Follow us on:
KESALAHAN TAREKAT SUFI

“Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka..” Benarkah pernyataan ini?

Posted 14 July, 2012 by dr.Abu Hana | نادرفلأ ءاـنـهوبأ | in Sunnah dan Bid'ah (ةعدبلاو ةنسلا). Tagged: KESALAHAN SUFI, kesesatan ibnu arobi, kesesatan manunggaling kawula gusti, kesesatan sufi, kesesatan tasawuf, sufi tidak mengharap surga, sufi tidak takut neraka. 9 Comments

2 Votes KESALAHAN TAREKAT SUFI : “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka..” Benarkah pernyataan ini? Membongkar Ajaran Tasawuf: Ibadah & Agamanya (1) Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah

Orang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir-memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut :

1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.

Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.

Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah :

ِةَنِطاَبْلاَو ِةَرِهاَّظلا ِلاَمْعَألْاَو ِلاَوْقَألْا َنِم ُهاَضْرَيَو ُهللا ُهُّبِحُياَمِل ٌعِماَج ٌمْسِإ

“Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhoi baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.

Al Allamah Ibnu Qoyim berkata :

ُناَبْطُقْلا ْتَماَق ىَّتَح َراَد اـَم

ٌرِئاَد ِةَداـَبِعْلا ُكَلَف اَمِهـْيَلَعَو

ِناَبْطُق اَمُه ِهِدِباـَع ِّلُذ َعـَم

ِهِّبُح ُةَياـَغ ِنَمْحَّرلا ُةَداـَبِعَو

Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya

Bersama kerendahan hamba-Nya, keduanya merupa-kan dua kutub

Dan diatas keduanya rotasi ibadah berputar.

Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak.

Karena itu sebagian salaf berkata:

ٌدِّحَوُم ٌنِمْؤُم َوُهَف ِءاَجَّرلاَو ِفْوَخْلاَو ِّبُحْلاِب ُهَدَبَع ْنَمَو ،ٌّيِرْوُرَح َوُهَف ُهَدْحَو ِفْوَخْلاِب ُهَدَبَع ْنَمَو ،ٌئِجْرُم َوُهَف ُهَدْحَو ِءاَجَّرلاِب ُهَدَبَع ْنَمَو ،ٌقْيِدْنِز َوُهَف ُهَدْحَو ِّبُحْلاِب َهللا َدَبَع ْنَم.

“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq[1] ) , dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah[2] ) dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [3] ) , dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”

Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut atas azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepadanya dengan harap dan cemas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah –rahimahullah-berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.

Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [4] )

Dia juga berkata: “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesunggunya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta sebagi ujian bagi kecintaan mereka, sebagaimana firmannya :

]31نرمع لآ[[ ُهللا ُمُكْبِبْحُييِنوُعِبَّتاَف َهللا َنْوُّبِحُت ْمُتْنُك ْنِإ ْلُق: ]

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”. (Ali Imran: 31)

Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan yang haram baginya”.

Syaikhul Islam juga berkata: “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nashrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariatnya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) dija-lannya atau yang semacamnya”.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta tidak dinamakan sesuatu itu sebagai ibadah, bahkan bisa jadi justru akan membawa pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.

[1]. Zindiq: Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat (Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah). (penj.)

[2] . Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah beramal sama sekali (penj.)

[3] . Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul. (penj.)

1. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’.

