Follow us on:

^MENGUNGKAP TIPU MUSLIHAT ABU SALAFY CS^


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.

Sungguh merinding tatkala membaca tulisan-tulisan tentang dimana Allah yang ditulis oleh Abu Salafy dan pemilik blog salafytobat. Karena tulisan-tulisan mereka penuh dengan tuduhan-tuduhan serta manipulasi fakta yang ada. Ternyata mulut-mulut mereka sangatlah kotor. Cercaan dan makian memenuhi tulisan-tulisan kedua orang ini yang pada hakekatnya mereka berdua takut menunjukkan hakekat mereka berdua. Begitulah kalau seseorang merasa berdosa dan bersalah takut ketahuan batang hidungnya. Allahul Musta'aan.

Sesungguhnya apa yang mereka berdua perjuangkan hanyalah lagu lama yang telah dilantunkan oleh pendahulu-pendahulu mereka yang bingung sendiri dengan aqidah mereka.

Maka pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengungkapkan manipulasi fakta yang telah mereka lakukan dan mengungkap kerancuan cara berpikir kedua orang ini.

Dan tulisan kali ini terkonsentrasikan pada pengakuan Abu Salafi cs bahwasanya aqidah mereka tentang dimana Allah adalah aqidah yang disuarakan oleh sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dan juga sebagian ulama salaf. Sebagaimana pengakuan mereka ini tercantumkan dalam : http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/ (dalam sebuah artikel yang berjudul : Ternyata Tuhan itu tidak di langit).

Sebelum membantah pengakuan mereka tersebut maka kami akan menjelaskan tentang 3 point yang sangat penting yang merupakan muqoddimah (pengangtar) untuk membuktikan tipu muslihat mereka. Point-point tersebut adalah :

1.     Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.

2.     Perkataan para ulama Islam (dari kalangan sahabat, para tabi'iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.
3.     Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa'iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.

Ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit

Keberadaan Allah di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam. Diantara mereka:

Pertama : Al-Imam Al-Auzaa'i rahimahullah (wafat 157 H)

Al-Auzaa'i berkata : "Ketika kami dahulu –dan para tabi'in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah" (Al-Asmaa' was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)

Kedua : Qutaibah bin Sa'iid (150-240 H)

Beliau berkata :

هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى

"Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama'ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas 'arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas 'arsy beristiwa" (Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi berkata, "Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya" (Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103)

Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :

"Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran"  (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)

Keempat : Utsmaan bin Sa'iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)

Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod 'alal Marriisi
"Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah" (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa'iid  alaa Bisyr Al-Mariisi Al-'Aniid Hal 25)

Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)

Beliau berkata :

القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء".

"Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta'aala di atas 'arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya"
(Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy'ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa' Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185)

Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)

Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254

"Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur'an dan melalui lisan NabiNya –'alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa 'alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah"

Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah 'an Syarii'at Al-Firqoh An-Naajiyah :

"باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه"

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه

ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان". انتهى

“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”

Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)

Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-'uluw li Adz-Dzahabi 2/1284)

Kedelapan: Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)

Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul

" أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء"

وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.".

"Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”

Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas 'Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz" (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-'Uluw 2/1315)

Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan  para imam dari para qurroo` di Andalusia" (Al-'Uluw 2/1315)

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 - 449H)

Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya" (Al-'Uluw 2/1317)

Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi  (meninggal pada tahun 444 H)

Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A'laam An-Nubalaa' 17/656) :

Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya"

Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-'Uluw 2/1321

Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)

Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod,

“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa  Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…

dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-'Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-'Uluw 261)

Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang 'ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-'Uluw 2/1306)

Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)

Berkata Ibnu Abi Hatim :

"Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:

Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang...

Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana  Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I'tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah karya Al-Laalikaai 1/198)

Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,

“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201

Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)

Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),

"Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)

Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :

"Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…"" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)

Beliau juga berkata :


"Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)

Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf


Perkataan salaf dan para ulama mutaqoddimin yang menunjukan bahwa Allah berada di atas langit

Adapun perkataan para ulama yang menunjukan bahwasanya Allah berada di atas langit maka sangatlah banyak. Perkataan mereka telah dikumpulkan oleh Al-Imam Al-Muhaddits Ad-Dzahabi As-Syafii dalam kitabnya Al-'Uluw li Al-'Aliyyi Al-'Adziim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2414 dan http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2413 dua cetakan dengan dua pentahqiq yang berbeda) demikian juga kitab Al-Ijtimaa' al-Juyuusy Al-islaamiyyah karya Ibnul Qoyyim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2835). Sungguh dua kitab ini telah mengumpulkan banyak sekali perkataan sahabat, para salaf, dan para ulama dari abad yang berbeda-beda dan dari madzhab yang berbeda-beda.

Oleh karenanya tidak ada seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang perkataannya menunjukan bahwasanya Allah tidak berada di atas.

Perkataan para ulama Asyaa'iroh yang mengakui Allah di atas langit

Ternyata kita dapati bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asyaa'iroh juga mengakui keberadaan Allah di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmaa' wa As-Sifaat (2/308)


Beliau berkata, "Dan atsar dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah berisitwa di atas 'arsy -pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu 'anhu menunjukan di atas jalan ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan Ali bin Ismaa'iil Al-'Asy'ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu fi'il (perbuatan) di 'arsy yang Allah namakan istiwaa'… Dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thobari dan juga para ahli nadzor bahwasanya Allah ta'aalaa di langit di atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas 'arsynya, yaitu maknanya Allah di atas 'arsy. Dan makna istiwaa' adalah tinggi di atas sebagaimana jika dikatakan "aku beristiwa' di atas hewan", "aku beristiwa di atas atap", maknanya yaitu aku tinggi di atasnya, "Matahari beristiwa di atas kepalaku"

Dari penjelasan Al-Imam Al-Baihaqi di atas nampak ;
-   Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di atas.
-   Ini merupakan madzhab As-Syafi'i dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
-   Ini merupakan madzhab sebagian pembesar Asyaa'iroh seperti Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abul Hasan At-Thobari.


Pertama : Imam Abul Hasan Al-Asy'ariy rahimahullah

Merupakan perkara yang  mengherankan bahwasanya diantara para ulama yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar kaum Asyaa'iroh yaitu Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari yang hidup di abad ke empat Hijriah. Dialah nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun berintisab (berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqoh Asyaa'iroh.
Berkata Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:

Ijmak kesembilan :

Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta'aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).

Dan Allah berfirman

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).


Dan Allah berfirman

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)

Dan bukanlah istiwaa'nya di atas arsy maknanya istiilaa' (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu'tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4)

Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta'wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada" (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234)

Ini merupakan hikayat kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah

Dan bahwasanya Allah –subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)

Dan Allah memiliki dua tangan tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki wajah… (Maqoolaatul Islaamiyiin 1/345)


Kedua : Abu Bakr Al-Baaqillaani (wafat 403 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah

"Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas 'arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya "ArRahman  di atas 'arsy beristiwaa", dan Allah berfirman "Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik", dan Allah berfirman "Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?"

Beliau berkata, "Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …

(Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-'Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-'Uluw 258))


Ketiga : Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H)

Beliau berkata dalam kitabnyaAl-I'tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul 'Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama  bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa' (hal 116)

"Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, "Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma", yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman "Berjalanlah kalian di bumi", maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa'. Dan 'Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a'lam- adalah "Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas 'arsy?"

Oleh karenanya ana meminta Abu Abu Salafy Al-Majhuul dan pemilik bloig salafytobat untuk mendatangkan satu riwayat saja dari para sahabat atau para salaf dengan sanad yang shohih bahwasanya mereka mengingkari Allah berada di atas langit. Kalau mereka berdua tidak mampu mendatangkan satu riwayatpun maka ketahuilah bahwasanya aqidah yang mereka bawa hanyalah aqidah karangan mereka berdua sendiri dan merupakan wahyu dari syaitan.

Tipu muslihat Abu Salafy

Dari sini kita akan membongkar kedustaan Abu salafy yang berusaha menggambarkan kepada masa bahwasanya aqidah batilnya tersebut juga diyakini oleh para sahabat.

Abu Salafi berkata :
(http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/) "


Pegenasan Imam Ali as.

Tidak seorang pun meragukan kedalaman dan kelurusan akidah dan pemahaman Imam Ali ibn Abi Thalib (karramalahu wajhahu/semoga Alllah senantiasa memuliakan wajag beliau), sehingga beliau digelari Nabi sebagai pintu kota ilmu kebanian dan kerasulan, dan kerenanya para sahabat mempercayakannya untuk menjelaskan berbagai masalah rumit tentang akidah ketuhanan. Imam Ali ra. berkata:

كان ولا مكان، وهو الان على كان.

”Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”

Beliau ra. juga berkata:

إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.

”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]

Beliau juga berkata:

من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.

”Barang siapaa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd[2] maka ia telah jahil/tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.]  )) -demikian perkataan Abu Salafy-.

Ini merupakan kedustaan Abu Salafy terhadap Ali Bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu. Hal ini akan jelas dari beberapa sisi:

Pertama : Sesungguhnya atsar ini dibawakan oleh orang-orang Syi'ah Rofidoh dalam buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Diantaranya dalam kitab mereka Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata:

وَ رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ ( عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ

Dan diriwayatkan bahwasanya Ali bin Abi Tholib 'alaihis salam ditanya : Dimanakah Robb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Tholib 'alaihis salaam berkata, "Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ وَ الْمَكَانِ)

Ternyata memang aqidah orang-orang Asyaa'iroh semisal Abu salafy dan pemilik blog salafytobat cocok dengan aqidah orang-orang Syi'ah Rofidhoh dalam masalah dimana Allah. Karena memang orang-orang Rofidhoh beraqidah mu'tazilah, dan Asya'iroh dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu'tazilah (padahal Mu'tazilah adalah musuh bebuyutan Asya'iroh, sebagaimana nanti akan datang penjelasannya).

Atsar ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighoh "Diriwayatkan" yang menunjukan lemahnya riwayat ini.

Kedua : Demikian juga yang dinukil oleh Abu Salafy dari kitab Al-Farqu bainal Firoq karya Abdul Qohir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali.
Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata :

"Mereka telah bersepakat bahwasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeda dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwasanya Allah menyetuh 'Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karroomiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiollahu 'anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-'Arsy untuk menunjukan kekuasaanNya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi dzatNya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu" (Al-Farqu baynal Firoq hal 33)

Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Tholib yang dibawakan oleh Abdul Qohir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Abu Salafy cs, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil

Ketiga : Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qohir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddits, namun demikianlah Abu Salafy cs tetap aja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenal sebagai Muhaddits

Keempat : Abdul Qohir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan super gurunya yaitu Abul Hasan Al-'Asy'ari

Kelima : Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas shahih maka tidak menunjukan bahwasanya Ali bin Abi Tholib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling banter dalam riwayat-riwayat di atas beliau –radhialllahu 'anhu- hanyalah mengingkari bahwasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar.

Ahlus sunnah tidak mengatakan bahwa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya Allah berada di atas, yaitu di arah atas.

Jangan disamakan antara tempat dan arah

Adapun penjelasan maksud dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwasanya Allah berada di atas, maka melalui point-point berikut ini:

1-    Ketinggian itu ada dua, ada ketinggian relatif dan ada ketinggian mutlaq. Adapun ketinggan relatif maka sebagaimana bila kita katakana bahwasanya lantai empat lebih tinggi daripada lantai satu, akan tetapi hal ini relatif, karena ternyata lantai empat lebih rendah daripada lantai enam.

2-    Adapun ketinggian mutlak adalah ketinggian kearah atas. Semua manusia di atas muka bumi ini bersepakat bahwasanya semakin sesuatu ke arah atas maka semakin tinggilah sesuatu tersebut. Maka jadilah poros bumi sebagai titik nol pusat kerendahan, dan semakin ke arah atas (yaitu ke arah langit) maka berarti semakin kearah yang tinggi. Oleh karenanya sering juga kita mendengar perkataan para fisikawan "Tinggi gunung ini dari permukaan tanah…. atau dari permukaan air laut..". Oleh karenanya kita harus paham bahwasanya langit senantiasa letaknya di atas. Taruhlah jika kita sedang berada di bagian bumi bagian selatan, maka langit pada bagian bumi selatan adalah di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi utara juga berada di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi barat dan langit pada bagian bumi timur.

3-    Apa yang ada dalam alam wujud ini hanyalah ada dua, Kholiq (yiatu Allah) dan alam semesta (yaitu seluruh makhluk). Dan bagian alam yang paling tinggi adalah langit yang ke tujuh, dan Allah berada di atas langit yang ketujuh, yaitu Allah berada di luar alam. Janganlah di bayangkan bahwa setelah langit yang ke tujuh ada ruang hampa tempat Allah berada, karena ruang hampa juga merupakan alam. Intinya kalau dianggap ada yang lebih tinggi dari langit ketujuh dan merupakan penghujung alam semesta dan yang tertinggi maka Allah berada di balik (di luar) hal itu, dan lebih tinggi dari hal itu. Sehingga tidak ada suatu tempat (yang tempat merupakan makhluk Allah) yang meliputi Allah, karena Allah di luar alam semesta.

4-    Dari penjelasan di atas, maka jika Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah di jihah (di arah) atas maka bukanlah maksudnya Allah berada di suatu tempat yang merupakan makhluk. Akan tetepi Allah berada di luar alam, dan berada di arah atas alam. Dan jihah tersebut bukanlah jihah yang berwujud akan tetapi jihah yang tidak berwujud karena di luar alam. (lihat penjelasan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Al-Kasyf  'an Manhaj Al-Adillah hal 145-147)

5-    Imam Ahmad pernah menjelaskan sebuah pendekatan pemahaman tentang hal ini.

