Follow us on:
MENGENAL ISTILAH² DALAM HADITS

 

by Fadhl Ihsan

Berikut ini beberapa istilah hadits yang sering dipakai dalam Majalah Asy Syariah:

1. Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama berdusta. Dan perkara yang mereka bawa adalah perkara yang inderawi yakni dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberi faidah ilmu yang harus diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.

2. Ahad
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

3. Shahih (sehat)
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan yaitu melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari sesuatu yang menjatuhkan muru’ah/kewibawaan) dan sempurna hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadist itu, dari orang yang semacam itu juga dengan sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih kuat. Hadits shahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.

4. Hasan (baik)
Hadits yang sama dengan hadits yang shahih kecuali pada sifat rawinya di mana hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah. Hadits hasan hukumnya diterima.

5. Dha’if (lemah)
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan. Hadits dha’if hukumnya ditolak.

6. Maudhu’ (palsu)
Hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.

7. Mursal
Yaitu seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi’in tersebut dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi yang lemah.

8. Syadz
Hadits yang sanadnya shahih atau hasan namun isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat dari hadits itu sendiri, hukumnya tertolak.

9. Mungkar
Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya menyelisihi riwayat yang shahih atau hasan dari hadits itu sendiri, hukumnya juga tertolak.

10. Munqathi’
Hadits yang terputus sanadnya secara umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih dalam sanad, bukan di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya secara berurutan. Hukumnya tertolak.

11. Sanad
Rangkaian para rawi yang berakhir dengan matan.

12. Matan
Ucapan rawi atau redaksi hadits yang terak dalam sanad.

13. Rawi
Orang yang meriwayatkan atau membawakan hadits.

14. Atsar
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni kepada para shahabat dan tabi’in.

15. Marfu’
Suatu ucapan atau perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

16. Mauquf
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada shahabat.

17. Jayyid (bagus)
Suatu istilah lain untuk shahih.

18. Muhaddits
Orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits secara riwayat dan dirayat (fiqih hadits), serta banyak mengetahui para rawi dan keadaan mereka.

19. Al-Hafidz
Orang yang kedudukannya lebih tinggi dari muhaddits, di mana ia lebih banyak mengetahui rawi di setiap tingkatan sanad.

20. Majhul
(Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak ada yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-nya, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul al-’ain, dan bila lebih dari satu maka disebut majhul al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.

21. Tsiqah
(Rawi yang) terpercaya, artinya terpercaya kejujurannya dan keadilannya serta kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits.

22. Jarh
Cacat, dan majruh artinya tercacat.

23. Ta’dil
Dinilai adil.

24. Muttafaqun ‘alaih
Maksudnya hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.

25. Mu’allaq/ta’liq
Hadits yang terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 06/I/Muharram 1425 H/Maret 2004, hal. 35.

---
https://www.facebook.com/?ref=home#!

---
Catatan  :

Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat) ---> Berdasarkan jumlah penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

ILMU HADITS : 

 
DEFINISI HADITS MAJHUL (KETIDAKTAHUAN AKAN KONDISI PERAWI (JAHALATUR-RAAWI))

KETIDAKTAHUAN AKAN KONDISI PERAWI (JAHALATUR-RAAWI)

Definisi

Kata Jahalah secara bahasa adlah lawan kata dari “mengetahui”. Sedangkan lafadh Al-Jahalatu bir-Rawi artinya : “ketidaktahuan akan kondisi perawi”.

Sebab-Sebab Ketidaktahuan akan Kondisi Perawi

Banyaknya sebutan untuk perawi. Mulai dari nama, kunyah, gelar, sifat, pekerjaan, sampai nasabnya. Bisa jadi seorang perawi terkenal dengan salah satu dari yang disebutkan di atas, kemudian ia disebut dengan sebutan yang tidak terkenal untuk suatu tujuan tertentu, sehingga ia dikira sebagai perawi lain. Misalnya seorang perawi yang bernama “Muhammad bin As-Sa’ib bin Bisyr Al-Kalbi”. Sebagian ulama ahli hadits menghubungkan namanya dengan nama kakeknya, sebagian lain menamakannya dengan “Hammad bin As-Sa’ib”, sedangkan sebagian yang lain memberikan kunyah dengan Abu An-Nadhr, Abu Sa’id, dan Abu Hisyam.

