Follow us on:
[Aqiqah Dengan Selain Kambing?] -- Sebuah Tinjauan Singkat

 
 
Aqiqah Dengan Selain Kambing? 
 
Sebuah Tinjauan Singkat

Di dalam Al-Maushu'ah Al-Fiqhiyyah disebutkan sebagai berikut :

يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ الْجِنْسُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ ، وَهُوَ الأَْنْعَامُ مِنْ إِبِلٍ وَبَقَرٍ وَغَنَمٍ ، وَلاَ يُجْزِئُ غَيْرُهَا ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَنَفِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَهُوَ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ عِنْد
َ الْمَالِكِيَّةِ وَمُقَابِل الأَْرْجَحِ أَنَّهَا لاَ تَكُونُ إِلاَّ مِنَ الْغَنَمِ .وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُجْزِئُ فِيهَا الْمِقْدَارُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأْضْحِيَّةِ وَأَقَلُّهُ شَاةٌ كَامِلَةٌ ، أَوِ السُّبُعُ مِنْ بَدَنَةٍ أَوْ مِنْ بَقَرَةٍ .وَقَال الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ إِلاَّ بَدَنَةٌ كَامِلَةٌ أَوْ بَقَرَةٌ كَامِلَةٌ
 
"Telah tercukupkan aqiqah dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu jenis ternak seperti Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah dengan selain itu. Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dan pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan Malikiyah, yang diutamakan dari mereka adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak. Kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa telah sah aqiqah dengan hewan yang seukuran dengan hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor kambing yang telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan Sapi yang telah sempurna." [Al-Maushu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah 30/279]

Sebagian ulama dan penuntut ilmu berdalil bolehnya aqiqah dengan selain kambing adalah dari hadits berikut :
سَلْمَانُ بْنُ عَامِرٍ الضَّبِّيُّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
 
Salman bin 'Amir Adh-Dhabbi -radhiyallahu 'anhu- berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Pada setiap anak lelaki terdapat kewajiban aqiqah, maka sembelihlah hewan dan buanglah keburukan darinya." [Diriwayatkan Bukhari no. 5049; Abu Daud no. 2456; Tirmidzi no. 1434; dan selainnya]
Menurut mereka, hadits ini tidak menyebutkan detil bahwa yang disembelih adalah harus kambing. Yang diperintahkan adalah menyembelih hewan secara umum. Oleh karena itu mereka menyamakan jenis hewan yang disembelih pada aqiqah dengan jenis hewan qurban, dan itu adalah kambing, unta, sapi (atau kerbau).

Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hafizh Ishaq bin Rahawaih berikut, yang mengingkari aqiqah dengan selain kambing :

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ ، أنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ ، عَنْ عَطَاءٍ ، قَالَ : قَالَتِ امْرَأَةٌ عِنْدَ عَائِشَةَ : " لَوْ وَلَدَتِ امْرَأَةُ فُلانٍ نَحَرْنَا عَنْهُ جَزُورًا , قَالَتْ عَائِشَةُ : لا , وَلَكِنَّ السُّنَّةَ عَنِ الْغُلامِ شَاتَانِ , وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ "
 
Telah mengkhabarkan kepada kami 'Abdullah bin Idris, telah mengkhabarkan kepada kami 'Abdul Malik bin Abi Sulaiman, dari 'Atha', ia berkata, seorang wanita datang dan berkata kepada 'Aisyah -radhiyallahu 'anha-, "Jika ada seorang wanita melahirkan fulan (seorang anak laki-laki) maka kami menyembelih seekor unta." Berkata 'Aisyah, "Jangan! Yang sesuai dengan sunnah adalah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan untuk anak perempuan dengan seekor kambing." [Diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad no. 906] -- sanadnya hasan, rawi-rawinya termasuk para perawi Ash-Shahihain kecuali 'Abdul Malik bin Abi Sulaiman, ia dipakai Al-Bukhari dalam At-Ta'liq dan dikatakan oleh Ibnu Hajar bahwa ia "shaduq lahu auham". [Taqribut Tahdzib no. 4184]

'Abdul Malik bin Abi Sulaiman mempunyai mutaba'ah dari :

1. Ibnu Khutsaim

أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ ، نا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ ، عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : " أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَقِيقَةِ عَنِ الْغُلامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ "
 
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya bin Adam, telah mengkhabarkan kepada kami 'Abdurrahim bin Sulaiman, dari Ibnu Khutsaim, dari Yusuf bin Mahik, dari Hafshah binti 'Abdirrahman, dari 'Aisyah, ia berkata, "Kami diperintahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam untuk beraqiqah dari anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan dari anak perempuan dengan seekor kambing. [Diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih no. 1146] -- sanadnya hasan. Ibnu Khutsaim seorang yang shaduq. [Taqribut Tahdzib no. 3466]

2. Ibnu Juraij

أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أنَا ابْنُ جُرَيْجٍ ، أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي يَزِيدَ ، عَنْ بَعْضِ أَهْلِهِ ، أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ ، تَقُولُ : " عَلَى الْغُلامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَلَى الْجَارِيَةِ شَاةٌ ، لا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ ، أَمْ إِنَاثًا " تَأْثِرُ ذَلِكَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 
Telah mengkhabarkan kepada kami 'Abdurrazzaq, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengkhabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Abi Yazid, dari beberapa orang, bahwa mereka mendengar Ummul Mukminin ('Aisyah) berkata, "Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sejenis, dan untuk anak perempuan seekor kambing, tidak perduli (kambing tersebut) berjenis kelamin jantan ataukah betina, seperti itulah kami mendengar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam." [Diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih no. 1147] -- sanadnya dha'if karena terdapat rawi yang mubham (tidak disebut namanya).

Dan Imam Al-Hafizh Abu Ja'far Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar meriwayatkan :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَجَّاجِ الْحَضْرَمِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَسَدُ بْنُ مُوسَى ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ وَرْدٍ الْمَكِّيُّ ، قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ ، يَقُولُ : نُفِسَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ غُلامٌ ، فَقِيلَ لِعَائِشَةَ : يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ , عُقِّي عَنْهُ جَزُورًا . فَقَالَتْ : مَعَاذَ اللَّهِ ، وَلَكِنْ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ "
 
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hajjaj Al-Hadhrami, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Asad bin Musa, ia berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Jabbar bin Ward Al-Makki, ia berkata, aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, telah lahir di sisi 'Abdirrahman bin Abu Bakar seorang anak laki-laki, maka ditanyakan kepada 'Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, apakah aqiqah untuknya dengan seekor unta?" 'Aisyah menjawab, "Aku berlindung kepada Allah! Yang sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah dua ekor kambing yang sejenis." [Musykil Al-Atsar no. 876; Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi no. 17750] -- sanadnya hasan, lihat Al-Irwa' 4/390.