Beliau berkata

"Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya.

Katakan lagi kepadanya, "Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?". Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut.

Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah.

Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk.

Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar dzatnya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah" (Ar-Rod 'alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)

6-    Perkataan Imam Ahmad أَلَيْسَ اللهُ كَانَ وَلاَ شَيْءَ (Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?) sama dengan perkataan كان الله ولا مكان (Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat.) Perkataan Imam Ahmad ini di dukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam shahihnya

كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ

"Dahulu Allah (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya" (HR Al-Bukhari no 3191)

Dan kalimat  disini memberikan faedah keumuman, yaitu tidak sesuatupun selain Allah tatkala itu, termasuk alam dan tempat.

Meskipun Imam Ahmad mengatakan demikian akan tetapi beliau tetap menetapkan bahwasanya Allah berada di atas. Dari sini kita pahami bahwa penetepan adanya Allah di atas tidaklah melazimkan bahwasanya Allah berada atau diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk.

Perkataan Imam Ahmad ini mirip dengan perkataan Abdullah bin Sa'iid Al-Qottoon sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dalam kitabnya maqoolaat Al-Islamiyiin 1/351

Abul Hasan Al-Asy'ari berkata, "Dan Abdullah bin Sa'iin menyangka bahwasanya Al-Baari (Allah) di zaman azali tanpa ada tempat dan zaman sebelum penciptaan makhluk, dan Allah senantiasa berada di atas kondisi tersebut, dan bahwasanya Allah beristiwaa' di atas 'arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu"

Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Abdullah bin Sa'iid meyakini bahwasanya Allah tidak bertempat, akan tetapi ia –rahimahullah- tidak memahami bahwasanya hal ini melazimkan Allah tidak di atas. Sehingga tidak ada pertentangan antara keberadaan Allah di arah atas dan kondisi Allah yang tidak diliputi suatu tempat.

Pemahaman Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa'iid bertentangan dengan pemahaman Abu Salafy cs yang menyangka bahwa kalau kita menafikan tempat dari Allah melazimkan Allah tidak di atas. Atau dengan kata lain Abu Salafy cs menyangka kalau Allah berada di arah atas maka melazimkan Allah diliputi oleh tempat.

Adapun riwayat Abu Nu'aim dalam hilyatul Auliyaa 1/73

Adapun sanad dari riwayat diatas sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 1/72 adalah sbb:

Ana berharap Abu Salafy cs mendatangkan biografi para perawi di atas dan menghukumi keabsahan sanad di atas !!!

Abu Salafy berkata :

Penegasan Imam Imam Ali ibn Husain –Zainal Abidin- ra.

Ali Zainal Abidin adalah putra Imam Husain –cucu terkasih Rasulullah saw.- tentang ketaqwaan, kedalaman ilmu pengatahuannya tentang Islam, dan kearifan Imam Zainal Abidin tidak seorang pun meragukannya. Beliau adalah tempat berujuk para pembesar tabi’in bahkan sehabat-sabahat Nabi saw.

Telah banyak diriwayatkan untaian kata-kata hikmah tentang ketuhanan dari beliau ra. di antaranya adalah sebagai berikut ini.

أنت الله الذي لا يحويك مكان.

”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dirangkum oleh tempat.”

Dalam hikmah lainnya beliau ra. berkata:

أنت الله الذي لا تحد فتكون محدودا

”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau menjadi terbatas.”[ Ithâf as Sâdah al Muttaqîn, Syarah Ihyâ’  ‘Ulumuddîn,4/380])) -Demikan perkataan Abu Salafi-

Firanda berkata:

Ana katakan kepada Abu Salafy, dari mana riwayat ini? Mana sanadnya?, bagaimana biografi para perawinya? Apakah riwayat ini shahih…??!!

Para pembaca yang budiman, berikut ini kami akan tunjukan sumber pengambilan Abu Salafy yaitu kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 4/380

Dalam buku ini dijelaskan bahwasanya atsar Zainal Abidin ini bersumber dari As-Shohiifah As-Sajjaadiyah, kemudian sanadnya sangatlah panjang, maka kami meminta Al-Ustadz Abu Salafy al-Majhuul dan teman-temannya untuk mentahqiq keabsahan sanad ini dari sumber-sumber yang terpercaya. Jika tidak maka para perawi atsar ini dihukumi majhuul, sebagaimana diri Abu salafy yang majhuul. Maka jadilah  periwayatan mereka menjadi riwayat yang lemah.

Tahukah Al-Ustadz Abu salafy Al-Majhuul bahwasanya As-Shohiifah As-Sajjadiyah adalah buku pegangan kaum Rofidhoh?, bahkan dinamakan oleh Rofidhoh dengan nama Ukhtul Qur'aan (saudarinya Al-Qur'an) karena menurut keyakinan mereka bahwasanya perkataan para imam mereka seperti perkataan Allah.

Sekali lagi ternyata Abu Salafy cs doyan untuk bersepakat dengan kaum Syi'ah Rofidhoh, doyan dengan aqidah mereka…?!

Ana sarankan ustadz Abu salafy untuk membaca buku yang berjudul Haqiqat As-Shahiifah As-Sajjadiah karya DR Nasir bin Abdillah Al-Qifarii (silahkan didownload di http://www.archive.org/download/hsshss/hss.pdf)

Abu Salafy berkata :

Penegasan Imam Ja’far ash Shadiq ra. (W. 148 H)

Imam Ja’far ash Shadiq adalah putra Imam Muhammad -yang digelaru dengan al Baqir yang artinya si pendekar yang telah membela perut ilmu pengetahuan karena kedalaman dan kejelian analisanya- putra Imam Ali Zainal Abidin. Tentang kedalam ilmu dan kearifan Imam Ja’far ash Shadiq adalah telah menjadi kesepakatan para ulama yang menyebutkan sejarahn hidupnya. Telah banya dikutip dan diriwayatkan darinya berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan, khususnya tentang fikih dan akidah.

Di bawah ini kami sebutkan satu di antara pegesan beliau tentang kemaha sucian Allah dari bertempat seperti yang diyakini kaumm Mujassimah Wahhabiyah. Beliau berkata:

من زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولا، ولو كان في شىء لكان محصورا، ولو كان من شىء لكان محدثا- أي مخلوقا.

”Barang siapa menganggap bahwa Allah berada dalam/pada sesuatu, atau di attas sesuatu maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Sebab jika Dia berada di atas sesuatu pastilah Dia itu dipikul. Dan jika Dia berada pada/ di dalam sesuatu pastilah Dia terbatas. Dan jika Dia terbuat dari sesuatu pastilah Dia itu muhdats/tercipta.”[ Risalah al Qusiariyah:6])) –demikian perkataan Abu Salafy-

Firanda berkata :

Demikianlah Abu Salafy Al-Majhuul, tatkala tidak mendapatkan seorang salafpun yang mendukung aqidahnya maka diapun segera mencari riwayat-riwayat yang mendukung aqidahnya meskipun riwayat tersebut lemah, bahkan meskipun tanpa sanad. Inilah model pendalilalnnya sebagaiamana telah lalu.

Berikut ini kami nukilkan langsung riwayat tanpa sanad tersebut dari kita Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah

Dan nampaknya Abu Salafy tidak membaca buku ini secara langsung sehingga salah dalam menyebutkan nama buku ini. Abu Salafy berkata " Risalah al Qusiariyah "

Dan rupanya Abu Salafy sadar bahwasanya tipu muslihatnya ini akan tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul adalah ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits shahih, oleh karenanya berani untuk mengkritik As-Syaikh Al-Albani rahimahullah-. Oleh karenanya agar tidak dituduh dengan tuduhan macam-macam, maka Al-Ustadz Al-Majhuul segera membungkusi tipu muslihatnya ini dengan berkata :

Peringatan:

Mungkin kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan kami dari para tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan kemudian menuduh kami sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya terbiasa menerima informasi agama dari kaum Mujassimah generasi awal seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk.. Jadi wajar saja jika mereka kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah keluarga Nabi saw. karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah tajsîm dan tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang berpura-pura memeluk Islam!

Dan sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al Hanbali bahwa kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam Ahmad; imam mereka dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga seakan identik antara bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di tengah-tengah mereka terdapat jumlah yang tidak sedikit dari kaum nawâshib yang sangat mendengki dan membenci Ahlulbait Nabi saw. dan membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah; Mu’awiyah, Yazid …. .[ Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi])) –demikianlah perkataan abu

Firanda berkata :

Lihatlah bagaimana buruknya akhlaq Abu Salafy yang hanya bisa menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan-tuduhan yang kasar namun tanpa bukti. Perkataannya ini mengandung beberapa pengakuannya :

1.     Dia sudah sadar kalau bakalan dituduh mengekor Syia'h namun kenyataannya adalah demikian. Oleh karenanya dengan sangat berani dia mengkutuk Sahabat Mulia Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu. Bukankah ini adalah aqidah Syi'ah Rofidhoh???, bukankah meyakini Allah tidak di atas adalah aqidah Rofidhoh??. Imam Ahlus Sunnah manakah yang mengutuk Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu?!!. Kita Ahlus Sunnah cinta dengan Alu Bait, akan tetapi ternyata semua riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad.

2.     Dia menuduh bahwa Ahlus Sunnah (yang disebut Wahhabiah olehnya) benci terhadap keluarga Nabi…, manakah buktinya ada seorang Wahhabi yang benci terhadap keluarga Nabi??. Bukankah As-Syaikh Muhammad Bin AbdilWahaab guru besarnya para Wahhabiyyah telah menamakan enam anak-anaknya dengan nama-nama Alul bait?

3.     Menuduh Muqotil dkk sebagai mujassimah. Ana ingin tahu apa maksud dia dengan "dkk"??!!


Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah karuniakan kepada kita semua, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya serta seluruh sahabatnya.

Alhamdulillah tanggapan dari ustadz Abu Salafy yang ana tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Meskipun ustadz Abu salafy langsung meloncat ke tulisan ana yang kedua yang belum selesai. Sebenarnya ada dua perkara yang ana lebih tunggu lagi dari sang ustadz

Pertama : Menunggu tanggapan beliau terhadap tulisan saya (http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs), karena pada tulisan inilah nampak tipu muslihat yang dilakukan oleh sang ustadz.

Kedua : Saya ingin berkenalan dengan sang ustadz dan ingin bisa berdialog langsung dengan beliau. Masih tanda tanya besar dalam hati saya, apakah Abu Salafy ini satu orang atau sebuah lembaga anti wahabi?, lantas apa sebenarnya aqidah yang sedang diperjuangkan oleh Abu Salafy?,

Apakah beliau ini seorang yang bermadzhab Asy'ari ataukah Jahmiah?

Ataukah bermadzhab Syi'ah?!, hal ini mengingat :

- Sang ustadz Abu Slafy mengutuk Mu'aawiyah, yang ini merupakan propaganda orang-orang syi'ah, dan ana ingin tahu dari beliau apakah ada ulama Ahlus Sunnah yang mengutuk Mu'aawiyah?. Untuk masalah Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu insyaa Allah akan ada pembahasan khusus

- dan juga sang ustadz ternyata menukil dari kitabnya orang syi'ah.

- Aqidah yang diperjuangkan oleh ustadz Abu Salafy (bahwasanya Allah tidak di atas) juga merupakan aqidah orang syi'ah

- Sang ustadz sangat getol membantah dan mengejek-ngejek Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah yang sangat getol membantah aqidah orang syi'ah. Kita tahu betapa besar kebencian orang-orang syi'ah kepada Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang telah mengupas habis syubhat-syubhat mereka dalam kitab beliau "Minhaajus Sunnah An-Nabawiyaah".

Jika memang sang ustadz adalah seorang syi'ah maka tentunya kedustaan dan taqiyyah itu merupakan hal yang biasa.

Oleh karenanya saya sangat ingin agar sang ustadz menampakkan jati diri sang ustadz kalau memang sang ustadz "maaf- maaf saja" adalah seorang lelaki…Wallahul Musta'aan.

Berikut ini tanggapan saya terhadap tulisan ustadz Abu Salafy dalam web beliau (http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/08/benarkan-kaum-musyik-arab-beriman-kepada-tauhid-rububiyyah-allah-bantahan-untuk-ustad-firanda-i/)

Berdusta atas Nama Imam Al-Qurthubi

Ustadz Abu Salafy berkata :((Tentang ayat 61 surah al Ankabut:

وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:” Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan” Tentu mereka akan menjawab:” Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).”
- Al Qurthubi berkata:

“… maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) maksudnya: Bagaimana mereka kafir dengan keesaan-Ku dan berbalik dari menyembah-Ku. Artinya: Sesungguhnya mereka akan mengatakan jawaban itu dengan lisan mereka saja ketika ditegakkan hujjah-hujjah atas mereka, sementara hakikatnya mereka tidak mengatakan (berpendapat)nya.” [1] Tafsir al Jâmi’ Li Ahkâm al Qur’ân,13/161

Abu Salafy Berkata: Saya tidak mengerti bagaimana saudara Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja dapat tidak membaca ketarangan Imam al Qurthubi di atas pada tafsiran ayat 61 dan ia hanya menampilkan tafsiran ayat 63? Padahal ketika menukil keterangan az Zamakhsyari, misalnya ia jusrtu menampilkan ketarangan tentang tafsir ayat 61! Apakah itu ia sengaja ia lakukan untuk menutup-nutupi kenyataan sebab tidak banyak santri yang akan berkessempatan mengeceknya, apalagi kaum awam?! Atau karena alasan lain. Allahu A’lam. Saya tidak akan berburuk sangka kepadanya)) Demikian perkataan Abu Salafy.