Sedikitnya riwayat seorang perawi dan sedikit pula orang yang meriwayatkan hadits darinya. Seperti seorang perawi yang bernama Abu Al-Asyra’ Ad-Daarimi. Ia merupakan salah satu ulama tabi’in. Tidak ada orang yang meriwayatkan hadits darinya kecuali Hammad bin Salamah.

Ketidakjelasan penyebutan namanya. Seperti seorang perawi yang berkata : “Seseorang”; atau “Syaikh”; atau sebutan yang lain : “Telah mengkhabarkan kepadaku”.

Definisi Majhul
Kata Al-Majhul artinya : “orang yang tidak diketahui jati dirinya atau sifat-sifatnya”. Majhul mencakup tiga hal :

Majhul Al-‘Ain
Majhul Al-‘Ain artinya : “seorang perawi yang disebut namanya dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali seorang perawi saja. Orang ini tidak diterima riwayatnya kecuali ada ulama yang mengatakan bahwa ia adalah perawi yang dapat dipercaya”.

Majhul Al-Haal
Majhul Al-Haal dinamakan juga Al-Mastur (yang tertutupi). Yang dinamakan Majhul Al-Haal adalah “seorang perawi yang mana ada dua orang atau lebih yang meriwayatkan hadits darinya dan tidak ada ulama yang mengatakan bahwa ia dalah perawi yang dapat dipercaya”. Riwayat orang seperti ini menurut pendapat yang paling benar adalah ditolak.

Al-Mubham
Al-Mubham artinya : “Seorang perawi yang tidak disebut namanya dengan jelas dalam sanad”. Maka riwayat orang seperti ini adalah ditolak sampai namanya diketahui. Seandainya ketidakjelasan dalam menyebut namanya dengan menggunakan lafadh ta’dil ( = menyatakan ia adalah seorang yang terpercaya) seperti perkata : “Seorang yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku”, maka menurut pendapat yang kuat, tetap saja riwayatnya tidak diterima.

Buku-Buku yang Membahas Tentang Sebab-Sebab yang Membuat Perawi Tidak Dikenal

Muwadldlih Awham Al-Jam’I wat-Tafriq karya Al-Khathib Al-Baghdadi. Buku ini membahas tentang sebutan-sebutan para perawi hadits.

Al-Wihad karya Imam Muslim. Buku ini membahas tentang riwayat perawi yang jumlahnya sedikit.

Al-Asmaa’ul-Mubham fil-Anbaa Al-Muhkam karya Al-Khathib Al-Baghdadi. Buku ini membahas tentang nama-nama para perawi yang disebut dengan tidak jelas.

Pedoman Menolak Hadits Majhul [Syaikh Al-Albani dalam Tamaamul-Minnah]

Al-Khathib berkata dalam Al-Kifaayah (halaman 88) : “Al-Majhul menurut ahli hadits adalah orang yang tidak populer sebagai penuntut ilmu dan tidak dikenal oleh para ulama. Orang ini hanya meriwayatkan hadits dari satu rawi/sumber”.

Kemajhulan ini akan terangkat paling sedikit karena adanya dua atau lebih perawi terkenal keilmuannya yang meriwayatkan hadits darinya.

Aku (Syaikh Al-Albani) berkata : Tetapi keadilan itu tidak dapat ditentukan oleh riwayat dua perawi itu. Ada sekelompok orang menduga keadilan dapat ditentukan dengan cara demikian. Kemudian Al-Khathib menjelaskan rusaknya pendapat mereka dalam bab khusus setelah ini. Bagi orang yang berminat dapat melihatnya.

