Follow us on:
Wanita Tidak Bisa Jadi Pemimpin


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Berikut alasan - alasan yang menyebabkan Wanita TIDAK bisa menjadi pemimpin. (dalam tinjauan Syari'at).

Mengapa Wanita Tidak Jadi Pemimpin?


Alasan Pertama; Pemimpin wanita pasti merugikan

 
Abu Bakrah berkata,

لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »

 
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” (HR. Bukhari no. 4425)

Dari hadits ini, para ulama bersepakat bahwa syarat al imam al a’zhom (kepala negara atau presiden) haruslah laki-laki. (Lihat Adhwa’ul Bayan, 3/34, Asy Syamilah)

Al Baghowiy mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya Wanita Sebagai Pemimpin”:

”Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgent. Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”

Alasan Kedua; Wanita kurang akal dan agama

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ


“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)

Apa yang dimaksud dengan kurang akal dan agamanya?

Ada yang menanyakan kepada Syaikh ’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz: Saya seringkali mendengar hadits ”wanita itu kurang akal dan agamanya.” Dari hadits ini sebagian pria akhirnya menganiaya para wanita. Oleh karena itu –wahai Syaikh- kami memintamu untuk menerangkan makna hadits ini.
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:

ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب للب الرجل الحازم من إحداكن فقيل يا رسول الله ما نقصان عقلها ؟ قال أليست شهادة المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا رسول الله ما نقصان دينها ؟ قال أليست إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟


“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya? ” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى


“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah: 282)

Yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)

Alasan Ketiga; Wanita ketika shalat berjama’ah menduduki shaf paling belakang

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)

Alasan Keempat; Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Alasan Kelima; Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا


“Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)

Alasan Keenam; Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui

Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا


“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)

Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?

Alasan Ketujuh; Wanita mudah putus asa dan tidak sabar

Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.

Di Mana Kepemimpinan Wanita?

Wanita hanya diperbolehkan menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya, atau orang yang sederajat dengannya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah. Tujuan dari ini semua adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا


“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no. 2409)

Kita hendaknya menerima ketentuan Allah yang Maha Bijaksana ini. Bukanlah Allah membendung hak asasi manusia, tetapi Dialah yang mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kebahagiaannya masing-masing.

Masih Ngotot Adanya Persamaan Gender

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Masing-masing wajib mengimani dan menerima bahwa harus ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik dari segi lahir dan batin, menurut tinjauan syari’at Islam. Masing-masing harus ridho dengan taqdir Allah dan syari’at Islam. Perbedaan ini adalah semata-mata menuju keadilan, dengan perbedaan ini kehidupan bermasyarakat menjadi teratur.
Tidak boleh masing-masing berharap memiliki kekhususan yang lain, sebab akan mengundang kemarahan Allah, karena masing-masing tidak menerima ketentuan Allah dan tidak ridho dengan hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba hendaknya memohon karunia kepada Rabbnya. Inilah adab syari’at Islam untuk menghilangkan kedengkian dan agar orang mukmin ridha dengan pemberian Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat An Nisaa’ ayat 32 yang maksudnya adalah kita dilarang iri dengan kedudukan orang lain.
Selanjutnya, jika hanya berharap ingin meraih sifat lain jenis dilarang di dalam Al Qur’an, maka bagaimana apabila mengingkari syari’at Islam yang membedakan antara laki-laki dan wanita, menyeru manusia untuk menghapusnya, dan menuntut supaya ada kesamaan antara laki-laki dan wanita, yang sering disebut dengan istilah emansipasi wanita. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah teori sekuler, karena menentang taqdir Allah ….” (Hirosatul Fadhilah)

Sadarlah!

Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya bila dilaksanakan, kebaikan dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Tetapi jika peraturan ini dilanggar, jangan berharap perdamaian di dunia apalagi kenikmatan di akhirat. Tetapi lihatlah perzinaan dan fitnah wanita serta kehancuran aqidah, ibadah, akhlaq, dan ekonomi yang ini tidak bisa kita tutupi lagi, belum lagi besok di alam kubur, belum lagi di alam akhirat.
Ya Allah, tunjukilah kami (dengan izin-Mu) pada kebenaran dari apa-apa yang kami perselisihkan di dalamnya. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shalallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****
Diselesaikan sore hari di Wisma MTI, 11 Rabi’ul Akhir 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com/
— with Dhian Ratnasari and 3 others at Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

***

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

Aturan perempuan dalam ranaj politic di perspektif islam telah menjadi polemik. Hal ini menjadi sesuatu yang krusial untuk didiskusikan antara individu yang membuatnya menjadi isuyang marginal dan individual yang mana melegalkannya.

Akar rumput pertama dari masalah ini dimengerti mengenai surat Al-Quran surat An-Nissa (Q.S. 4/34) "Arrijalu Qawaamunna ala an-nisa bima fadhdhalallahu ba’dahum a’la ba’dhin".

Sungguh, ayat ini menjadi acuan bagi kasus sa''ad bin Abi Rabi dengan istrinya, Habibah binti Zaid. Habibah telah nusyuz dan Sa''ad memberikan response yang kasar. Dia memukul tubuh istrinya. Kemudian Habibah melaporkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memohon dengan tujuan agar suaminya dihukumi dengan qishash.

Sebelum mereka melakukan qishash, datang ayat. Kemudian, konteks dari surat tersebut adalah untuk masalah keluarga atau masalah domestik bukan untuk dibuka dipublik. Ayat tersebut berkenaan dengan masalah rumah tangga telah disimpulkan secara umum. Sehingga hak wanita untuk isu yang lain telah dihilangkan.

Kedua, hadist: lan yaflaha qaumun wallau amrahum imra’atan. Berdasarkan laporan dari Bukhari dan Ahmad Ibnu Hambali, hal ini dikenal dengan sumber dari hadist adalah Abi Bakrah.

Ibn Atsir berkata bahwa hadist ini adalah lemah, karena sanadnya telah cacat. Jika hadist ini sahih sebagaimana pendapat Ibnu Hajar Al-Astqalani, Hadist ini harus diinterpretasikan secara kontekstual.

Berdasarkan sejarah, hadist datang kepada Buwaran dari Kisra Persia yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja. Secara faktanya, hal ini dipercaya bahwa dia tidak kredibel dan begitu lemahnya. Orang-orang begitu khawatir tentang kemampuan dia yang mengakibatkan pengaruh pada politik.

Kemudian, hadist ini merupakan hal yang kasuistik. Demikianlah, menolak hak wanita dalam ranah politik sebagai pemimpin berdasarkan perspektif islam tidak didefinisikan secara terinci.

Diterbitkan di : 16 April, 2009

Sumber:  


http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/1884520-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-islam/#ixzz1XYsnaHrw

semoga bermanfaat
— at Crown Palace.


[Islam-Net] Kajian tentang Kepemimpinan Wanita
 

Badrus Zaman - Wed, 7 Jul 1999 00:05:33 -0700
 

Assalamu'alaikum,
  
Bersama ini saya attach satu tulisan kajian fiqh tentang kepemimpinan wanita.

Dalil Al-Qur'an tentang kepemimpinan wanita memang tidak setegas larangan mengangkat pemimpin dari golongan kafir, yahudi, nasrani, dan orang-orang yang menjadikan agama sebagai permainan (ditinjau dari
larangan yang terakhir ini, Megawati mungkin layak dianggap sebagai orang yang menjadikan agama sebagai permainan karena dia bersembahyang di pura padahal dia mengaku Islam). Menghubungkan masalah kepemimpinan wanita ini dengan fenomena pencalonan Megawati menjadi presiden memang tidak cukup dengan pendekatan fiqih semata. Bagi pendukung Megawati, apapun alasan yang kita berikan, baik dengan dalih agama maupun kapabilitas Megawati, menurut saya akan sangat sulit mengurangi dukungan tersebut. Karena, sepanjang pengamatan saya, para pendukung Megawati kebanyakan tidak menggunakan alasan yang rasional.