Firanda berkata : Saya balik bertanya "Kenapa Abu Salafy tidak menampilkan perkataan Imam Al-Qurthubi dengan bahasa arabnya, " Apakah itu ia sengaja ia lakukan untuk menutup-nutupi kenyataan, sebab tidak banyak santri yang akan berkesempatan mengeceknya, apalagi kaum awam?! Atau karena alasan lain"??

Para pembaca yang budiman untuk mengungkap kedustaan Abu Salafy –sebagaimana kedustaan-kedustaannya yang lainnya yang telah saya ungkap- maka saya akan menukil perkataan Imam Al-Qurthubi tatkala menafsirkan ayat 61 dari surat Al-Ankabuut;

Beliau rahimahullah berkata :

"“… maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)" maksudnya : bagaimana mereka kafir kepada pentauhidanku dan berpaling dari beribadah kepadaku?" (Tafsir A-Qurthubi tafsir Al-Ankabuut ayat 61)

Demikian terjemahan yang benar, akan tetapi lihat bagaimana terjemahan Abu salafi diatas, ternyata ia melakukan tipu muslihat dari dua sisi :

Pertama : Tipu muslihat yang pertama Abu salafy menterjemahkan perkataan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya "بِتَوْحِيْدِي" dengan "Keesaanku" sehingga terjemahan perkataan Imam Al-Qurthubi menjadi "Bagaimana mereka kafir dengan keesaan-Ku " Yang mengesankan seakan-akan Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwsanya orang-orang musyrik Arab mengingkari keesaan Allah dalam tauhid Rububiyyah. Padahal yang dimaksud oleh Imam Al-Qurtubhi dengan tauhid di sini adalah tauhid dalam penyembahan, yaitu tauhid Ulluhiyah, oleh karenanya setelah itu Al-Qurthubi berkata "وَيَنْقَلِبُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيِ" yang artinya, "Dan mereka (kaum muyrikin Arab) berpaling dari beribadah kepadaku?". Sehingga kalau kita melihat perkataan Al-Qurthubi secara utuh yaitu : ((bagaimana mereka kafir kepada pentauhidanku dan berpaling dari beribadah kepadaku?)) maka jelas maksudnya kaum musyrikin Arab tidak bertauhid kepada Allah dengan memalingkan ibadah kepada selain Allah. Di sinilah letak keanehan kaum musyrikin, bagaimana bisa mereka berpaling dari bertauhid kepada Allah dan dan beribadah kepada selain Allah padahal mereka mengakui Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan yang mengatur perjalanan matahari dan bumi?. Ayat ini dibawakan oleh Allah dalam rangka membantah kaum musyrikin Arab yang mengakui rububiyah Allah akan tetapi tidak mentauhidkan Allah.

Jika asalnya mereka tidak mengakui rububiyah Allah maka apa gunanya istifhaam ingkari (pertanyaan Allah yang menunjukan pengingkaran) "?. Kalau mereka tidak percaya adanya Allah maka sudah jelas mereka tidak menyembah Allah.

Adapun perkataan Imam Al-Qurthubi yang menegaskan bahwasanya kaum musyrikin Arab mengakui rububiyah Allah maka sangatlah banyak, para pembaca bisa membaca kembali (http://www.firanda.com/index.php/home/31/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah)

Kedua : Tipu muslihat yang kedua ini lebih parah daripada tipu muslihat yang di atas. Bagaimana?, Abu salafy memasukkan perkatannya sendiri setelah perkataan Imam Al-Qurthubi dan mengesankan bahwa perkataannya tersebut adalah perkataan Imam Al-Qurthubi, sehingga Abu Salafy meletakkan tanda footnote[1] setelah perkataannya sendiri dan bukan setelah perkataan Imam Al-Qurthubi"

Mari kita lihat kembali perkataan Abu Salafy :

(Al Qurthubi berkata: “… maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) maksudnya: Bagaimana mereka kafir dengan keesaan-Ku dan berbalik dari menyembah-Ku. Artinya: Sesungguhnya mereka akan mengatakan jawaban itu dengan lisan mereka saja ketika ditegakkan hujjah-hujjah atas mereka, sementara hakikatnya mereka tidak mengatakan (berpendapat)nya.” [1] Tafsir al Jâmi’ Li Ahkâm al Qur’ân,13/161))

Bahkan untuk memperhalus tipu muslihatnya Abu Salafy menghitamkan/menebalkan perkataannya tersebut, karena itulah perkataan yang sangat penting. Ternyata… itu bukan perkataan Imam Al-Qurthubi akan tetapi perkataannya sendiri….!?

Maka saya menghadiahkan kepada Abu Salafy perkataan Abu Salafy sendiri ((Apakah itu ia sengaja ia lakukan untuk menutup-nutupi kenyataan sebab tidak banyak santri yang akan berkessempatan mengeceknya, apalagi kaum awam?! Atau karena alasan lain ?!))

Abu Salafy Tidak Paham Perkataan Para Ulama Tafsir

Abu Salafy berkata : ((Tentang Ayat 31 surah Yunus:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّماءِ وَ الْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَ الْأَبْصارَ وَ مَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَ يُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَ مَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَ فَلا تَتَّقُونَ

“Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa) (kepada- Nya).”

* Al Qurthubui juga berkata:

“Maka mereka akan menjawab:’Allah’.” Sebab mereka meyakini bahwa Sang pencipta adalah Allah. Atau mereka akan mengatakan dia adalah “Allah” jika mereka mau berfikir dan bersikap obyektif.”[2]

* Ibnu ‘Athiyyah berkata tentang ayat di atas:

“Maka mereka akan menjawab:’Allah’.” Tidak ada jalan bagi mereka kecuali mengatakannya dan mereka tidak dapat menentang dengan selainnya.[3]

* Imam al baidhawi berkata:

“Maka mereka akan menjawab:’Allah’.” Sebab mereka tidak dapat menentang dan membantah dalam masalah ini mengingat begitu jelasnya bukti.[4]

* Al Gharnâthi berkata tentang ayat 31 di atas:

“Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu ….. “ Ayat ini adalah berargumentasi atas kaum kafir dengan hujjah yang banyak lagi jelas yang tiada jalan bagi mereka melainkan mengakuinya.”[5]

Abu Salafy berkata: Dan selain mereka banyak Anda temukan keterangan serupa di antaranya dalam tafsir Fathu al Qadîr; karya asy Syaukâni dan al jawâhir al Hisân karya ats Tsa’âlibi… demikian juga keterangan mereka pada ayat surah al Mu’minun ayat 84-92!)) Demikianlah perkataan Abu Salafy

Para pembaca yang budiman, pada poin ini kembali Abu Salafy melancarkan tipu muslihatnya setelah berdusta atas nama Imam Al-Qurthubi. Hal ini nampak dari dua sisi:

Pertama : Terus terang saya heran dengan ustadz Abu Salafi ini, coba para pembaca membaca perkataan para mufassir di atas. Apakah ada isyarat –bahkan meskipun isyarat dari jauh- dari para ahli tafsir tersebut bahwasanya kaum musyrikin Arab hanyalah berpura-pura tatkala menyatakan bahawasanya Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan memberikan rizki??!!.

Justru perkataan para ahli tafsir yang disampaikan oleh ustadz Abu Salafi semuanya mendukung tafsiran salaf bahwasanya kaum musyrikin mengakui rububiyah Allah, sehingga Allah melazimkan kepada mereka bahwasanya jika mereka mengakui Rububiyah Allah maka seharusnya mereka hanya menyembah Allah saja, yaitu seharusnya mereka juga bertauhid uluhiyah. Apakah Abu Salafy yang jago mengkritik Ibnu taimiyyah dan Albani tidak bisa faham perkataan yang ia tulis sendiri yang merupakan terjemahan perkataan para ahli tafsiir??. Sekali lagi saya harap Abu salafy lain kali kalau menerjemahkan perkataan para ulama dicantumkan teks arabnya, kawatir salah menerjemahkan, atau sudah benar terjemahannya namun salah kesimpulannya sebagaimana di sini.

Kedua : Abu Salafy menyebutkan banyak ahli tafsir dalam pernyataannya di atas agar mengesankan kepada para pembaca bahwasanya yang berpendapat seperti dia adalah banyak dari kalangan ulama. Padahal ini hanya tipu muslihat saja. Justru seluruh perkataan ahli tafsir yang ia sebutkan mendukung apa yang telah ana jelaskan, bahwasanya kaum musyrikin Arab mengakui bahwasanya Allah-lah satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi. Secara tidak langsung bisa dikatakan Abu Salafy juga telah berdusta atas nama para ahli tafsir tersebut yang telah ia nukilkan di sini.

Adapun perkataan Abu Salafy ((Dari sini dapat Anda saksikan bahwa keterangan saya bukan mengada-ngada dan tanpa dasar rujukan kepada para ahli tafsir! Jika saudara Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja tidak sependapat dengan saya dalam memahami ayat-ayat di atas itu adalah hak dia. Tetapi ia tidak berhak menganggap apa yang dia pilih adalah satu-satunya tafsiran dalam ayat-ayat tersebut apalagi memaksa orang lain menerima pilihannya itu!))

Firanda berkata : Praktekanlah perkataanmu ini wahai abu salafy pada diri anda. Bukankah syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab telah menafsirkan dengan tafsiran salaf bahwasanya kaum musyrikin Arab mengakui rububiyah Allah, lantas mengapa anda sewot untuk membantah beliau, apalagi membantah beliau rahimahullah dengan nekad berdusta atas nama Imam Al-Qurthubi secara sengaja??, dan juga berdusta atas nama para ahli tafsir secara tidak langsung??!

Abu Salafy Berusaha untuk Melegalkan Pendapatnya dari Mujahid rahimahullah.

Abu Salafy berkata : ((Ibnu Jarîr Menukil Bahwa Mujahid berpendapat Seperti Pendapat yang Kami Kemukakan

Ketika menafsirkan ayat 22 surah al Baqarah, Ibnu Jarîr ath Thabari menukil dua pendapat tentang siapa yang menjadi alamat pembicaraan Allah dengan firman-Nya:

فَلاَ تَجْعَلُوْا ِللهِ أَندَاداً وَ أَنتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui (bahwa tidak satupun dari para sekutu itu yang menciptakanmu dan memberikan rezeki kepadamu).”

Pendapat pertama: yang dimaksud adalah kaum Musyrik dan juga Ahlul Kitab. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu

Pendapat kedua: Yang dimaksud adalah Ahlul Kitab. Kaum Musyrik tidak termasuk. Ini pendapat Mujahid. Juga dari generasi Salaf.

“Kemudian Ibnu Jarîr ath Thabari berkomentar, “Dalam hemat saya yang mendorong Mujahid berta’wil seperti itu dan menyandarkan alamat pembicaraan itu hanya kepada Ahlul Kitab; Taurat dan Injil bukan selain mereka adalah anggapan bahwa bangsa Arab tidak mengetahui bahwa Allah itu adalah Sang Pencipta, Pemberi Rizki karena mereka mengingkari dan mengkufuri keesaan Tuhan mereka dan mempersekutukan-Nya dalam penyembahan sesembahan lain. Memang ini adalah pendapat yang juga ada. Hanya saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa mereka itu mengakui keesaan Allah hanya saja mereka menyekutukan-Nya dalam penghambaan sesembahan-sesembahan lain.”[6]

Betapa pun ath Thabari tidak memilih pendapat Mujahid namun adalah bukti bahwa di kalangan para penafsir Salaf ada yang berpendapat seperti itu!) Demikian perkataan Abu Salafy

Firanda berkata : Untuk menjelaskan hal ini maka saya katakan :

Pertama : Marilah kita lihat tafsiran Mujahid yang sebenarnya dengan sanadnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jariir At-Thobari dan Ibnu Abi Hatim.

Adapun dalam tafsir At-Thobari (1/393) maka sebagai berikut:

"…Dari Sufyaan (At-Tsauri) dari seseorang dari Muhahid ((Janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kalian mengetahui)) bahwasanya Allah adalah sesembahan yang Esa (sebagaimana tersebut) di Tauroot dan Injiil"

Adapun pada tafsir Ibnu Abi Haatim (1/62 no 232) adalah sebagai berikut:

"…Dari Sufyaan (At-Tsauri) dari seseorang yang mengabarkan kepadanya dari Muhahid tentang firman Allah ((Janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kalian mengetahui)) beliau (Mujahid) berkata : bahwasanya kalian mengetahui Allah adalah sesembahan yang Esa (sebagaimana tersebut) di Tauroot dan Injiil"

Para pembaca yang budiman, Mujahid bin Jabr Abul Hajjaaj wafat pada tahun 101 atau 102 atau 103 Hijriah (lihat Tahdziib At-Thdziib 4/25-26 atau Taqriib At-Tahdziib hal 921) adapun Sufyaan adalah Sufyaan bin Sa'iid bin Masruuq Ats-Tsauri maka beliau wafat pada tahun 161 (lihat Tahdziib At-Tahdziib 2/56-58 atau Taqriib At-Tahdziib hal 394)

Sufyan At-Tsauri tidak termasuk daftar orang-orang yang meriwayatkan dari Mujahid dan juga sebaliknya Mujahid bukanlah termasuk daftar orang-orang yang diambil riwayatnya oleh Sufyaan (silahkan kedua daftar tersebut dalam kita Tahdziib At-Tahdziib). Dan Sufyaan At-Tsauri meninggal tatkala berumur 64 tahun pada tahun 161 H (lihat Taqriib At-Tahdziib hal 394), berarti Sufyaan lahir sekitar tahun 97 Hijriyah. Hal ini menunjukan bahwa tatkala Mujahid meninggal pada tahun 102 Hijriyah berarti tatkala itu Sufyaan berumur sekitar 5 tahun. Oleh karenanya Sufyan meriwayatkan dari Mujahid dengan perantara.

