Follow us on:
AZAN DENGAN KASET?


Bismillah,

tanya :Ada sebuah mesjid azannya pake kaset boleh/ngga?jawab :
Majlis Al-Mujtama’ Al Fiqhil Islami dalam Rabithah Al-‘Alam Al-Islami dalam pertemuannya ke 9 di Makkah Al-Mukarramah pada hari Sabtu 12/7/1406H, telah menetapkan keputusan sebagai berikut :

“Sesungguhnya mengumandangkan adzan dalam Masjid ketika waktu shalat masuk dengan alat rekam adzan dan yang sejenisnya adalah tidak cukup dan tidak diperbolehkan menunaikan ibadah tersebut dengan cara ini. Dan dengannya dia dianggap belum menunaikan adzan yang disyariatkan. Sesungguhnya wajib bagi kaum Muslimin mengumandangkan adzan pada setiap waktu shalat, baik itu di masjid, musholla atau dilapangan. Hal ini dalam rangka mewarisi ’amalan yang telah diwariskan oleh kaum Muslimin sejak masa Nabi dan Rasul kita Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam sampai dengan sekarang. Hanya Allah-lah yang memberi taufiq”.

Terbit pula sekumpulan fatawa dari Syaikh yang Utama Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh no.35 pada tanggal 3/1/1387H, dari Lembaga Ulama Senior di Kerajaan Saudi dalam sidangnya pada bulan Rabi’ul Akhir 1398H, dan dari Haiah Kibar Ulama Kerjaan Saudi Arabia no.5779 pada tanggal 4/7/1403 H. Dalam tiga fatawa ini mengandung larangan adzan dengan kaset rekaman. Sesungguhnya mengumandangkan adzan dimasjid takala waktu shalat telah masuk dengan suara rekaman adzan dan yang sejenisnya adalah tidak mencukupi dalam ibadah ini.

Dinukil dari Al Qaulul Mubiin fi Akhta ;il Mushalin oleh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman yang diterbitkan oleh Darul Ibnul Qayyim. Edisi Indonesia Koreksi atas kekeliruan Praktek Ibadah Shalat yang diterbitkan oleh Maktabah Salafy Press.

oleh : Abu Falejs Al-Jawad

posted Jalan yang Lurus

semoga bermanfaat

MENGAPA HATIMU MENJADI KERAS LAKSANA SEBONGKAH BATU?


Bismillah,

Jumat, 01 April 2011

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74) البقرة

kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Allah ta'ala mencela dan mengecam kepada bani Isroil atas berbagai ayat-ayat Allah termasuk menghidupkannya pada orang yang telah mati, dengan firman - Nya:

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ

Kemudian hatimu menjadi keras setelah semua kejadian tersebut
Kerasnya hatimu laksana sebongkah batu yang tidak akan pernah lunak selamanya

Oleh karenanyalah Allah melarang kepada orang-orang yang beriman untuk meniru kelakuan mereka ( yakni hatinya tetap keras laksana batu setelah datangnya hujjah yang terang / dalil yang nyata, namun masih selalu berkelit dengan mencari kalimat-kalimat subhat ( yang remang-remang ) atau bahkan mengingkari datangnya kebenaran dengan penolakan yang nyata, takutlah kepada allah…..)
Allah berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَع قُلُوبهمْ لِذِكْرِ اللَّه وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقّ وَلَا يَكُونُوا كَاَلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَاب مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ* الحديد 16

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dari ibni Abbas: Tatkala orang yang terbunuh itu dipukul dengan sebagian dari anggota badan sapi, lantas ia pun duduk, hidup lagi seperti semula , kemudian ditanyakan kepadanya, siapa yang telah membunuhmu?, iapun menjawab : anak-anak saudaraku yang telah membunuhku, kemudian ia meninggal lagi. Setelah si terbunuh meninggal maka anak-anak saudaranya mengatakan : demi Allah kami tidak membunuhnya, mereka mendustakan kebenaran setelah mereka menyaksikannya dengan mata kepala mereka sendiri, kemudian Allah berfirman :

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ

Kemudian hatimu menjadi keras setelah semua kejadian tersebut
فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

Perihalnya (kerasnya hatimu) laksana batu bahkan lebih keras lagi ( at-thobari 2/225 )

Bersamaan dengan berselangnya masa maka jadilah hati kaum bani isroil menjadi sangat keras dan tidak mempan lagi dengan nashihat meskipun mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka akan berbagai mu'jizat, perihal kerasnya hati mereka laksana batu yang tiada obat lagi untuk melunakkannya, atau bahkan lebih keras lagi dari pada batu, padahal sebagian dari batu-batu itu ada yang dapat mengalirkan mata air sehingga membentuk sungai-sungai, dan batu yang lainnya terbelah lantas mengeluarkan mata air walaupun tidak mengalir, dan sebagian dari batu-batu itu ada yang meluncur dari atas gunung karena takut kepada Allah,