Karena itu, kajian tentang kepemimpinan wanita, menurut saya bukan ditujukan kepada para pendukung Megawati, tetapi kepada komunitas masyarakat yang mau sungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan Islam.
Bagi golongan yang kedua ini, tentunya ketaatan kepada Allah dan kehati-hatian dalam mengambil dan menerapkan hukum akan lebih penting daripada kemenangan dalam perdebatan.

Demikian tanggapan saya, mudah-mudahan bermanfaat.

Wassalamu'alaikum

Badrus

PRESIDEN WANITA

Kontroversi tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden makin
memuncak. Ini terutama setelah hasil perhitungan suara pemilu 7 Juni lalu menunjukkan PDI Perjuangan unggul telak dibanding 47 partai-partai peserta pemilu lainnya, termasuk dengan saingan terdekatnya, Partai Golkar. Partai yang biasanya menjadi pemenang pemilu, kali ini harus rela bertengger di nomer dua dengan perolehan suara yang terpaut cukup jauh (lebih dari 100 %) dibanding PDI-P. Kendati suara yang masuk baru sekitar 70%, dalam perhitungan sisa suara, perolehan PDI Perjuangan justru makin mantap.

Kemenangan PDI Perjuangan ini tak pelak lagi telah memompa optimisme di kalangan pendukung fanatik Megawati untuk meraih kursi kepresidenan. Bagi mereka, logikanya cuma satu: pemimpin partai pemenang pemilu mestilah menjadi presiden. Ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan para pengamat atau beberapa tokoh yang katanya non partisan, tapi dari pernyataan-pernyataannya tampak sekali kesan membela Mega, maka makin kentallah semangat untuk meng-golkan Mega ke tampuk kursi kepresidenan. Padahal, dengan perolehan suara PDI Perjuangan yang katakanlah maksimal 40%, di MPR dengan jumlah kursi 700 partai metal itu jelas tidak akan menjadi mayoritas tunggal. Jadi, bagaimana mungkin Mega otomatis harus menjadi presiden? Belum lagi ditambah dengan sejumlah keberatan baik itu menyangkut kapabilitas (kemampuan) Mega sebagai calon presiden maupun halangan hukum Islam. Jadi, sebenarnya peluang Mega untuk menjadi presiden masih cukup terjal.

Tapi segala keberatan yang diajukan baik itu dari sisi kapabilitas Megawati yang sangat diragukan maupun pandangan hukum Islam tentang larangan mengangkat wanita sebagai presiden, malah dituding sebagai rekayasa untuk menghalangi Mega. Keadaan inilah yang kini tengah mewarnai jagad perpolitikan Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan semata untuk menegaskan sekali lagi pendirian hukum Islam tentang presiden wanita. Lepas dari siapa calonnya. Megawati atau bukan.

Presiden Wanita: Haram

Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang
wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jaami’ li ahkami al-Qur’an mengatakan, "Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara)". Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.

Pertama, terdapat hadits shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara.
 
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita" (HR. Bukhari). Lafadz wallau amrahum dalam hadits ini berarti mengangkat seseorang sebagai waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadits ini memang merupakan komentar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia. 

Sekalipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadits ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qarinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya haram.

Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadits ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadits ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khattab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadits seperti Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadits tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.

Di samping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah al-imamu al-azham sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadits di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Bila dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?

Kedua, didalam al-Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah)" (An Nisa’ 59)

Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata uulatul amri.

Ketiga, didalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita" (An-Nisa' 34). Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri' min baabi al-aula (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib dise- rahkan kepada laki-laki.

Keempat, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim(Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenya-taan bukanlah hukum,
apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyimpang, maka kewajiban kita justru untuk meluruskan
bukan malah membuat penyimpangan yang lain.

Khatimah

Demikianlah hukum Islam mengenai larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Penjelasan telah diberikan, berpulang kepada kita mau menerima atau tidak. Tapi, diluar itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan:

Pertama, bahwa risalah ini dibuat semata untuk menjelaskan kepada ummat Islam engan penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai hukum Islam tentang larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Sekali lagi, lepas dari calon presiden Indonesia mendatang adalah Megawati atau yang lain. Andaipun calon itu misalnya adalah Aisyah Amini atau wanita muslimah lainnya, tetap saja kita harus menolak pencalonan itu berdasarkan ketentuan hukum Islam.