Dalam dua sanad hadits di atas sangatlah nampak bahwasanya ada perantara antara Sufyan dan Mujahid yang majhul, dan dalam ilmu hadits sanad yang seperti ini hukumnya lemah. Dan hal ini tentunya diketahui oleh ustadz Abu Salafy yang pandai mengkritik syaikh Al-Albani rahimahullah. Jika seandainya Sufyan termasuk murid Mujahid namun meriwayatkan dengan perantara yang majhul dari Mujahid maka para ulama hadits menghukumnya sebagai sanad yang lemah, apalagi jika ternyata Sufyaan bukan termasuk dari muridnya Mujahid??!!

Kedua : Ada tafsiran dengan banyak sanad yang bersambung dari Mujahid yang mendukung pendapat Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dan berseberangan dengan pendapat Abu Salafy.

At-Thobari membawakan riwayat-riwayat tersebut dalam tafsirnya (13/374-375) sebagaimana berikut ini:

Dalam atsar-atsar di atas Mujahid menafsirkan tentang orang-orang musyrik secara umum (tanpa membatasi pada Ahlul Kitab saja) bahwasanya mereka beriman bahwasanya Allah pencipta mereka, yang memberi rizki kepada mereka, dan yang mematikan mereka.

Bahkan dalam atsar yang terakhir Mujahid (dan juga Ikrimah dan 'Aamir) mereka berkata, "Tidak seorangpun kecuali ia mengetahui bahwasanya Allah-lah yang menciptakannya dan menciptakan langit dan bumi" (Lihat Tafsir At-Thobari 13/375)

Lantas kenapa ustadz Abu Salafy memilih tafsir dari Mujahid dengan sanad yang lemah dan meninggalkan tafsiran-tafsiran beliau dengan sanad yang bersambung!

Ketiga : Kalaupun tafsiran Mujahid yang disebutkan oleh Abu Salafy adalah tafsiran yang shahih maka hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwasanya beliau menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengingkari adanya Allah sebagaimana pernyataan Abu Salafy.

Coba perhatikan perkataan Mujahid (dengan sanad yang lemah tersebut) :

"Bahwasanya kalian mengetahui Allah adalah sesembahan yang Esa (sebagaimana tersebut) di Tauroot dan Injiil"

Dalam perkataan di atas sama sekali tidak ada pernyataan Mujahid bahwasanya kaum musyrikin Arab mengingkari adanya Allah. Beliau hanya menjelaskan bahwasanya ayat 22 dari surat Al-Baqoroh tersebut berkenaan dengan ahlul kitab Yahudi dan Nasoro.

Oleh karenanya apa yang dikatakan oleh At-Thobari ((Dalam hemat saya yang mendorong Mujahid berta’wil seperti itu dan menyandarkan alamat pembicaraan itu hanya kepada Ahlul Kitab; Taurat dan Injil bukan selain mereka adalah anggapan bahwa bangsa Arab tidak mengetahui bahwa Allah itu adalah Sang Pencipta, Pemberi Rizki karena mereka mengingkari dan mengkufuri keesaan Tuhan mereka dan mempersekutukan-Nya dalam penyembahan sesembahan lain. Memang ini adalah pendapat yang juga ada. Hanya saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa mereka itu mengakui keesaan Allah hanya saja mereka menyekutukan-Nya dalam penghambaan sesembahan-sesembahan lain)) maka itu hanyalah praduga Imam At-Thobari, namun kita tidak menerima praduga tersebut karena beberapa hal diantaranya :

- Riwayat tafsiran Mujahid ini lemah

- Lafal dari tafsiran Mujahid tidak menunjukan akan hal itu

- Riwayat yang bersambung dari Mujahid menunjukan kaum musyrikin Arab juga mengakui adanya Allah dan mengakui rububiyah Allah

Tipu Muslihat Berikutnya

Abu Salafy menyebutkan pendapat-pendapat lain dari para ulama tentang tafsir ayat 106 dari surat Yusuf dengan mengesankan kepada para pembaca bahwa tafsiran-tafsiran tersebut mendukung pendapat dia bahwasanya kaum musyrikin Arab mengingkari adanya Allah. Padahal tafsiran-tafsiran yang ada tersebut sama sekali tidak menafikan percayanya kaum musyrikin Arab dengan rububiyah Allah.

Abu Salafy berkata (Tentang Ayat 106 Surah Yusuf)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfitman:

وَ ما يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَ هُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).”

Adapun tentang ayat di atas, maka perlu diketahui bahwa selain tafsir yang disebutkan saudara kita Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja juga ada pendapat lain yang disampaikan oleh Ibnu Jauzi (w. 597 H) dalam tafsirnya yang jalas menerangkan bahwa mereka yang dimaksud bukankah Mukmin sejatinya…ia berkata, “Jika dikatakan, ‘Bagaimana Allah mensifati si musyrik itu dengan keimanan?’ Maka jawabnya, ‘Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah hakikat keimanan, akan tetapi maknanya bahwa kebanyakan mereka meskipun mereka menampakkan keimanan dengan lisan-lisan mereka, mereka itu adalah orang-orang musyrik.”[7]

Ibnu ‘Athiyah (W.546 H) menukil Ibnu Abbas ra. sebagai berkata, “Ayat itu untuk Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) mereka beriman kepada Allah kemudian mereka menyekutukan-Nya dari sisi kekafiran mereka kepada nabi-Nya. Atau dari sisi perkataan mereka Uzair itu anak Tuhan. Isa anak Tuhan… .”[8]

Adapun Ibnu Abi Hâtim ia menukil dua riwayat tentang tafsir ayat ini. Pertama, bahwa ayat ini berbicarta tentang syirik ashghar/kecil. Maksudnya adalah riyâ’. Ia berkata, ‘…. Dari Zakariya ibn Zurarah ayahku bercerita kepadaku, ia baerkata, ‘Aku bertanya kepada Abu Ja’far Muhammad ibn Ali tentang ayat: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” Maka berkata Abu Ja’far, “Syirik dalam ketaatan. Seperti ucapann seorang, ‘Anda bukan karena Allah dan karena si fulan, … .”[9]

Pendapat Ibnu Jarîr ath Thabari

Seperti dikutip saudara kita dari Ibnu Jarîr ath Thabari bahwa ia berkata:

Perkataan tentang ta’wil firman Allah “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali mereka berbuat kesyirikan” (QS Yusuf : 106)

Allah berkata: Dan tidaklah kebanyakan mereka –yaitu yang telah disifati oleh Allah dengan firmanNya

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ

“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya” mengakui bahwasanya Allah pencipta mereka, pemberi rizki kepada mereka, dan pencipta segala sesuatu melainkan mereka berbuat kesyirikian kepada Allah dalam peribadatan mereka kepada patung-patung dan arca-arca dan menjadikan selain Allah sebagai tandingan bagi Allah dan persangkaan mereka bahwasanya Allah memiliki anak. Maha tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Dan para ahli tafsir berpendapat seperti pendapat kami ini.”[10]

Dari kutipan itu kita dapat menyaksikan bagaimana Imam ath Thabari sadar bahwa kemusyrikan mereka dalam penyembahan itu meskipun mereka beriman dalam pengesaan Allah dalam urusan penciptaan dan pengaturan, bukanlah sebab tunggal. Tetapi di samping itu dikeranakan mereka mengaku bahwa Allah punya anak.)) demikian perkataan Abu Salafy

Tipu Muslihat Abu Salafy dalam pemaparan diatas dari dua sisi :

Pertama : Tidak amanah dalam menukil perkataan Ibnul Jauzii. Sebagai bukti maka saya akan membawakan perkataan Ibnul Jauzi tersebut secara lengkap.

Abu Salafy menukil perkataan Ibnul Jauzi (“Jika dikatakan, ‘Bagaimana Allah mensifati si musyrik itu dengan keimanan?’ Maka jawabnya, ‘Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah hakikat keimanan, akan tetapi maknanya bahwa kebanyakan mereka meskipun mereka menampakkan keimanan dengan lisan-lisan mereka, mereka itu adalah orang-orang musyrik.) maka jika seseorang membacanya dengan sekilas maka seakan-akan mengesankan bahwasanya Ibnul Jauzi berpendapat bahwasanya kaum muysrik arab tidak beriman dengan rububiyah Allah, mereka hanya beriman dengan lisan mereka saja.

Berikut nukilan Ibnul Jauzi rahimahullah secara lengkap


(Firman Allah (“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain), maka tentang kaum musyrikin di sini ada tiga pendapat.

Pendapat Pertama : Mereka adalah kaum musyrikin, kemudian tentang makna ayat yang berkaitan dengan kaum musyrikin ini ada dua pendapat. Yang pertama bahwasanya mereka beriman bahwasanya Allah pencipta mereka dan yang memberi rizqi kepada mereka dan mereka berbuat kesyirikan kepada Allah, Abu Sholeh meriwayatkan tafsiran ini dari Ibnu Abbaas, dan ini pendapat Mujahid, Ikrimah, As-Sya'bi, dan Qotaadah .Yang kedua ayat ini turun tentang talbiyahnya kaum musyrikin Arab, mereka berkata, "Aku memenuhi panggilanMu Yaa Allah, aku memenuhi penggilanMu Yaa Allah tidak ada syarikat bagiMu, kecuali syarikat milikMu, Engkau memiliki syarikat itu,dan syarikat itu tidak memiliki". Tafsir ini diriwayatkan oleh Ad-Dhohaak dari Ibnu Abbaas.

Pendapat Kedua : Mereka adalah kaum Nashrani, mereka beriman bahwasanya Allah adalah pencipta mereka dan pemberi rizki bagi mereka, meskipun demikian mereka berbuat kesyirikan kepada Allah. Tafsiran ini diriwayatkan oleh Al-'Aufi dari Ibnu Abbaas

Pendapat Ketiga : Mereka adalah kaum munafiq, mereka beriman secara dzohir karena riyaa' kepada orang-orang akan tetapi dalam batin mereka kafir kepada Allah, ini tafsiran Al-Hasan

Jika dikatakan, ‘Bagaimana Allah mensifati si musyrik itu dengan keimanan?’ Maka jawabnya, ‘Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah hakikat keimanan, akan tetapi maknanya bahwa kebanyakan mereka meskipun mereka menampakkan keimanan dengan lisan-lisan mereka, mereka itu adalah orang-orang musyrik)) Demikian perkataan Ibnu Jauzii secara lengkap.

Perkataan Ibnul jauzi yang dinukil oleh Abu Salafy sama sekali tidak menunjukan bahwa kaum musyrikin baik kaum musyrikin Arab maupun kaum Nashrani tidak percaya kepada adanya Allah. Akan tetapi Ibnul Jauzii sedang menjelaskan tentang kaum musyrikin yang disifati beriman oleh Allah karena pada hekekatnya keimanan mereka itu bukan iman yang haqiqi, meskipun mereka mengakui dengan lisan-lisan mereka tentang rubuiyah Allah (Allah pencipta dan pemberi rizki) namun mereka berbuat kesyirikan dalam peribadatan. Karena Ibnul Jauzi telah menyatakan dalam tafsirnya tatkala menafsirkan ayat 61 dari surat Al-Ankabuut (tanpa menyebutkan khilaf sama sekali tentang tafsiran ayat 61 ini) bahwasanya kaum muyrikin Mekah mengimani bahwasanya Allah yang menciptakan mereka dan memberi rizki kepada mereka. Ibnul Jauzii berkata :

"Firman Allah ((Jika engkau bertanya kepada mereka…)) yakni kaum kafir Mekah, dan mereka mengakui bahwasanya Allah adalah pencipta dan Maha pemberi rizki. Hanyalah Allah memerintahkan Nabi untuk berkata "Alhamdulillah" yaitu atas pengakuan mereka (tersebut). Karena hal ini menjadikan mereka terkonsekuensikan dengan hujjah, maka wajib bagi mereka untuk bertauhid (yaitu dalam peribadatan-pen). ((Akan tetapi kebanyakan mereka tidak memikirkan)) mentauhidkan Allah padahal mereka mengakui bahwasanya Allah adalah Maha Pencipta" (Zaadul Masiir 6/283)

Kedua : Abu Salafy mengesankan kepada para pembaca bahwa jika ada pendapat yang lain dalam satu ayat berarti mendukung pendapatnya bahwasanya kaum musyrikin Arab tidak mengakui adanya Allah. Ini merupakan tipu muslihat yang cukup halus sekali. Pendalilan Abu salafy ini bisa benar jika ada satu tafsir dari seluruh ayat dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab tidak mengakui adanya Allah. Namun kenyataannya tidak ada satu tafsiranpun dari ayat-ayat di atas yang menyatakan pendapat Abu Salafy.

Oleh karenanya saya meminta Abu Salafy tolong tunjukan kepada saya satu tafsir saja dari ulama salaf (tentunya dengan sanad yang bersambung dan shahih) atau bahkan dari ulama kholaf yang menyatakan bahwasanya kaum musyrikin Arab tidak mengakui adanya Allah, dan pengakuan mereka hanyalah pura-pura saja???!!!

Jika para pembaca membaca para perkataan semua Ahli tafsir yang dinukil oleh Abu Salafy maka seluruh ahli tafsir tersebut setuju bahwasanya kaum muysrikin Arab mengakui bahwasanya Allah yang menciptakan mereka dan memberi rizki kepada mereka.