Sehubungan dengan ayat diatas muhammad bin ishaq meriwayatkan dari ibnu abbas :

Bahwa sesungguhnya dari batu-batu itu niscya yang lebih lunak daripada hati kalian, jauh dari kebenaran yang kalian dakwahkan itu

وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74) البقرة

dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
( ibnu abi hatim 1/233)

semoga bermanfaat

LIHAT DULU...! BARU DILAMAR

by Al-Akhi Haidir Rahman Rz -Hafizhahullah-on Tuesday, October 18, 2011 at 11:38am ·

LIHAT DULU!, BARU DILAMAR
Studi Hadits Jabir radhiyallahu 'anhu.
Oleh: Haidir Rahman Rz

            "Sudah nazhar belum?" inilah pertanyaan yang sering kita dengar ketika ada seorang ikhwan ingin melamar akhwat yang dipilihnya. Mungkin bagi sebagian orang istilah ini sudah lumrah, apalagi yang sering mengikuti kajian-kajian sunnah. Namun, bagi sebagian masyarakat mungkin ini adalah istilah asing yang baru pertama kali mereka dengar. Apa itu nazhar? Secara bahasa nazhar berarti melihat. Apa yang dilihat?, ya tentunya wajah akhwat yang ingin dilamarnya. Tradisi yang dikenal di kalangan ikhwan, bahwa nazhar itu adalah dia datang ke rumah akhwat, menemui orang tuanya, menyampaikan niatnya untuk melamar putrinya, kemudian dia dipersilahkan untuk melihat wajah putrinya. Biasanya si ikhwan diberi waktu beberapa hari oleh wali si akhwat untuk menentukan cocok atau tidak dengan putrinya. Jika ternyata memang cocok, mereka berdua akan melanjutkan ke prosesi akad hingga resmilah mereka berdua sebagai suami istri. Namun jika tidak, maka si ikhwan boleh menarik lamarannya. Pendek kata, nazhar yang kita kenal adalah melihat wajah si akhwat ketika khitbah(lamaran). Dan prosesi nazhar itu dilakukan dengan izin si akhwat serta diketahui olehnya.    
            Nah, tradisi yang seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan sunnah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdillah radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Ketika kalian hendak melamar seorang wanita, jika memungkinkan bagi kalian untuk melihat sebagian sifatnya maka lakukanlah.
Kemudian Jabir radhiyallahu 'anhu berkata:
فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِى إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Ketika aku hendak meminang seorang gadis dari Bani Salimah. Aku bersembunyi di balik pohon kurma, hingga aku melihat beberapa sifat yang menarik dari dirinya, akhirnya akupun menikahinya.

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud di dalam Sunannya, Hakim di dalam Mustadraknya, dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra. Semuanya dari jalur Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar dari Dawud ibn Hushain, dari Waqid ibn 'Amr dari Jabir  radhiyallahu 'anhu.

Kritik terhadap riwayat Ibnu Ishaq.
Ibnu Ishaq atau lengkapnya Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar adalah seorang imam Siyar wal Maghazi (Sejarah Islam). Para ulama mengakui riwayat-riwayat beliau dalam bidang sejarah. Namun dibidang hadits, mayoritas derajat riwayat-riwayat beliau adalah hasan. Beliau dikenal sebagai seorang mudallis atau manipulasi isnad hadits. Para ulama mewaspadai riwayat-riwayatnya, apabila beliau meriwayatkan dengan lafaz 'an. Riwayat inilah yang dikenal dengan riwayat 'an'anah. Sebagian ulama melemahkan 'an'anah Ibnu Ishaq ini. Nah, hadits Jabir ini termasuk diantara 'an'anah Ibnu Ishaq. Maka, jika kita hanya melihat isnad hadits ini saja, kesimpulannya hadits ini adalah lemah. Sampai kita menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan hadits ini.

Jawaban bagi kritikan tersebut.
Tadlis atau manipulasi yang dilakukan para mudallis merupakan salah satu sebab dilemahkannya suatu hadits. Karena tadlis adalah upaya menyamarkan sebab kelemahan suatu hadits hingga tidak terlihat. Bagi mereka yang tidak memiliki perangkat ilmu hadits akan mengatakan bahwa riwayat tersebut shahih. Padahal tardapat illah yang disembunyikan oleh seorang mudallis. Oleh sebab itu, para ulama mengambil tindakan preventif untuk tidak menerima riwayat seorang perawi yang mudallis. Karena ada kedhaifan yang disembunyikan oleh sang mudallis. Jadi, tidak diterimanya riwayat seorang mudallis bukan berarti hadits tersebut benar-benar dhaif. Akan tetapi sebagai wujud kehati-hatian, siapa tahu hadits tersebut memang dhaif. Oleh karena itu, jika ada bukti yang bisa mengangkat keraguan riwayat seorang mudallis maka riwayat tersebut bisa diterima. Dan haditsnya bisa naik ke derajat hasan bahkan shahih.
            Nah, setelah dilakukan penelusuran. Ditemukan beberapa bukti yang bisa mengangkat keraguan riwayat Ibnu Ishaq pada hadits ini. Diantaranya adalah:

Pertama: ditemukan pada jalur lain bahwa Ibnu Ishaq meriwayatkannya dengan lafaz haddastana. Dengan demikian beliau telah berterus terang bahwa hadits ini benar-benar didengarnya dari gurunya Dawud ibn Hushain. Dan dengan ini beliau sendiri membuktikan bahwa tidak ada kedhaifan yang beliau sembunyikan dari riwayat ini. Jalur ini terdapat di Musnad Ahmad, bagian Musnad Jabir ibn Abdillah, no. 15250.

Kedua: terdapat hadits lain yang diriwayatkan dari jalur lain yang maknanya senada dengan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu. Diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita Anshar. Diapun datang mengabarkan hal tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa salam. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
"Sudahkah kamu melihatnya?" "Belum wahai Rasulullah", jawabnya. Pergi dan lihatlah dia, karena pada mata wanita Anshar terdapat sesuatu!
[HR. Muslim,3550, bab Sunnahnya melihat wajah dan tangan wanita yang hendak dinikahinya]

2. Hadits Abu Humaid As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: tidak mengapa kalian melihat wanita yang hendak kalian lamar jika memang tujuannya untuk itu, meskipun si wanita tidak mengatahuinya.

[HR. Ahmad, 24319]
            Dengan demikian hadits Jabir ibn Abdillah radhiyallahu 'anhu tentang sunnahnya melihat wanita yang hendak dilamar adalah hasan dan bisa diterima sebagai hujjah.

Makna Hadits
            Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mengatakan "idza khathaba" secara bahasa berarti "Jika kalian telah melamar". Jika kita hanya bersandar dengan pemahaman bahasa, kesimpulannya adalah kita boleh melihat wanita ketika kita sudah melamarnya dan sebelum kita melakukan akad. Hal inilah yang dipahami sebagian ikhwan. Makanya yang masyhur oleh sebagian ikhwan, nazhar atau melihat wanita yang akan dipinang dilakukan ketika melamar bukan sebelum melamar. Padahal makna hadits ini bukanlah demikian. Mengapa?
            Penjelasannya adalah sebagai berikut. "Khathaba" adalah fi'il madhi atau kata kerja yang menyatakan bahwa hal tersebut telah dilakukan. Jadi jika dikatakan khathaba maka maknanya "telah melamar". Namun tidak selamanya kata kerja bermakna lampau ini memiliki arti demikian. Ada beberapa kata kerja lampau(fi'il madhi) yang maknanya adalah "hendak melakukan". Hal ini tergantung konteks kalimat dimana kata tersebut digunakan.  Diantaranya adalah firman Allah subhanahu wata'ala:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
Jika kalian hendak mendirikan shalat.[Al-Maidah ayat:6]
Ayat ini adalah ayat yang mensyariatkan wudhu sebelum shalat. Jika kita kita mengartikan kata "qumtum" pada ayat di atas dengan makna lampau. Maka akan kita katakan "jika kalian telah mendirikan shalat" maka berwudhulah. Dengan demikian wudhu dilakukan setelah shalat. Nah, apakah makna ini benar? Tentu saja tidak. Karena petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa salam adalah berwudhu sebelum shalat. Dengan demikian makna ayat tersebut adalah "Jika kalian hendak mendirikan shalat"
            Nah, hadits Jabir ini juga demikian maknanya bukanlah "Jika kalian telah mengkhitbah/melamar". Akan tetapi "Jika kalian hendak mengkhitbah/melamar". Maka dapat kita simpulkan bahwa prosesi nazhar atau melihat wanita yang hendak dinikahi ini dilakukan sebelum prosesi lamaran.