Perkataan 'Aisyah pada hadits Ibnu Rahawaih ("Jangan!") dan pada hadits Ath-Thahawi ("Aku berlindung kepada Allah!") merupakan kalimat yang tegas menafikan aqiqah dengan selain kambing, dan penafikan beliau dihukumi marfu' karena memang seperti itulah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah tidak pernah memerintahkan untuk beraqiqah dengan hewan selain kambing, baik itu sapi, unta, kerbau dan lainnya. Lihat As-Silsilatu Ash-Shahihah 6/219.

Oleh karena itu riwayat ini :

حَدَّثَنَا أَبُو مُسْلِمٍ ، ثنا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، ثنا قَتَادَةُ ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ " يَعُقُّ عَنْ بَنِيهِ الْجَزُورَ "
 
Telah menceritakan kepada kami Abu Muslim, telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas bin Malik, bahwasanya Anas mengaqiqahi dua anaknya dengan unta. [Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Mu'jam Al-Kabir no. 684] -- zhahir sanadnya shahih tetapi mauquf dan ini adalah perbuatan Anas bin Malik. Perbuatan beliau tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak adanya landasan hukum dari Rasulullah (mengenai aqiqah dengan selain kambing) dan riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat yaitu penafikan dari 'Aisyah yang dihukumi marfu'.

Adapun riwayat ini :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مَرْوَانَ الْوَاسِطِيُّ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَعْرُوفٍ الْخَيَّاطُ الْوَاسِطِيُّ ، حَدَّثَنَا مَسْعَدَةُ بْنُ الْيَسَعِ ، عَنْ حُرَيْثِ بْنِ السَّائِبِ ، عَنِ الْحَسَنِ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ وُلِدَ لَهُ غُلامٌ فَلْيَعِقَّ عَنْهُ مِنَ الإِبِلِ أَوِ الْبَقَرِ أَوِ الْغَنَمِ "
 
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ahmad bin Marwan Al-Wasithi, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik bin Ma'ruf Al-Khayyath Al-Wasithi, telah menceritakan kepada kami Mas'adah bin Al-Yasa', dari Harits bin As-Sa'ib, dari Al-Hasan, dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa melahirkan seorang anak laki-laki, maka hendaklah ia beraqiqah dengan seekor unta, sapi atau kambing." [Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Mu'jam Ash-Shaghir no. 228]. Hadits ini adalah hadits palsu. Abdul Malik bin Ma'ruf seorang yang majhul. Mas'adah bin Al-Yasa' seorang yang halik (binasa) dan ia didustakan oleh Abu Daud. [Lisanul Mizan no. 8282; Mizanul I'tidal no. 8467].

Al-'Allamah Ibnul Qayyim mengatakan :
"Hadits yang menyebutkan penyembelihan aqiqah dengan hewan masih bersifat umum, ia telah dikhususkan dengan hadits-hadits yang menyebutkan bahwa penyembelihan aqiqah itu dengan hewan berjenis kambing. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, 'untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan seekor kambing', hadits ini merupakan pengkhususannya dan dalil yang mengkhususkan lebih diutamakan dibanding dalil yang masih bersifat umum (global)." [Tuhfatul Maudud fi Ahkamul Maulud]

Kesimpulan :
Pendapat yang lebih rajih adalah pendapat yang berpendapat aqiqah dengan kambing dan tidak boleh dengan selain itu, karena selain pendapat tersebut lebih mendekati kebenaran dan sesuai kepada petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga karena adanya dalil yang menerangkan penafikan aqiqah dengan selain kambing (hadits 'Aisyah yang diriwayatkan Ibnu Rawahaih dan Ath-Thahawi diatas). Dan dalil yang dipakai pendapat yang membolehkan aqiqah selain kambing yaitu hadits Salman bin 'Amir Adh-Dhabbi (diriwayatkan Bukhari dan selainnya) adalah dalil yang masih bersifat umum yang bisa ditakhsis (dikhususkan) dengan dalil-dalil yang memerintahkan aqiqah dengan seekor kambing untuk anak perempuan atau dua ekor kambing untuk anak laki-laki.

Catatan :
Kami menghormati saudara-saudara kami yang mungkin berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini.

Billahit taufiq wal huda. Wallahu a'lamu bishawab.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

Maraji' :
- Tuhfatul Maudud fi Ahkamul Maulud karya Al-'Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
- As-Silsilatu Ahaditsu Ash-Shahihah karya Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani
- Shahih Fiqhus Sunnah dengan pengantar Tamammul Minnah karya Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani

***

Tanya: Apakah kambing yang disyaratkan untuk aqiqah hanya yang berjenis kelamin tertentu (jantan/betina)? (Yusuf, Mekah)

Jawab: Tidak disyaratkan dalam kambing aqiqah harus jantan atau harus betina. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 
عن
الغلام شاتان وعن الجارية شاة لايضركم أذكرانا كن أم إناثا
 

"Untuk anak laki-laki dua kambing, dan untuk anak perempuan satu kambing, dan tidak memudharati kalian apakah kambing-kambing tersebut jantan atau betina" (HR. Ashhabus Sunan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
 
Berkata Al-'Iraqy rahimahullahu (wafat tahun 806 H):

 
وَالشَّاةُ تَقَعُ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى مِنْ الضَّأْنِ وَالْمَعْزِ فَاخْتَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَقِيقَةِ وَلَدَيْهِ الْأَكْمَلَ وَهُوَ الضَّأْنُ وَالذُّكُورَةُ مَعَ أَنَّ الْحُكْمَ لَا يَخْتَصُّ بِهِمَا فَيَجُوزُ فِي الْعَقِيقَةِ الْأُنْثَى وَلَوْ مِنْ الْمَعْزِ كَمَا دَلَّ عَلَيْهِ إطْلَاقُ الشَّاةِ فِي بَقِيَّةِ الْأَحَادِيثِ
 

"Dan الشاة (kambing) –dalam bahasa arab- mencakup jantan dan betina, baik dari jenis المعز (kambing yang berambut) ataupun jenis الضأن (domba/kambing yang berbulu tebal). Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memilih ketika aqiqah kedua cucunya memilih yang paling sempurna, yaitu domba jantan, dan ini bukan pengkhususan, maka boleh dalam aqiqah menyembelih kambing betina meskipun dari jenis المعز, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh kemutlakan lafadz الشاة dalam hadist-hadist yang lain" (Tharhu At-Tatsrib, Al-'Iraqy 5/208)
 
Wallahu a'lam.


http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/10/kambing-aqiqah-jantan-atau-betina.html

sebagian ulama yang memperbolehkan dengan selain kambing menggunakan metode manjama dua dalil yang ada : sehingga keluar dengan ibarat :

yang paling utama dengan kambing adapun sapi dan unta diperbolehkan...

walaupun apabila diperhatikan - sebagaimana yang dibawakan oleh al akh al fadhil Tommi Marsetio - maka riwayat2 yang ada terkait dengan kebolehan dengan selain kambing dipermasalahkan...

