Follow us on:

BID'AH dengan segala pernak perniknya


bismillah,

^Bid’ah, Suatu Perkara Baru Yang Diada-adakan Dalam Agama^

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah :

“Bid`ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah ap...a yang datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah bid`ah.

Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua : ..

Pertama :

Bid`ah I’tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)

Bid`ah ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :
“Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan“.

Para shahabat bertanya : “Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.

Beliau menjawab : “Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku“.

Yang selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid , masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan selainnya.

Sementara yang selain mereka dari golongan atau kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini...

Kedua :

Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)

Bid`ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ...ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak“.

Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
“Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)”
Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan mereka menyatakan pula :

“Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)”

Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan adat itu sendiri terbagi tiga :

Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).

Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.

Ketiga : adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu a`lam.

(Al Fatawa As Sa`diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah) ..

____________________________________________________________________

Dan selanjutnya, mari kita ilmui dalil2, yang berkenaan dengan BID'AH ini..

DALIL-DALIL BAHWA SETIAP BID’AH SESAT DAN TIDAK ADA BID’AH HASANAH

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS.Al-Ma’idah: 3)

Malik bin Anas Rahimahullah berkata :

“Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid’ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. Al-Ma’idah: 3)

Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama pada hari ini”( al-I’tisham oleh asy-syaathibiy,1/64)..

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata :

”Maka jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid’ah yang di buat buat oleh kalangan ahli bid’ah tersebut!!?

Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut mereka,, berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pmbangkangan terhadap Al Qur’an.

Kemudian jika pemikiran mereka itu tidak termasuk dalam agama, maka apa manfaatnya mereka meyibukan diri mereka dengan sesuatu yang bukan dari agama ini”!?..

Ini merupakan merupakan hujjah yang kokoh dan dalil yang agung yang selamanya tidak mungkin dapat di bantah oleh pemilik pemikiran tersebut.

Dengan alasan itulah, hendaknya kita menjadikan ayat yang mulia ini sebagai langkah awal untuk menampar wajah-wajah ahli logika, membungkam mereka serta mematahkan hujjah-hujjah mereka.(Al-Qaulul Mufiid Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38, Merupakan bagian dari Risalaah Assalafiyyah, Cet: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah..

‎2. Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengatakan dalam khutbahnya:

“Amma ba’ad. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, no.867)..

‎3.Dari ‘Irbadh bin Saariyah [/i]Radhiyallahu ‘anhu[/i] ia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberikan kepada kami suatu nasihat yang menggetarkan hati dan membuat air mata kami berlinang, lalu kamipun berkata: “Ya Rasulullah sepertinya ini merupakan nasehat perpisahan maka nasehatilah kami wahai Rasulullah! Beliaupun lalu bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, (agar) mendengarkan dan mentaati, sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya. Karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang dipanjangkan umurnya, maka ia akan melihat banyak terjadi perselisihan (dalam agama), maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, berpegang teguhlah padanya, gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu.

Dan berhati-hatilah kamu terhadap perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2676, Ibnu Majah no. 44, Ad-Darimy (1/44-45)..

Berkata Ibnu Rajab Rahimahullah:

“Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ‘setiap bid’ah itu adalah kesesatan’ merupakan ‘Jawaami’ul kalim’ (satu kalimat yang ringkas namun mempunyai arti yang sangat luas) yang meliputi segala sesuat...u, kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok ajaran agama yang agung”. (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal 28)

Berkata Ibnu Hajar:

“Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda:

“Hal ini adalah bid’ah hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk.

Oleh karena itu maka apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar hokum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama), sehingga kesimpulannya adalah tertolak.” (Fathul Baary, 13/254)..

Muhammad bin Shalihal-‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “setiap bid’ah”, merupakan ungkapan yang bersifat umum dan menyeluruh, karena diperkokohkan dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat, yakni kata “setiap”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)

Sesungguhnya pedang pamungkas ini dibuat dalam industri kenabian dan kerasulan, bukan hasil ciptaan berbagai rumah produksi yang penuh kegoncangan, ia merupakan produk kenabian yang diciptakan secara optimal.

