami," kata Aisyah.

"Setelah beberapa hari, saya pasrah tentang perkosaan tersebut. Sudah menjadi bagian dari hidup saya. Tapi jika menggunakan tubuh saya dan sayapun menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam serta menghidangkan teh dan kopi, setidaknya mereka memakaikan selembar baju di tubuh saya. Saya benci menjadi budak telanjang. Saya hanya berharap mereka menutupi tubuh saya," kata Aisyah.

"Pelecehan sebenarnya ditujukan pada ' nama Aisyah'. Maka ketika para jenderal itu kembali dari peperangan, mereka memerintahkan kami berbaris dan menjilati sepatu booth mereka sampai bersih sebagai rasa terimakasih pada mereka. Mereka bilang, mereka akan membunuh pemberontak dan melindungi kami dari pemerkosaan. Mereka biasa mengatakan, "Aisyah….. Kemari. Jilati booth-ku", "Aisyah….. Bawa kopiku", "Aisyah….. Siapa Allah-mu sekarang?" dan hal-hal sangat buruk lainnya," kata Aisyah.

"Saya sudah tahu apa yang akan terjadi sejak diberitahu bahwa yang ditangkap adalah gadis-gadis cantik yang muda. Tapi saya tidak pernah tahu mereka memilih kami karena nama kami, sampai keesokan harinya saat mereka mulai memanggil kami semua, Aisyah, dan melecehkan kami dengan berbagai cara yang mungkin, barulah kami mengerti apa yang mereka inginkan"; kata Aisyah.

"Hari pertama dia menyuntikkan sesuatu ke kaki saya hingga kami tidak mampu berdiri. Saya berharap dia membunuh saya saja malam itu, namun mereka tidak pernah menyuntik kami lagi."

"Pada hari ke-3 mereka membunuh salah satu gadis yang melawan salah seorang tentara. Mereka memotong putingnya karena dia menentangnya. Lalu kami tahu dari pembicaraan para tentara itu bahwa mereka memperkosanya kemudian membunuhnya dan menguburnya bersama 'yang lainnya' di bawah pabrik! Ini untuk menakuti para gadis agar tidak ada lagi yang berpikir untuk menentangnya," kata saksi mata yang selamat.

"Kami takut, kami dipaksa melayani mereka, dan kami dipaksa memuaskan seksual mereka bahkan di depan umum. Mereka 'memperkosa' kami bahkan di atas meja saat mereka sedang merencanakan bagaimana memindahkan tank-tank mereka untuk menghancurkan kota kami. Satu-satunya yang biasa membuat kami sedikit tenang adalah saat kami memasak untuk mereka. Kami bisa saling bertemu,walau tentu saja kami dilarang saling berbicara ataupun saling melihat. Tapi kami menikmati makanan sejak kami yang memasaknya," kata Aisyah.

"Setelah hari ke-10, mereka bangun dan menghilang begitu saja. Kami telanjang. Kami sendirian di pabrik. Kami tidak berani kabur. Kami tidak berani saling bertanya apakah kami sudah boleh saling berbicara atau tidak. Kami benar-benar takut. Lalu beberapa pria dari desa kami datang dan menyelamatkan kami" kata Aisyah.

"Alhamdulillah, saya telah keguguran dan dapat berjalan lebih baik sekarang. Saya masih ingat wajah-wajah mereka, nama-nama mereka dan kota-kota asal mereka. Saya bersumpah akan membalas dendam. Hanya kakak (laki-laki) saya yang tahu cerita keseluruhannya, yang tidak mungkin saya paparkan kepada keluarga saya karena mereka tidak akan lagi mengakui saya sebagai anak mereka setelah orang Syiah memperkosa saya. Tidak ada pria akan menikahi saya karena saya seorang budak. Saya akan mencoba mengubah nama saya dan tidak akan ada seorangpun mengenal saya," kata Aisyah.

------

Sungguh besar kebencian mereka kepada Aisyah, ummul mukminin.
Sungguh durjana perbuatan mereka kepada muslimat Suria. Saya jadi ingat perlakuan para penjajah Jepang dulu terhadapa wanita Indonesia, namun tetap perbuatan Syi'ah Suria ini lebih bejat.

Ya Allah, hancurkanlah syi'ah Rafidhah sehancur-hancurnya di manapun mereka berada. Dan bukalah mata dan hati saudara2 kami yang telah tertipu dengan Fatamorgana titisan Abdullah bin Saba' Al-Yahudi dan Abu Lu'lu'ah Al-Majusi ini.

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=485410441503031&set=a.421250954585647.97831.421237251253684&type=1&theater


MUI Pusat mengesahkan dan mendukung Fatwa MUI Jatim tentang Kesesatan Syiah

bismillaah,


Harian Republika pada tanggal (8/11/2012),

Ketua MUI Pusat, KH. Ma'ruf Amin mengatakan :

MUI Pusat mengesahkan dan mendukung Fatwa MUI Jatim tentang Kesesatan Syiah

Kaum Muslimin Indonesia hendaknya bersyukur pada Allah subhanahu wa ta'ala, pasalnya penjelasan MUI Pusat tentang Fatwa MUI Jatim yang mengatakan Syiah adalah Sesat dan Menyesatkan yang selama ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang sudah lama kebingunan akhirnya keluar juga.