ada sebuah fatwa artikel dan dibawakan kalam syaikh utsaimin didalamnya disini : 


 http://islamqa.info/ar/ref/104399 

ada diskusi dalam masalah ini disini : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=178003 

Hukum Aqiqah Anak



Aqiqah bagi anak yaitu sembelihan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan sebagai rasa syukur kepada-Nya atas nikmat lahirnya seorang anak yang diadakan pada hari ketujuh dari kelahirannya.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah aqiqah ini, hukumnya sunnah ataukah wajib. Mayoritas ahlul ilmi berpendapat bahwa hukumnya sunnah mu’akkad. Hingga Imam Ahmad mengatakan, “Hendaknya dia berhutang dan mengaqiqahinya.” Maksudnya: bahwa orang yang tidak memiliki harta hendaknya berhutang dan mengaqiqahi anaknya, dan Allah-lah yang akan menggantinya, sebab dia berusaha menghidupkan sunnah. Yang dimaksud dengan ucapan beliau rahimahullâh, “hendaknya dia berhutang” adalah bagi orang yang bisa diharapkan untuk melunasi hutangnya pada waktu mendatang. Adapun orang yang tidak bisa diharapkan untuk melunasinya, maka tidak sepantasnya berhutang untuk mengaqiqahi anaknya. Pendapat dari Imam Ahmad rahimahullâh ini sebagai dalil bahwa aqiqah tersebut hukumnya sunnah mu’akkad, dan memang seperti itu.

Maka seyogyanya mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hal itu dilakukan pada hari ketujuh, dimakan, dihadiahkan dan disedekahkan dagingnya. Tidak mengapa dia menyedekahkan dan mengumpulkan karib kerabat serta tetangganya untuk makan daging aqiqah tersebut dengan disertai jamuan yang lain.

(Fatawa Ibnu ‘Utsaimin)

(Dinukil dari Risalah ilal ‘Arusain wa Fatawa Az-Zawaj wal Mu’asyaratin Nisaa’ (Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai) karya Abu ‘Abdirrahman Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi, taqdim: Fadhilatusy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 595, penerjemah: Abu Hudzaifah, penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’ Sukoharjo, cet. ke-1 Oktober 2007M, untuk http://akhwat.web.id/)

Sumber: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1824
--------------------------------------------------------------
Bolehkah Menggabungkan Akikah dengan Kurban?

Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang membolehkan dan menganggapnya sah sebagai akikah sekaligus kurban dan ada yang menganggap tidak bisa digabungkan.

Pendapat pertama, berkurban tidak bisa digabungkan dengan akikah. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad rahimahullah.

Dalil pendapat ini antara lain, bahwa akikah dan kurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa digabungkan. Disamping itu, masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Sehingga tidak bisa saling menggantikan.

Al-Haitami mengatakan,
“Dzahir pendapat ulama Syafi’iyah bahwa jika seseorang meniatkan satu kambing untuk kurban sekaligus akikah maka tidak bisa mendapatkan salah satunya. Dan inilah yang lebih kuat. Karena masing-masing merupakan ibadah tersendiri.” (Tuhfatul Muhtaj, 9/371).
Al-Hathab mengatakan,
“Guru kami, Abu Bakr al-Fihri mengatakan, ‘Jika ada orang yang menyembelih hewan kurbannya dengan niat kurban dan akikah maka tidak sah. Tapi jika dengan niat kurban dan untuk hidangan walimah hukumnya sah. Bedanya, tujuan kurban dan akikah adalah mengalirkan darah (bukan semata dagingnya, pen). Sementara dua tujuan mengalirkan darah, tidak bisa diwakilkan dengan satu binatang. Sedangkan tujuan utama daging walimah adalah untuk makanan, dan tidak bertabrakan dengan maksud kurban yaitu mengalirkan darah, sehingga mungkin untuk digabungkan.” (Mawahibul Jalil, 3/259).

Pendapat kedua, boleh menggabungkan antara kurban dengan akikah. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat beberapa tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirrin, dan Qatadah rahimahumullah.

Dalil pendapat ini, bahwa tujuan kurban dan akikah adalah beribadah kepada Allah dengan menyembelih. Sehingga akikah bisa digabungkan dengan kurban. Sebagaimana tahiyatul masjid bisa digabungkan dengan shalat wajib, bagi orang yang masuk masjid dan langsung mengikuti jamaah. Disebutkan Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (5/534) beberapa riwayat dari para tabi’in, diantaranya Hasan al-Bashri pernah mengatakan,

إذَا ضَحُّوا عَنْ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنْ الْعَقِيقَةِ

“Jika ada orang yang berkurban atas nama anak maka kurbannya sekaligus menggantikan akikahnya”

Dari Hisyam dan Ibn Sirrin, beliau berdua mengatakan, “Kurban atas nama anak, itu bisa sekaligus untuk akikah.”

Qatadah mengatakan, “Kurban tidak sah untuknya, sampai dia diakikahi.”

Al-Buhuti mengatakan, “Jika akikah dan kurban waktunya bersamaan, dan hewannya diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah untuk keduanya, berdasarkan keterangan tegas dari Imam Ahmad.” (Kasyaful Qana’, 3/30)
Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh memilih pendapat yang membolehkan menggabungkan akikah dan kurban. Beliau menyatakan dalam fatwanya,
“Andaikan akikah dan kurban terjadi secara bersamaan maka satu sembelihan itu bisa mencukupi untuk orang yang menyembelih. Dia niatkan untuk kurban atas nama dirinya, kemudian menyembelih hewan tersebut, dan sudah tercakup di dalamnya akikah. Menurut keterangan sebagian ulama dapat disimpulkan bahwa akikah dan kurban bisa digabung jika ‘atas namanya’ sama. Artinya kurban dan akikahnya tersebut atas nama salah seorang anak. Sementara menurut keterangan ulama lain, tidak ada syarat hal itu. Artinya, jika seorang bapak hendak berkurban maka kurbannya bisa atas nama bapak, dan sekaligus untuk akikah anaknya. Ringkasnya, jika ada orang menyembelih hewan, dia niatkan untuk berkurban, dan itu sudah mencukupi untuk akikah.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/159)

Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/106630
Sumber: http://konsultasisyariah.com/menggabungkan-akikah-dengan-kurban
-----------------------------------------------------------
Hadiah di Hari Lahir 7, Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pembahasan kali ini adalah pembahasan terakhir dari kami mengenai aqiqah. Kita masuk pada pembahasan waktu pelaksanaan aqiqah dan beberapa hal lainnya. Semoga bermanfaat.

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »

Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?

Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1]

Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?

Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها

“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ

“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.

Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).

Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.

Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?

Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.

Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.

Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5]

Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.

Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.

Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam.

Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”

Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]

Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”

Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”

Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8]

Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak

An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10]

Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[11]

Mengundang Makan-Makan Aqiqah

Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12]

Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.

Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”

Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[13]

Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah

Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14]

Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15]

Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16]

Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi

Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.

Dari Buraidah, ia berkata,

كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.

