Follow us on:
Khalifah Umar Bin Khatab, Pemimpin Yang Penuh Tanggung Jawab


Khalifah Umar Bin Khatab, Pemimpin Yang Penuh Tanggung Jawab

Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Inilah beberapa kisahnya.

Pada suatu malam hartawan Abdurrahman bin Auf dipanggil oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk diajak pergi ke pinggir kota Madinah.
“Malam ini akan ada serombongan kafilah yang hendak bermalam di pinggir kota, dalam perjalanan pulang”, kata Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf.
“Lalu apa masalahnya?” tanya Abdurrahman.
“Kafilah ini akan membawa barang dagangan yang banyak, maka kita sebaiknya ikut menjaga keselamatan barang dari gangguan tangan-tangan usil. Jadi nanti malam kita bersama-sama harus mengawal mereka”, sahut sang Khalifah. Abdurahman dengan senang hati membantu dan siap mengorbankan jiwa raganya menemani tugas khalifah yang ia cintai ini.

Demikianlah sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Bahkan malam itu khalifah Umar mendesak Abdurahman untuk tidur sambil siaga sementara ia sendiri tetap terjaga hingga pagi hari.

Khalifah Umar bin Khattab memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam. Orang yang ditolongnya sering tidak tahu, bahwa penolongnya adalah khalifah yang sangat mereka cintai.

Pernah suatu malam Auza’iy pernah ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah khalifah yang sangat ia kagumi selama ini.

Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah kemah yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan . Di sampingnya, duduk suaminya yang kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai.

Pada kisah lainnya, ketika sang Khalifah sedang ’meronda’, ia mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kumuh. Dari pinggiran jendela ia mendengar, sang ibu sedang berusaha menenangkan anaknya. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu. Sang ibupun berusaha menenangkan sang anak dengan berpura-pura merebus sesuatu yang tak lain adalah batu, agar anaknya tenang dan berharap anaknya tertidur karena kelelahan menunggu. Sambil merebus batu dan tanpa mengetahui kehadiran Khalifah Umar diluar jendela, sang ibupun bergumam mengenai betapa enaknya hidup khalifah negeri ini dibanding hidupnya yang serba susah. Khalifah Umar yang mendengar hal ini tak dapat menahan tangisnya, iapun pergi saat itu juga meninggalkan rumah itu. Malam itu juga ia menuju ke gudang makanan yang ada di kota, dan mengambil sekarung bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang kelaparan itu. Bahkan ia sendiri yang memanggul karung makanan itu dan tidak mengizinkan seorang pegawainya yang menemaninya untuk membantunya. Ia sendiri pula yang memasak makanan itu, kemudian menemani keluarga itu makan, dan bahkan masih sempat pula menghibur sang anak hingga tertidur sebelum ia pamit untuk pulang. Dan keluarga itu tak pernah tahu bahwa yang datang mempersiapkan makanan buat mereka malam itu adalah khalifah Umar bin Khatab !

Sumber : www.kebunhikmah.com 

ASY SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH


ASY SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH
 
(Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA)

Nama Allah Ta’ala yang maha agung ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota) keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau dan beliau membaca (doa):

« اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا »

“Ya Allah Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembukan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)”[1].

Juga dalam hadits shahih yang lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tentang ruqyah (doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.

Berdasarkan hadits-hadits ini, para ulama menetapkan nama asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh) sebagai salah satu dari nama-nama Allah Ta’ala yang maha indah, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[2], Imam Ibnul Qayyim[3], syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin[4], syaikh ‘Abdur Razzak al-Badr[5] dan lain-lain.

Makna nama Allah Ta’ala asy-Syaafi

Imam Ibnul Atsir menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas (sembuh) dari penyakit[6].

Sedangkan imam Fairuz Abadi menjelaskan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah obat penyembuh[7].

Sementara al-Haliimi menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia[8].

Maka nama Allah Ta’ala asy-Syaafi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin. Dialah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allah Ta’ala semata, maka tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh) kecuali Dia, sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang dinukil dalam al-Qur’an,

{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ}

“Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS asy-Syu’araa’: 80). Artinya: jika aku ditimpa suatu penyakit maka tidak ada satupun yang mampu menyembuhkanku selain Allah Ta’ala, dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya membawa kesembuhan bagiku[9].