Karena itulah maka tidak mungkin orang yang memiliki pedang pamungkas seperti ini akan mampu dihadapi oleh siapapun dengan suatu bid’ah yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengatakan “setiap bid’ah itu adalah kesesatan”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)..

4. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang dibuat-buat dalam ajaran kami (agama) padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini, maka amala...n tersebut tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim)

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata:

“Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah-kaidah agama, sebab hadits ini mendasari hokum-hukum yang tiada terbatas. Dan betapa tegas hadits ini dan betapa jelas indikasinya terhada kebatilan para fuqaha’ yang membagi bid’ah menjadi beberapa macam serta hanya menolak sebagian bid’ah saja tanpa ada dalil yang mengkhususkannya baik dari dalil aqly maupun dalil naqly.”..

‎5. Dari Abdullah bin ‘Ukaim bahwasanya Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sesungguhnya seburuk-...buruk perkara adalah perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama).

Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (Ibnu Wudhah dalam Al-Bida’, hal 31 dan Al-Laalikaa’iy hadits no.100 (1/84)

6. Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Setiap bid’ah itu adalah kesesatan, sekalipun manusia menganggapnya hasanah (baik).” (Al-Ibaanah, no 205 (1/339), Al-Laalikaa’iy, no. 126 (1/92)..

Sumber: MENGAPA ANDA MENOLAK BID’AH HASANAH? Karangan Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibany terbitan At-Tibyan hal 23 – 30..

semoga bermanfaat

 Prtanyaan : kenapa orang2 Nahdiyin membenci orang2 Salafy..??

jawab :

Namun tak semuanya mereka membenci...

Kebencian mereka biasanya krn merasa terusik dgn kuatnya dakwah manhaj salaafushshoolih dalam mengingkari penyakit Bid'ah ...

Namun jangan salah,ternyata lambat laun kaum yg menamakan dirinya Nahdliyyin mulai banyak yg melirik ke manhaj salaafushshoolih juga berkat gigihnya dakwah salaf dalam mengingkari bid'ah..

Wallaahu a'lam...
 
tanya : nahdziyin sama salafi itu apa bedanya?

jawab :

Nahdiyin meyakini adanya bid'ah hasanah, oleh sebab itu mereka gemar berbuat kebid'ahan, dikarenakan bid'ah2 yg mereka lakukan, mereka pikir bid'ah yg baik (hasanah).

Sementara salafi mengingkari adanya bid'ah hasanah, sebab semua bid'ah dlm perkara agama adalah dholaalah (sesat), tdk ada bid'ah yg baik (hasanah) berdasarkan matan hadits shahih "kullu bid'atin dholaalah".

Bid'ah yg dimaksud oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan juga penjelasan/syarah para ulama ahlus sunnah, adalah bid'ah dari sisi istilah, yakni yang menyangkut perkara agama saja. BUKAN DARI SISI BAHASA
Sebab, jika dari sisi b...ahasa juga dimasukkan, maka perkara2 dunia, penemuan teknologi, peradaban manusiapun akan termasuk bid'ah. Telepon bid'ah, kompor bid'ah, kue bolu bid'ah, komputer bid'ah, motor bid'ah, mikrofon bid'ah, mobil bid'ah, pesawat bid'ah, dll, maka banyak sekali perkara2 yg bukan bid'ah secara istilah namun bid'ah secara bahasa, dan bukan ini (sisi bahasa) yg dimaksud oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Nah, celakanya, orang nahdiyin menganggap bid'ah nya tahlilan dan yasinan (bid'ah dlm agama), sama dgn bid'ah nya pesawat terbang (bid'ah dlm sisi bahasa). Boleh dilakukan keduanya, karena mereka menganggapnya sama2 bid'ah hasanah (padahal ...jelas berbeda, yg satu bid'ah dlm agama/istilah, yg satu bid'ah dlm sisi bahasa).
Sehingga mereka sering mengejek salafy dgn perkataan :
"dikit2 bid'ah, ini bid'ah, itu bid'ah, kalau gak mau bid'ah, pergi haji naik onta saja!".
Betapa bodohnya org2 nahdiyin ini.
Allahul musta'an.