Dalam penjelasannya di Harian Republika pada hari ini (8/11/2012), Ketua MUI Pusat, KH. Ma'ruf Amin mengatakan, "Setelah melakukan serangkaian penelitian dan berkonsultasi dengan MUI Pusat, MUI Jatim mengukuhkan fatwa serupa.

Mencermati hal itu, penulis menyimpulkan, bahwa Fatwa MUI Jawa Timur tentang Syiah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan ."

KH. Ma'ruf Amin adalah ulama di MUI Pusat yang diberikan amanah oleh Dewan Pimpinan MUI Pusat untuk dapat berbicara atas nama MUI, selain beliau di jajaran ketua-ketua MUI Pusat tidak berhak mengeluarkan statement dan pernyataan tentang berbagai masalah atas nama MUI, seperti Umar Shihab yang selama ini banyak mengeluarkan pernyataan bahwa Syiah tidak sesat. Ini sesuai dengan rapat Dewan Pimpinan MUI Pusat hari Selasa, 9 shafar 1433 H/ 3 jan 2012. Agendanya membahas masalah syiah.

Hasilnya antara lain sbb :

1. Rapat memutuskan Umar Shihab (salah satu ketua MUI, bukan ketua umum!) bersalah karena menyatakan Syiah tidak sesat dengan mengatasnamakan institusi MUI. Yang berhak memberi statement adalah K.H. Ma’ruf Amin (selaku koordinator Ketua II MUI) atau yg ditunjuk oleh Rapim DP MUI.

2. MUI tetap konsisten dengan Keputusan Rakernas MUI tgl 7 Maret 1984 tentang faham Syiah (yang berbeda dengan ahlussunnah dan wajib diwaspadai).

Sebelumnya, MUI Pusat juga mengukuhkan dan mendukung Fatwa MUI Sampang tentang kesesatan Syiah, beliau mengatakan, "Berdasarkan bukti- bukti lapangan, akhirnya MUI Sampang menetapkan bahwa ajaran Syiah yang diajarkan Tajul Muluk adalah menyimpang dan ditetapkanlah fatwa sesat terhadap ajaran tersebut.

Semoga bermanfaat

┈┈»̶✽♈̷̴✽«̶┈┈

BENARKAH IA SAYANG PADAMU?

bismillaah,


by ust Firanda Andirja Lc

Seseorang berkata: "Aku bertanya kepada seorang bijak, Bagaimanakah aku mengetahui siapa yang mencintai dan sayang kepadaku?"

Ia berkata : "Yaitu orang yang ikut memikul kesedihanmu…, selalu bertanya tentangmu…, tidak bosan denganmu…, memaafkan kesalahan-kesalahanmu…, menasehatimu jika bersalah…, selalu mengingatmu dan menyertakanmu dalam doanya"

Apalah ƴα̍nƍ bisa terbawa di tubuh ini kelak di saat kubur kita tertutup tanah..?

apa ƴα̍nƍ bisa kita banggakan δдяi diri ini ƴα̍nƍ banyak salah ?!

Hanya amalan dan pahala ƴα̍nƍ berhasil kita kumpulkan kelak..?

Masalah orang suka, cinta dll dll itu bukan permasalahan lg ƴα̍nƍ bisa membuat rasa aman nyaman..

Semoga bermanfaat

┈┈»̶✽♈̷̴✽«̶┈┈

SHALAT DUHA YANG BEGITU MENAKJUBKAN


bismillaah,

Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.

Keutamaan Shalat Dhuha

Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.”[1]

Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.”[2]

Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,

أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »

“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]

An Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.”[4]

Asy Syaukani mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5]

Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,

عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ الْغَطَفَانِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ ».

Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.”[6]

Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.”[7]

Hukum Shalat Dhuha

Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,

أَوْصَانِى خَلِيلِى - صلى الله عليه وسلم - بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.”[8]

Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”[9]

Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [10]

Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit.[13]

Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di masing-masing daerah dan kami tidak bisa memberitahukan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda.

Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu[14], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat[15]) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.”[16]

An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.”[17]

Jumlah Raka’at Shalat Dhuha

Jumlah raka’at shalat Dhuha, minimalnya adalah dua raka’at sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat[18]. Jadi boleh hanya dua raka’at, boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.

Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,

مُعَاذَةُ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى صَلاَةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.

Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.”[19]

Bolehkah Seorang Pegawai (Bawahan) Melaksanakan Shalat Dhuha?

Mungkin setiap pegawai punya keinginan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor tentu lebih utama daripada melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas dari atasan adalah wajib sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka sudah seharusnya amalan yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang sunnah. Hal ini berbeda jika kita menjalankan usaha sendiri (wirausaha) atau kita adalah pemilik perusahaan, tentu sekehendak kita ingin menggunakan waktu. Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau pegawai, kita tentu terikat aturan pekerjaan dari atasan.