Dan makna inilah yang diisyaratkan dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu”[10].

Penjabaran makna nama Allah asy-Syaafi

Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan makna doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, beliau berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini (terdapat) tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allah dengan kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya) dan kasih sayang-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-satunya asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Maka ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya alam beribadah), (sifat) ihsan (kebaikan) dan rububiyah-Nya”[11].

Al-Halimi berkata, “Diperbolehkan untuk mengucapkan dalam doa: wahai asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), wahai al-Kaafi (Yang Maha Pemberi kecukupan), karena Allah Ta’ala Dialah yang menyembuhkan dada (hati) manusia dari syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan, juga dari (sifat) dengki dan khianat, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu selain-Nya dan tidak ada yang (pantas) diseru dengan nama ini (asy-Syaafi) kecuali Dia”[12].

Allah Ta’ala Dialah Yang Maha Menyembuhkan segala macam penyakit manusia, dan tidak ada kesembuhan bagi mereka kecuali kesembuhan (dari)-Nya.

Kesembuhan dari Allah Ta’ala ada dua macam:

1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit hati manusia

2. Kesembuhan fisik, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit badan manusia[13].

Kedua macam penyembuhan ini terungkap dalam keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali Dia (juga) menurunkan obat (penyembuh) bagi penyakit tersebut”[14].

Allah Ta’ala menjelaskan dua macam kesembuhan ini dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentang penyembuhan yang pertama, yaitu penyembuhan penyakit hati manusia, Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah menjadikan al-Qur’an bagi orang-orang yang beriman sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allah mencukupkan (nasehat) bagi orang-orang yang beriman dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا}

“Dan Kami turunkan pada al-Qur’an suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS al-Israa’: 82).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti ‘al-Qur’an sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’: al-Qur’an akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur’an akan menyembuhkan semua (penyakit) tersebut…”[16].

Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk dari Allah Ta’ala untuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.

Imam Ibnul Qayyim berkata, “al-Qur’an adalah penyembuh yang hakiki dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan (dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur’an) itu tergantung dari (sejauh mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang benar) darinya”[17].

Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih.

Misalnya, hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu tentang beberapa orang shahabat yang melakukan safar (perjalanan), lalu mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, kemudian kepala suku perkampungan tersebut sakit karena disengat binatang buas, dan salah seorang shahabat mengobatinya dengan membaca surat al-Fatihah, maka serta merta orang tersebut sembuh total, Lalu mereka diberi hadiah beberapa ekor kambing. Kemudian setelah pulang dari perjalanan tersebut, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliaupun membenarkan perbuatan mereka seraya bersabda: “Dari mana kamu mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (doa/zikir untuk penyembuhan)?”, bahkan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari hadiah kambing tersebut”[18].

Juga hadits riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditimpa sakit, beliau membaca al-mu’awwidzaat (surat al-Falaq dan an-Naas) untuk diri beliau sendiri dan meludah sedikit. Lalu ketika sakit beliau sudah parah, akulah yang membacanya untuk beliau dan aku mengusap dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya”[19].

Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah asy-Syaafi

Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha Allah Ta’ala.

Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20].

Oleh karena itu, Allah Ta’ala tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya pada hari kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit.

Allah Ta’ala berfirman,

{يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

“Hari (kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS asy-Syu’araa’: 88-89).

Artinya: hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allah), keraguan, mencintai keburukan, serta bersikeras pada perbuatan bid’ah dan maksiat[21].

Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah Ta’ala, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah, (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)”[22].

Maka Allah U Dialah satu-satunya yang maha mampu untuk membersihakn hati dan mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Y adalah asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh) dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah r dalam hadits di atas.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal, mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal dari Allah Ta’ala, yaitu doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya”[23].