“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

[1] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.
[3] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.
[4] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.
[6] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[7] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11
[8] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42
[9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
[11] Kifayatul Akhyar,hal. 706
[12] Idem
[13] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.
[14] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.
[15] Mughnil Muhtaj, hal. 392.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.

Sumber: http://rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3090--hadiah-di-hari-lahir-7-waktu-pelaksanaan-aqiqah.html
-----------------------------------------------------------
Hukum Aqiqah Ketika Sudah Dewasa

[Pertama]

Soal:
Ada seorang ayah yang memiliki sepuluh anak perempuan dan mereka semua belum diaqiqohi, namun sekarang mereka sudah berkeluarga. Apa yang mesti dilakukan oleh anak-anaknya? Apa sebenarnya hukum aqiqah?Apakah betul apabila seorang anak tidak diaqiqohi, maka ia tidak akan memberi syafaat pada orang tuanya?

Jawab:
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan.[1] Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah (yang menanggung nafkah anak, pen). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah (misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka aqiqah masih tetap jadi kewajiban ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.

[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 214, no. 6]

[Kedua]

Soal:
Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?

Jawab:
Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.

Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.

Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.

Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya dari jumlah ini.

[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6]

Pelajaran Penting Seputar Aqiqah

Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad dan seharusnya tidak ditinggalkan oleh orang yang mampu melakukannya.
Aqiqah bagi anak laki-laki afdholnya dengan dua ekor kambing, namun dengan seekor kambing juga dibolehkan. Sedangkan aqiqah bagi anak perempuan adalah dengan seekor kambing.

Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah aqiqahnya dilaksanakan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.

Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Sumber: http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/2772-bagaimana-jika-belum-diaqiqahi-ketika-kecil.html
 

ANAK PEREMPUAN

Barang Siapa Memuliakan Anak Perempuan, Janji Surga Telah Menantikannya

Bismillah,


Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal, dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, janji surga telah menantikannya.

Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629)

Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)

Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam perbuatan mengubur anak-anak perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)

Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)

Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11)

Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan memuliakan anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menganugerahkan anak perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan:

جَاءَتْنِي مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَأَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ

Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma tersebut, maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630)

Dalam riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ -وَضَمَّ أَصَابِعَهُ-

“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya”. (HR. Muslim no. 2631)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)

Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 56: “Shahih”)

Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah rahimahullahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثَُ بَنَاتٍ، يُؤْوِيْهِنَّ، وَيَكْفِيْهِنَّ، وَيَرْحَمُهُنَّ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتَّةَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ القَوْمِ: وَثِنْتَيْنِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَثِنْتَيْنِ

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga, dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 58: “Hasan”)

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga meriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُدْرِكُهُ ابْنَتَانِ، فَيُحْسِنُ صُحْبَتَهُمَّا، إِلاَّ أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ

“Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”)

Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha . Tentang ini, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang padanya, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725)

Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:

دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟

“Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918)

Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu:

تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ. فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لاَ أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَعَلْتَ هذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ. فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ

“Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ayahku pun menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Apakah ini kau lakukan pada semua anakmu?” “Tidak,” jawab ayahku. Beliau pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah tentang urusan anak-anakmu.” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11/29)

Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيْمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا جَدْعَاءَ؟

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?” (HR. Al-Bukhari no. 1385)

Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada teladan yang baik bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25)

Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي، فَأَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التِّمَاسِهِ، وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ. فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ فَقَالُوا: أَلاَ تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ. فَقَالَ: حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ، وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي، فَلاَ يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلاَّ مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي. فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أَصْبَحَ عَلََى غَيْرِ مَاءٍ، فَأَنْزَلَ اللهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ، فَتَيَمَّمُوا. فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ. قَالَتْ: فَبَعَثْنَا البَعِيْرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، فَأَصَبْنَا العِقْدَ تَحْتَهُ

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu safarnya. Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku hilang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun singgah di sana untuk mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan, “Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tidak berair, padahal mereka juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr pun mencelaku dan mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit, kecuali karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur di pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berkata, “Ini bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai keluarga Abu Bakr.” ‘Aisyah berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no. 267)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib (pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58)

Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan, tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal abadi. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Dikutip dari http://Asysyariah.com/ Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran Judul: Memuliakan Anak Perempuan\

Entri ini dituliskan pada 16/06/2009 pada 9:13 am dan disimpan dalam Kajian hadits, Muslimah, Nasehat. Bertanda: cara mendidik anak anak laki perempuan, macam macam type wanita, perbedaan kecerdasan antara laki dan perempuan. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.

____________________________________________________________________


Ini ada kabar yang sangat mengejutkan dunia!

Untuk kabar slengkapnya bisa dibaca di:

http://m.yahoo.com/w/news_asia/ibu-dibunuh-karena-melahirkan-anak-perempuan-232702599.html?orig_host_hdr=id.berita.yahoo.com&.intl=id&.lang=id-id

______________________________________________________________________


jika kisah ini benar adanya, maka tidaklah heran karena sejak masa jahiliyah dulu, perilaku (tidak suka jika memiliki anak perempuan) telah ada bahkan ada yang sampai mengubur sang anak hidup hidup, perilaku-perilaku seperti ini bahkan difirmankan oleh Allah subhanahu wa Ta'ala, yang artinya :

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

(QS.An-Nahl: 58-59)

dan jika mereka sampai membunuh sang anak, maka mereka kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah, sebab apa/ dosa apa yang telah dilakukan sang anak sehingga ia harus dibunuh, dan ini bukan perkara main main,

jika saja mereka mengetahui hadits ini :

seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari kiamat.”

(Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 56: “Shahih”)

maka mungkin mereka tidak akan melakukan perbuatan itu, itulah kenapa menuntut ilmu (syar'i) itu hukumnya wajib, tapi sayang, sebagian kita meremehkannya

_____________________________________________________________


Sabar Terhadap Anak Perempuan

Pertanyaan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan kemudian ia sabar atasnya, memberikan makanan dan pakaian maka mereka menjadi hijab (penghalang) dari neraka.” Apakah penghalang dari neraka ini untuk kedua orang tuanya saja ataukah termasuk di dalamnya pula ibu asuhnya (selain ibu kandung)?

Jawaban:

Hadits tersebut umum untuk bapak dan ibu sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang memiliki dua anak perempuan lalu ia berbuat baik kepadanya, maka keduanya akan menjadi penghalang dari mereka.”

Begitu pula jika orang tua mempunyai saudara-saudara perempuan, bibi, atau selainnya kemudian mereka berbuat baik kepadanya maka kita memohon kepada Allah surga bagi mereka, karena manakala seseorang berbuat baik kepada mereka, maka dia berhak memperoleh ganjaran yang besar dan dia dijauhkkan dari neraka. Hal ini adalah kekhususan bagi seorang muslim.