Aku (Syaikh Al-Albani) berkata : Orang yang majhul (tidak dikenal) yang hanya satu orang perawi meriwayatkan darinya itulah yang dikenal dengan majhul ‘ain. Kemajhulan ini akan terangkat oleh adanya dua atau lebih perawi darinya. Ini yang disebut majhul haaldan mastur (tertutup), dan riwayatnya diterima oleh jama’ah tanpa ikatan dan ditolak oleh jumhur seperti dijelaskan dalam syarhun-Nukhbah (halaman 24) : “Sesungguhnya riwayat rawi yang mastur dan sejenisnya mengandung beberapa kemungkinan, tidak dapat ditolak atau diterima secara mutlak. Tetapi ia bergantung kepada kejelasan keadaan perawi, seperti yang diyakini oleh Imam Al-Haramian”.

Saya (Syaikh Al-Albani) berkata : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari adanya tautsiq (pengakuan terpercaya) dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya. Dalam pernyataannya (yaitu Al-Hafidh) bahwa majhul haal adalah orang yang teriwayatkan haditsnya oleh dua orang atau lebih perawi, tetapi tidak ada pengakuan terpercaya. Saya mengatakan : Imam yang diakui tautsiq-nya, karena di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya, seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi para ahli hadits pada umumnya. Ini akan saya jelaskan dalam pedoman berikutnya.

Memang benar bahwa riwayat majhul dapat diterima jika ada sejumlah besar perawi-perawi terpercaya meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur pengingkaran. Pendapat ini dianut oleh ulama muta’akhkhiriin seperti ibnu Katsir, Al-‘Asqalani, dan yang lainnya.

Sumber :
Ditulis oleh sahabat baik AbuJauzaa

BAGAIMANA MENAFSIRKAN AL-QUR'AN ?


by Al-Ukhti Orcela Puspita -Hafizhahallah-

Oleh :
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
--------------
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya :
"Apa yang harus dilakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur'an ?"


Jawaban.
-----------
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan Al-Qur'an ke dalam hati nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan manuju cahaya Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an surat Ibrahim : 1.

"Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji".

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan, dan menafsirkan isi Al-Qur'an.


Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam surat An-Nahl : 44

"Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kami menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan".

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur'an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi semuanya dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an surat An-Najm : 3-4.

"Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur'an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata, "Berpeganglah kalian kepada Al-Qur'an. Apapun yang dikatakan halal didalam Al-Qur'an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam Al-Qur'an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya" [Takhrijul Misykat No. 163]


Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur'an adalah:

Cara Pertama.
-----------------
Adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Cara Kedua.

--------------
Adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah berkata : "Dia adalah penerjemah Al-Qur'an". Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.


Cara Ketiga.
-----------
Yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsiran dari para tabi'in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid-murid Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, seperti : Sa'ad bin Juba'ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain.

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra'yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur'an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela satu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama ahli tafsir.

Untuk menunjukkan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur'an surat Al-Muzammil : 20.

"Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an"
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang sedang berdiri shalat adalah ayat-ayat Al-Qur'an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca Al-Qur'an. (tidak harus Al-Fatihah -pent-).

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (surat Al-Fatihah)" [Shahihul Jaami' No. 7389]

Dan di hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Barangsiapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah maka shalatnya kurang, shalatnya kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna" [Shifatu Shalatain Nabiy hal. 97]

Berdasarkan tafsir diatas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur'an kecuali dengan hadits yang mutawatir. dengan kata lain mereka mengatakan, "Tidak boleh menafsirkan yang mutawatir kecuali dengan yang mutawatir pula". Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra'yu dan madzhab.