Sumber : http://www.salafy.or.id/2003/10/25/membongkar-ajaran-tasawuf-ciri-ibadah-agamanya/
 

Ibnu arabi adalah seorang dedongkot sufi,pengibar bendera wahdatul wujud(wafat 638 h).dia mempunyai pemikiran kufur,oleh krnanya para ulama menganggapnya sesat bhkn tdk sdkt yg mengkafirkannya.syeikh burhanuddin al-biqa'i menulis sebuah kitab berjudul tanbih al ghabiyyi 'ala takfir ibnu arabi.dlm kitab tsb beliau menukilkan krng lbh 50 ulama yg mengkafirkan atau menganggapnya sesat,diantaranya al-izz bin abdussalbm,ianu daqiq al ied,ibnu shalah,ibnu hajar al asqolani.al bulqini,adz dzahabi dll.(lht pula mashra' tashawwuf oleh burhanuddin al biqa'i dan dr radd 'al ar rifa'i wa al buthi oleh syaikh abdul muhsin al abbad).,.al hafizh adz zhahabi dlm siyar a'lamin nubala' berkata: diantara karya tulis ibnu arabi yg plng jelek adalah kitab fushul,sebab kl di dlmnya itu bkn kekufuran,maka tdk da kekufuran di dunia ini.kt memohon kpda allah ampunan dan keselamatan...ismail abul fida' dlm kitab akhbar basyar menyebutkan: pd thn 744 h kami merobek kitab fushus hikam karya ibnu arabi di madrasah 'ushfuriyah di kota halab usai pelajaran sebagai peringatan akan haramnya menelaah dao memiliki kitab tsb.saya berkata: 'ini adalah fushus/batu mata cincin yg tiada berharga.saya tlh membaca ukirannya tetapi pahalanya ada pd sebaliknya'(lht pula kutub hadzara minha al ulama oleh syaikh masyhur hasan salman).anehnya,kitab ini tlh di syarah oleh krng lbh seratus lbh ulama sufi,tiga diantaranya mereka adalah murid2 ibnu arabi sndri !!(lht muallafat ibnu arabi oleh utsman yahya,aqidah shufiyyah oleh ds.ahmad bin abdul aziz)...allahul musta'an.  

 Sufi gila...

http://www.youtube.com/watch?v=Syg_dUEwUO0&feature=related


SUfi bukan Islam

http://www.youtube.com/watch?v=cWzJOl2ZSE8&feature=related


http://www.youtube.com/watch?v=2kqJyBolLjU&feature=related

http://www.youtube.com/watch?v=BL5-QnxKP6E&feature=related

http://www.youtube.com/watch?v=kMDIIsbvlAk&feature=related

http://www.youtube.com/watch?v=2U_PWmQ_LtI&feature=related

http://www.youtube.com/watch?v=mtT5RfDfeIE&feature=related

Celaan Ulama Ahlus sunnah terhadap Sufi

1. Celaan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap shufiyah.

Shufiyah bukanlah pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Di antara buktinya adalah banyaknya celaan dari Al-Imam Asy-Syafi’i dan lainnya terhadap mereka. Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu:

“Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang shufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya.” Beliau juga berkata, “Azas (dasar shufiyah) adalah malas.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu hal. 13-15)

Beliau menamai shufiyah dengan kaum zindiq. Kata beliau rahimahullahu, “Kami tinggalkan Baghdad dalam keadaan orang-orang zindiq telah membuat-buat bid’ah yang mereka namakan sama’ (nyanyian sufi, red.).” Asy-Syaikh Jamil Zainu berkata, “Orang-orang zindiq yang dimaksud Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah kaum shufiyah.” (Lihat Shufiyah fi Mizan Al-Kitabi was Sunnah)

2. Celaan Al-Imam Malik rahimahullahu terhadap shufiyah

At-Tunisi mengatakan: Kami berada di sisi Al-Imam Malik, sedangkan murid-murid beliau di sekelilingnya. Seorang dari Nashibiyin berkata: “Di tempat kami ada satu kelompok disebut shufiyah. Mereka banyak makan, kemudian membaca qashidah dan berjoget.” Al-Imam Malik berkata,

“Apakah mereka anak-anak?” Orang tadi menjawab, “Bukan.” Beliau berkata, “Apakah mereka adalah orang-orang gila?” Orang tadi berkata, “Bukan, mereka adalah orang-orang tua yang berakal.” Al-Imam Malik berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang pemeluk Islam melakukan demikian.”