Seorang muslim jika melakukan kebaikan dengan mengharap wajah Allah, maka hal tersebut menjadi sebab selamatnya dari neraka. Keselamatan dari neraka dan masuk surga mempunyai sebab-sebab yang sangat banyak. Hendaknya seorang muslim memperbanyak sebab-sebab tersebut dan Islam sendiri adalah pondasi utama dan sebab yang paling asasi untuk masuk surga dan selamat dari neraka.

Di sana ada beberapa amalan yang jika dilakukan oleh seorang muslim, maka dia masuk surga dan selamat dari neraka karenanya. (Amalan-amalan itu ialah) semisal memberikan nafkah bagi anak-anak perempuan atau saudara-saudara perempuan lalu berbuat baik kepada-Nya, maka mereka akan menjadi penghalang dari neraka. Demikian pula bagi yang meninggal tiga anaknya yang belum baligh, maka mereka akan menjadi hijab dari neraka. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana kalau dua (anak)?” Beliau menjawab, “Dua juga.” Mereka tidak menanyakan jika satu orang anak.

Dan telah shahih dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (hadits qudsi): Tidaklah ada ganjaran bagi seorang hamba-Ku yang beriman jika kekasihnya di dunia diambil, lalu ia berharap pahala, kecuali surga.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, bahwasanhya tidak ada balasan bagi hamba yang beriman jika diambil (oleh-Nya) orang-orang yang ia cintai di dunia lalu ia bersabar dan berharap pahala, kecuali surga. Maka satu orang saja dari anak kita masuk dalam hadits ini, jika Allah mengambilnya lalu bapak atau ibunya atau kedua-duanya bersabar dan mengharap ridha dan pahala Allah, maka surga bagi keduanya. Ini adalah keutamaan dari Allah yang sangat besar.

Demikian pula suami, istri, seluruh kerabat, dan sahabat-sahabatnya, jika bersabar dan mengharap pahala dari Allah, maka mereka masuk ke dalam hadits ini, tentunya dengan berhati-hati dari hal-hal yang menyebabkan tidak diperolehnya keutamaan tersebut seperti meninggal di atas dosa-dosa besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/375-376)



Sumber: Majalah al-Mawaddah, Edisi 7 Tahun I ,Shafar 1429 H – Februari 2008

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

_______________________________________________________________



Keutamaan memiliki anak perempuan dan keutamaan menafkahi mereka

‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ

“Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka" (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).

Baca selengkapnya di rumaysho.com:

http://rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3704-6-keutamaan-mencari-nafkah-bagi-suami.html

semoga bermanfaat

                                                                    ┈┈»̶✽♈̷̴✽«̶┈┈

KEDUSTAAN & KESESATAN BUKU : “Membongkar Kedok Salafiyyun Sempalan” (yang diedarkan oleh HASMI)






by Syeh Abu Muhammad Herman -Hafizhahullah- on Saturday, June 20, 2009 at 4:21pm


Di antara karakteristik ahli bid’ah dari masa ke masa, mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk menjauhkan umat dari al-haq. Al-Imam Abu Hatim ar-Rozi rohimahulloh berkata: “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar.”(1)

Al-Imam Abu Utsman ash-Shobuni rohimahulloh berkata: “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap pembawa sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Mereka melecehkan dan menghina ahli Sunnah dan menamakan ahli Sunnah dengan Hasyawiyyah (orang-orang pinggiran yang tidak faham agama dengan sebenarnya), Jahalah (orang-orang bodoh), Dhahiriyyah (orang-orang fundamentalis), dan Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Alloh dengan makhluk-Nya).”(2)

Di antara deretan buku-buku ‘hitam’ yang mencela Salafiyyun dan Dakwah Salafiyyah ialah buku Membongkar Kedok Salafiyyun Sempalan yang beredar baru-baru ini. Isi buku ini tidak jauh berbeda dari buku para pendahulunya seperti Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah oleh Sa’id Romadhon al-Buthi(!) atau Salaf wa Salafiyyun Ru’yah minad Dakhil oleh Ibrahim As’as(!). Buku kecil ini sarat dengan syubhat yang menyesatkan serta kedustaan atas Salafiyyin dan Dakwah Salafiyyah.

Untuk menunaikan kewajiban kami dalam nasehat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq, dengan memohon pertolongan kepada Allah akan kami paparkan sebagian kesesatan dan kedustaan buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita semua.

Penerbit dan Pengedar Buku Ini

Buku ini disusun oleh Tim Studi Kelompok Sunniyyah dan diterbitkan oleh Pustaka MIM pada bulan Robi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M. Pengedar buku ini adalah HASMI yang berada di bawah naungan Yayasan Al-Huda, Bogor.

Sebagai catatan, beberapa bulan lalu telah datang pertanyaan dari sebagian pembaca Majalah Al FURQON kepada kami yang belum sempat kami jawab, yaitu: “Apakah HASMI termasuk kelompok Sururi?” Insya Allah dengan menelaah buku yang mereka sebarkan ini jati diri mereka bisa diraba.

Menyebarkan Keraguan Terhadap Istilah Salafiyyah dan Salafiyyun

Tim Studi Kelompok Sunniyyah (TSKS) berkata di hal. 7-8 buku mereka ini:

“Manhaj Ahli Sunnah terkadang pula disebut atau dinamakan dengan istilah Salafiyyah, walaupun sebenarnya nama Salafiyyah tidak mendapatkan legitimasi resmi sebagai nama lain dari manhaj Ahlus Sunnah. Salafiyyah hanyalah merupakan kata atau istilah bantu untuk memastikan bahwa As-Salaf Ash-Shalih (tiga generasi pertama) berjalan di atas manhaj tersebut!”

Bandingkan perkataan mereka ini dengan perkataan Sa’id Romadhon al-Buthi dalam judul kitabnya:

“Salafiyyah adalah fase kurun waktu yang penuh berkah dan bukan madzhab Islami.” (!)

Perkataan al-Buthi ini telah dibantah oleh Syaikh Sholih al-Fauzan(3) di dalam kitab beliau Nazhorot wa Ta’qibat ‘ala Ma fi Kitabi Salafiyyah li Muhammad Sa’id Romadhon minal Hafawat, kata beliau:

“Penafsiran bahwasanya Salafiyyah hanyalah suatu kurun waktu dan bukan jama’ah adalah penafsiran yang ghorib (asing) dan batil. Apakah dikatakan bahwa kurun waktu adalah Salafiyyah? Ini tidak pernah dikatakan oleh seorang pun. Yang benar, istilah Salafiyyah ditujukan pada jama’ah orang-orang yang beriman yang hidup di kurun pertama dari masa Islam yang berpegang teguh pada Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam! dari orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka ini disifati oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dalam sabdanya:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah genenasiku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka.” (Muttafaq’Alaih)

Ini adalah sifat bagi suatu jama’ah dan bukan sifat bagi suatu kurun waktu, ketika menyebut tentang perpecahan umat, sesudahnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengatakan sifat semua kelompok ini: “Semuanya di neraka kecuali satu,” dan beliau menyifati satu kelompok yang selamat ini adalah yang mengikuti manhaj salaf dan berjalan di atasnya, beliau bersabda: “Mereka adalah yang berada di atas jalan yang aku dan para sahabatku tempuh hari ini.” Hal ini menunjukkan adanya jama’ah salafiyyah yang terdahulu dan jama’ah salafiyyah belakangan yang mengikuti manhaj jama’ah salafiyyah yang terdahulu. Di lain pihak ada kelompok-kelompok yang menyelisihi jama’ah salafiyyah, dan (mereka) diancam dengan neraka.”