Sunnahnya melihat sebelum melamar
            Dalam riwayat Jabir di atas, dikisahkan bahwa beliau radhiyallahu 'anhu bersembunyi dibalik pohon kurma untuk melihat gadis yang akan dilamarnya. Hal ini menunjukkan bolehnya bagi seorang muslim untuk melihat wanita yang hendak dilamarnya meskipun sang wanita tidak mengatahui bahwa dirinya sedang diperhatikan. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh riwayat Abu Humaid yang telah kami sebutkan di atas.
            Apa hikmah dari sunnah ini? Diantaranya, agar tidak terjadi rasa ketidaknyamanan ketika melamar. Misalnya si akhwat kurang menarik bagi si ikhwan. Nah, ada pertentangan di hati si ikhwan. "Wah, ni akhwat kurang menarik nih…tapi ntar klo ana cabut lamarannya takutnya dia kecewa lagi…gimana ya?" Atau jika si ikhwan memberanikan diri mengatakan, "wah, pak setelah saya istikharah ternyata saya tidak cocok dengan putri bapak" terkadang hati si akhwat terluka hingga berkata di dalam hati, "apa aku kurang cantik ya…?". Hal-hal seperti ini mungkin saja terjadi. Bahkan ada kasus yang lebih parah sebagaimana diceritakan oleh guru kami Dr. Abdurrahman Asy-Syamrani hafizhahullah bahwa putri kawannya mengalami trauma ketika tahu bahwa laki-laki yang melamarnya tidak tertarik dengan dirinya. Trauma yang dialaminya menjadikan dia tidak mau menikah sama sekali sampai saat ini. Dan ini benar-benar terjadi.
            Atau jika si ikhwan terpaksa menerima akhwat tersebut padahal dia tidak menarik baginya. Ditakutkan akan terjadi ketidakharmonisan di dalam rumah tangga mereka nantinya. Oleh karena itu syariat mengajarkan sunnah ini yaitu melihat calon yang akan dilamarnya sebelum melamar dan tanpa sepengetahuan si akhwat. Inilah pendapat yang dipegang mazhab Syafi'iyyah sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi rahimahullah di dalam Al-Minhaj.
            Jika hal ini tidak memungkinkan, bisa ditempuh cara lain dengan menanyakan ciri-ciri akhwat tersebut kepada orang yang dekat dengannya. Misalnya saudaranya atau sahabat karibnya. Si Ikhwan bisa saja menanyakan ciri-cirinya kepada orang yang bisa dipercaya. Imam Nawawi rahimahullah di dalam Al-Minhaj menukilkan, "Sahabat kami (maksudnya adalah para ulama Syafi'iyyah*pen) mengatakan: jika tidak memungkinkan untuk melihatnya, dianjurkan untuk mengutus seseorang yang bisa dipercaya untuk melihatnya kemudian mengabarkan kepadanya tentang wanita tersebut. Dan itu dilakukan sebelum khitbah". [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibnil Hajjaj, 9/214]

Apa saja yang boleh dilihat?
            Jumhur ulama membolehkan untuk melihat wajah dan kedua tangan. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, "karena keduanya bukan aurat. Dari wajah dapat diketahui cantik tidaknya seorang wanita, dan dari tangannya dapat diketahui apakah wanita tersebut subur atau tidak" [ Al-Minhaj, 9/214]. Kedua bagian ini cukup bagi seorang muslim untuk mengetahui ciri-ciri wanita tersebut. Mazhab Dawud Az-Zhahiriy membolehkan melihat seluruh tubuh wanita yang akan dipinang. Namun ini adalah pendapat yang marjuh. Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam hanya membolehkan melihat sebagian saja, bukan seluruhnya. Alangkah lebih baiknya kita berpegang kepada pendapat jumhur ulama dalam rangka kehati-hatian. Allahu A'lam. 

source

^BOLEHKAH TIDAK MENGHADIRI MAJELIS ILMU KARENA TELAH TERSEDIA BUKU AGAMA DAN RADIO?^

by Putschy Nilakandi on Tuesday, July 12, 2011 at 10:57pm 
 
 Bismillah,

Pertanyaan:

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai kemudahan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita dalam mempelajari agama dengan keberadaan majaah, buku terjemahan, vcd, radio Ahlus Sunnah. Pertanyaannya, apakah cukup dengan media-media tersebut sehingga tidak atau jarang menghadiri majelis ilmu?

Jawaban:

Tidak cukup, karena pada awalnya menuntuk ilmu itu harus lewat ulama. Walaupun sarana-sarana yang Anda sebutkan bisa digunakan dan dimanfaatkan sebagai sarana menuntut ilmu, namun terkadang seseorang salah dalam memahami apa yang dia baca atau apa yang dia dengar. Kesalahan ini biasanya disebabkan oleh keterbatasan ilmu atau pemahaman yang buruk.

Dan jika tidak memahami, dia tidak bisa langsung bertanya. Adapun menuntut ilmu lewat ulama secara langsung, jika ada permasalahan yang belum bisa terpahami dengan baik, dia bisa menanyakannya langsung. Kemudian jika apa yang dia pahami salah, dia bisa segera meluruskan pemahamannya sebelum pemahaman itu melekat kuat. Dia juga bisa belajar cara membela pendapat yang benar dan cara membantah pendapat yang salah.