Maka kami nasehatkan di sini, agar setiap pegawai lebih mendahulukan tanggung jawabnya sebagai pegawai daripada menunaikan shalat Dhuha. Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor. Lihat penjelasan waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di atas.

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah diketahui adalah shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15 menit setelah matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285.[20]

Bolehkah Melaksanakan Shalat Dhuha secara Berjama’ah?

Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[21]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[22]

Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23]

An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[24]

Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab,

“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25]. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[26], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[27]

Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Intinya adalah:

1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

“Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731)

2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.

3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.

4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.

Demikian penjelasan singkat dari kami mengenai shalat Dhuha. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com/

Disempurnakan di Panggang, Gunung Kidul, 24 Dzulhijah 1430 H

[1] HR. Muslim no. 720.

[2] HR. Muslim no. 1007.

[3] HR. Ahmad, 5/354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi.

[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[5] Nailul Author, Asy Syaukani, 3/77, Idaroh At Thob’ah Al Munirah.

[6] HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi, 4/118, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, tahun 1415 H.

[8] HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.

[9] Nailul Author, 3/76.

[10] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[11] Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/425, Al Maktabah At Taufiqiah.

[12] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,hal. 289, Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[13] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah yang akan kami bawakan selanjutnya.

[14] Idem

[15] Syarh Muslim, 6/30.

[16] HR. Muslim no. 748.

[17] Syarh Muslim, 6/30.

[18] Pendapat ini dipilih juga oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah,hal. 289.

[19] HR. Muslim no. 719.

[20] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhut ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 23/423, Darul Ifta’.

[21] Sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh penanya.

[22] Al Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah.

[23] Fathul Baari, 3/421

[24] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[25] Hadits muttafaq ‘alaih.

[26] Hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah ‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah 266 (658)

[27] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah

Artikel lainnya:

Shalat Dhuha bisa Menggantikan Sedekah dengan Seluruh Persendian

http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3049-shalat-dhuha-bisa-menggantikan-sedekah-dengan-seluruh-persendian.html

Hukum Mengerjakan Shalat Dhuha Secara Berjama’ah

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2698-hukum-mengerjakan-shalat-dhuha-secara-berjamaah.html

Melaksanakah Shalat Dhuha di Saat Jam Kantor

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3042-bolehkah-melaksanakan-shalat-dhuha-di-saat-jam-kerja-kantor.html

Adakah Do’a Khusus Ketika Shalat Dhuha?

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3036-adakah-doa-khusus-ketika-shalat-dhuha.html

Adakah Bacaan Surat Tertentu dalam Shalat Dhuha?

http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3032-apakah-ada-bacaan-surat-tertentu-dalam-shalat-dhuha.htm

AZAN DENGAN KASET?


Bismillah,

tanya :Ada sebuah mesjid azannya pake kaset boleh/ngga?jawab :
Majlis Al-Mujtama’ Al Fiqhil Islami dalam Rabithah Al-‘Alam Al-Islami dalam pertemuannya ke 9 di Makkah Al-Mukarramah pada hari Sabtu 12/7/1406H, telah menetapkan keputusan sebagai berikut :

“Sesungguhnya mengumandangkan adzan dalam Masjid ketika waktu shalat masuk dengan alat rekam adzan dan yang sejenisnya adalah tidak cukup dan tidak diperbolehkan menunaikan ibadah tersebut dengan cara ini. Dan dengannya dia dianggap belum menunaikan adzan yang disyariatkan. Sesungguhnya wajib bagi kaum Muslimin mengumandangkan adzan pada setiap waktu shalat, baik itu di masjid, musholla atau dilapangan. Hal ini dalam rangka mewarisi ’amalan yang telah diwariskan oleh kaum Muslimin sejak masa Nabi dan Rasul kita Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam sampai dengan sekarang. Hanya Allah-lah yang memberi taufiq”.

Terbit pula sekumpulan fatawa dari Syaikh yang Utama Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh no.35 pada tanggal 3/1/1387H, dari Lembaga Ulama Senior di Kerajaan Saudi dalam sidangnya pada bulan Rabi’ul Akhir 1398H, dan dari Haiah Kibar Ulama Kerjaan Saudi Arabia no.5779 pada tanggal 4/7/1403 H. Dalam tiga fatawa ini mengandung larangan adzan dengan kaset rekaman. Sesungguhnya mengumandangkan adzan dimasjid takala waktu shalat telah masuk dengan suara rekaman adzan dan yang sejenisnya adalah tidak mencukupi dalam ibadah ini.

Dinukil dari Al Qaulul Mubiin fi Akhta ;il Mushalin oleh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman yang diterbitkan oleh Darul Ibnul Qayyim. Edisi Indonesia Koreksi atas kekeliruan Praktek Ibadah Shalat yang diterbitkan oleh Maktabah Salafy Press.

oleh : Abu Falejs Al-Jawad

posted Jalan yang Lurus

semoga bermanfaat

MENGAPA HATIMU MENJADI KERAS LAKSANA SEBONGKAH BATU?