Bencinya para Nahdiyin pada manhaj salaf dikarenakan Manhaj Salaf berhasil membongkar kedok para pengekor hawa nafsu dengan memberikan bayan secara ilmiah sehingga umat islam banyak yang "melek" tentang agamanya sendiri (termasuk sy) sehin...gga proyek2 seperti Tahlilan, Yasinan, Pemuja Kubur (ingat kasus Tanjung Priok) yang notabene dapat memberikan nafkah kepada mereka bakalan ditinggalin masyarakat. Proyek kembang setaman dikubur, istighasah bid'ah, ritual2 kesyirikan dikuburan, undangan acara2 Bid'ah dan kekhurafatan atas nama agama akan bakalan ditinggalkan suatu sa'at Insya Allah, ini yg membuat mereka "gerah"....ends of personal opinion. Wallahu 'alam
 
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya yang terakhir ketika haji wada' :

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimp...in budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari
kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan GIGI GERAHAM kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan". [SHAHIH. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim (1/97)]
 
Kemudian utk masalah penyusunan Al Qur'an, biar anti faham tentang perkara ini, maka simak baik2 pembahasan di bawah ini :

APAKAH SETIAP AMAL YANG TIDAK DILAKUKAN DI JAMAN NABI DISEBUT BID'AH??

Ada dua pendapat ’ekstrim’ te...rkait dengan
bahasan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara mutlak.[Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.]

Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :

إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة

”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.

Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :

كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا

”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh ­as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.

Ada dua kata kunci di sini, yaitu :

1. Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.

2. Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.

Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau seb
ab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :

”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.

Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.

Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[Huruf hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan harakat]
.
Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.

Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.

Ibnu Taimiyyah berkata :

فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير
أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان

”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan”.[Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.]

Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah].

Apa indikasinya ? Faktor pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak melakukannya. Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :

عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة

Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887]

Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.

Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :

فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها

”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.

Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at telah mantap [Tidak ada kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3].

, maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :

إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة

“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.

****

Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............

Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.

Sumber :
Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html

kalau dari HP, klik link yang ini :
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html?m=1

mengumpulkan ayat2 Al-Quran menjadi satu mushaf, memberi titik dan harakat pd huruf2 Al-Quran, membukukan hadits2 (hasil ijtihad para shahabat), menulis buku2 tafsir Quran, membuat kitab2 fikih"

--> semua ini tidak masuk 'category' bid'ah, tapi.. masuk dlm kategori 'maslahah mursalah' / 'marhalah' (sarana atau alat utk mendapat dan mewujudkan kemaslahatan umat)

PERKATAAN MEREKA : "KALAU TIDAK MAU BID'AH, MAKA PERGI HAJI PAKAI ONTA SAJA !"

Bismillah,
Kebanyakan, orang jahil, yang boleh jadi mereka itu ahlul bid'ah, pelaku bid'ah, ahlul hawa dll, bahkan orang awam tapi sudah berani bicara soal agam
a, ...mereka sering berkata sekitar perkataan ini kepada orang-orang yang berada diatas manhaj yang haq, di jalan yang lurus :

"Kalian menganggap bahwa semua bid'ah itu dholalah (sesat), padahal kalian sendiri berbuat bid'ah, main FB, pake HP, pake Mikrofon buat adzan, naik haji pake pesawat..dll, yang semua itu tidak ada tuntunannya dalam Al Qur'an dan Hadits. Kalau mau gak bid'ah, maka sono..naik onta aja kalau pergi haji !"