Alasan lain kenapa tidak cukup hanya dengan media-media tersebut, karena dalam menuntut ilmu itu ada kaidah-kaidah yang seyogyanya diperhatikan. Seperti memulai dengan mempelajari perkara-perkara yang paling penting dan dibutuhkan, dengan menggunakan panduan buku-buku yang ringkas dan lengkap, bukan buku-buku yang pembahasannya panjang lebar dan mendetail, serta disertai perdebatan. Kemudian meningkat ke derajat berikutnya yang lebih tinggi. Semua ini tentu harus dengan bimbingan guru yang ahli. Selain itu, belajar di dalam majelis ilmu memiliki banyak keutamaan yang tidak ada pada metode belajar lewat buku, kaset atau semacamnya. Majelis ilmu termasuk majelis dzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-menyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2700).

‘Atha’ rahimahullah mengatakan, “Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis halal dan haram; bagaimana seseorang membeli, menjual, berpuasa, shalat, bersedekah, menikah, bercerai dan berhaji.” (Al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 132).

Syaikh Salil al-Hilali hafizhahullah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dicintai oleh Allah adalah majelis-majelis ilmu, mempelajari al-Qur’anul Karim dan as-Sunnah al-muththaharrah (yang disucikan) secara bersama-sama dan mencari kepahaman tentangnya. Dan bukanlah yang dimaksudkan (dengan majelis dzikir yaitu) halaqah-halaqah tari dan perasaan model Shufi.” (Bahjatun Nazhirin, 2/519. Cet. 1, Th. 1415 H/1994 M).

Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin al-Badr hafizhahullah, salah seorang dosen di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam, -ed.) di kota Madinah mengatakan,

“Tidak diragukan lagi bahwa menyibukkan diri dengan menuntut dan mencari ilmu, mengetahui halal dan haram, mempelajari al-Qur’anul Karim dan merenungkannya, mengetahui Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sirah (riwayat hidup) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berita-berita beliau adalah dzikir terbaik dan paling utama. Majelis-majelisnya adalah majelis-majelis paling baik, lebih baik daripada majelis-majelis dzikrullah yang berisi tasbih, tahmid dan takbir. Karena pembicaraan dalam majelis-majelis ilmu berkisar antara yang fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, sedangkan dzikir semata-mata (hukumnya) adalah tathawwu’ murni (disukai; sunnah; tidak wajib).” (Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, 1/104, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin al-Badr).

Seandainya keutamaan majelis ilmu hanyalah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, maka itu sudah cukup sebagai pendorong kaum Muslimin untuk menghadiri majelis ilmu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan semangat kepada kita untuk rajin menghadiri majelis ilmu.

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 06 Tahun XIV Dzulqa’dah 1431 H –

semoga bermanfaat

HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG


Bismillah,

Oleh : Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary

Banyak orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits, “Barangsiapa yang membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia di tolak”.

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kecuali kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’at yang ditentukanNya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapa pun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak.. Sebab hanya Allah yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepadaNya.

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam al-Muwaqqi’in (I/344) : “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih [1] hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya”

Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”

Dalam Majmu Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syar’i”.

Demikian yang menjadi pedoman generasi Salafus Shalih, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Allah meridhai mereka.

Untuk lebih lengkapnya, silahkan lihat pada link berikut ini :
http://www.abuayaz.co.cc/2010/05/hukum-asal-ibadah-adalah-terlarang.html?m-1

tanya :

Bismillah.." Semua ibadah itu haram, kecuali yg mengikuti tuntunan"

Mohon penjelasannya tentang hadist ini. Syukron.

jawab :

Itu bukan hadits, tapi sebuah qoidah yang agung, hasil telaah para ulama, yang didasarkan pada dalil :

Yang pertama :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ
...
Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun,

Artinya :
"Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tak ada padanya urusan (agama) kami, maka ia (amalan) itu tertolak". [HR. Muslim (1718)]

yang kedua :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْر ِ نَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

man ahdatsa fii amrinaa hadza ma laisa minhu fahuwa raddun

Artinya :
” Barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yg bukan dari kami maka dia tertolak “( H.R. Bukhari & muslim )

Wallahu a'lam.
__________________________________

“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat & berusaha melakukan amalan yg mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik oleh Allah (QS. Al-Isra / 17:19).

Fakhruddin ar-Razy (544-606 H) menyimpulkn 2 syarat sah ibadah berdasarkn firman Allah tsb, yaitu :

[1].Niat yg ikhlas (mengharapkn pahala akhirat, sesuai hadist :

“Sesungguhnya amalan itu tergantung dr niatnya” (HR.Bukhari).
[2].”brusaha melakukn amalan yg mengantarkn kpdnya” yg artinya hndaknya amalan itu bs mewujudkn pd tujuan tsb. & suatu amalan tdk dianggap demikian, kcuali jk trmasuk amal ibadah & ketaaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan-amalan yang bathil” (Tafsir Ar-Razy (20/180).

Ini jg dipertegas Imam Ibnu Katsir :

“Agar amalan diterima, maka harus memenuhi 2 syarat :

[1]. ikhlas krn Allah;

[2]. harus benar sesuai syariat.

Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas namun tidak benar sesuai syariat, maka amalan tersebut TIDAK diterima.