Adapun nukilan dari Ibnu Jauzi maka telah lalu, adapun nukilan dari Ibnu Athiyyah (yang disampaikan oleh Abu Salafy secara tidak lengkap) maka secara lengkapnya sbb :



Ibnu 'Athiyyah berkata, "Dan firman Allah ((Dan kebanyakan mereka tidak beriman…)). Ibnu Abbaas berkata : ayat ini tentang Ahlul Kitab yang mereka beriman kepada Allah kemudian mereka berbuat kesyirikan dari sisi mereka kafir kepada nabi Allah, atau dari sisi perkataan mereka "Uzair adalah anak Allah" dan Al-Masiih adalah anak Allah".

Ikrimah, Mujaahid, Qotaadah, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwasanya ayat ini tentang kaum kafir Arab, dan keimanan mereka adalah pengakuan mereka bahwasanya Allah Maha Pencipta, Maha pemberi Rizki, Yang mematikan, maka Allah menamakan pengakuan mereka ini keimanan meskipun keimanan tersebut disudahi dengan kesyirikan mereka terhadap berhala-berhala dan patung-patung. Ini hanya iman secara bahasa saja dari sisi pembenaran hal-hal tersebut.

Dan dikatakan bahwasanya ayat ini turun disebabkan perkataan kaum Quraisy tatkala thowaf dan talbiyah "Ya Allah tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milik-Mu, Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki" (Al-Muharroor Al-Wajiiz 3/285)

Demikian juga tafsiran para ahli tafsir yang lainnya, tidak seorangpun dari mereka yang menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengingkari adanya Allah.


Kesimpulan :

Pertama : Abu Salafy telah berdusta atas nama Imam Al-Qurthubi. Dan ini adalah hal yang ringan bagi Abu Salafy, jika ia telah berani berdusta atas nama Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu (sebagaimana dalam bantahan ana : tentang tipu muslihat Abu salafy cs) maka bagaimana lagi dengan Imam Al-Qurthubi?!

Kedua : Abu Salafy tidak paham perkataan para ahli tafsir. Sehingga akhirnya salah menyimpulkan. Inilah yang membuat saya malas untuk membantah abu salafy lebih jauh lagi, karena begitu soknya ia membantah Ibnu Taimiyyah, ana khawatir ia rupanya salah paham dengan perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Ketiga : Semakin jelas bahwasanya Abu Salafy dalam tafsirannya (bahwasanya kaum musyrikin arab sebenarnya mengingkari adanya Allah dan hanya pura-pura tatkala menyatakan Allah yang menciptakan langit dan bumi) tidak mengikuti satupun pendapat dari kalangan salaf. Maka abu salafy hendaknya mengganti gelarnya dari abu salafy menjadi abu kholafi.

Bahkan tidak ada seorangpun dari para ahli tafsir dari kholaf yang berpendapat dengan pendapatnya. Oleh karenanya tafsiran Abu salafy tersebut adalah bid'ah dalam ilmu tafsir yang tidak pernah dinyatakan oleh seorangpun dari kalangan salaf dan kholaf. Dan saya tidak akan mencabut pernyataan tafsiran bid'ah ini sampai Abu Salafy mendatangkan satu ulama saja dari salaf maupun kholaf yang berpendapat seperti pendapatnya. Oleh karenanya tidak pantas juga gelar abu salafy diganti menjadi abu kholafy, akan tetapi yang pantas adalah abu bid'ah??!!. Dan gelar inipun masih baik, namun tidak pantas bagi orang yang tidak berani menampakan jati dirinya untuk berdialog. Oleh karena itu ana kawatir abu salafy ini bukanlah seorang laki-laki akan tetapi seorang wanita. Jadi yang paling pantas adalah digelari ummu bid'ah.

Keempat : Jika Abu salafy tidak bisa mendatangkan satu ahli tafsir saja baik dari salaf maupun kholaf maka saya menjadi curiga bahwasanya Abu Salafy bukan hanya mendukung aqidah kaum Rofidhoh, bahkan juga mendukung kaum Jaringan Islam Liberal yang membolehkan menafsirkan dengan hawa nafsu sendiri !

Kelima : Jika Abu Salafy berhasil mendatangkan pendapat satu ulama saja yang menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengingkari adanya Allah maka saya katakan bahwasanya :

1) Pendapat tersebut sangatlah lemah karena bertentangan dengan dalil yang begitu banyak yang telah disebutkan oleh para ahli tafsir. Dan sebagian dalil-dalil tersebut telah saya sebutkan dalam tulisan saya di (http://www.firanda.com/index.php/home/31/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah)

2) Sekali lagi orang yang berpendapat dengan pendapat Abu Salafy ini telah dikatakan dungu oleh Ibnu Jariir At-Thobari, beliau berkata "Sebagian orang dungu menyangka bahwasanya orang-orang Arab tidak mengetahui Ar-Rohmaan dan kalimat Ar-Rohman tidak terdapat dalam bahasa mereka, karenanya kaum musyrikin berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ((Siapakah Ar-Rohmaan itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya )”?,)) QS Al-Furqoon : 60, (mereka mengatakan demikian –red) karena mereka mengingkai nama ini.

Seakan-akan merupakan hal yang mustahil menurut orang dungu ini kalau kaum musyrikin mengingkari sesuatu yang mereka tahu akan kebenarannya. Atau seakan-akan orang dungu ini tidak membaca firman Allah ((Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepada mereka (yaitu orang-orang yahudi-red) mengetahuinya)) yaitu mengetahui (kebenaran) Nabi Muhmmad, namun meskipun demikian mereka mendustakannya dan menolak kenabiannya. Maka dari sini diketahui bahwasanya mereka (kaum musyrikin Arab) terkadang menolak apa yang mereka telah tahu kebenarannya dan telah jelas diketahui oleh mereka" (Tafsiir At-Thobari 1/130)

Dan pengingkaran kaum musyrikin Arab itu hanyalah karena sikap ngeyel, bukan karena mereka tidak mengetahui nama Ar-Rohmaan. Kalau orang yang menyangka bahwasanya kaum musyrikin Arab tidak tahu penamaan Allah dengan Ar-Rohmaan telah dicap "Orang dungu" oleh Ibnu Jariir, maka bagaimana lagi orang yang menyangka bahwasanya kaum musyrikin Arab tidak mengetahui wujudnya Allah…? (sebagaimana yang disangkakan oleh Abu Salafy, sehingga tidak ada tuhan bagi mereka kecuali arca-arca dan berhala-berhala mereka), maka entah cap apa yang akan diberikan oleh Ibnu Jariir At-Thobari?!

Keenam : Saya meminta Abu Salafy jangan lari diskusi, dan saya harap diskusi kita teatur. Oleh karenanya silahkan menanggapi tulisan pertama saya
(http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs) yang mengungkap kedustaan dan manipulasi anda. Itu dulu yang saya tunggu !!!!!!. Dan janganlah anda bersembunyi dibalik perkataan sombong anda ((Tadinya saya tidak tertarik untuk meladeni artikel yang digelar di www.firanda.com yang mengkritik tulisan saya, sebab terkesan tidak memahami pesan inti apa yang saya tulis. Tetapi demi kebenaran dan agar tidak dianggap lari dari medan diskusi maka saya pun menyempatkan diri menulis tanggapan ini…. itupun hanya sekedarnya.. tidak menyoroti seluruh poin yang perlu ditanggapi!)). Buktikanlah bahwa anda adalah seorang laki-laki yang berani dialog !!!

Madinah Munawwarah, 07 Safar 1432 / 11 Januari 2011
Firanda Andirja
www.firanda.com


^TIPU MUSLIHAT ABU SALAFY CS (BAG 3), “TUDUHAN ABU SALAFY (SALAFYTOBAT) BAHWASANYA IBNU TAIMIYYAH MENCELA ALI DAN UMAR”

Tuduhan Ustadz Abu Salafy Bahwasanya Ibnu Taimiyyah mencela Ali dan mencela Umar bin Al-Khottoob radhiallahu 'anhumaa

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah pencipta alam semesta ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah dan keluarganya serta seluruh sahabatnya.

Alhamdulillah Al-Ustadz Abu Salafy telah menanggapi tulisan saya (http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2) dan semakin jelas bagi saya aqidah Al-Ustadz. Tulisan beliau ini ((http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/15/ustadz-firanda-kebakaran-jenggot/)) meskipun singkat akan tetapi syarat dengan kebatilan. Oleh karenanya pada kesempatan ini saya kembali mencoba menanggapi tulisan Al-Ustadz ini yang masih dirindukan untuk bersua dengannya.


Al-Ustadz Abu Salafy berkata :
(Coba perhatikan alat ukur yang diandalkan ustadz Firandah dalam tuduhannya bahwa kami ini jangan-jangan adalah Syi’ah!)

Pertama, kami mengutuk Mu’awiyah –‘alaih mâ yastahiq/semoga atasnya apa yang pantas baginya-.

Kami memaklumi jika ustadz Wahâbi kita yang satu ini keberatan apabila tuannya dibongkar kejahatan, kefasikan dan kemunafikannya. Sebab sepertinya kecintaan beliau dan juga kaum Wahhâbyyûn lainnya kepada Mu’awiyah terlalu dalam dan telah menyatu dengan qalbunya, seperti menyatunya kecintaan bani Israil kepada ‘ijl/patung anak sapi buatan Samiri! (maaf tanpa harus menyerupakan dengan bani Israil dalam segala sisinya, sebab ustdaz pasti mengerti bahwa dalam kaidah ilmu Balaghah/sastra Arab, wajhu syabah antara musyabbah dan musyabbah bihi/ titik temu keserupaan antara yang diserupakan dengan yang diserupai itu tidak mesti harus dalam segala sisinya!) Allah SWT berfirman:

وَأُشْرِبُوْا فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ

“Dan karena kekafiran mereka, (kecintaan menyembah) anak sapi telah meresap di dalam hati mereka.” (QS. Al Baqarah;93)

Dan Allah SWT juga telah menetapkan sebuah kaidah baku dalam Al Qur’an bahwa:

الْمُنافِقُونَ وَ الْمُنافِقاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ.

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama… .”(QS at Taubah;67)

Karenanya, Allah SWT melarang kita menjadikan kaum kafir dan munafik sebagai kekasih kita. Allah SWT berfirman dalam awal surah al Mumtahanah:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَ عَدُوَّكُمْ أَوْلِياءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَ قَدْ كَفَرُوا بِما جاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَ إِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهاداً في سَبيلي وَ ابْتِغاءَ مَرْضاتي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَ أَنَا أَعْلَمُ بِما أَخْفَيْتُمْ وَ ما أَعْلَنْتُمْ وَ مَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَواءَ السَّبيلِ.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita- berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”

Dan apalagi membela dan berusaha mengajak orang lain untuk membelanya. Allah SWT berfirman:

وَ لا تُجادِلْ عَنِ الَّذينَ يَخْتانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كانَ خَوَّاناً أَثيماً.

“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَ لا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَ هُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ ما لا يَرْضى مِنَ الْقَوْلِ وَ كانَ اللَّهُ بِما يَعْمَلُونَ مُحيطاً.

“mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.”

ها أَنْتُمْ هؤُلاءِ جادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا فَمَنْ يُجادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكيلاً.

“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat. Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah).” (QS an Nisâ’;107-109)

Lagi pula, kelak di hari kiamat, mereka yang saling membela di dunia atas dasar kebatilan seperti ini jusretu akan bermusuhan dan saling mengutuk!

Perhatikan Allah SWT berfirman:

وَ قالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثاناً مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَ يَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضاً وَ مَأْواكُمُ النَّارُ وَ ما لَكُمْ مِنْ ناصِرينَ.

“Dan berkata Ibrahim:” Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”)) Demikian perkataan Al-Ustadz Abu Salafy

Ustadz Abu Salafy juga berkata ((Dahulu para aimmah Ahlusunnah, kerena kecintaan mereka kepada Ahlulbait Nabi saw., mereka dikecam dan dituduh Syi’ah bahkan Rafidhah! Dan karena sikap tegasnya terhadap imâmul fiatil bâghiyah/pemimpin sekawanan kaum bughât/pembangkang/pembero
ntak yang disebut Nabi saw. (dalam hadis Imam Bukhari) sebagai penganjur kepada api neraka; Mu’awiyah putra Abu Sufyan -salah seorang aimmah kekafiran dan buah kemunafikan yang masih tersisa dan selamat dari tajamnya pedang para sahabat- … karena sikapnya itu, mereka juga dikecam sebagai Syi’ah! Dan tidak sedikit yang dibunuh oleh jiwa-jiwa busuk pembela kemunafikan dan kefasikan! Seperti Imam Syafi’i, Imam an Nasa’i dan lainnya))

Al-Ustadz juga berkata ((Kami benar-benar berharap dan menanti-nanti dari kaum Wahhâbi-Salafi untuk sedikit meluangkan waktu mereka membela Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu- dari hujutan kaum sesat dan menyimpang seperti Ibnu Taimiyah dan kaum Nawâshib lainnya dan dari laknatan dan caci-makian para pendosa yang munafik! Mengapa kecemburuan atas Salaf itu sepertinya hanya terbatas pada Salaf yang fasik dan cenderung munafik?! Di mana Anda wahai ustadz Firanda dan kalian wahai kaum Wahhâbiyyûn ketika Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu- dilaknati oleh Mu’awiyah)) Demikian perkataan Abu Salafy

Abu Salafy juga berkata:

(Ibnu Tamiyah-gembong kaum Mujassim dan pentolan yang selalu dibanggakan penyimpangan akidahnya dan kegilaan sikapnya terhadap Imam Ali dan Ahlulbait lainnya oleh kaum Wahhâbi, khususnya yang berbau Nashibi!)

