Follow us on:

MUSIK HARAM ??

Saat ini, dunia Islam seperti tidak bisa lepas dari musik, beberapa ulama tidak menyatakan keharaman musik. Padahal sudah banyak hadits yang menyebutkan keharamannya. Dari sebuah forum, saya mendapatkan artikel seperti di bawah ini:

ARTIKEL #1: Musik adalah MUBAH

Tidak sedikit orang yang bertanya dan melontrakan berbagai kritikan, mengapa mahasiswa Indonesia di Mesir yang notabene kuliah di Al Azhar University harus terjun ke dunia seni apalagi yang berbau music?, Kayaknya music itu sangat indentik dengan hal yang sangat negative seakan menampar kuping tatkala mendengar mahasiswa Al azhar bermain music. Hal ini ternyata perlu dikaji ulang dari semua segi agar kiranya dapat membuka fikiran orang orang tentang apa itu seni, dan bagaimana pula dengan kondisi mahasiswa
Indonesia yang kuliah di Al azhar agar tidak ada kesalahpahaman.

Seni itu adalah fitrah manusia yang ada sejak lahir dan tak bisa dipisahkan, meskipun sebagian orang memungkiri dengan lidah namun hati dan geraknya tetap bergerak seiring tempo dan nada dari bunyi bunyian yang ada di sekelilingnya, baik itu nyanyian alam seperti deru angin, tetesan hujan, suara burung, suara bintang dll, maupun bunyi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, dan hal ini tak dapat dipungkiri fungsi dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia yang penuh dengan seni, dengan kata lain seni itu adalah keindahan yang diberikan oleh Allah kepada semua mahlukNya karna Allah itu Maha indah dan cinta akan keindahan.

Oleh karena itu, ulama ulama berbeda pendapat tentang seni, di satu sisi ada pengharaman di sisi lain ada yang membolehkan namun dari semua pendapat itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa adanya pelarangan dan pembolehan semua kembali ke dampak dari seni itu, terlepas dari seni yang telah ada dalil syar’i tentang pengharamannya.

Berbicara mengenai music akan didapati dalil tentang pengharamannya disaat Nabi mengharamkan seruling atau fluit disebabkan oleh ulah orang kafir yang slalu mengganggu dan mengusik kekhusu’an orang muslim yang lagi sholat berjamaah, juga tentang pembolehannya disaat Nabi menghadiri acara walimah seorang sahabat yang pada saat itu menggunakan Tablah (ketipung) sebagai alat untuk mengumumkan dan memeriahkan acara tersebut. Dari dua dalil ini ulama berbeda pendapat tentang music, sebagian berpendapat haram, dan sebagian yang lain berpendapat mubah (boleh). Pendapat pertama mengatakan music itu haram apabila membawa mudhorat dan berdampak negative misalnya menimbulkan birahi atau mengajarkan yang salah. Sedangkan pendapat kedua sudah jelas kemubahannya dan boleh boleh saja.

Kesimpulannya musik itu boleh asalkan tidak membawa mudhorat bagi yang bermain music itu sendiri juga kepada orang lain, bila hal itu membawa mudhorat berarti haram dan sebaliknya, karena semua yang ada di muka bumi ini adalah mubah kecuali telah ada dalil yang jelas tentang pengharamannya dan Allah itu Maha Indah dan suka akan keindahan.

Musik tidak terlarang dalam Islam. Musik bersifat netral. Artinya, dia seperti pisau, jika dibawa ke kejahatan oleh pelakunya ya bisa bersifat haram.

Tuhan Maha Indah, Dia menyukai keindahan. Nabi SAW pernah mendengar musik berdendang ketika Hari Ied bersama Aisyah RA, waktu itu Abu Bakar sempat marah karena dikiranya Rasulullah SAW mengharamkannya. (H.R Muslim)

Daud AS diturunkan kemu’jizatan dalam bermusik.

Memang pada suatu kali kesempatan Umar bin Khotthob menutup telinganya ketika mendengar suara seruling, tapi ketika ditanya mengapa. Umar hanya bisa memberikan jawaban, bahwa semata-mata karena Rasulullah SAW melakukannya. Jadi alasan yang ada, bukan tidak mungkin di sisi suara seruling tetapi mungkin lebih dari itu.

Akan tetapi dari sekian alasan itu, efek musik sebenarnya memang cukup berbahaya untuk pencipta suasana hati dan watak hati. Karena itu, tetap dianjurkan agar berhati-hati dan tidak berlebihan. Batasan akan boleh dan tidaknya musik tentu seperti cara-cara yang ma’ruf.