Bismillah,

Jumat, 01 April 2011

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74) البقرة

kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Allah ta'ala mencela dan mengecam kepada bani Isroil atas berbagai ayat-ayat Allah termasuk menghidupkannya pada orang yang telah mati, dengan firman - Nya:

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ

Kemudian hatimu menjadi keras setelah semua kejadian tersebut
Kerasnya hatimu laksana sebongkah batu yang tidak akan pernah lunak selamanya

Oleh karenanyalah Allah melarang kepada orang-orang yang beriman untuk meniru kelakuan mereka ( yakni hatinya tetap keras laksana batu setelah datangnya hujjah yang terang / dalil yang nyata, namun masih selalu berkelit dengan mencari kalimat-kalimat subhat ( yang remang-remang ) atau bahkan mengingkari datangnya kebenaran dengan penolakan yang nyata, takutlah kepada allah…..)
Allah berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَع قُلُوبهمْ لِذِكْرِ اللَّه وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقّ وَلَا يَكُونُوا كَاَلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَاب مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ* الحديد 16

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dari ibni Abbas: Tatkala orang yang terbunuh itu dipukul dengan sebagian dari anggota badan sapi, lantas ia pun duduk, hidup lagi seperti semula , kemudian ditanyakan kepadanya, siapa yang telah membunuhmu?, iapun menjawab : anak-anak saudaraku yang telah membunuhku, kemudian ia meninggal lagi. Setelah si terbunuh meninggal maka anak-anak saudaranya mengatakan : demi Allah kami tidak membunuhnya, mereka mendustakan kebenaran setelah mereka menyaksikannya dengan mata kepala mereka sendiri, kemudian Allah berfirman :

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ

Kemudian hatimu menjadi keras setelah semua kejadian tersebut
فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

Perihalnya (kerasnya hatimu) laksana batu bahkan lebih keras lagi ( at-thobari 2/225 )

Bersamaan dengan berselangnya masa maka jadilah hati kaum bani isroil menjadi sangat keras dan tidak mempan lagi dengan nashihat meskipun mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka akan berbagai mu'jizat, perihal kerasnya hati mereka laksana batu yang tiada obat lagi untuk melunakkannya, atau bahkan lebih keras lagi dari pada batu, padahal sebagian dari batu-batu itu ada yang dapat mengalirkan mata air sehingga membentuk sungai-sungai, dan batu yang lainnya terbelah lantas mengeluarkan mata air walaupun tidak mengalir, dan sebagian dari batu-batu itu ada yang meluncur dari atas gunung karena takut kepada Allah,

Sehubungan dengan ayat diatas muhammad bin ishaq meriwayatkan dari ibnu abbas :

Bahwa sesungguhnya dari batu-batu itu niscya yang lebih lunak daripada hati kalian, jauh dari kebenaran yang kalian dakwahkan itu

وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74) البقرة

dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
( ibnu abi hatim 1/233)

semoga bermanfaat

LIHAT DULU...! BARU DILAMAR

by Al-Akhi Haidir Rahman Rz -Hafizhahullah-on Tuesday, October 18, 2011 at 11:38am ·

LIHAT DULU!, BARU DILAMAR
Studi Hadits Jabir radhiyallahu 'anhu.
Oleh: Haidir Rahman Rz

            "Sudah nazhar belum?" inilah pertanyaan yang sering kita dengar ketika ada seorang ikhwan ingin melamar akhwat yang dipilihnya. Mungkin bagi sebagian orang istilah ini sudah lumrah, apalagi yang sering mengikuti kajian-kajian sunnah. Namun, bagi sebagian masyarakat mungkin ini adalah istilah asing yang baru pertama kali mereka dengar. Apa itu nazhar? Secara bahasa nazhar berarti melihat. Apa yang dilihat?, ya tentunya wajah akhwat yang ingin dilamarnya. Tradisi yang dikenal di kalangan ikhwan, bahwa nazhar itu adalah dia datang ke rumah akhwat, menemui orang tuanya, menyampaikan niatnya untuk melamar putrinya, kemudian dia dipersilahkan untuk melihat wajah putrinya. Biasanya si ikhwan diberi waktu beberapa hari oleh wali si akhwat untuk menentukan cocok atau tidak dengan putrinya. Jika ternyata memang cocok, mereka berdua akan melanjutkan ke prosesi akad hingga resmilah mereka berdua sebagai suami istri. Namun jika tidak, maka si ikhwan boleh menarik lamarannya. Pendek kata, nazhar yang kita kenal adalah melihat wajah si akhwat ketika khitbah(lamaran). Dan prosesi nazhar itu dilakukan dengan izin si akhwat serta diketahui olehnya.    
            Nah, tradisi yang seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan sunnah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdillah radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Ketika kalian hendak melamar seorang wanita, jika memungkinkan bagi kalian untuk melihat sebagian sifatnya maka lakukanlah.
Kemudian Jabir radhiyallahu 'anhu berkata:
فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِى إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Ketika aku hendak meminang seorang gadis dari Bani Salimah. Aku bersembunyi di balik pohon kurma, hingga aku melihat beberapa sifat yang menarik dari dirinya, akhirnya akupun menikahinya.