Padahal semua ulama tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya sependapat bahwa maksud 'bacalah' dalam ayat di atas adalah 'shalatlah'. Jadi ayat tersebut maksudnya adalah : "Maka shalatlah qiyamul lail (shalat malam) dengan bilangan raka'at yang kalian sanggupi".

Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut.

"Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang besama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam shalat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat malam dengan jumlah raka'at kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebelas raka'at. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut.

Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya "menyebut sebagian" tetapi yang dimaksud adalah "keseluruhan"[1]

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur'an adalah bagian dari shalat. Allah sering menyebut kata "bacaan/membaca" padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur'an itu merupakan bagian penting dari shalat.

Contohnya adalah dalam surat Al-Isra' : 78

"Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikanlah pula bacaan fajar"

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut 'qur'ana al-fajri'. Tapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.

Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam shalat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur'an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal.

Tafsiran ayat di atas (Al-Muzzammil : 20) datang dari para ulama tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur'an.

Tidak mungkin perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur'an. Justru perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu menafsirkan dan mejelaskan isi Al-Qur'an.

Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam shalatnya. Sama sekali tidak. baik shalat fardhu atau shalat sunat.

Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.

Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah/kitab-kitab hadits yang sanad-sanandnya shahih.

Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata : "Kami tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja".

Demikian sangkaan mereka. padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu'adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid [Shahih Bukhari No. 1458, Shahih Muslim No. 19], padahal Mu'adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu'adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikan adalah menyangkut masalah aqidah -pent-).


[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]

_________
Foote Note.

[1] Misalnya : Menyebut 'bacaan Al-Qur'an' tetapi yang dimaksud adalah shalat karena bacaan Al-Qur'an itu bagian dari shalat. Menyebut kata nafs (=jiwa, nyawa) tetapi yang dimaksud adalah manusia, Menyebut 'darah' atau 'memukul' padahal yang dimaksud adalah membunuh (-pent)

***************
Catatan Tambahan :

Hadits Ahad
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

Hadits Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama berdusta. Dan perkara yang mereka bawa adalah perkara yang inderawi yakni dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberi faidah ilmu yang harus diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.



source

Tasawuf


Tasawuf diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia.

PENGANUTNYA disebut SHUFI (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red), dan JAMAKNYA adalah SUFIYYAH .

Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah , shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. 


Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah :
 
“Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.”

(Majmu’ Fatawa, 11/5)



CATATAN :

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi (http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama)
 


CELAAN AL IMAM ASY SYAFI'I RAHIMAHULLAH TERHADAP SUFIYAH

Sufiyah BUKANLAH pengikut Al-Iman Asy Syafi’I Rahimahullah.

 
Di antara buktinya adalah banyaknya CELAAN dari IMAM ASY SYAFI'I RAHIMAHULLAH dan lainnya terhadap mereka.

Al Imam Al Baihaqi Rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al Imam Asy Syafi'i Rahimahullah: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu Zhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang DUNGU”.

Al Iman Asy Syafi’I Rahimahullah juga mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang sufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum sufiyah selama 40 hari, TIDAK MUNGKIN KEMBALI AKALNYA.”

Beliau juga bekata, “Azas (dasar sufiyah) adalah MALAS,” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah lil Imam asy Syafi'i Rahimahullah, hal. 13-15)

Beliau menamai sufiyah dengan kaum ZINDIQ. Kata beliau Rahimahullah, “Kami tinggalkan Baghdad dalam keadaan orang-orang zindiq telah membuat-buat bida’ah yang mereka namakan SAMA' (NYANYIAN SUFI).”

Asy-Syaikh Jamil Zainu berkata, “orang-orang ZINDIQ yang dimaksudkan Al Imam Asy Syafi’I adalah kaum sufiyah.” (Lihat Sufiyah fi mizan Al Kitab Was Sunnah)



CELAAN AL IMAM MALIK RAHIMAHULLAH TERHADAP SUFIYAH

At Tunisi mengatakan: "Kami berada di sisi Al Imam Malik, sedangkan murid-murid beliau di sekelilingnya. Seorang dari Nasyibiyin berkata:
“Di tempat kami ada satu kelompok disebut sufiyah. Mereka banyak makan kemudian membaca qashidah dan berjoget.”

