Follow us on:

AL HAQ

bismillaah,

Jadilah engkau seorang PEMECAH BELAH antara yang haq dengan kebatilan DENGAN ILMU !! 
Dan jangan justru menjadi pemersatu antara keduanya.

Sungguh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diutus untuk memisahkan antar yg haq dengan yang batil. 

Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui". [QS. Al Baqoroh : 42].

Islam adalah agama pemecah belah (menurut orang kafir). Na'am, itu juga bisa dibenarkan, tapi perlu garis bawahi. Yaitu :


- Pemecah belah antara Tauhid dengan Syirik.
- Pemecah belah antara Sunnah dengan Bid'ah.
- Pemecah belah antara ketaatan dengan kemaksiatan.
- Pemecah belah antara Ahlut Tauhid dengan orang-orang yang masih berbuat syirik.
- Pemecah belah antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid'ah.
- dan sebagainya.

Bukankah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, beliau dianggap pemecah belah oleh kaum musyrikin? Memisahkan antara ibu bapak dengan anaknya, memisahkan dengan sesama saudaranya, kerabat, dan lain-lain ? Rasulullah saja sudah dituduh seperti itu, apalagi kita? Dan orang musyrikin juga menertawai Rasulullah.

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu'min, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mu'min. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir." (QS. Al Muthaffifin).

Jadi kita ahlus sunnah tidak perlu merasa khawatir atau takut dalam mengamalkan dan berkata yang Haq, Insya Allah. Mereka tidak akan bisa memuhdharatkan kita.

Dari Muawiyah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : "Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,


"Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak merugikannya orang yang menghina dan menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat dan mereka berada dalam keadaan demikian" [Mutafaqun Alaihi dan hadits ini dari Muawiyah memiliki delapan jalan periwayatan yang telah datang takhrijnya dalam Allaali al-Mansturah bi Aushaafith Thaifatil Manshurah ]

By Abu Ayaz

Semoga bermanfaat


Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:

-Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Perkara ini telah melampaui kadar yang cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red).

Terkadang dalam suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan: “Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.” Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan hujjah sebagai hujjah.” (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hal. 334)


 - Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Siapapun tidak boleh berhujjah dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah), ijma’ dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya dikokohkan dengan dalil-dalil syar’i, tidak dengan pendapat-pendapat sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah dengan dalil-dalil syar’i, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalil-dalil syar’i.” (Majmu’ Al-Fatawa, 26/202-203)

Setiap Pendapat Menuntut Dalil

Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam kebesaran nam...a seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama beserta dalil-dalilnya dengan benar.


 Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut beberapa riwayat dalam masalah ini:

1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah ):

أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ: هَؤُلاَءِ كِلاَبُ الناَّرِ، أَوْ شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

“Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij) adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah

إِنِّي لَجَرِيْءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ ثِنْتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثٍ

“(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak hanya sekali, dua dan tiga kali.” Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jami’ush Shahih, 1/199-201)

2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri z mengatakan:

الدِّناَرُ بِالدِّناَرِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، فَمَنْ زَادَ – أَوِ ازْدَادَ – فَقَدْ أَرْيَى

“Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya) dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba.”

Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Sa’id): “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas mengatakan yang selain ini.” Abu Sa’id Al-Khudri menjawab: “Aku telah bertemu Ibnu ‘Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah –k–? Beliau (Ibnu ‘Abbas –red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih tahu tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam daripada aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

لاَ رِباً إِلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ

“Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah.” (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan Muslim no. 1596)


 3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafi’i (86-87):

Al-Imam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafi’i rahimahumallah: “Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian?” Lalu Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: “Dari mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits atau ayat Al Qur`an?” Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab: “Ya.” Lantas beliau mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut.” (Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)

Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai. Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para da’i yang sedang bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala . Wallahul musta’an.

Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang pendapat? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar sosok-sosok tertentu.


 PENUTUP

Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu’ (cabang) tanpa perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan yang sama erat dengan norma-norma syari’at. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)

Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tanawwu’.

Dari Ibnu Mas’ud z, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَجَلاً قَرَأَ آيَةً سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلاَفَهاَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ، فَعَرَفْتُ فِيْ وَجْهِهِ الْكَرَاهَةَ، وَقاَلَ: كِلاَكُماَ مُحْسِنٌ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَإِنَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُم اخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا

“Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku memegang tangannya dan membawanya menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , lalu aku laporkan perkara itu kepada beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Al-Bukhari no. 2410)

Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala , sedangkan yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun kepada Allah Subhanahu wa ta’ala .Wallahu a’lam.

http://www.abuayaz.co.cc/2010/10/jalan-kebenaran-hanya-satu.html

semoga bermanfaat

source :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2341708294718&set=a.2341689374245.2130840.1010257349&type=3


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2341708294718&set=a.2341689374245.2130840.1010257349&type=1&ref=nf

Tidak ada masalah dgn istilah pemecah belah.
Sebab yang dipecah adalah sekumpulan kaum yg sudah jumud, bersatu dalam kebid'ahan dan kesyirikan, mereka merasa established di zona nyaman kebid'ahan dan hal2 menyimpang lainnya.

Kalau tidak ada seseorang atau kaum yang lain yang menyuarakn al haq, maka para ahlul bid'ah ini akan merasa nyaman, anteng dengan rutinitas penyimpangan mereka.
Sedemikian anteng dan establish nya mereka, bagaikan telur atau kaca (seperti yg diistilahkan pada komen diatas) , atau rumah tangga yang harmonis (diatas), TAPI didalam penyimpangan.

Lalu ketika kita menyuarakan kebenaran, mereka kebakaran jenggot, meradang, maka mereka pun terpecah, ada yang mendapat hidayah, pro kepada kebenaran, ada yang kontra, tetap dan ngeyel dlm kebid'ahan.

Saya pun dulu bagian dari mereka, saya dulu mantan ahlul bid'ah atau pelaku bid'ah.

Alhamduillah, sekarang saya dimusuhi oleh mereka, karena saya menentang keras kebid'ahan2 mereka.

Maka, telah terpecah belahlah saya dengan mereka yang bagian dari masa lalu saya. Dan saya berlepas diri dari mereka.

Jadi, tidak ada masalah dengan istilah PEMECAH BELAH.


pada hakekatnya antara yang haq dan yang bathil itu terpisah dengan jelas.
manusia jaman sekarang mmg tlah mencampur aduk keduanya menjadi satu sehingga perlu dipisahkan lagi.
artikel di atas itu adalah sanggahan justru bagi orang yang menuduh kegiatan dakwah Tauhid sebagai pemecah belah ummat, karenanya kita pakai istilah yang dituduhkan tersebut untuk menjawab tuduhan para pembenci Tauhid. Mereka yang menciptakan tuduhan pemecah belah ummat karena dakwah Tauhid, 


dan kita jawab :

BENAR, kita memang memecah belah, tapi dalam konteks seperti pada artikel di atas.



Allahul musta'an.

Blog Archive