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud di dalam Sunannya, Hakim di dalam Mustadraknya, dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra. Semuanya dari jalur Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar dari Dawud ibn Hushain, dari Waqid ibn 'Amr dari Jabir  radhiyallahu 'anhu.

Kritik terhadap riwayat Ibnu Ishaq.
Ibnu Ishaq atau lengkapnya Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar adalah seorang imam Siyar wal Maghazi (Sejarah Islam). Para ulama mengakui riwayat-riwayat beliau dalam bidang sejarah. Namun dibidang hadits, mayoritas derajat riwayat-riwayat beliau adalah hasan. Beliau dikenal sebagai seorang mudallis atau manipulasi isnad hadits. Para ulama mewaspadai riwayat-riwayatnya, apabila beliau meriwayatkan dengan lafaz 'an. Riwayat inilah yang dikenal dengan riwayat 'an'anah. Sebagian ulama melemahkan 'an'anah Ibnu Ishaq ini. Nah, hadits Jabir ini termasuk diantara 'an'anah Ibnu Ishaq. Maka, jika kita hanya melihat isnad hadits ini saja, kesimpulannya hadits ini adalah lemah. Sampai kita menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan hadits ini.

Jawaban bagi kritikan tersebut.
Tadlis atau manipulasi yang dilakukan para mudallis merupakan salah satu sebab dilemahkannya suatu hadits. Karena tadlis adalah upaya menyamarkan sebab kelemahan suatu hadits hingga tidak terlihat. Bagi mereka yang tidak memiliki perangkat ilmu hadits akan mengatakan bahwa riwayat tersebut shahih. Padahal tardapat illah yang disembunyikan oleh seorang mudallis. Oleh sebab itu, para ulama mengambil tindakan preventif untuk tidak menerima riwayat seorang perawi yang mudallis. Karena ada kedhaifan yang disembunyikan oleh sang mudallis. Jadi, tidak diterimanya riwayat seorang mudallis bukan berarti hadits tersebut benar-benar dhaif. Akan tetapi sebagai wujud kehati-hatian, siapa tahu hadits tersebut memang dhaif. Oleh karena itu, jika ada bukti yang bisa mengangkat keraguan riwayat seorang mudallis maka riwayat tersebut bisa diterima. Dan haditsnya bisa naik ke derajat hasan bahkan shahih.
            Nah, setelah dilakukan penelusuran. Ditemukan beberapa bukti yang bisa mengangkat keraguan riwayat Ibnu Ishaq pada hadits ini. Diantaranya adalah:

Pertama: ditemukan pada jalur lain bahwa Ibnu Ishaq meriwayatkannya dengan lafaz haddastana. Dengan demikian beliau telah berterus terang bahwa hadits ini benar-benar didengarnya dari gurunya Dawud ibn Hushain. Dan dengan ini beliau sendiri membuktikan bahwa tidak ada kedhaifan yang beliau sembunyikan dari riwayat ini. Jalur ini terdapat di Musnad Ahmad, bagian Musnad Jabir ibn Abdillah, no. 15250.

Kedua: terdapat hadits lain yang diriwayatkan dari jalur lain yang maknanya senada dengan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu. Diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita Anshar. Diapun datang mengabarkan hal tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa salam. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
"Sudahkah kamu melihatnya?" "Belum wahai Rasulullah", jawabnya. Pergi dan lihatlah dia, karena pada mata wanita Anshar terdapat sesuatu!
[HR. Muslim,3550, bab Sunnahnya melihat wajah dan tangan wanita yang hendak dinikahinya]

2. Hadits Abu Humaid As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: tidak mengapa kalian melihat wanita yang hendak kalian lamar jika memang tujuannya untuk itu, meskipun si wanita tidak mengatahuinya.

[HR. Ahmad, 24319]
            Dengan demikian hadits Jabir ibn Abdillah radhiyallahu 'anhu tentang sunnahnya melihat wanita yang hendak dilamar adalah hasan dan bisa diterima sebagai hujjah.