Kedua, kontroversi antara yang pro dan kontra presiden wanita kelihatannya bakal tidak akan menghasilkan titik temu bila sejak dari awal pijakan berpikirnya saja sudah berbeda. Pihak yang pro presiden wanita menggunakan alasan kesetaraan gender (gender equality) (jenis kelamin), bahwa baik lelaki atau perempuan harus diberikan hak politik yang sama termasuk kesempatan untuk menjadi presiden. Dalam hal ini mereka sama sekali tidak mempertimbangkan tuntunan agama, sekalipun diantara mereka mungkin banyak yang beragama Islam. Sementara, yang kontra mendasarkan pendapatnya pada ketentuan hukum Islam, disamping mungkin ada juga faktor lain.

Ketiga, sebagai seorang muslim seharusnya kita senantiasa mendasarkan pendapat-pendapat kita kepada tuntunan Islam. Termasuk partai-partai yang mengaku berasas Islam seperti PPP, PBB dan Partai Keadilan. PKB yang berintikan para ulama dan merupakan partai resmi yang dibidani PBNU (NU sendiri artinya adalah kebangkitan ulama) juga semestinya hanya melandaskan keputusan-keputusan politiknya pada
ajaran Islam. Ulama macam mana bila ia tidak lagi berpegang pada syariat Islam? Bahkan PAN-pun, yang menyebut diri partai terbuka yang lintas agama, juga harus terikat kepada aturan Islam. Bukankah salah satu prinsip partai pimpinan tokoh reformasi Amien Rais adalah moral agama? Agama mana yang dimaksud bila bukan Islam, oleh karena konstituen (pendukung) utama partai ini adalah warga Muhammadiyah? Oleh karena itu, tidak layak sama sekali bila partai-partai itu, -sebenarnya termasuk juga Golkar yang sekarang ini dikemudikan oleh banyak alumni HMI-- dan juga semua kaum muslimin, mendukung pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Bila kita tak acuh terhadap ketentuan hukum Islam mengenai hal ini, lantas dimanakah kemusliman kita hendak diletakkan !

Keempat, oleh karena itu melalui risalah ini diserukan kepada pimpinan partai-partai Islam atau yang berbasis umat Islam; para ulama, para kyiai atau ustadz dan semua kaum muslimin, termasuk umat Islam yang menjadi pendukung bahkan menjadi pengurus PDI Perjuangan, untuk menolak pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Harus dipahami, bahwa seruan ini sama sekali tidak didasari kebencian kepada pribadi Megawati, tapi justru didorong oleh rasa kasih dan sayang kepada putri Bung Karno ini. Sebagai sesama muslim, kita tentu tidak menginginkan Megawati sebagai seorang muslimah terjerumus pada dosa dan kesalahan hanya lantaran dorongan orang-orang disekitarnya yang tidak tahu atau tidak mau tahu
terhadap prinsip agama Islam.

Kelima, kita ini sebenarnya sudah terlalu banyak melanggar aturan-aturan Allah. Lihatlah, berbagai tatanan kehidupan baik yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, maupun pemerintahan, nyata-nyata tidak sesuai dengan syariat islam. Di bidang hukum, begitu banyak hukum-hukum sekuler yang diterapkan dan boleh jadi masih akan banyak lagi yang dilegalkan melalui keputusan parlemen. Masihkah kita akan menambah semua itu dengan maksiyat besar yang baru: mengangkat presiden wanita?

Tidakkah cukup krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik yang mendera negeri ini lebih dari dua tahun lamanya menyadarkan kita untuk kembali kepada jalan yang benar? Krisis seperti apa lagi yang bakal terjadi bila kita tetap terus membangkang, tak acuh terhadap hukum-hukum Allah dan segala ancaman-Nya?


Bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman !


http://www.mail-archive.com/islam@ssi1.ssi.global.sharp.co.jp/msg01261.html

***


Blog Archive