Ini sesuai hadist :

“Barangsiapa yg mengamalkn suatu amalan yg tdk ada perintahnya dr kami mk amalan itu tertolak” (HR.Muslim 3/1343 No.1718 dr Aisyah).

Begitu juga jika suatu amalan sudah sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat karena Allah; amalannyapun tertolak.”

(Source : Tafsir Ibn Katsir (1/385). Wallahu a’lam.
______________________________

hadist nabi shallallahu alaihi wasallam :

antum tak lamun biumuri dunia kum,

artinya :
engkau lebih tahu urusan dunia daripadaku.

Untuk urusan dunia, yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi (apa saja), dan peradaban manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur :

“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”. [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]

http://www.abuayaz.co.cc/2011/02/perkataan-mereka-kalau-tidak-mau-bidah.html?m=1

semoga bermanfaat

documented

source

CARA YANG BAIK UNTUK MENGINGKARI KEMUNGKARAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami perhatikan banyak sekali para pemuda yang antusias mengingkari kemungkaran, tapi mereka kurang baik dalam mengingkarinya. Apa saran dan petunjuk Syaikh untuk mereka, dan bagaimana cara terbaik untuk mengingkari kemungkaran?

Jawaban:
Saran saya untuk mereka agar mengkaji masalahnya dan pertama-tama mempelajarinya sampai yakin benar bahwa masalah tersebut baik atau mungkar berdasarkan dalil syar'i, sehingga dengan demikian pengingkaran mereka itu berdasarkan hujjah yang nyata, hal ini berdasarkan firman Allah.

"Katakanlah: 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf: 108].

Di samping itu, saya juga menyarankan kepada mereka, hendaknya pengingkaran itu dengan cara yang halus, tutur kata dan sikap yang baik agar mereka bisa menerima sehingga lebih banyak berbuat perbaikan daripada kerusakan, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." [An-Nahl: 125]

Dan firmanNya.

"Artinya : Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [Ali Imran: 159]

Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya."[1]

Dan sabdanya.

"Artinya : Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mem-perindahnya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu kecuali akan memburukkannya."[2]

Serta berdasarkan hadits-hadits shahih lainnya.

Di antara yang harus dilakukan oleh seorang da'i yang menyeru manusia ke jalan Allah serta menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, adalah menjadi orang yang lebih dahulu melakukan apa yang diserukannya dan menjadi orang yang paling dulu menjauhi apa yang dilarangnya, sehingga ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dicela Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya.

"Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir." [Al-Baqarah: 44]

Dan firmanNya.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." [Ash-Shaf: 2-3].

Di samping itu, agar ia tidak ragu dalam hal itu danagar manusia pun melaksanakan apa yang dikatakan dan dilakukannya.
Wallahu waliyut taufiq.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz 5 hal. 75-76, Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]


source


HADITS MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...

http://www.abuayaz.blogspot.com/2011/03/hadits-man-sanna-fii-islam-sunnatan.html?m=1


 

makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

by
Akhir2 ini beredar berita bahwa makam Nabi (dan makam 2 khalifah sahabatnya) akan diratakan oleh pemerintah Saudi sehubungan dengan rencana perluasan Masjid Nabawi, saya juga sempat diinbox seorg ikhwan sahabat saya yg menanyakan hal ini, tp karena saya blm tau makanya saya tawaqquf dulu. Beritanya seperti dilansir disini :
http://berita.plasa.msn.com/makam-nabi-muhammad-dibongkar-dunia-islam-bergolak

Tetapi tentu saja saya tidak mempercayai begitu saja, akan tetapi saya akan coba ajak teman2 untuk mengecek siapakah di balik berita itu, di link itu disebutkan bahwa :
"Menurut IRFAN AL-ALAWI dari Yayasan Riset Warisan Islam, sejauh ini belum ada tindakan umat Islam......(dst)"

Iseng2 saya mencari sebuah nama, siapakah Irfan Al-Alawi ini lewat mbah google. Hasilnya mengejutkan, saya menemukan beberapa, diantaranya disini :
http://www.sunniforum.com/forum/showthread.php?61890-What-do-the-Ba-Alawis-think-of-Irfan-Al-Alawi