Al Imam Malik berkata,
“Apakah mereka anak-anak?”

Orang tadi menjawab,
“Bukan.”

Beliau berkata,
“Apakah mereka adalah orang-orang gila?”

Orang tadi berkata,
“Bukan, mereka adalah orang-orang tua yang berakal.”

Al Imam Malik berkata,
“Aku tidak pernah mendengar seorang pemeluk Islam melakukan demikian.”
 

CELAAN AL IMAM AHMAD RAHIMAHULLAH TERHADAP SUFIYAH

Beliau ditanya tentang apa yang dilakukan sufiyah berupa nasyid-nasyid dan qashidah yang mereka namakan SAMA' (nyanyian Sufi - pent).


Beliau berkata,
"Itu adalah muhdats (perkara baru yang di ada-adakan dalam Islam).”

Ditanyakan kepada beliau,
“Apakah boleh kami duduk bersama mereka?”,

Beliau menjawab,
“Janganlah kalian duduk bersama mereka.”
Beliau berkata tentang Harits Al Muhasibi –dia adalah tokoh sufiyah-,
“Aku tidak pernah mendengar pembicaraan tentang masalah dalam hakikat sesuatu seperti yang diucapkannya. Namun aku tidak membolehkan engkau berteman dengannya.”


CELAAN AL IMAM IBNUL JAUZI RAHIMAHULLAH TERHADAP SUFIYAH
Beliau berkata,

“aku telah menelaah keadaan sufiyah dan aku dapati kebanyakannya menyimpang dari syariat. Antara bodoh tentang syariat atau kebid’ahan dengan akal fikiran.”

Marwan bin Muhammad Rahimahullah berkata,
“Tiga golongan manusia yang tidak bisa dipercaya dalam masaalah agama: sufi, qashash (tukang kisah), dan ahlul bid’ah yang membantah ahlul bid’ah lainnya.” (Lihat Mukhalafatush sufiyah hal 16- 18)
 


source: Majalah Asy Syari’ah No.55/V/1430 H/2009


 
https://www.facebook.com/groups/178870065487878/305244676183749/



CELAAN AL IMAM ABU ZUR'AH RAHIMAHULLAH TERHADAP SUFIYAH

Al Hafizh berkata dalam Tahdzid: Al Barbza’I berkata,
“Abu Zur’ah ditanya tentang Harits Al Muhasibi (dia adalah tokoh sufiyah-pent) dan kitab-kitabnya.

Beliau berkata kepada penanya,
‘HATI-HATI kamu dari kitab-kitab ini, kerena isinya KEBID'AHAN dan KESESATAN. Engkau wajib berpegang dengan ATSAR, akan engkau dapati yang membuatmu tidak membutuhkan apapun dari kitab-kitabnya.’ ”



" MA'RIFAT "

Di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat.

Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini.

Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?

 


ISLAM

Pembagian agama Islam menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat TIDAKLAH dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini.


Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan

Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu.

Lalu bagaimana mungkin mereka (sufi) bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ?

Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).

Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min.

Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at.

Wallohu a’lam.