Al-Ustadz Abu Salafy juga berkata (Sebagaimana menjadikan kami mengetahui sejauh mana kesunnian kaum Wahhâbiyyûn dan kemiripan mereka dengan kaum Nawâshib/para pembenci dan yang selalu menampakkan sikap sinis kepada keutamaan Ahlulbait Nabi saw., disamping tentunya bangga bermesraan dengan para pembenci Ahlulbait ra.)

Ustadz Abu Salafy juga berkata :

((Ustadz Firanda yang saya hormati, apakah pantas kita membela orang seperti Ibnu Taimiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Imam Ali ra. dan juga terhadap Sayyidina Umar ra.?)). Demikian perkataan Abu Salafy

Dalam nukilan diatas ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil :

Pertama : Abu salafy menuduh Ibnu Taimiyyah membenci Alul Bait dan selalu menampakan sikap sinis terhadap Alul Bait, bahkan menyatakan bahwasanya Ibnu Taimiyyah bangga bermesraan dengan para pembenci Ahlulbait ra

Selain itu Abu Salafy juga menuduh Ibnu Taimiyyah mencela Umar bin Al-Khottoob radhiallahu 'anhu

Kedua : Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu adalah seorang munafiq yang kafir. Ayat-ayat yang disampaikan oleh Abu Salafy untuk melarang membela Mu'aawiyah adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan orang-orang kafir.

Seperti firman Allah “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama… .” (QS at Taubah;67). Dan ayat ini berkaitan tentang orang-orang munafiq yang kafir.

Demikian juga firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita- berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah kafir kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus" (QS Al-Mumtahanah ayat 1)

Ketiga : Abu Salafy juga menyatakan ayah Mu'aawiyah yaitu Abu Sufyaan radhiallahu 'anhu sebagai gembong dan pemimpin orang kafir

Keempat : Abu salafy menyatakan bahwasanya Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dilaknat oleh Mu'aawiyah.

Empat pernyataan Abu Salafy diatas akan saya bahas satu persatu insyaa Allah ta'aala.

Tuduhan Ustadz Abu Salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah mencela Ali dan mencela Umar bin Al-Khottoob radhiallahu 'anhumaa

Ustadz Abu salafy berkata :

((Ibnu Tamiyah-gembong kaum Mujassim dan pentolan yang selalu dibanggakan penyimpangan akidahnya dan kegilaan sikapnya terhadap Imam Ali dan Ahlulbait lainnya oleh kaum Wahhâbi, khususnya yang berbau Nashibi!))

Al-Ustadz Abu Salafy juga berkata ((Sebagaimana menjadikan kami mengetahui sejauh mana kesunnian kaum Wahhâbiyyûn dan kemiripan mereka dengan kaum Nawâshib/para pembenci dan yang selalu menampakkan sikap sinis kepada keutamaan Ahlulbait Nabi saw., disamping tentunya bangga bermesraan dengan para pembenci Ahlulbait ra.))

Para pembaca yang budiman demikianlah Abu Salafy melakukan tipu muslihatnya sehingga mengesankan bahwasanya Ibnu Taimiyyah membenci Ahlul Bait terutama Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu. Oleh karenanya untuk mengungkap tipu muslihat Ustadz Abu Salafy ini maka saya akan mengutarakan hal yang sesungguhnya melalui poin-poin berikut ini:

Sikap Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang sesungguhnya yang jelas dan gamblang terhadap Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu. Yang hal ini akan jelas pada perkara-perkara berikut:

Pertama : Penjelasan Ibnu Taimiyyah tentang Ali radhiallahu 'anhu merupakan Khalifah Rasyid yang mendapat petunjuk, dan orang keempat yang terbaik dari umat Muhammad shallallhu 'alaihi wa sallam setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum. Demikian juga penjelasan beliau bahwasanya Ali lebih benar daripada Mu'aawiyah

Kedua : Penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang keutamaan Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu

Ketiga : Bantahan dan celaan Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap golongan Nashibiyyah yang memusuhi Ali bin Abi Tholib dan Ahlul Bait

Bantahan terhadap Al-Ustadz Abu Salafy, yang saya jelaskan melalui poin-poin berikut:

Pertama : Hakekat buku Minhaajus Sunnah

Kedua : Metode yang digunakan Ibnu Taimiyyah dalam membantah Rofidhoh dalam kitab Minhaajus Sunnah

Ketiga : Bantahan terhadap tuduhan Abu Salafy

Sikap Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang Sesungguhnya yang Jelas dan Gamblang Terhadap Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu.

Saya akan menjelaskannya melalui poin-poin berikut ini :

Pertama : Penjelasan Ibnu Taimiyyah tentang Ali radhiallahu 'anhu merupakan Khalifah Rasyid yang mendapat petunjuk, dan orang keempat yang terbaik dari umat Muhammad shallallhu 'alaihi wa sallam setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu a'nhum. Demikian juga penjelasan beliau bahwasanya Ali lebih benar daripada Mu'aawiyah

Beliau rahimahullah berkata :

((…Sesungguhnya telah sah dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

"Khilafah kenabian selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu jadilah kerajaan". Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiallahu 'anhum merekalah para Khulaafa' Ar- Rosyidin dan para pemimpin yang mendapatkan petunjuk, yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka :

"Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaa' Ar-Rosyidin, peganglah erat-erat sunnah-sunnah tersebut dan gigilah dengan geraham kalian, dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru, karena setiap perakra yang baru adalah bid'ah"

Banyak orang berselisih tentang khilafahnya Ali, dan mereka berkata : "Zaman Ali adalah zaman fitnah, tidak ada jama'ah (persatuan) di zaman Ali". Ada kelompok yang berkata, "Adalah suatu yang adanya dua khalifah yang memimpin, Ali adalah khalifah dan Mu'aawiyah juga khalifah, karena umat tidak (seluruhnya) bersatu pada Ali, dan tidak teratur di masa khilafahnya Ali. Dan yang benar yang dipilih oleh para imam yaitu bahwasanya Ali radhiallahu 'anhu termasuk para khulafaa'ur rosyidin dengan dalil hadits ini. Di zaman Ali, beliau menamakan dirinya sebagai Amiirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin), dan para sahabat juga menamakan beliau dengan nama tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Barangsiapa yang tidak menyatakan Ali sebagai khalifah yang keempat maka ia lebih dungu daripada keledainya")) demikian perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam (Majmuu' Al-Fataawa 4/478-479)

Beliau juga berkata :

((Dan Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

"Akan membunuh 'Ammaar kelompok yang membangkang".

Hadits ini juga menunjukan akan sahnya keimaman (kepemimpinan) Ali dan wajibnya mentaati beliau, dan bahwasanya barangsiapa yang menyeru untuk taat kepada Ali berarti menyeru ke surga, dan barangsiapa yang menyeru untuk memerangi Ali berarti menyeru kepada neraka –meskipun karena adanya takwil-, dan ini adalah dalil tentang tidak bolehnya memerangi Ali. Oleh karenanya orang yang memerangi Ali telah bersalah jika karena ada takwil atau pembangkang jika tanpa takwil. Dan inilah pendapat yang terkuat dari dua pendapat para sahabat kami, yaitu menyatakan salah bagi orang yang memerangi Ali. Dan ini merupakan para imam fiqih yang menjadikan permasalahan ini sebagai dalil tentang permasalahan memerangi para pemberontak (pembangkang) yang karena takwil)) (Majmuu' Al-Fataawaa 4/437-438)

Perkataan-perkataan beliau rahimahullah yang lain tentang pembelaan beliau terhadap Ali bisa dilihat juga di Majmuu' Al-Fataawaa 3/282, 382, 406 dan 4/433, 438, 440, 450, serta 35/51, 73, 77

Beliau juga berkata dalam buku Minhaajus Sunnah (yang dikatakan oleh Ustadz Abu Salafi adalah buku yang mencela Ali bin Abi Tholib):


"Ali radhiallahu 'anhu tidaklah memerangi seseorang karena tidak menerima kepemimpinan orang tersebut, dan juga tidak seorangpun yang memerangi Ali karena tidak setuju dengan kepemimpinan beliau. Dan di masa khilafah beliau tidak seorangpun yang mengaku bahwasanya ia lebih berhak untuk memimpin daripada Ali, tidak seorangpun, tidak Aisyah, tidak juga Tolhah, tidak juga Az-Zubair, tidak juga Mu'aawiyah dan para sahabatnya, dan tidak juga khowarij. Bahkan seluruh umat mengakui kemuliaan Ali dan kedepanan beliau setelah terbunuhnya Utsmaan, dan bahwasanya tidak ada yang tersisa di kalangan para sahabat orang yang semisal Ali di zaman kepemimpinan beliau" (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/328-329)

Beliau juga berkata :

((Dan tidak seorangpun dari kalangan sahabat setelah mereka (Abu Bakar, Umar, dan Utsman-pent) yang lebih afdhol daripada Ali. Dan tidak ada sebuah kelompokpun dari kaum muslimin yang menyelisihi bahwasanya setelah khilafahnya Utsman tidak ada seorangpun di pasukannya Ali yang lebih afdhol daripada Ali. Tidak ada satu kelompokpun yang ma'ruf yang menyatakan Tolhah dan Az-Zubair lebih mulia daripada Ali, apalagi menyatakan bahwa Mu'aawiyah lebih afdhol daripada Ali.

Meskipun demikian mereka memerangi Ali karena ada syubhat yang mendatangi mereka. Mereka tidaklah memerangi Ali karena ada orang lain yang lebih afdhol daripada Ali, atau ada orang lain yang merupakan Imam selain Ali. Tolhah dan Az-Zubair sama sekali tidak menamakan diri mereka dengan nama kepemimpinan, dan tidak seorangpun yang membai'at mereka berdua karena kepemimpinan)) (Minhaajus Sunnah 6/330)

Beliau juga berkata :

((Mayoritas Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya Ali lebih afdhol daripada Tolhah dan Az-Zubair, apalagi Mu'aawiyah dan yang lainnya. Dan mereka berkata : Tatkala kaum muslimin terpecah di zaman Ali sehingga ada sekelompok memerangi Ali dan sekelompok yang lainnya berperang bersama (membela) Ali, maka Ali dan para pengikutnya adalah kelompok yang lebih utama di atas kebenaran daripada kelompok yang lainnya. Hal ini sebagaimana telah sah dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

"Akan keluar suatu firqoh tatkala kaum muslimin terpecah, firqoh yang keluar tadi akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran"

Firqoh yang keluar tersebut adalah khowarij yang keluar dari agama maka merekapun diperangi oleh Ali dan para pengikutnya. Maka diketahui bahwasanya kelompok Ali lebih utama di atas kebenaran dari Mu'awiyah dan para pengikutnya)) (Minhaajus Sunnah 4/358)

Kedua : Penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah Tentang Keutamaan Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu

Selain membela Ali bin Abi Tholib Ibnu Taimiyyah juga banyak menjelaskan keutamaan Ali, bahkan dalam kitab beliau Minhaajus Sunnah.

Beliau berkata :

((Keutamaan Ali dan kewaliannya bagi Allah serta tingginya manzilahnya di sisi Allah merupakan perkara yang sudah maklum (diketahui) -alhamdulillah- dari jalan-jalan (riwayat-pen) yang valid (sah) yang memberikan keyakinan, sehingga tidak membutuhkan (riwayat) dusta atau riwayat-riwayat yang tidak diketahui kebenarannya)) (Minhaajus Sunnah 8/165)

Beliau juga berkata

((Adapun Ali radhiyallahu ‘anhu tidak diragukan lagi bahwa dia termasuk orang yang mencintai Allah dan yang dicintai Allah … )) (Minhaajus Sunnah 7/218)

Beliau juga berkata

((Adapun status Ali sebagai ahlilbait merupakan sesuatu yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin, bahkan hal ini lebih diketahui oleh kaum muslimin daripada didatangkan dalil (tentang hal itu -pent), bahkan dia termasuk ahlibait dan keturunan bani hasyim yang paling utama setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau memutar pakaian beliau pada Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, Beliau bersabda, “Ya Allah mereka ahlibaitku hilangkanlah dari mereka kekejian serta bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya)) (Majmuu Al-Fataawaa 4/496)

Beliau juga berkata

((Bukanlah dari golongan Ahlus sunnah orang yang menjadikan permusuhan kepada Ali merupakan ketaatan dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang menjadikan kebencian kepada Ali merupakan kebaikan, dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang memerintahkan untuk benci kepada Ali.

Juga bukanlah Ahlus Sunnah orang yang menjadikan semata-mata kecintaan kepada Ali merupakan keburukan dan kemaksiatan dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang tidak melarang hal ini.