MAKA KITA JAWAB :
Orang2 yang berkata seperti itu maka ia adalah orang JAHIL MURAKKAB (jahil kwadrat).
Semoga Allah memberi mereka hidayah diatas ilmu dan pemahaman yang benar.

Maka terhadap perkataan seperti itu, kita jawab dan kita berikan penjelasan :

Hukum sarana tergantung tujuan, pemakaian teknologi juga tergantung tujuan, apakah dipakai dalam perkara yang halal/jaiz atau yang haram. Tidak ada bid'ah dalam agama untuk perkara penemuan manusia yang terkait dengan terus berkembangnya peradaban dan teknologi. Termasuk metodologi dalam berdakwah.

Berdakwah merupakan ibadah, namun sarana yang dipakai untuk berdakwah bukanlah bid'ah menurut istilah agama, seperti penggunaan microphone untuk pengeras suara, email sebagai pengganti surat-menyurat, video ceramah dsb.
Dalam masalah dunia (peradaban dan teknologi), hukum asalnya adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang melarang atau mengharamkannya.

Adapun bid'ah, ucapan itu telah disampaikan Rasulullah shallallahu 'alahi was salam, dimana dalam hadits beliau bersabda, potongan haditsnya adalah : "setiap bidah itu adalah sesat". Begitu juga yang dipahami oleh para sahabat, imam mazhab yang 4 dan ulama-ulama lain yang mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan baik.

Maka, Motor atau Mobil buat ke masjid, Pesawat terbang buat naik haji, Hand Phone, Komputer dan FB buat dakwah, kertas buat nulis Qur'an dan hadits, Sekolah Madrasah buat belajar agama, microphone di masjid buat khutbah dll adalah sarana/washillah untuk ibadah, BUKAN IBADAHNYA ITU SENDIRI.
Itu yang disebut dengan Mashlahatul Marsalah.

Sebab untuk urusan dunia, yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi (apa saja), dan peradaban manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur :

“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”. [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]

Jadi benda-benda yang disebutkan diatas itu adalah urusan dunia yang merupakan hasil kemajuan peradaban manusia secara umum dan pengembangan teknologi seiring dengan berjalannya waktu, yang mana orang kafir juga menggunakannya, dan tidak ada kaitannya dengan agama secara langsung.

Sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi, itu bukanlah bid'ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jadi , silahkan mau buat mikrofon masjid, pesawat buat pergi haji, software dll,

Akan tetapi yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallaam larang di sini adalah segala macam perkara baru dalam bentuk amalan/keyakinan agama dan syari'at, entah itu amalan-amalan (Fi'liyah) maupun Ucapan (Qouliyah) baik mengurangi atau menambahkan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama yang bukan datang dari kami (Allah dan Rasul-Nya), maka tertolaklah amalnya itu”. (SHAHIH, riwayat Muslim Juz 5,133)

dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan". [SHAHIH. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim (1/97)]
Wallahu a'lam.

http://www.abuayaz.co.cc/2011/02/perkataan-mereka-kalau-tidak-mau-bidah.html

PENULISAN AL-QUR’AN DAN PENGUMPULANNYA BUKANLAH BID'AH !!

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
...
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang
paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.

__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]

http://www.abuayaz.co.cc/2010/05/penulisan-al-quran-dan-pengumpulanya.html

Kemudian, orang2 Nahdiyin yang gemar berbuat bid'ah dalam perkara agama, mereka membangun keyakinannya dengan dalil hadits "MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...dst"

Benarkah penafsiran mereka ini?
Mari kita simak pembahasannya :

...HADITS MAN SANNA FII ISLAM SUNNATAN HASANATAN...

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah di tanya :
"Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Man Sanna Fi Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha..dst dst"

artinya :
"Siapa yang memulai membuat contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Kullu bid'atin dhalaalah".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin]

http://www.abuayaz.co.cc/2011/03/hadits-man-sanna-fii-islam-sunnatan.html

***
 
 
 
 

Blog Archive