Penutup

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan bagi kita kesembuhan dari penyakit lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 21 Jumadal ula 1432 H


[1] HSR al-Bukhari (no. 5311) dan Muslim (no. 2191).
[2] Dalam kitab “Majmuu’ul fataawa” (2/380).
[3] Dalam kitab “Zaadul ma’aad” (4/172).
[4] Dalam kitab “al-Qawaa-idul mutsla” (hal. 42).
[5] Dalam kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 287).
[6] Kitab “an-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar” (2/1189).
[7] Kitab “al-Qamuusul muhiith” (hal. 1677).
[8] Kitab “al-Minhaaj fi syu’abil iimaan” (1/209).
[9] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/450).
[10] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 287).
[11] Kitab “Zaadul ma’aad” (4/172).
[12] Kitab “al-Minhaaj fi syu’abil iimaan” (1/209).
[13] Lihat kitab “Syarhu asma-illahil husna” (hal. 115).
[14] HSR al-Bukhari (no. 5354).
[15] Kitab “Tafsir ath-Thabari” (1/67).
[16] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/83).
[17] Kitab “Igaatsatul lahfaan min masha-yidisy syaithaan” (1/44).
[18] HSR al-Bukhari (no. 2156) dan Muslim (no. 2201).
[19] HSR al-Bukhari (no. 4728) dan Muslim (no. 2192).
[20] HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
[21] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (Hal. 593).
[22] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 132 – Mawaaridul amaan).
[23] HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 2722).

http://muslim.or.id/aqidah/asy-syaafi-yang-maha-penyembuh.html
 

PAKAIAN WANITA DALAM SHALAT


PAKAIAN WANITA DALAM SHALAT

*Monggo dibaca dan berbagi ilmu,isemoga manfaat.......
  
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah

Pakaian wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Tiap wanita hendaknya memperhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya dilakukan sendirian.

Di masa jahiliyah, kata Ibnu ‘Abbas, wanita biasa thawaf di Ka`bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya bersyair:

Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya
Maka apa yang nampak darinya tidaklah daku halalkan

Maka turunlah ayat:

“Wahai anak Adam kenakanlah zinah1 kalian setiap kali menuju masjid”. (Al-A`raf: 31) [Shahih, HR. Muslim no. 3028]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dulunya orang-orang jahiliyah thawaf di Ka`bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliyah ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana firman-Nya:

“Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali shalat di masjid”. (Al-A`raf: 31)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَان

“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka`bah”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1622 dan Muslim no. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 18/162-163]

Hadits di atas selain disebutkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah pada nomor di atas, pada kitab Al-Haj bab “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji”, disinggung pula oleh beliau dalam kitab Ash-Shalah, bab “Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian.” Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di atas dalam kitab Ash-Shalah berkata: “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari adalah bila dalam thawaf dilarang telanjang maka pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi karena apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat”. (Fathul Bari, 1/582)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah ketika datang ke masjid untuk melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih.” (Fathul Qadir, 2/200).

Ada perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dengan aurat yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya, sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat dengan aurat wanita.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Mengenakan pakaian di dalam shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah maka tidak boleh seseorang shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun ia berada sendirian di malam hari. Maka dengan ini diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam shalat bukan karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia, karena ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan manusia dengan pakaian yang dikenakan ketika shalat”. (Majmu` Fatawa, 22/113-114)

Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat, tidak peduli pakaian itu terkena najis, bau dan kotor misalnya. Namun perlu memperhatikan sisi keindahan dan kebersihan, karena Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas. Sehingga sepantasnya seorang hamba shalat dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah karena dia akan ber-munajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya. Demikian secara makna dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 43, sebagaimana dinukil dalam Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni‘, 2/145.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah membawakan beberapa syarat pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

1.Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
2.Bersih dari najis
3.Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/ melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal).
4.Pakaian tersebut tidak membuat bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam Asy-Syarhul Mumti‘, 2/148-151)

Bagian Tubuh yang Harus Ditutup

Berkata Al-Khaththabi rahimahullah: “Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya. Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Auza`i berkata: ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajahnya dan dua telapak tangannya.’ Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas dan ‘Atha. Lain lagi yang dikatakan Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam: ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat sampaipun kukunya.’ Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini, beliau menyatakan: ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatupun dari anggota tubuhnya tidak terkecuali kukunya’.” (Ma`alimus Sunan, 2/343)2.

Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (Asy-Syarhul Mumti`, 2/156). Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa nampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan dan telapak kaki. (Majmu` Fatawa, 22/109-120)

Dengan demikian ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kakinya. (Jami’ Ahkamin Nisa, 1/333-334). Walaupun yang lebih utama bila ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu‘ Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).