Seni musik dan nyanyian menurut hukum asalnya adalah HARUS kerana ia adalah fitrah manusia yg sukakan keindahan dan hiburan. Keharusan seni musik dan suara bertukar menjadi makruh, atau haram jika berubah perkara-perkara berikut:

a. isi, senikata, lirik, dan motif yg tidak bertentangan dgn adab dan susila Islam
b. Cara penyampaian, apakah ia menimbulkan syahwat dan ciri-ciri seksualiti dan yg diharamkan
c. Suasana (iklim) pada saat melantunkan
d. Sederhana (tidak berlebihan dan melampaui) dalam menyintai seni musik dan seni suara
e. pengetahuan pendengar adalah sebaik-baik hakim.

Pendapat Qardhawi ini sebenarnya juga pendapat fuqaha’ sebelumnya, antaranya Hujjatul Islam dan Imam alGhazali ra dalam kitab asSima’ min Ihya’: juga Fatawa Syaikhul al-Azhar Mahmood Syaltut ( alFatawa Syaltut, cet 1960, Cairo) yang berbunyi:

a. Seni musik dan seni suara adalah sama hukumnya dgn memenuhi keperluan pancaindera yg lain seperti makanan yg lazat dan pemandangan yg indah

b. Islam menetapkan kesederhanaan dalam semua termasuk menghayati seni musik dan seni suara

c. Ulama terdahulu telah membenarkan seni musik dan seni suara bila ada tujuan yg sesuai dan mencegahnya bila ada unsur luaran yg tidak Islamik

d. Seni Musik dan suara semuanya termaktub dibawah anugerah Ilahi yg bersifat umum yg diisyaratkan dalam surah al_A’raf: 32.

Itulah gambaran umum musik dan seni suara secara umum.

Alat muzik bertali (gitar dsb) dan yang ditiup(seruling dsb) apakah dilarang? Betulkah begitu…? Jika ya, apa dalilnya?

Menurut pendapat (penganalisa dalil dan madzhab) al-Qardhawi, nas-nas hadis yang mengharamkan alat musik tertentu spt seruling atau bertali itu adalah tidak benar atau ada kecacatannya. Ini juga berdasarkan pendapat al-Ghazali dalam kitab asSima’ min Ihya’ Ulumiddin. Alat musik adalah semata-mata alat, misalnya gelas adalah alat jika digunakan untuk meminum khamar atau susu. Mobil adalah alat yang digunakan untuk merompak atau bepergian sehari hari. Maka begitulah alat-alat musik boleh digunakan untuk kejahatan atau kebaikan.

Antara hadis-hadis yg ada kecacatan ialah:
#1: HR Bukhari dari Abu Malik ra,” Akan ada segolongan dari umatku yang akan menghalalkan zina, sutera, arak dan alat muzik.”
status Hadis: walaupun ia sahih Bukhari, tapi ia mudhtarib (bersimpang siur rawinya) dan mu’allaq (sanadnya terputus). Ahli hadits yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad, Abu Daud, Ibn Hazm, Abu Hatim, alHafeedz azZahabi dan alHafeedz Ibn Hajar Asqalani.
Kalimah mu’adzif dalam hadis di atas tidak disepakati sebagai yang dimaksud alat musik.

#2: HR Imam Hadits muttafaqun ‘alaih,“setiap permainan yg dilakukan oleh seorang muslim itu adalah kebatilan kecuali sendagurai suami-isteri, berkuda dan memanah.”
alHafeedz alIraqi: statusnya Mudhtarib juga

#3: Dari Aisyah ra,“Sesungguhnya Allah mengharamkan biduanita (hamba perempuan), menjual-belinya, menghargai dan mengajarinya.”
Ibn Hazm (alMuhalla) hadis dha’eef

#4: HR Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah
dari Nafi’ bahawa Ibn Umar ra meriwayatkan bahawa Nabi saw menutup telinganya jika terdengar tiupan seruling pengembara (gembala).

Fatwa MUI pernah mengharamkan permainanan alat musik bertali. Tetapi fatwa itu telah ditarik-balik. Fatwa terkini dari Fatwa MUI adalah harus dan haram sekiranya dicampuri dengan maksiat atau melalaikan kita daripada beribadah kepada Allah dan menunaikan kewajiban-Nya.

Bagaimana pula hukumnya dengan alat-alat musik lain yang bunyinya lebih kurang sama dengan kedua jenis alat musik tersebut seperti keyboard sebagaimana kita ketahui dapat mengeluarkan bunyi yang berbagai jenis termasukkah kedua alat muzik tersebut?
Dr alImam Prof Yusof alQardhawi berpendapat hadis-hadis yg berkaitan haramnya alat musik tertentu semuanya tidak terlepas dari kecacatan. Ini kerana musik telah dibahaskan di zaman sahabat dan tabi’in. Maka hukum alat musik (baik dari alat atau penghasilan komputer) itu HARUS dan keharusannya bergantung kepada penggunaannya. Kecuali bila alat musik itu menjadi lambang kefasikan dan dinisbatkan kepad agama tertentu menurut pandangan uruf (budaya setempat).