Dinukil dari :
Islam, Iman dan Ihsan
http://muslim.or.id/aqidah/islam-iman-ihsan.html
 


===



Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
 
“Tidaklah seorang sufi menjadi sufi, hingga memiliki empat sifat: malas, suka makan, sering merasa sial, dan banyak berbuat sia-sia.”
(Lihat Manaqib lil Baihaqi, Jilid 2 Hal.207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, Jilid 2 Hal.504)



Al Iman Asy Syafi’I Rahimahullah mengatakan,

“Aku tidak pernah melihat seorang sufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum sufiyah selama 40 hari, TIDAK MUNGKIN KEMBALI AKALNYA.”

 
https://www.facebook.com/abuibrahimalbetawi/posts/336636533027854
 

KEHIDUPAN PARA NABI DI ALAM BARZAKH

 

KEHIDUPAN PARA NABI DI ALAM BARZAKH

Dipublikasikan oleh :
Majalah Islami Adz-Dzakhiirah pada 4 November 2009

Assalamu’alaikum.
Ana mau tanya, apa benar ada hadits shahih yang menyebutkan bahwa para nabi hidup di dalam kubur mereka dan melakukan shalat di dalam kuburnya.
Tolong dijelaskan. Kandiawan SH, Solo [081548590XXX]

JAWAB :

Wa’alaikumussalam.
Segala puji bagi Allah sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, wa ba’du.

Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa para Nabi ‘alaihimusholatu wassalam hidup di dalam kubur dan mereka mengerjakan shalat di dalamnya. Hadits tersebut shahih dan telah dishahihkan oleh para ulama di antaranya al-Baihaqi, al-Munawi dan al-Albani rahimahumullah.


LAFAZH HADITS

Rasulullah -shallallah alaihi wa sallam- bersabda:

الأَنْبِيَاءُ – صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ – أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ

“Para Nabi shalawatullahu ‘alaihim hidup di kubur mereka seraya mengerjakan shalat.”

(Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 621) [Faedah: Pada mulanya Syaikh al-Albani -rahimahullah- melemahkan hadits ini. Namun setelah mempelajarinya lebih mendalam akhirnya beliau menshahihkannya. Dan Syaikh menjelaskan ruju'nya itu dalam kitab agung beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah jilid 2, hlm. 190.]


MAKNA HADITS

Syaikh al-Albani -rahimahullah- menjelaskan tentang makna hadits di atas:

“Ketahuilah! Kehidupan para Nabi ‘alaihimusholatu wassalam yang ditetapkan hadits ini adalah kehidupan alam barzakh, sama sekali bukan kehidupan dunia.

Oleh karena itu wajib mengimaninya,
—►tanpa menetapkan contohnya
—►atau berusaha mencari-cari seperti apa itu
—►atau menyamakannya dengan kehidupan dunia yang telah kita ketahui bersama.

Inilah sikap yang wajib diambil oleh seorang mukmin, yaitu :
—►mengimani apa yang ada dalam hadits TANPA menambahnya dengan analogi dan logika akal seperti yang diperbuat oleh ahlu bid’ah, yang mana sebagian dari mereka sampai ada yang meyakini bahwa kehidupan Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- di dalam kubur adalah kehidupan hakiki! Mereka berkata: Beliau makan, minum dan menggauli istrinya. Padahal itu adalah kehidupan alam barzakh yang tidak dapat diketahui hakekat sebenarnya kecuali oleh Allah subhanahu wa ta’ala.”

(Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, jilid 2, hlm. 190, penjelasan hadits no 621)

Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 55, hal. 5

http://www.majalahislami.com/2009/11/kehidupan-para-nabi-di-alam-barzakh/

Ebook Offline dari Website-website Bermanhaj Salaf


Bismillah,

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.

Alhamdulillah atas kemudahan yang telah Allah Ta'ala berikan kepad
a kami, dengannya kami bisa menyusun Ebook-Ebook Offline dari Website-website Bermanhaj Salaf. Semoga Ebook ini bermanfaat bagi Kaum Muslimin, menambahkan ilmu, iman serta amal bagi yang membacanya. Aamiin..