TSKS berkata dalam buku mereka ini hal. 11:

“Pada dekade terakhir, muncul suatu arus pengajian atau pemahaman yang, menamakan diri mereka sebagai Salafiyyun … penamaan ini merupakan hal baru (bid’ah)!”

Perkataan TSKS ini telah dibantah oleh Syaikh Bakar bin Abdulloh Abu Zaid(4) yang menjelaskan tentang disyari’atkannya penamaan Salafiyyun, beliau berkata:

“Jika disebut salaf atau salafiyyun atau salafiyyah, maka dia adalah nisbah kepada Salafush Sholih: para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan, bukan orang-orang yang cenderung kepada hawa nafsu dari generasi sesudah sahabat dan menyempal dari jalan para sahabat dengan nama atau simbol -mereka inilah yang disebut kholafi, nisbah kepada kholaf-. Adapun orang-orang yang teguh di atas manhaj kenabian (mereka ini) menisbahkan diri kepada Salafush-sholih sehingga mereka disebut salaf dan salafiyyun, dan nisbah kepada mereka adalah salafi.” (Hukmul Intima’, hal. 90)

Melecehkan Para Ulama

Tim Studi Kelompok Sunniyyah (TSKS) berkata dalam hal. 13 buku mereka ini:

“Ketika pada tahun 1990 terjadi perang Kuwait, muncullah beberapa bentuk pertentangan di antara masyayikh yang ada di Saudi Arabia …. Yang dimaksud para masyayikh adalah beberapa masyayikh di Najd dan Madinah. Dari segi ilmu, mereka semua di bawah level Lajnah Daimah atau Hay’ah Kibar al-Ulama.”

Kami katakan:

TSKS hendak menyamakan level (taraf) antara para ulama Madinah seperti Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, Syaikh Muhammad Aman al-Jami, Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi, Syaikh Sholih bin Sa’ad as-Suhaimi, dan yang lainnya dengan para tokoh khotbah muda dari Najd seperti Salman al-Audah, Safar Hawali, Aidh al-Qorni, dan yang lainnya! Setiap orang yang jujur dan obyektif akan mengatakan bahwa mereka tidaklah selevel dengan para ulama Madinah dari segi usia, apalagi dari segi ilmu! Realita yang sesungguhnya, perbandingan antara dua kelompok ini adalah perbandingan antara para ulama dengan para tokoh khotbah, seperti yang dikatakan oleh Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu anhu tentang zaman ini:

إِنَّكُمْ فِيْ زَمَانٍ كَثِيْرٌ عُلَمَاؤُهُ قَلِيلٌ خُطَبَاؤُهُ وَإنَّ بَعْدَكُمْ زَمَانًا كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ وَالعُلَمَاءُ فِيهِ قَلِيلٌ

“Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di zaman yang banyak ulamanya dan sedikit juru khotbahnya, dan sesungguhnya akan datang sesudah kalian suatu zaman yang banyak juru khotbahnya dan sedikit ulamanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Khoitsamah dalam Kitabul Ilm hal. 109 dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam takhrijnya)

Ketika para juru-juru khotbah ini menampakkan bid’ah dan fitnah, para ulama Madinah seperti Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidhohulloh, Syaikh Muhammad Aman al-Jami rohimahulloh, dan Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi hafidhohulloh memperingatkan umat dari kesesatan mereka. Bantahan para ulama Madinah terhadap mereka ini didukung dan direkomendasi oleh Ketua Lajnah Da’imah dan Hafah Kibar al-Ulama Syaikh Abdul Aziz bin Baz rohimahulloh, anggota Lajnah Da’imah dan Hai’ah Kibar al-Ulama Syaikh Sholih al-Fauzan hafidhohulloh, dan yang lainnya.

TSKS berkata dalam hal. 13 dari buku mereka ini:

“Pada waktu yang sama di Yaman pun terdapat pula seorang tokoh ahli hadits(5) yang sangat terkenal dalam hal menjarh (menilai negatif) para dari, sehingga pada saat itu mulai terlahirlah arus porak-poranda.”

Kami katakan:

Pelecehan ahli bid’ah kepada Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i (6) ini bukanlah yang kali pertama. Orang yang melecehkan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rohimahulloh dikatakan oleh Syaikh al-Albani rohimahulloh sebagai seorang yang jahil atau pengikut hawa nafsu (simak kaset Silsilatul Huda wan Nur no. 851).

TSKS berkata pada hal. 19 buku mereka ini:

“Pemimpin-pemimpin asli mereka, walaupun sangat sedikit, tetapi berpencar di beberapa negeri di Timur Tengah. Di antara para pemimpin tersebut ada yang gemar mengaku sebagai murid(7) dari salah seorang ulama hadits terkenal yang sangat kita hormati. Pengakuan ini masih harus dibuktikan.”

Kami katakan:

Sindiran para penulis buku ini kepada Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafidhohulloh tidaklah berarti, karena setiap penulis biografi Syaikh al-Albani rohimahulloh selalu mencantumkan nama Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafidhohulloh dalam deretan nama murid-murid Syaikh al-Albani rohimahulloh. Dan tidak satu pun dari Salafiyyin yang menganggap beliau sebagai pemimpin sebuah jama’ah yang dibai’at dan ditaati sebagaimana dilakukan oleh para hizbiyyin terhadap amir-amir jama’ah mereka!

Menyamakan Para Ulama Salafiyyin Dengan Murjifun

TSKS berkata pada hal. 21 buku mereka ini:

“Ulah kaum sempalan tersebut memang cukup ganjil dan mungkin yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Kalaupun ada yang mendahului mereka dalam meniti manhaj pemorak-porandaan seperti ini maka tidak lain adalah kaum Murjifun (perusak) yang ada di Madinah pada zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam’

Kami katakan:

Perkataan mereka ini hanyalah daur ulang dari perkataan gembong mereka, Salman al-Audah, dalam kasetnya Tahrirul Ardhi Am Tahrirul Insan yang menyebut para ulama Salafiyyin di Madinah sebagai Murjifin di Madinah. (Lihat al-Quthbiyyah cet. kedua hal. 150)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh telah membantah perkataan Salman ini dengan mengatakan:

“Para saudara kita masyayikh yang dikenal, yang berada di Madinah, kami sama sekali tidak meragukan tentang mereka. Mereka adalah para pemilik aqidah thoyyibah (yang bagus). Mereka adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, seperti Syaikh Muhammad Aman bin Ali al-Jami, Syaikh Robi’ bin Hadi, Syaikh Sholih bin Sa’ad as-Suhaimi, Syaikh Falih bin Nafi’, dan Syaikh Muhammad bin Hadi; semuanya kami kenal dengan istiqomah, ilmu, dan aqidah thoyyibah.” (Bayan Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz tertanggal 28/7/1412 H di Makkah, sebagaimana dalam al-Quthbiyyah cet. kedua hal. 151)

Membela Ahli Bid’ah

TSKS berkata dalam hal. 17 buku mereka ini:

“Menuduh tanpa bukti dan memutarbalikkan fakta tanpa malu, khususnya tuduhan kepada para ulama yang tertulis dalam daftar musuh-musuh Zionis Internasional, seperti Sayyid Quthb -Rahimahullah- yang dihukum gantung oleh antek-antek Zionis di Mesir.”