Kitab-kitab Ahlusunnah dari seluruh golongan berisi penyebutan tentang keutamaan-keutamaannya, keistimewaan-keistimewaannya serta celaan terhadap orang-orang yang mendholiminya dari seluruh firqoh…

Bahkan mereka seluruhnya sepakat bahwa Ali memiliki kedudukan yang lebih mulia disisi Allah dan Rasul-Nya dan kaum mukminin daripada Muawwiyah, bapaknya dan saudaranya – yang mana ia(saudaranya ini) lebih baik dari dia(Muawwiyah). Ali lebih utama dari orang yang lebih utama dari Muawwiyah radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga As Saabiqunal Awaluun yaitu orang-orang yang berbait di bawah pohon (maksudnya para sahabat yang ikut bait ridhwan -pent) mereka semuanya lebih baik daripada para sahabat yang masuk islam ketika fathul Mekkah, pada mereka itu ada orang-orang yang lebih utama dari Muawwiyah, dan orang-orang yang berbait di bawah pohon lebih utama dari mereka itu semua, dan Ali lebih utama dari mayoritas para sahabat yang berbait di bawah pohon bahkan lebih baik dari mereka semua kecuali dari tiga orang. Tidak ada pada ahlussunnah yang menganggap adanya seorang yang lebih utama daripada Ali selain tiga orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman –pent). Bahkan mereka mengutamakan Ali di atas seluruh mayoritas sahabat yang ikut perang badar, baiatul ridhwan dan di atas orang –orang yang pertama-tama masuk islam dari kalangan muhajirin dan anshor)) (Minhaajus Sunnah 4/396)

Beliau juga berkata:

((Maka pertama-tama dikatakan, siapa yang menentang di dalam hal ini. Siapa yang mengatakan bahwa Ali bukanlah termasuk pedang di antara pedang-pedang Allah? Sabda Nabi yang terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Allah memiliki pedang yang banyak dan tidak diragukan lagi bahwa Ali adalah termasuk pedang Allah yang paling agung. Tidak ada seorangpun dari kaum muslimin yang menganggap Khalid lebih utama daripada Ali, sampai dikatakan bahwa mereka menjadikan hal itu khusus bagi Khalid. Penamaan dengan hal itu terjadi dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang shahih. Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sesungguhnya Khalid adalah pedang diantara pedang-pedang Allah.

Kemudian yang kedua dikatakan, “Ali lebih mulia kedudukannya dibanding Khalid, lebih mulia dari orang yang memiliki keutamaan sebagai pedang Allah. Karena Ali memiliki keutamaan dalam ilmu, bayan, agama, iman serta lebih terdahulu (dalam masuk islam –pent). Dia dengan hal-hal ini lebih utama dari orang yang memiliki keutamaan sebagai salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah, karena pedang hanya khusus pada peperangan sedangkan Ali maka peperangan hanyalah salah satu keutamaan beliau. Berbeda dengan Khalid, peperangan menjadi keutamaannya yang membedakan dia dengan yang lainnya. Kholid tidaklah menjadi istimewa karena lebih dahulu dalam masuk islam, atau karena banyaknya ilmu dan besarnya zuhud. Kholid hanyalah menjadi istimewa karena peperangan, oleh sebab itu Khalid digelari dengan salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah )) (Minhaajus Sunnah 4/480)

Beliau juga berkata :

((Tidak diragukan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang gagah berani, termasuk orang yang mana dengan jihadnya Allah telah menolong Islam, dia juga termasuk seniornya orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama masuk islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan termasuk pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berjihad dijalan Allah serta termasuk orang yang telah membunuh sejumlah besar dari orang-orang kafir dengan pedangnya.)) (Minhaajus Sunnah 8/76)

Beliau juga berkata :

((Adapun kezuhudan Ali terhadap harta maka sesuatu yang tidak diragukan lagi, …)) (Minhaajus sunnah 7/489)

Beliau juga berkata :

((Dan juga Ahlusunnah lebih besar kecintaannya terhadap orang-orang yang tidak memerangi Ali daripada kecintaan mereka terhadap orang-orang yang memeranginya serta lebih mengutamakan orang-orang yang tidak memerangi Ali di atas orang-orang yang memeranginya seperti Sa’ad bin Abi Waqqosh, Usamah bin Zaid, Muhammad bin maslamah, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhum. Mereka-mereka ini lebih utama daripada orang-orang yang memerangi Ali dari kalangan ahlussunah.

Maka mencintai Ali dan tidak memeranginya adalah lebih baik daripada membencinya dan memeranginya berdasarkan ijma’ ahlussunnah. Mereka bersepakat akan wajibnya loyal terhadap Ali serta mencitainya. Mereka adalah orang yang sangat (bersemangat) untuk membela Ali, menyanggah orang yang mencelanya baik dari orang-orang khawarij dan yang selain mereka dari orang-orang nawashib. Akan tetapi setiap tempat ada pembicaraannya tersendiri.)) (Minhaajus Sunnah 4/395)

Maka dari nukilan perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas nampak bagaimana sikap Ibnu Taimiyyah yang sesungguhnya kepada Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu

Ketiga : Celaan Ibnu Taimiyyah terhadap Nasibiyah (firqoh yang membenci Ahlul Bait)

Berikut ini perkataan-perkataan ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Minhaajus Sunnah yang mencela madzhab Nawasib/Nashibiyyah

Ibnu Taimiyyah berkata :

((Dan adapun Ahlus Sunnah maka mereka berwalaa' kepada seluruh kaum mukminin dan mereka berbicara dengan ilmu dan keadilan. Mereka bukanlah termasuk orang-orang yang bodoh dan mengikut hawa nafsu. Mereka berbaroo' (berlepas diri) dari jalannya Rofidhoh dan Nawaashib semuanya, dan mereka berwalaa kepada seluruh As-Saabiquun Al-Awwaluun, dan mereka mengetahui kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan para sahabat. Mereka memperhatikan hak-hak Ahlul Bait yang disyariat'kan Allah bagi mereka, dan mereka tidak ridho terhadap apa yang dilakukan oleh Al-Mukhtaar dan para pendusta semisalnya dan juga apa yang dilakukan oleh Al-Hajjaaj dan orang-orang yang dzolim semisalnya)) (Minhaajus Sunnah 2/71)

Beliau juga berkata :

((Dan mereka itulah orang-orang yang menegakan permusuhan kepada Ali dan orang-orang yang berwalaa kepadanya, dan merekalah yang telah menghalalkan untuk membunuh Ali. Dan salah seorang pemimpin mereka yaitu Abdurrahman bin Muljim Al-Muroodi telah membunuh Ali. Maka mereka itulah Nawashib (Nashibiyah), Khowaarij yang telah keluar (dari agama), tatkala mereka berkata bahwasanya Utsman dan Ali dan orang-orang yang bersama mereka berdua telah kafir murtad.)) (Majmuu' Al-Fataawaa 4/468)

Beliau juga berkata –menjelaskan sikap beliau terhadap Ahlul Bait- :

((Jika disebutkan orang-orang yang dzolim seperti Hajjaaj bin Yuusuf dan yang semisalnya di sisi kami maka kami berkata sebagaimana firman Allah dalam Alqur'an "Dan laknat Allah atas orang-orang yang dzolim". Dan kami tidak suka untuk melaknat seseorang dengan ta'yiin (memvonis orang tertentu dengan laknat-pen). Dan sebagian ulama melaknat Hajjaaj, dan ini adalah madzhab yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya. Akan tetapi pendapat ini (tidak memvonis laknat pada orang tertentu-pen) lebih baik dan lebih kami sukai.

Adapun orang yang membunuh "Al-Husain" atau membantu dalam membunuhnya atau ridho dengan pembunuhan tersebut maka bagi dia laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima amalan wajibnya dan sunnahnya…

Kecintaan kepada Ahlul Bait di sisi kami merupakan kewajiban yang mendapatkan ganjaran di sisi Allah. Telah sah di sisi kami sebuah hadits dalam shahih Muslim dari Zaid bin Arqom beliau berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkutbah kepada kami di sumber air yang disebut dengan Khumman yang terletak antara Mekah dan Madinah, "Wahai manusia, sesungguhnya aku meninggalkan bagi kalian dua perkara yang penting; Kitaabullah…. dan Kerabatku, Ahlul bait, Aku ingatkan kalian (untuk memperhatikan dan menghormati) Ahlul Bait, Aku ingatkan kalian (untuk memperhatikan dan menghormati) Ahlul Bait"

… Barangsiapa yang memusuhi Ahlul Bait maka bagi dia laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Allah tidak menerima darinya amalan wajib dan sunnah)) (Majmuu' al-Fataawaa 4/487-488)

Bantahan Terhadap Tuduhan Abu salafy Terhadap Ibnu Taimiyyah

Setelah jelas bagi kita bagaimana sikap sesungguhnya Ibnu Taimiyyah terhadap Ali bin Abi Tholib dan juga terhadap Ahlul Bait secara umum maka saya akan beranjak pada tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Al-Ustadz Abu Salafy.

Namun sebelumnya saya akan menjelaskan tentang :

Pertama : Hakekat buku Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah

Kitab Minhaajus Sunnah ditulis oleh Ibnu taimiyyah dalam rangka membantah sebuah kitab yang berjudul "Minhaajul Karoomah" yang ditulis oleh Ibnul Muthohhir Ar-Rofidhi

Kedua : Metode yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam membantah rofidhoh dalam buku Minhaajus Sunnah

Untuk menghadapi Rofidhoh ada dua metode yang mungkin untuk dilakukan;

Pertama : Dengan membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh Rofidhoh satu persatu. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah tatkala membantah syubhat-syubhat yang disebarkan oleh kelompok-kelompok lain selain Rofidhoh. Akan tetapi cara ini menurut Ibnu Taimiyyah kuranglah tepat dan kurang bisa membungkam Rofidhoh. Oleh karenanya dalam buku Minhaajus Sunnah beliau berpaling ke metode yang kedua yaitu

Kedua : Membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh Rofidhoh dengan syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh orang-orang Nashibah. Dan metode ini memiliki beberapa keistimewaan ;

- Setiap syubhat yang dihembuskan oleh rofidhoh mirip dengan syubhat yang dihembuskan oleh kaum Nasibiyyah. Sehingga Ibnu Taimiyyah tidak perlu repot dalam membantah rofidhoh. Karena setiap hujjah yang digunakan oleh Rofihdoh untuk mencela atau mengkafirkan Abu Bakr, Umar dan Utsman maka dibalik oleh Ibnu taimiyyah, karena hujjah tersebut mirip dengan hujjah yang digunakan oleh Nasibiyyah untuk mencela atau mengkafirkan Ali.

Sehingga Ibnu Taimiyyah memojokkan Rofidhoh untuk meninggalkan hujjah-hujjah yang mereka gunakan dalam rangka mencela atau mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsmaan. Jika tidak maka hujah-hujjah tersebut bisa digunakan oleh golongan Nashibiyyah untuk mencela atau mengkafirkan Ali bin Abi Tholib.

Oleh karenanya metode yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah ini merupakan metode yang menunjukkan hebatnya beliau rahimahullah dan lebih mampu untuk membungkam Rofidhoh daripada metode yang pertama.

- Metode ini digunakan untuk menjelaskan bahwa madzhab yang benar adalah Madzhab Ahlus Sunnah yang merupakan madzhab tengah yang berada diantara dua madzhab yang ekstrim terhadap para sahabat yaitu madzhab Rofidhoh dan madzhab Nashibiyyah

- Metode ini digunakan Ibnu Taimiyyah untuk memojokkan Rofidhoh bahwasanya tidak ada yang bisa membantah kaum Nashibiyyah kecuali Ahlus Sunnah.

Karenanya janganlah para pembaca heran tatkala Ibnu Taimiyyah menyampaikan perkataan-perkataan yang mencela Ali radhiallahu 'anhu, karena beliau sedang menyebutkan hujjah-hujjahnya kaum Nashibiyyah dalam rangka untuk membungkam Rofidhoh. Adapun sikap beliau terhadap Ali dan ahlul bait yang sesungguhnya maka telah kita ketahui bersama sebagaimana dan telah lalu penjelasannya dengan gamblang dan jelas.

Perhatikan perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini :


((Adapun serorang rofidhoh jika ia mencela Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu dengan mengatakan bahwa Mu'aawiyah adalah seorang pembangkang dan dzolim, maka seorang Nashibi akan berkata kepadanya : "Ali pun demikian membangkang dan dzolim tatkala memerangi kaum muslimin untuk pemerintahannya, dan dia yang memulai peperangan dan menyergap mereka dan menumpahkan darah umat tanpa ada faedah bagi mereka, baik faedah agama maupun faedah duniawi. Pedang Ali di masa pemerintahannya terhunus bagi umat Islam dan tersimpan bagi orang-orang kafir.

Orang-orang yang mencela Ali ada beberapa kelompok,

Kelompok yang mencela Ali dan juga mencela orang-orang yang memerangi Ali seluruhnya.

Kelompok yang menyatakan fasiknya salah satu dari dua kelompok (kelompok Ali atau kelompok yang memerangi Ali-pen) tanpa menentukan manakah kelompok yang fasik, sebagaimana yang diucapkan oleh 'Amr bin 'Ubaid dan para ulama mu'tazilah. Mereka juga berkata tentang perang Jamal : "Telah fasik salah satu dari dua kelompok yang berperang", akan tetapi tanpa menentukan manakah kelompok yang fasik. Dan mereka menyatakan bahwa Mu'awiyah fasiq.

Kelompok yang berkata bahwasanya Ali fasik, bukan Mu'aawiyah, sebagaiman dikatakan oleh kelompok Marwaaniyah.

Kelompok yang berkata bahwasanya pada awalnya Ali dalam kebenaran, akan tetapi tatkala menjadikan dua orang sebagai hakim maka Ali telah kafir dan murtad dari Islam, dan meninggal dalam keadaan kafir. Kelompok ini adalah khowaarij.