Makna Hadits
            Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mengatakan "idza khathaba" secara bahasa berarti "Jika kalian telah melamar". Jika kita hanya bersandar dengan pemahaman bahasa, kesimpulannya adalah kita boleh melihat wanita ketika kita sudah melamarnya dan sebelum kita melakukan akad. Hal inilah yang dipahami sebagian ikhwan. Makanya yang masyhur oleh sebagian ikhwan, nazhar atau melihat wanita yang akan dipinang dilakukan ketika melamar bukan sebelum melamar. Padahal makna hadits ini bukanlah demikian. Mengapa?
            Penjelasannya adalah sebagai berikut. "Khathaba" adalah fi'il madhi atau kata kerja yang menyatakan bahwa hal tersebut telah dilakukan. Jadi jika dikatakan khathaba maka maknanya "telah melamar". Namun tidak selamanya kata kerja bermakna lampau ini memiliki arti demikian. Ada beberapa kata kerja lampau(fi'il madhi) yang maknanya adalah "hendak melakukan". Hal ini tergantung konteks kalimat dimana kata tersebut digunakan.  Diantaranya adalah firman Allah subhanahu wata'ala:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
Jika kalian hendak mendirikan shalat.[Al-Maidah ayat:6]
Ayat ini adalah ayat yang mensyariatkan wudhu sebelum shalat. Jika kita kita mengartikan kata "qumtum" pada ayat di atas dengan makna lampau. Maka akan kita katakan "jika kalian telah mendirikan shalat" maka berwudhulah. Dengan demikian wudhu dilakukan setelah shalat. Nah, apakah makna ini benar? Tentu saja tidak. Karena petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa salam adalah berwudhu sebelum shalat. Dengan demikian makna ayat tersebut adalah "Jika kalian hendak mendirikan shalat"
            Nah, hadits Jabir ini juga demikian maknanya bukanlah "Jika kalian telah mengkhitbah/melamar". Akan tetapi "Jika kalian hendak mengkhitbah/melamar". Maka dapat kita simpulkan bahwa prosesi nazhar atau melihat wanita yang hendak dinikahi ini dilakukan sebelum prosesi lamaran.

Sunnahnya melihat sebelum melamar
            Dalam riwayat Jabir di atas, dikisahkan bahwa beliau radhiyallahu 'anhu bersembunyi dibalik pohon kurma untuk melihat gadis yang akan dilamarnya. Hal ini menunjukkan bolehnya bagi seorang muslim untuk melihat wanita yang hendak dilamarnya meskipun sang wanita tidak mengatahui bahwa dirinya sedang diperhatikan. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh riwayat Abu Humaid yang telah kami sebutkan di atas.
            Apa hikmah dari sunnah ini? Diantaranya, agar tidak terjadi rasa ketidaknyamanan ketika melamar. Misalnya si akhwat kurang menarik bagi si ikhwan. Nah, ada pertentangan di hati si ikhwan. "Wah, ni akhwat kurang menarik nih…tapi ntar klo ana cabut lamarannya takutnya dia kecewa lagi…gimana ya?" Atau jika si ikhwan memberanikan diri mengatakan, "wah, pak setelah saya istikharah ternyata saya tidak cocok dengan putri bapak" terkadang hati si akhwat terluka hingga berkata di dalam hati, "apa aku kurang cantik ya…?". Hal-hal seperti ini mungkin saja terjadi. Bahkan ada kasus yang lebih parah sebagaimana diceritakan oleh guru kami Dr. Abdurrahman Asy-Syamrani hafizhahullah bahwa putri kawannya mengalami trauma ketika tahu bahwa laki-laki yang melamarnya tidak tertarik dengan dirinya. Trauma yang dialaminya menjadikan dia tidak mau menikah sama sekali sampai saat ini. Dan ini benar-benar terjadi.
            Atau jika si ikhwan terpaksa menerima akhwat tersebut padahal dia tidak menarik baginya. Ditakutkan akan terjadi ketidakharmonisan di dalam rumah tangga mereka nantinya. Oleh karena itu syariat mengajarkan sunnah ini yaitu melihat calon yang akan dilamarnya sebelum melamar dan tanpa sepengetahuan si akhwat. Inilah pendapat yang dipegang mazhab Syafi'iyyah sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi rahimahullah di dalam Al-Minhaj.
            Jika hal ini tidak memungkinkan, bisa ditempuh cara lain dengan menanyakan ciri-ciri akhwat tersebut kepada orang yang dekat dengannya. Misalnya saudaranya atau sahabat karibnya. Si Ikhwan bisa saja menanyakan ciri-cirinya kepada orang yang bisa dipercaya. Imam Nawawi rahimahullah di dalam Al-Minhaj menukilkan, "Sahabat kami (maksudnya adalah para ulama Syafi'iyyah*pen) mengatakan: jika tidak memungkinkan untuk melihatnya, dianjurkan untuk mengutus seseorang yang bisa dipercaya untuk melihatnya kemudian mengabarkan kepadanya tentang wanita tersebut. Dan itu dilakukan sebelum khitbah". [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibnil Hajjaj, 9/214]

Apa saja yang boleh dilihat?
            Jumhur ulama membolehkan untuk melihat wajah dan kedua tangan. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, "karena keduanya bukan aurat. Dari wajah dapat diketahui cantik tidaknya seorang wanita, dan dari tangannya dapat diketahui apakah wanita tersebut subur atau tidak" [ Al-Minhaj, 9/214]. Kedua bagian ini cukup bagi seorang muslim untuk mengetahui ciri-ciri wanita tersebut. Mazhab Dawud Az-Zhahiriy membolehkan melihat seluruh tubuh wanita yang akan dipinang. Namun ini adalah pendapat yang marjuh. Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam hanya membolehkan melihat sebagian saja, bukan seluruhnya. Alangkah lebih baiknya kita berpegang kepada pendapat jumhur ulama dalam rangka kehati-hatian. Allahu A'lam. 