Lihat pada komentar dari Ibnu Harith tertulis :
"Dr. Irfan Ahmed Al Alawi (East Africa/UK)
University Lecturer | Barrister at Law | C.Phil PhD | Lecturer Islamic Theology & Tasawwuf (Islamic Spirituality)
A student of one of the greatest contemporary recipient of the Prophet Muhammad’s heritage of knowledge, the famous Imam Sayyid Habib Ahmad Mashhur Al Haddad Al Alawi, Dr. Irfan studied and later taught Islam and other relevant disciplines at the traditional schools and learning circles at the hands of many leading sheikhs across the Muslim world. He is a student of the most famous Sheikh and Scholar of Hijaz Sayyid Muhammad ibn Alawi Al Maliki (Makka). He is also a student of the following leading Sheikhs to name a few -
Sheikh Yousaf ibn Sayyed Hashim Al Rifie (Kuwait) (Ex-Minister Kuwait)
Sheikh Yousaf bin Abdallah Al Gilani (Ra) Chief Custodian of Sheikh Abdal Qader Al Gilani Mosque (Baghdad)
Sheikh AbdurRahman bin Dawood Al Gilani
Habib Mustafa Al Attas
He is member of many leading professional Islamic governing bodies across the Globe, a historian on the two holy cities, Makka and Madina, Executive Director of Islamic Heritage and as well as being a writer for many Islamic journals across the world, he has translated many works in Arabic, English and Swahili. He writes for leading British Newspapers and journals such as The Independent, The Guardian, The Weekley Standard and The Spectator." (selesai kutipan)

Dari sini mungkin teman2 sudah bisa menilai siapa dia bukan?
Next, saya googling lagi, dan penemuan berikutnya lebih mengejutkan! Silahkan temans buka disini :
http://www.islamicpluralism.eu/WP/?page_id=2

Simak yang ini :
--About the CIP

Welcome to CENTRE for ISLAMIC PLURALISM (!!!)
President – Kemal Silay
Executive Director - Stephen Schwartz [email]
International Director - IRFAN AHMED AL-ALAWI [email]
Canadian Director - Salim Mansur

1718 M Street NW #260
Washington, DC 20036 USA
BM 2394, LONDON, WC1N 3XX UK
U.S. Tel. 1.202.232.1750 U.S.
Fax Toll-Free 1.866.792.9439

Signed articles posted to Center for Islamic Pluralism websites express the individual opinion of their signatories and do not represent collective or unified positions of the Centre, unless indicated--

Nah sudah jelas bukan sumber berita ini? Ternyata dia adalah seorang islam sufi liberalis pendukung pluralisme yg mana kita telah tau sepak terjang org2 islam liberal, tidak ush jauh2...lihat saja di Indonesia spt apa. Of course, kita jg masih menunggu mengenai bagaimana konfirmasi pemerintah Saudi mengenai kebenaran berita (atau fitnah?) ini tp at least kita sudah bisa menduga2 bagaimana kebenaran berita ini dilihat dari sumbernya. Mungkin bila ada teman2 yg tinggal di Saudi bisa konfirmasi jg mengenainya
Media zionis kuffar dan orang2 munafiq ini selalu melebih-lebihkan berita ini, dengan kata "membongkar", berita resmi untuk pembugaran masjid nabawi ini belum ada dari pihak saudinya, yg ada pembugaran masjidil harom makkah karena jamaah haji tiap tahun semakin banyak. Banyak sekali media menyududkan pemerintah saudi, salah satu yg terbongkar masalah TKW indonesia yg "digunting" oleh orang saudi, kemaren bagian luar negeri indonesia memeriksa langsung ke saudi, kebetulan dokternya dari indonesia mengatakan tidak ada guntingan (penyiksaan), media selalu melebih-lebihkan masalah kl berhubungan dengan saudi. Menurut harian kompas, qisas (hukuman mati) di saudi 62 org, sedang malaysia hampir ratusan warga TKI kena hukuman mati, pertanyaannya kenapa berita qisas di saudi lebih heboh, ada apa ini?.. Orang2 kafir dan munafiq ini selalu membuat image saudi sebagai pusat kiblat jadi jelek dimata dunia. Foto2 yg beredar di dunia setan (maya) ini hampir semuanya editan, dll. Semoga Allah membuka kebenaran itu, menunjukkan yg haq itu haq, dan yg bathil itu bathil.
aamiin...memang org2 syiah paling gemar menyulut2 berita spt ini. Masjid Nabawi mau diperluas, langsung ditahrif dengan penghancuran makam Nabi.

http://www.pmln.us/saudi-king-launches-largest-expansion-of-masjid-e-nabvi-s-a-a-w/

Besar kecurigaan ana, si irfan alawi yg menjadi sumber berita ini adalah org syi'i yg sedang bertaqiyah akh, lihat saja websitenya...
 

Bolehkah ketika berwudhu’ hanya mencuci sekali-sekali atau dua kali saja (tidak 3 kali)?