Dan bila ada laki-laki yang bukan mahramnya maka ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah. (Asy-Syarhul Mumti‘, 2/157). (bagi yang berpendapat wajibnya menutup wajah, red)

Pakaian Wanita di Dalam Shalat

Di sekitar kita banyak kita jumpai wanita shalat dengan mengenakan mukena/rukuh yang tipis transparan sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena, terlihat tipis, tanpa lengan, pendek dan ketat menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat. Bila ada yang berdalih, “Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah, sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!” Maka kita katakan pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang melihat, karena pakaian demikian tidak mencukupi untuk menutup aurat sementara wanita ketika shalat tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu` Fatawa sebagaimana dinukilkan di atas).

Terlebih lagi pelarangannya bahkan pengharamannya bila pakaian seperti ini dipakai keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram.

Bila demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di dalam shalatnya?

Permasalahan pakaian wanita di dalam shalat ini datang penyebutannya dalam beberapa hadits yang marfu‘ namun kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama, seperti hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

لا يَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ حَائِضٍ إِلا بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (baligh) kecuali bila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya)”. (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya)

Hadits ini kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam At-Talkhisul Habir (2/460) dianggap cacat oleh Ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai shahabat)), sedangkan Al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullah).

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira`3 dan kerudung tanpa izar4?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ

“(Boleh), apabila dira`nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya”. (HR. Abu Dawud no. 640)

Hadits Ummu Salamah ini tidak shahih sanadnya baik secara marfu’ maupun mauquf karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, sementara dia rawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 161.

Walaupun demikian, ada riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.

Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata: “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan dira‘ dan kerudung.” (Al-Mushannaf, 3/128)5.

Ubaidullah Al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira` dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf)6

Masih ada atsar lain dalam permasalahan ini yang kesemuanya menunjukkan shalatnya wanita dengan mengenakan dira‘ dan kerudung adalah perkara yang biasa dan dikenal di kalangan para shahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.

Bila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat maka ia menambahkan izar atau jilbab pada dira‘ dan kerudungnya. Dan ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Dengan dalil riwayat dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung dan izar. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih, lihat Tamamul Minnah, hal. 162).

Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira‘ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hal. 100).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira` yaitu pakaian yang sama dengan gamis hanya saja dira` ini lebar dan panjang menutupi sampai kedua telapak kaki, kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira`. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Ubaidah As-Salmani dan ‘Atha. Dan ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i rahimahullah, beliau berkata: “Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira` dan kerudung, bila menambahkan pakaian lain maka itu lebih baik dan lebih menutup.” (Al-Mughni, 1/351)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian, dira`, kerudung dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya atau kain sarung di bawah dira` atau sirwal (celana panjang yang sangat lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan milhafah.’ ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar dan dira`, ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata: ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian bila ia mendapatkannya yaitu kerudung, izar dan dira`.’ (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 4/322)

Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?

Di dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki dan seluruh tubuhnya kecuali wajah. Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini mencukupi baginya menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (Asy-Syarhul Mumti‘, 2/165)

Berkata Ikrimah: “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih Al-Bukhari, kitab Ash-Shalah bab Berapa pakaian yang boleh dikenakan wanita ketika shalat).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan: “Ibnul Mundzir setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira` dan kerudung, beliau berkata: ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’ Ibnul Mundzir juga berkata: ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ bahwasanya ia berkata: ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan izar’, demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab7.” (Fathul Bari, 1/602-603)

Mujahid dan ‘Atha pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, lalu apa yang harus dilakukannya? Mereka menjawab: “Ia berselimut dengannya.” Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)

Demikian apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga memberi manfaat.

Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawab.

Footnote:

1) Zinah adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri, (Mukhtarush Shihah, hal. 139), seperti pakaian.
2) Sebagaimana dinukil dalam Jami’ Ahkamin Nisa, 1/321
3) Dira’ adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (Asy-Syarhul Mumti’, 2/164).
4) Izar adalah milhafah (Al-Qamushul Muhith, hal. 309), makna milhafah sendiri diterangkan dalam Al-Qamush (hal. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian (sehingga menutup/menyelubungi seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab. Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 2/164-165)
5) Isnadnya sahih, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 162)
6) Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi namun disenangi bila ditambah lagi dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.
7) Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi namun disenangi bila ditambah lagi dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.

(Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/Agustus 2003/Jumadil Akhir 1424H, kategori: Wanita dalam Sorotan, hal. 70-74. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=121)
_______