source

^BOLEHKAH TIDAK MENGHADIRI MAJELIS ILMU KARENA TELAH TERSEDIA BUKU AGAMA DAN RADIO?^

by Putschy Nilakandi on Tuesday, July 12, 2011 at 10:57pm 
 
 Bismillah,

Pertanyaan:

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai kemudahan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita dalam mempelajari agama dengan keberadaan majaah, buku terjemahan, vcd, radio Ahlus Sunnah. Pertanyaannya, apakah cukup dengan media-media tersebut sehingga tidak atau jarang menghadiri majelis ilmu?

Jawaban:

Tidak cukup, karena pada awalnya menuntuk ilmu itu harus lewat ulama. Walaupun sarana-sarana yang Anda sebutkan bisa digunakan dan dimanfaatkan sebagai sarana menuntut ilmu, namun terkadang seseorang salah dalam memahami apa yang dia baca atau apa yang dia dengar. Kesalahan ini biasanya disebabkan oleh keterbatasan ilmu atau pemahaman yang buruk.

Dan jika tidak memahami, dia tidak bisa langsung bertanya. Adapun menuntut ilmu lewat ulama secara langsung, jika ada permasalahan yang belum bisa terpahami dengan baik, dia bisa menanyakannya langsung. Kemudian jika apa yang dia pahami salah, dia bisa segera meluruskan pemahamannya sebelum pemahaman itu melekat kuat. Dia juga bisa belajar cara membela pendapat yang benar dan cara membantah pendapat yang salah.

Alasan lain kenapa tidak cukup hanya dengan media-media tersebut, karena dalam menuntut ilmu itu ada kaidah-kaidah yang seyogyanya diperhatikan. Seperti memulai dengan mempelajari perkara-perkara yang paling penting dan dibutuhkan, dengan menggunakan panduan buku-buku yang ringkas dan lengkap, bukan buku-buku yang pembahasannya panjang lebar dan mendetail, serta disertai perdebatan. Kemudian meningkat ke derajat berikutnya yang lebih tinggi. Semua ini tentu harus dengan bimbingan guru yang ahli. Selain itu, belajar di dalam majelis ilmu memiliki banyak keutamaan yang tidak ada pada metode belajar lewat buku, kaset atau semacamnya. Majelis ilmu termasuk majelis dzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-menyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2700).

‘Atha’ rahimahullah mengatakan, “Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis halal dan haram; bagaimana seseorang membeli, menjual, berpuasa, shalat, bersedekah, menikah, bercerai dan berhaji.” (Al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 132).

Syaikh Salil al-Hilali hafizhahullah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dicintai oleh Allah adalah majelis-majelis ilmu, mempelajari al-Qur’anul Karim dan as-Sunnah al-muththaharrah (yang disucikan) secara bersama-sama dan mencari kepahaman tentangnya. Dan bukanlah yang dimaksudkan (dengan majelis dzikir yaitu) halaqah-halaqah tari dan perasaan model Shufi.” (Bahjatun Nazhirin, 2/519. Cet. 1, Th. 1415 H/1994 M).

Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin al-Badr hafizhahullah, salah seorang dosen di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam, -ed.) di kota Madinah mengatakan,

“Tidak diragukan lagi bahwa menyibukkan diri dengan menuntut dan mencari ilmu, mengetahui halal dan haram, mempelajari al-Qur’anul Karim dan merenungkannya, mengetahui Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sirah (riwayat hidup) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berita-berita beliau adalah dzikir terbaik dan paling utama. Majelis-majelisnya adalah majelis-majelis paling baik, lebih baik daripada majelis-majelis dzikrullah yang berisi tasbih, tahmid dan takbir. Karena pembicaraan dalam majelis-majelis ilmu berkisar antara yang fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, sedangkan dzikir semata-mata (hukumnya) adalah tathawwu’ murni (disukai; sunnah; tidak wajib).” (Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, 1/104, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin al-Badr).

Seandainya keutamaan majelis ilmu hanyalah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, maka itu sudah cukup sebagai pendorong kaum Muslimin untuk menghadiri majelis ilmu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan semangat kepada kita untuk rajin menghadiri majelis ilmu.

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 06 Tahun XIV Dzulqa’dah 1431 H –

semoga bermanfaat

HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG


Bismillah,

Oleh : Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary

Banyak orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits, “Barangsiapa yang membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia di tolak”.

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kecuali kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’at yang ditentukanNya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapa pun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak.. Sebab hanya Allah yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepadaNya.

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam al-Muwaqqi’in (I/344) : “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih [1] hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya”

Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”

Dalam Majmu Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syar’i”.

Demikian yang menjadi pedoman generasi Salafus Shalih, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Allah meridhai mereka.