- Ebook Offline Muslim.Or.Id bisa didownload di link-link berikut (Ukuran 14.3MB)
http://www.mediafire.com/?4ti67ls8cz46liz
https://www.box.com/s/tifyb0yi7uqi6my0rx82
http://www.4shared.com/file/oRR4ez5Z/Offline_MuslimOrId_Versi_10_.html
http://www.sharebeast.com/i9k537987o5d

- Ebook Rumaysho.com (9.3 MB) download di link-link berikut:
https://www.box.com/s/h6vilcjwxocygb1iul4i
http://www.mediafire.com/?mfgm3f2xegs8g1v
http://www.sharebeast.com/jkf9sl9khgzq
http://www.4shared.com/file/Qy_hObS3/Offline_RumayshoCom_Versi_20.html

- Ebook Offline Firanda.com (Ukuran 9.3MB) :
http://www.sharebeast.com/3x1elbhddebn
http://www.mediafire.com/?92v4alaf3ng637l
http://www.4shared.com/file/on1_ngZe/Offline_Firandacom_Versi_10.html
https://www.box.com/s/b71g0sowlt0cmjj6k1v4

- Ebook Abumushlih.com (1.8 MB)
http://www.sharebeast.com/7s0lpl11xdj9
http://www.mediafire.com/?hcyfs5hkjww47g1
https://www.box.com/s/949daa1ypx83frncu8bj
http://www.4shared.com/file/0XvT76sp/Offline_Abumushlihcom_Versi_10.html

- Offline Almanhaj.or.id (06 Oktober 2012) CHM ukuran 58MB:
https://www.box.com/s/jwogcxvvuxxqk39wcam
http://www.mediafire.com/?1kkff81uz0lzoi2
http://www.sharebeast.com/trhjhdfgq2ex

- Ebook Abiubaidah.com (Ukuran 1.1MB) :
http://www.sharebeast.com/bfrs1tw0thq9
http://www.mediafire.com/?f8f0wmrcevhdist
https://www.box.com/s/4e6glg0tr81nodxpe00z
http://www.4shared.com/file/iKWjHgUh/Offline_Abiubaidahcom_Versi_10.html

- Ebook Buletin Al-Ilmu (Ukuran 1.2MB) :
http://www.sharebeast.com/dcfgrnahmpim
http://www.mediafire.com/?7dq69y31nf9ia0n
https://www.box.com/s/w5qaba43mq6x1en2poc3
http://www.4shared.com/file/OoXiwmoL/Offline_Buletin_Al_Ilmu.html

- Offline Blog Abul Jauzaa Versi 03 : http://www.4shared.com/file/uutYrMIB/Blog_Abul-Jauzaa_Versi_03.html

- Ebook Offline Manisnyaiman.com : http://www.4shared.com/file/LytEN7oJ/manisnyaiman.html

- Ebook Jilbab.or.id :
https://www.box.com/files/0/f/0/1/f_3322778000
http://www.4shared.com/file/JG2HffL6/jilbaborid.html

- Offline Majalah Asy-Syariah : http://sites.google.com/site/4buluqman/MajalahAsySyariahvp_2.2chm.rar
__________________

Download Ebook-Ebook lainnya yang belum kami cantumkan di sini:
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/07/halaman-download.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/09/download-ii_17.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/02/halaman-download-iii.html
• Lainnya silahkan cari di Artikel kategori Download disini: http://faisalchoir.blogspot.com/search/label/Halaman%20Download

*****

Bagi yang mau silahkan bisa ditag / dishare sendiri.

Semoga bermanfaat.

Ringkasan bimbingan mengurus jenazah



Risalah Islam bersifat paripurna, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak ia belum menghirup udara dunia, sampai akhirnya kubur menjadi huniannya. Ini juga menjadi pesona khas, bagi agama yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekali lagi, sebagian keindahan Islam akan terbukti, dengan Anda menyimak sajian rubrik fiqih kali ini. (Redaksi)

A. HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT

1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.

2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.

Dari Abu Hurairah,dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً”.أخرجه البخاري
Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya. [HR Al Bukhari].

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.
Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. [Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma'az Zawa'id].

3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan kematian.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ انْقَطَعَ عَمَلُهُ وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan. [HR Muslim].

Blog Archive