Maka kelompok Khowarij, kelompok Marwaniyah, dan banyak dari kelompok Mu'tazilah, dan yang lainnya mereka mencela Ali radhiallahu 'anhu. Semuanya salah dalam hal ini, sesat dan mubtadi')) (Minhaajus Sunnah 4/389-390)

Perhatikan juga perkataan beliau berikut ini :

((Dan mereka itulah orang-orang yang menegakkan permusuhan kepada Ali dan orang-orang yang berwalaa kepadanya, dan merekalah yang telah menghalalkan untuk membunuh Ali. Dan salah seorang pemimpin mereka yaitu Abdurrahman bin Muljim Al-Muroodi telah membunuh Ali. Maka mereka itulah Nawashib (Nashibiyah), Khowaarij yang telah keluar (dari agama)….

Jika seandainya Si Nasibi (pembenci Ali-pen) ini berkata kepada seorang rofidhoh : "Sesungguhnya Ali adalah seorang yang kafir atau fasiq atau dzolim, atau Ali berperang demi kekuasaan, untuk meraih kepemimpinan dan bukan karena agama, dan Ali telah membunuh ribuan umat Islam dari umat Muhammad dalam perang Jamal, perang Shiffin, dan dalam perisitwa Haaruuroo', dan Ali tidak membunuh seorang kafirpun setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Ali tidak membuka satu kotapun (untuk perluasan kekuasaan Islam-pen), bahkan Ali memerangi Ahlul Kiblat (umat Islam-pen)", dan perkataan-perkataan yang semisal ini yang diucapkan oleh orang-orang Nasibiyah yang memusuhi Ali radhiallahu 'anhu, maka tidak ada yang bisa membantah perkataan orang-orang Nasibiyyah ini kecuali Ahlus Sunnah yang mencintai para As-Saabiquun Al-Awwaluun seluruhnya dan berwalaa' kepada mereka (Adapun rofidhoh maka tidak bisa membantah Nasibiyyah-pen).

Maka Ahlus Sunnah akan berkata kepada Naasibiyyah : Telah sah dalam khabar yang mutawatir akan keimanan, hijrah, dan jihadnya Abu Bakr, Umar, Tolhah, dan Az-Zubair. Dalam Al-Qur'an Allah memuji mereka dan ridho kepada mereka. Demikian juga dalam hadits-hadits yang shahih Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memuji mereka baik secara khusus atau secara umum. Seperti sabda Nabi yang masyhuur :

"Kalau aku mau mengambil seorang kholil (kekasih) dari penduduk dunia maka aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai kekasih"

Dan sabda beliau (tentang Umar-pen) :

"Dahulu pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsuun (mendapat ilham), kalau ada seseorang dari umatku yang demikian maka dia adalah Umar"

Dan sabda beliau (tentang Utsman-pen): "Mengapa aku tidak malu kepada orang yang malaikat malu kepadanya"

Beliau juga bersabda kepada Ali :

"Aku akan memberikan bendera (kepemimpinan perang) kepada seseorang yang cinta kepada Allah dan rasulNya dan Allah dan RasulNya (juga) mencintainya, Allah akan memenangkan perang melalui kedua tangannya"

Dan sabda beliau (tentang Az-Zubair) : "Setiap nabi memiliki hawaari (para pengikut setia/para penolong), dan hawaariku adalah Az-Zubair", dan sabda-sabda beliau yang semisal ini.

Adapun Rofidhi maka ia tidak akan mampu untuk menegakkan hujjah yang mengalahkan orang yang memusuhi Ali dari kalangan Nasibiyyah sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah (dalam membantah Nasibiyyah-pen) yang Ahlus Sunnah mencintai seluruh sahabat)) (Majmuu' Al-Fataawaa 4/468-469)

Dari dua perkataan Ibnu Taimiyyah di atas bisa ditarik kesimpulan :

- Ibnu Taimiyyah hanya menukil perkataan Nasibiyyah dalam rangka membantah Rofidhoh,

- Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa seluruh kelompok yang mencela Ali adalah salah, sesat, dan mubtadi'

- Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa Rofidhoh tidak akan mampu membantah Nashibiyyah sebagaimana bantahan Ahlus Sunnah terhadap Nashibiyyah

Tanggapan Terhadap Tuduhan-tuduhan Abu salafy:

Ustadz Abu Salafy berkata :

((Ustadz Firanda yang saya hormati, apakah pantas kita membela orang seperti Ibnu Taimiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Imam Ali ra. dan juga terhadap Sayyidina Umar ra.?)). Lihat ((http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/15/ustadz-firanda-kebakaran-jenggot/))

Al-ustadz Abu Salafy juga berkata :

((Tetapi, buat Ibnu Taimiyah, peperangan yang disulut musuh-muusuh Ali ra. Justeru menjadi kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja tanpa menghina dan menuduh Imam Ali ra. dengan tuduhan keji dan membuat bulu roma kita berdiri dari kebejatan ucapan dan analisa serta vonis kemunafikan yang ia lontarkan dengan tan tanggung jawab….

Dalam menilai peperangan Imam Ali ra., Ibnu Taimiyah bertaka:

وَعليٌ قاتَلَ لِيُطاعَ و يَتَصَرّفُ في النفوسِ و الأموال، فكيف يُجعَلُ هذا قتالاً غلى الدينِ؟!

“Ali berperang agar ia dita’ati dan berbuat sekehendaknya terhadap jiwa-jiwa dan harta-harta, lalu bagaimana peperangan seperti itu dijadikan peperangan demi agama?!” (Minhâj as Sunnah,8/329)

kemudian dalam kesempatan lain ia lebih meningkatkan tensi kecamannya atas Imam Ali ra. Yang menghalalkan darh-darah kaum Muslimin dengan tanpa izin Allah dan Rasul-Nya! Membunuh mereka hanya demi kekuasaannya semata! Walaupun seperti kebiasaannya, ia meminjam mulut kaum Nawâshib untuk menghujat Ali dan Syi’ahnya!

Ibnu Taimiyah begitu menikmati ketika menyajikan kecaman kaum Nawâshib, dan terkadang kecaman itu ia yang meramunya hanya saja ia nisbatkan kepada mereka!

Di sini Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kaum Nawâshib berkata kepada kaum Rafidhah: Ali telah menghalalkan darah-darah kaum Muslimin dengan tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya hanya demi kekuasaan, sementara Nabi saw. telah bersabda:

“mencaci maki seorang Muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” Dan “jangan kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.” Maka Ali adalah kafir karena sebab itu! Maka hujjah kalian (Rafidhah) tidak lebih kuat dari hujjah kau Nawâshib…. “(Minhâj as Sunnah,4/499-500)

Ibnu Taimiyah juga membebankan ke pundak Imam Ali ra. Tangung jawab kerusakan dan korban yang banyak dari kalangan umat Islam dalam peparangan tersebut!

Ia berkata:

“Sesungguhnya Ali berperang demi wilayah/kekuasaan, dan karenanya banyak jiwa mati terbunuh. Pada masa kekuasaannya tidak pernah terjadi peperangan melawan kaum kafir tidak juga menaklukkan negeri-negeri mereka! Dan kaum Muslimin tidak semakin membaik… “(Minhâj as Sunnah,6/191)

Peperangan Imam Ali ra. Hanya menambah perpacahan di tengah-tengahnumat Islam! (Minhâj as Sunnah,7/243)

Semua yang salah hanya Ali ra…. Para pemberontak tidak patut dipersalahkan dan diminta bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan dampak-dampaknya!!

Demikianlah Ibnu Taimiya menilai Imam Ali ra.!! Lalu salahkan para ulama Ahlusunnah yang menvonisnya sebagai gembong kaum Munafik?!

Apa yang saya sajikan di atas baru setetes dari kejahatan mulut si anak taimiyah itu. Pada edisi berikutnya, Anda akan menyaksikan lebih banyak lagi!

Jadi janganlah Anda heran jika kaum Wahhabiyah, Nawâshin Modern; para pengikut dan pemuja kesesatan akidah Ibnu Taimiyah sekarang juga menghembuskan nafas beracun dan memuntahkan luapan kebencian mereka kepada Imam Ali dan keturunan beliau!

Sebab seperti disabdakan Nabi mulia: Tiada mencintai Ali melinakn orang mukmin dan tiada membencinya melaikan oraang munafik!!)) Demikianlah perkataan Ustadz Abu salafy yang meluap-luap penuh dengan emosi dan cacian !!! sebagaimana bisa dilihat di ((http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/26/fitnah-ibnu-taimiyah/)

Para pembaca yang budiman, telah saya jelaskan diatas bagaimana sikap yang sesungguhnya dari Ibnu taimiyyah terhadap Ali dan Ahlul bait. Adapun apa yang disampaikan oleh Ustadz Abu Salafy merupakan tipu muslihat yang ia lancarkan sehingga mengesankan bahwa Ibnu taimiyyah adalah seorang Nasibi, padahal telah jelas di atas bahwasanya Ibnu Taimiyyah sedang menukil perkataan Nashibiyyah dalam rangka membungkam dan memojokan Rofidhoh.

Adapun tuduhan ustadz Abu salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah menyatakan Ali berperang bukan karena agama akan tetapi karena kekuasaan maka sungguh ini merupakan kedustaan, penjelasannya sebagai berikut:

- Telah dijelaskan bahwasanya bagaimana metode Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhaajus Sunnah dalam membantah Rofidhoh. Yaitu beliau rahimahullah menggunakan syubhat yang dilontarkan oleh Nashibiyyah untuk memojokan Rofidhoh (silahkan lihat kembali poin tentang metode Ibnu Taimiyyah dalam kitab Minhajus Sunnah sebagaimana telah lalu)

- Dalam kitab minhaajus Sunnah Ibnu taimiyyah dengan tegas menjelaskan bahwsanya perkataan "Ali berperang bukan karena agama tetapi karena kekuasaan" merupakan perkataan Nashibiyyah

((Adapun serorang rofidhoh jika ia mencela Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu dengan mengatakan bahwa Mu'aawiyah adalah seorang pembangkang dan dzolim, maka seorang Nashibi akan berkata kepadanya : "Alipun demikian membangkang dan dzolim tatkala memerangi kaum muslimin untuk pemerintahannya, dan dia yang memulai peperangan dan menyergap mereka dan menumpahkan darah umat tanpa ada faedah bagi mereka, baik faedah agama maupun faedah duniawi. Pedang Ali di masa pemerintahannya terhunus bagi umat Islam dan tersimpan bagi orang-orang kafir)) (Minhaajus Sunnah 4/389)

- Dalam kitab beliau yang lain beliau juga menegaskan bahwa hal ini merupakan perkataan Nasibiyyah

((Jika seandainya Si Nasibi (pembenci Ali-pen) ini berkata kepada seorang rofidhoh : "Sesungguhnya Ali adalah seorang yang kafir atau fasiq atau dzolim, atau Ali berperang demi kekuasaan, untuk meraih kepemimpinan dan bukan karena agama, dan Ali telah membunuh ribuan umat Islam dari umat Muhammad dalam perang Jamal, perang Shiffin, dan dalam perisitwa Haaruuroo', dan Ali tidak membunuh seorang kafirpun setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Ali tidak membuka satu kotapun (untuk perluasan kekuasaan Islam-pen), bahkan Ali memerangi Ahlul Kiblat (umat Islam-pen)", dan perkataan-perkataan yang semisal ini yang diucapkan oleh orang-orang Nasibiyah yang memusuhi Ali radhiallahu 'anhu)) (Majmuu' Al-Fataawaa 4/468)

Maka bagaimana ustadz abu Salafy lantas menutup mata dan memaksakan perkataan tersebut adalah aqidah Ibnu Taimiyyah, sehingga akhirnya ustadz Abu Salafy memvonis Ibnu Taimiyyah yang telah berjihad melawan Tatar sebagai seorang munafiq??!!

Kesimpulan :

Pertama : Ustadz Abu Salafy telah melakukan tipu muslihat sehingga mengesankan bahwasanya Ibnu Taimiyyah adalah seorang Nashibi (pembenci Ahlul bait terutama Ali bin Abi Tholib) dengan cara mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah secara sepotong-sepotong

Kedua : Dalam buku Minhaajus Sunnah yang dicela habis-habisan oleh Abu Salafy ternyata syarat berisi pujian dan pembelaan Ibnu Taimiyyah kepada Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu. Apakah Abu salafy telah membaca kitab Minhaajus Sunnah?, kenapa perkataan-perkataan yang jelas dari Ibnu Taimiyyah tidak ditampilkan?
Ini merupakan lagu lama yang ditempuh oleh Abu Salafy, meninggalkan perkataan yang jelas dan berusaha menampilkan perkataan yang tidak jelas. Sebagaimana yang telah ia lakukan terhadap perkataan Imam Al-Qurthubi dan Ibnul Jauzi sebagaiamana telah saya ungkap tipu muslihatnya dalam (http://www.firanda.com/index.php/home/31/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2)

Ketiga : Diantara tuduhan Abu Salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah mencela Umar radhiyallahu 'anhu, maka saya meminta bukti dari ustadz Abu Salafy.
Abu Salafy berkata ((Ustadz Firanda yang saya hormati, apakah pantas kita membela orang seperti Ibnu Taimiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Imam Ali ra. dan juga terhadap Sayyidina Umar ra.?)) (lihat http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/15/ustadz-firanda-kebakaran-jenggot/)

Ini adalah tuduhan Abu Salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah tidak hanya mencela Ali bin Abi Tholib akan tetapi juga mencela Umar bin Al-Khothoob. Maka saya berharap Ustadz Abu Salafy mendatangkan bukti, jika tidak maka ini akan dimasukan dalam daftar kebohongan ustadz Abu Salafy yang sedang saya kumpulkan.

Madinah Munawwarah, 17 Safar 1432 / 21 Januari 2011
Firanda Andirja
www.firanda.com




Blog Archive