Jawab : Boleh. Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu’ dan mencuci anggota tubuh sekali-sekali, dua kali-dua kali, tiga kali-tiga kali, dan kadang berselang seling. Kadang sebagian anggota wudhu dicuci 3 kali dan sebagian lagi dicuci sekali.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata : Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ sekali-sekali (H.R alBukhari)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu beliau berkata : Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ dua kali dua kali (H.R Abu Dawud)

Wallaahu A’lam bis showaab

Sumber : www.salafy.or.id

Apakah termasuk kesalahan di dalam shalat, ketika membaca tasyahud dengan lafadz ..assalamu`alaika ayyuhannabiy…

Posted on 20 September 2011 by abu raafi aira adani

Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maka jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, hendaklah ia mengucapkan … assalamu`alaika ayyuhannabiyyu warah matullahi wabarakatuh…(HR. Bukhari II/311)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Telah disebutkan di dalam sebagian riwayat adanya perubahan kata ganti pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang menerangkan bahwa kata ganti yang digunakan adalah dengan kata ganti orang kedua, hal ini dilafadzkan dalam kata `alaika, namun ketika Rasulullah wafat, ternyata tidak lagi menggunakan kata ganti orang kedua.

Disebutkan di dalam Shahih Bukhari pada kitab Al-Isti`dzan XI/56 nomor 6265 sebuah riwayat dari jalur Abu Ma`mar, dari Ibnu Mas`ud setelah menyebutkan hadits tentang doa tasyahud, dia berkata: Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di tengah-tengah kami, ketika telapak tanganku dilepas, kamipun berkata assalam, ya`ni assalamu`alanabiy.

Sedangkan Abu `Uwanah meriwayatkan dalam kitab shahihnya, kemudian diriwayatkan juga oleh As-Siraj, Al-Jauzaqi, Abu Nu`aim Ashbahani dan Al-Baihaqi dari beberapa jalur periwayatan yang bersambung pada Abu Nu`aim guru Al-Bukhari dengan redaksi sebagai berikut: Ketika telapak tanganku dilepas, kami berkata `as salam `alan nabiy`. Dalam redaksi ini tanpa menyebutkan ya`ni (maksudnya). Begitu juga diriwayatkan oleh Abu Syaibah dari Abu Nu`aim.

Imam As-Subki dalam kitab Syarhul Minhaj setelah memaparkan riwayat dari Abu `Uwanah, menyatakan: Jika ucapan itu benar dari para sahabat, hal itu menunjukkan bahwa penggunaan kata ganti `ka` (pada `alaika) tidak wajib diucapkan karena cukup mengucapkan assalamu`alan nabiyy`. Saya (Ibnu Hajar) berkata: Kesahihan hadits ini tidak perlu diragukan lagi, selain itu saya juga menemukan riwayat lain yang menguatkan hadits ini.

Abdur Razzaq berkata: Kami diberi kabar oleh Ibn Juraij, aku diberi kabar oleh `Atha bahwa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu mengatakan assalamu `alaika ayyuhan nabiy ketika beliau masih hidup. Namun setelah beliau wafat, para sahabat mengatakan as salam `alan nabiy, sanad hadits ini shahih. (Fathul Bary II/314, perkataan Ibnu Hajar ini telah dinukil dan disepakati oleh bebarapa ulama diantaranya Al-Qasthallani, Az-Zarqani, Al-Lakuni dan lain sebagainya)

Ibnu Hajar juga berkata: Yang jelas, para sahabat dulu mengatakan assalam `alaika ayyuhan nabiy, yakni dengan kata `alaika ketika beliau masih hidup. Sedangkan setelah Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka tidak lagi menyebutkan dengan lafadz seperti itu, namun yang mereka ucapkan adalah assalamu `alan nabiy. (Fathul Bary XI/56)

Syaikh Al-Bany dalam Kitab Sifat Shalat Nabi menjelaskan tentang riwayat doa tasyahud dari Ibnu Mas`ud: Lafadz Ibnu Mas`ud yang berbunyi assalamu `alan nabiyy, oleh para sahabat, semua diucapkan dengan lafadz assalamu`alaika ayyuhan nabiy dalam tasyahud ketika Nabi masih hidup. Ketika beliau sudah wafat lafadz tersebut mereka ganti dengan: assalamu`alan nabiy. Tentunya lafadz ini dipergunakan oleh para sahabat berdasarkan persetujuan dari Nabi. Hal ini diperkuat oleh riwayat bahwa `Aisyah mengajarkan lafadz tersebut kepada para sahabat ketika membaca tasyahud, yaitu bacaan assalamu`alan nabiy (dalam HR.Siraj dalam Musnadnya (9/1/2) dan Mukhallash dalam kitab Al-Fawaid (11/54/1) dengan sanad shahih)

Referensi:
1. Qoulul Mubin fii Akhthail Mushalin, Syaikh Mashur Hasan Salman
2. Sifat Shalat Nabi, Syaikh Al-Bany

Sumber: Perpustakaan-islam.com
http://abinyaraafi.wordpress.com/2011/09/20/apakah-termasuk-kesalahan-di-dalam-shalat-ketika-membaca-tasyahud-dengan-lafadz-assalamualaika-ayyuhannabiy/

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ …

“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.]

Bacaan tasyahud:

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [HR. Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 402.]

Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,

“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.

Jawab:

Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

[Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota)[Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11, Mawqi’ Al Ifta’.]

Blog Archive