Kami katakan:

Sayyid Quthb bukanlah seorang ulama sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholih al-Fauzan hafidhohulloh, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidhohulloh, dan Syaikh Sholih al-Luhaidan hafidhohulloh. Bahkan banyak sekali perkataan Sayyid Quthb yang merupakan bid’ah dan sesat, seperti: mencela Nabi Musa alaihissalam, mencela para sahabat rodhiyallohu anhum, mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk, menganut paham hulul (Alloh menyatu dengan makhluk) dan jabriyyah (Manusia tidak memiliki kekuatan dalam melakukan kehendak dan perbuatannya seperti bulu yang tertiup angin), menolak sifat-sifat Alloh dengan menempuh cara-cara Jahmiyyah (pengikut Jahm bin Shofwan), menolak hadits-hadits yang shohih dalam masalah aqidah, mengimani paham sosialisme, dan yang lainnya.(8)

Pembelaan kelompok Quthbiyyah Sururiyyah terhadap Sayyid bukanlah hal baru. Tokoh mereka, Muhammad Surur, berkata dalam kitabnya Dirosat fi Siroh Nabawiyyah (hal. 321-323):

“Sayyid Quthb dizholimi oleh dua kelompok manusia: Dizhalimi oleh sebagian murid-murid dan pengagumnya, karena mereka sangat kagum kepadanya, kagum kepada keteguhannya di atas kebenaran dan kesabarannya menerima ujian di jalan Alloh, kagum kepada keluasan wawasannya, kebersihan fithrohnya, dan kedalaman pengetahuannya … dan kami menyertai mereka dalam hal ini semua….”

Pembelaan senada juga datang dari Muhammad Sholih al-Munajjid dalam risalahnya Arba’una Nashihatan li Ishlahil Buyut hal. 23-25, Aidh al-Qorni dalam kitabnya Lahnul Khulud hal. 20, Salman al-Audah dalam kasetnya Taqwimur Rijal, dan masih banyak lagi dari kalangan mereka.

Mencomot Fatwa Lajnah Da imah yang Sejalan Dengan Kepentingan Mereka

Akhir-akhir ini banyak kelompok bid’ah di tanah air beramai-ramai mencomot Fatwa Lajnah Da’imah yang mengkritik sebagian tulisan dari Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafidhohulloh. Di antara kelompok-kelompok bid’ah tersebut adalah HASMI(9)di dalam akhir dari buku yang mereka edarkan: Membongkar Kedok Salafiyyun Sempalan -yang sedang kita bahas sekarang ini-, dan MMI di dalam selebaran mereka yang berjudul Aqidah Jama’ah Salafiyyah Dalam Tinjauan Syar’i.

Sikap para hizbiyyun ini sangat mengherankan, karena sepanjang sejarah perjalanan mereka baru kali ini mereka begitu antusias menukil sebuah fatwa dari para ulama Saudi Arabia. Tempo hari, mereka menuding para ulama Saudi hanyalah ulama haid dan nifas, tidak paham waqi’ (realita), antek-antek CIA, ulama penguasa, dan sederet tuduhan-tuduhan keji yang lainnya(!), lalu hari ini secara serempak mereka menukil sebuah fatwa dari para ulama Saudi Arabia dan menyebarluaskannya.(?!)

Sehubungan dengan Fatwa Lajnah Da’imah ini, kami nukilkan tanggapan Syaikh DR. Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidhohulloh -Imam Masjid Nabawi dan Qodhi di Pengadilan Tinggi Madinah Nabawiyyah- di dalam ceramah beliau yang berjudul ‘Ala Thoriqi Sunnah pada tanggal 5 Rabi’ul Awwal l422H:

Penanya berkata: “Fadhilatusy Syaikh, bagaimana pendapat Syaikh tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da’imah tentang kedua kitab Syaikh Ali al-Halabi: at-Tahdzir dan Sho’ihatu Nadzir, bahwasanya kedua kitab ini mengajak kepada pemikiran Irja’ yaitu bahwasanya amalan bukanlah syarat sahnya iman, padahal kedua kitab ini tidak membahas masalah syarat sahnya iman atau syarat kesempurnaan iman?!”

Syaikh DR. Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidhohulloh menjawab:

“Yang pertama, wahai saudara-saudaraku! Syaikh Ali dan Masyayikh lainnya satu jalan. Syaikh Ali adalah saudara tua sebagaimana para Masyayikh yang mengeluarkan fatwa ini. Syaikh Ali mengenal mereka, dan mereka pun mengenal Syaikh Ali. Mereka memiliki hubungan baik dengan Syaikh Ali.

Syaikh Ali telah diberi Alloh ilmu dan bashiroh untuk mengatasi masalah ilmiah antara dia dan Masyayikh, dan masalah ilmiah ini untuk menjelaskan al-haq. Adapun Syaikh Ali dan gurunya -Syaikh al-Albani-, setiap orang yang di atas jalan Sunnah tidak ada satu pun yang meragukan bahwasanya mereka di atas manhaj yang diridhai -wa lillahil hamdu-. Syaikh Ali -wa lillahil hamdu-termasuk pembela manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Fatwa tersebut tidak me-nash-kan bahwa Syaikh Ali Murji’ah -tidak akan beliau mengucapkan ini!!- khilaf antara fatwa ini dengan Syaikh Ali pada masalah kitab dan diskusi bersamanya pada perkara ini.

Keberadaan orang-orang lain yang hendak memaksakan kandungan fatwa ini, bahwasanya fatwa ini mewajibkan hukum atas Syaikh Ali bahwa beliau Murji’, maka ini tidak saya pahami, dan aku menyangka bahwa saudara-saudara di sini juga tidak memahami ini. Fatwa ini -wa lillahil hamdu- tidak menyelisihi hubungan antara Syaikh Ali dan Masyayikh, mereka menghormati dan menghargai Syaikh Ali.