Untuk lebih lengkapnya, silahkan lihat pada link berikut ini :
http://www.abuayaz.co.cc/2010/05/hukum-asal-ibadah-adalah-terlarang.html?m-1

tanya :

Bismillah.." Semua ibadah itu haram, kecuali yg mengikuti tuntunan"

Mohon penjelasannya tentang hadist ini. Syukron.

jawab :

Itu bukan hadits, tapi sebuah qoidah yang agung, hasil telaah para ulama, yang didasarkan pada dalil :

Yang pertama :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ
...
Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun,

Artinya :
"Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tak ada padanya urusan (agama) kami, maka ia (amalan) itu tertolak". [HR. Muslim (1718)]

yang kedua :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْر ِ نَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

man ahdatsa fii amrinaa hadza ma laisa minhu fahuwa raddun

Artinya :
” Barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yg bukan dari kami maka dia tertolak “( H.R. Bukhari & muslim )

Wallahu a'lam.
__________________________________

“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat & berusaha melakukan amalan yg mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik oleh Allah (QS. Al-Isra / 17:19).

Fakhruddin ar-Razy (544-606 H) menyimpulkn 2 syarat sah ibadah berdasarkn firman Allah tsb, yaitu :

[1].Niat yg ikhlas (mengharapkn pahala akhirat, sesuai hadist :

“Sesungguhnya amalan itu tergantung dr niatnya” (HR.Bukhari).
[2].”brusaha melakukn amalan yg mengantarkn kpdnya” yg artinya hndaknya amalan itu bs mewujudkn pd tujuan tsb. & suatu amalan tdk dianggap demikian, kcuali jk trmasuk amal ibadah & ketaaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan-amalan yang bathil” (Tafsir Ar-Razy (20/180).

Ini jg dipertegas Imam Ibnu Katsir :

“Agar amalan diterima, maka harus memenuhi 2 syarat :

[1]. ikhlas krn Allah;

[2]. harus benar sesuai syariat.

Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas namun tidak benar sesuai syariat, maka amalan tersebut TIDAK diterima.

Ini sesuai hadist :

“Barangsiapa yg mengamalkn suatu amalan yg tdk ada perintahnya dr kami mk amalan itu tertolak” (HR.Muslim 3/1343 No.1718 dr Aisyah).

Begitu juga jika suatu amalan sudah sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat karena Allah; amalannyapun tertolak.”

(Source : Tafsir Ibn Katsir (1/385). Wallahu a’lam.
______________________________

hadist nabi shallallahu alaihi wasallam :

antum tak lamun biumuri dunia kum,

artinya :
engkau lebih tahu urusan dunia daripadaku.

Untuk urusan dunia, yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi (apa saja), dan peradaban manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur :

“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”. [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]

http://www.abuayaz.co.cc/2011/02/perkataan-mereka-kalau-tidak-mau-bidah.html?m=1

semoga bermanfaat

documented

source

CARA YANG BAIK UNTUK MENGINGKARI KEMUNGKARAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami perhatikan banyak sekali para pemuda yang antusias mengingkari kemungkaran, tapi mereka kurang baik dalam mengingkarinya. Apa saran dan petunjuk Syaikh untuk mereka, dan bagaimana cara terbaik untuk mengingkari kemungkaran?

Jawaban:
Saran saya untuk mereka agar mengkaji masalahnya dan pertama-tama mempelajarinya sampai yakin benar bahwa masalah tersebut baik atau mungkar berdasarkan dalil syar'i, sehingga dengan demikian pengingkaran mereka itu berdasarkan hujjah yang nyata, hal ini berdasarkan firman Allah.

"Katakanlah: 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf: 108].

Di samping itu, saya juga menyarankan kepada mereka, hendaknya pengingkaran itu dengan cara yang halus, tutur kata dan sikap yang baik agar mereka bisa menerima sehingga lebih banyak berbuat perbaikan daripada kerusakan, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." [An-Nahl: 125]

Dan firmanNya.

"Artinya : Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [Ali Imran: 159]

Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya."[1]

Dan sabdanya.

"Artinya : Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mem-perindahnya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu kecuali akan memburukkannya."[2]

Serta berdasarkan hadits-hadits shahih lainnya.

Di antara yang harus dilakukan oleh seorang da'i yang menyeru manusia ke jalan Allah serta menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, adalah menjadi orang yang lebih dahulu melakukan apa yang diserukannya dan menjadi orang yang paling dulu menjauhi apa yang dilarangnya, sehingga ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dicela Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya.

"Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir." [Al-Baqarah: 44]

Dan firmanNya.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." [Ash-Shaf: 2-3].

Di samping itu, agar ia tidak ragu dalam hal itu danagar manusia pun melaksanakan apa yang dikatakan dan dilakukannya.
Wallahu waliyut taufiq.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz 5 hal. 75-76, Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]


source


HADITS MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...

http://www.abuayaz.blogspot.com/2011/03/hadits-man-sanna-fii-islam-sunnatan.html?m=1


 

Blog Archive