3. Celaan Al-Imam Ahmad rahimahullahu terhadap shufiyah

Beliau ditanya tentang apa yang dilakukan shufiyah berupa nasyid-nasyid dan qashidah yang mereka namakan sama’. Beliau berkata, “Itu adalah muhdats (perkara baru yang diada-adakan dalam Islam).” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah boleh kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab, “Janganlah kalian duduk bersama mereka.” Beliau berkata tentang Harits Al-Muhasibi –dia adalah tokoh shufiyah–, “Aku tidak pernah mendengar pembicaraan tentang masalah hakikat sesuatu seperti yang diucapkannya. Namun aku tidak membolehkan engkau berteman dengannya.”

4. Celaan Al-Imam Abu Zur’ah rahimahullahu terhadap shufiyah

Al-Hafizh berkata dalam Tahdzib: Al-Bardza’i berkata, “Abu Zur’ah ditanya tentang Harits Al-Muhasibi dan kitab-kitabnya. Beliau berkata kepada penanya, ‘Hati-hati kamu dari kitab-kitab ini, karena isinya kebid’ahan dan kesesatan. Engkau wajib berpegang dengan atsar, akan engkau dapati yang membuatmu tidak membutuhkan apapun dari kitab-kitabnya’.”

5. Celaan Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu terhadap shufiyah

Beliau berkata, “Aku telah menelaah keadaan shufiyah dan aku dapati kebanyakannya menyimpang dari syariat. Antara bodoh tentang syariat atau kebid’ahan dengan akal pikiran.”

6. Marwan bin Muhammad rahimahullahu berkata:

“Tiga golongan manusia yang tidak bisa dipercaya dalam masalah agama: shufi, qashash (tukang kisah), dan ahlul bid’ah yang membantah ahlul bid’ah lainnya.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah, hal.16-18)

Imam Syafi’i menamai shufiyah dengan kaum zindiq, beliau berkata : “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang shufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya.” Beliau juga berkata, “Azas (dasar shufiyah) adalah malas.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu hal. 13-15)


Termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).

(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).

Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)


Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “

Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

“…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”.

(Majmu’ Al Fatwa, 11/215).


Termasuk doktrin ajaran Tasawuf ( baca Ajaran Dajjal ) yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla.

DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan,

“Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami (?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab,

“Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya”

(Majmu’ Al Fatawa 11/569).

Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raaf: 51).


SEKTE SEKTE SESAT KAUM TASAWUF

Pertama, sekte Al Isyraqi,

sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk /Manunggaling Gusti ing kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.

Kedua,

sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah- pada tahun 309 H. Di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):

Maha suci (Allah) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan

rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus

Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya

dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum

Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya

seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata

Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:

Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku

kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad

Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia

Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami

Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli Tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini Dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.

Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena ke-zindiqan-nya sehingga sebagian orang-orang ahli Tasawuf menyatakan berlepas diri darinya-, tetap saja ada orang-orang ahli Tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).

Ketiga,

sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) -maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah wong elek yang bernama Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354) yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus.

Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal.43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:

Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba

duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?

Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan

Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!

Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah”.

Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.


BEBERAPA CONTOH KESESATAN AJARAN TASAWUF

Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli Tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

Pertama,

Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham wihdatul wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihis salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.

Kedua,

Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:

(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah!

dan kepada Allah kembalilah!

(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal.19)

Ketiga,

At Tilmisani, seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami”. Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram”. (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186)

Keempat,

Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?! (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’, 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36).

Kelima,

Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli Tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: … Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafazh di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli Tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid.

Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata, ‘membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran’. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).

Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla)” (Ibid, 4/83).

Keenam,

Asy Sya’rani, seorang tokoh besar Tashawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli Tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli Tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali (?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124)

Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan di antara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”. Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [ Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’ 13]

source