Syaikh Ali telah menjelaskan dengan penjelasan ilmiah(10) -sebagaimana dilakukan oleh Salaful Ummah-; tidak ada seorang pun dari kita melainkan mengambil dan memberi, setiap orang diambil perkataannya dan juga dibantah; kecuali pemilik kubur ini, yaitu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Malik rohimahulloh:

“Setiap ucapan diterima dan ditolak, kecuali perkataan Rosul.”

Demikianlah umat ini, berselisih pada awalnya antara yang mengambil dan yang menolak. Tetapi manusia -dari segi asalnya- kadang-kadang di tengah ucapan-ucapannya ada ucapan-ucapan yang lain -yaitu yang dinamakan dengan perkataan-perkataan spontan disebabkan adanya perdebatan, dan sebab tabiat asli manusia-, yang terdapat di dalamnya sedikit keras; bahkan juga di antara para sahabat rodhiyallohu anhum sebagaimana terjadi antara Abu Bakar dan Umar, dan antara yang lainnya dari kalangan sahabat -seperti antara Aisyah dan Ali-.

Kesimpulannya, fatwa ini -dalam pandanganku- tidak menghukumi, dan tidak me-nashkan dengan nash yang shorih bahwa Syaikh Ali di atas manhaj (Irja’) ini, sesungguhnya fatwa ini adalah munaqasyah (pembicaraan) tentang sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh.

Syaikh Ali telah menulis kitab (Ajwibah Mutalaimah) sesudah keluarnya fatwa, bukan dalam rangka membantah, tetapi menjelaskan manhajnya dan manhaj gurunya -Syaikh al-Albani-. Yang kami yakini dan yang kami pertanggungjawabkan di hadapan Alloh, bahwasanya Syaikh Ali dan gurunya -Syaikh al-Albani- paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah -sebagaimana telah kami katakan sebelumnya-.

Syaikh Ali -demikian juga Syaikh al-Albani-, jika ditanyakan kepadanya:

‘Apakah definisi Iman?’

Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan. Bahkan nash-nash Syaikh al-Albani menashkan bahwa definisi iman adalah keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.” (Tanbihat Mutawaimah hal. 553-557)



Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang buku ini. Sebetulnya masih banyak hal lain dari kesesatan dan kedustaan buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi Insya Alloh apa yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Alloh selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin. []

Penulis:Oleh : Al-Ustadz Abu Ahmad as-Salafi -hafidzohulloh-

Catatan Kaki:

(1) Ashlu Sunnah hal. 24.

(2) Aqidah Salaf Ashabul Hadits hal. 116.

(3) TSKS menyebut beliau sebagai “ulama terkenal” di dalam hal. 19 dari buku mereka ini. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah mereka mau mengoreksi buku mereka ini setelah mendengar perkataan Syaikh Sholih Fauzan ini? Ataukah mereka menggunakan kaidah intifa’ bi ghoiri intima’ (mengambil manfa’at tanpa harus mengikuti) sebagaimana dilakukan oleh sebagian tokoh-tokoh mereka terhadap Daulah Su’udiyyah Salafiyyah!

(4) TSKS juga menyebut beliau sebagai “ulama terkenal” di dalam hal. 19 buku mereka ini(?!)

(5) Maksud mereka ialah Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rohimahulloh (red.)

(6) Untuk mengenal lebih lanjut Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rohimahulloh lihat Majalah AL FURQON Th. 5 Edisi 1 rubrik Tokoh.

(7) Maksud mereka ialah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari murid al-Allamah al-Muhaddits Nashiruddin al-Al hafidhohulloh bani rohimahulloh (red.)

(8) Di antara ulama yang menjelaskan aqidah, manhaj, dan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb ialah Syaikh Abdulloh ad-Duwaisy, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, dan Syaikh Sholih al-Luhaidan, dan Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi. (Lihat Majalah AL FURQON Th. 6 Edisi Spesial Romadhon-Syawwal rubrik Kitab)

(9) HASMI singkatan dari Harokah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami, sebuah organisasi di bawah naungan Yayasan Al-Huda Ciomas – Bogor. Mereka memiliki cara-cara licik. Di antaranya, mengundang sebagian du’at salafiyyin dalam acara-acara mereka untuk mengelabui umat, lantas setelah sebagian du’at salafiyyin ini pergi maka mereka yang melanjutkan acara dengan menyampaikan kesesatan-kesesatan mereka.

(10) Dalam kitabnya yang berjudul Ajwibah Mutalaimah ‘ala Fatwa Lajnah Daimah.

***

Sumber : Majalah al-Furqon Edisi 05 Tahun VI // Dzul-Hijjah 1427 [Januari 2007]

http://tholib.wordpress.com/2008/02/09/kedustaan-dan-kesesatan-buku-membongkar-kedok-salafiyyun-sempalan/

from note by Abu Muhammad Herman

Waspadailah Fitnah Sururiyyah !!
 
http://muslim.or.id/manhaj/waspadailah-fitnah-sururiyyah.html


MANHAJ SANA-SINI :

http://sofyan.phpnet.us/index.php/syubhat/214-manhaj-sana-sini.html
 


Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Suhardi Alius saat memberi keterangan pers dengan didampingi Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (27/10/2012)

JAKARTA, KOMPAS.com - Seb
anyak 11 orang terduga teroris yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri di empat provinsi, Sabtu (27/10/2012), merupakan kelompok baru. Mereka menamakan diri sebagai kelompok Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (HASMI). Hal ini disampaikan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Suhardi Alius, dalam keterangan pers kepada wartawan, di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu sore.

"Kelompok ini adalah kelompok baru," kata Suhardi.

Menurut Suhardi, kelompok baru ini memiliki kemampuan yang sama dengan jaringan-jaringan sebelumnya. Sebelas orang terduga teroris ini ditangkap serentak di Madiun, Solo, Bogor, dan Jakarta. Suhardi menjelaskan, Densus 88 Antiteror sengaja menangkap 11 orang yang tersebar di empat provinsi itu secara bersamaan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Masih ada gerakan pengembangan," ujarnya.

Dia juga mengklaim, penangkapan kelompok teroris baru ini merupakan kerja keras Densus yang tidak kenal waktu. "Bukan hanya Poso, tapi seluruh kelompok radikal yang sedang didalami," kata Suhardi.

Rentetan peristiwa penangkapan ini berawal dari ditemukannya sebuah bom rakitan di Madiun, Jawa Timur. "Bom ditemukan di Madiun, orangnya di luar. Ini kelompok baru, masih didalami Densus afiliasinya ke mana masih didalami. Pimpinan Abu Hanifah yang sudah tertangkap," ujarnya.

Ia mengatakan, anggota jaringan ini sudah belajar merakit bom dan telah menyiapkan sejumlah bom siap pakai. Ada empat lokasi yang dijadikan target aksi teror yaitu Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Plaza 89 di depan Kedutaan Besar Australia di mana ada Kantor Freeport di sana, dan Mako Brimob di Jalan Srondol, Jawa Tengah.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2012/10/27/18112558/Kelompok.Teroris.Baru.Bernama.Hasmi