Mahasiswa Indonesia di Mesir yang kuliah di Al azhar university datang dari berbagai daerah di Indonesia dengan keanekaragaman culture maupun bakat dan tujuan, menambah corak bagi
kehidupan mahasiswa cairo itu sendiri, tidak semua mahasiswa Indonesia yang ada di mesir adalah utusan DEPAG (Department Agama) bahkan lebih banyak yang terjun bebas (Biaya Sendiri) sehingga tidak menutup kemungkinana adanya tujuan lain yang terselubung di balik kedatangannya ke cairo, atau dalam bahasa kasarnya tujuan ke cairo adalah sebagai pelarian.

Agar semua berjalan baik tak menyimpang dari agama maupun norma norma masyarakat yang ada, semua bakat yang dimiliki oleh mahasiswa ditampung oleh badan pengembangan bakat dan seni PPMI (persatuan pelajar mahasiswa Indonesia) maupun sanggar sanggar seni yang ada di cairo.

Maka tidak heran jika mahasiswa al azhar pun mampu tuk berkreasi dalam segala bidang seni, baik dalam bidang puisi yang banyak dikelolah serta dikoordinir langsung oleh sanggar sanggar seni yang ada, seperti sanggar Kinana, sanggar rajawali dll, dalam bidang seni music pun dapat dilihat dari munculnya berbagai band serta alirannya seperti band SABANDSA, VEGABON dan HERMAPRODITE.
Masyarakat Indonesia yang ada di Tanah Air tidak ambil peduli, dalam benak mereka semua mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al azhar adalah agamawan, padahal tidak semua mahasiswa yang kuliah di Al azhar itu mengambil jurusan keagamaan kalaupun ada hanya sebatas kulit kulitnya saja. Tuntan masyarakat itulah yang mengakibatkan adanya kecompangan dan kesalahan dalam menilai mahasiswa itu sendiri, kiranya hal itu sangat perlu dibenahi agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari dan tidak merugikan lain pihak.

sebelum baca lanjutannya ada baiknya baca ini juga, biar ngga bingung.. hehehe.. :D >>> http://deeu47.multiply.com/journal/item/116

ARTIKEL #2: Sanggahan Terhadap Tulisan Diatas

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحريروالخمروالمعازف

“Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik….” (Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq, no. 5590, beliau berkata: “Hishyam bin Ammar berkata: “Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Athiyyah bin Qais al-Kilaabi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ghanam al-Asy’ari ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu amir atau Abu Malik al-Asy’ari, Demi Allah ia tidak pernah membohongiku, bahawa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “...lalu ia menyebutkan hadits tersebut.) – Disahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Silsilah Hadits-Shahihah.

Sanggahan Terhadap Pernyataan Ibnu Hazm Bahawa Hadits ini mudhtharib sanadnya

Ibnu Hazm berkata dalam risalahnya: “Kemudian sanadnya sampai kepada Abu Amir atau Abu Malik, tidak diketahui siapa Abu Amir ini?”

Bantahannya: Para sahabat seluruhnya tsiqah, sama ada diketahui mahupun tidak.

Ucapan Ibnu Hazm “tidak diketahui siapa Abu Amir ini” menunjukkan bahawa Abu Amir majhul (tidak diketahui) menurut Ibnu Hazm. Dan menurut madzhabnya, ia tidak menenima hadits orang-orang yang dikategorikan sahabat Nabi SAW. hingga disebut namanya dan diketahui keutamaannya. Menurutnya Abu Amir tidak memiliki kriteria tersebut. Jadi, riwayat ini cacat menurutnya karena adanya perawi yang masih dipertentangkan apakah termasuk perawi yang dikenal atau tidak dikenal, bukan masalah nama sahabat tersebut! (Bahts Ahaadiits al-Ma’aazif hujjiyatuha wa Atsaruha fil Fiqh Islami)

Sehagian ulama telah menjawab syubhat ini, dengan memilih riwayat yang menyebut: Dari Abu Malik! (Ahaadits Dzammul Ghinna’ wal Ma’azif fil Mizan, Tulisan Abdullah bin Yusuf al-Judei’) Imam Al-Bukhari dalam tarikhnya (1/1/305) memilih bahawa riwayat ini dari Abu Malik, beliau berkata: “Riwayat ini dikenal dari Abu Malik al-Asy’ari, berasal dari riwayat Malik bin Abi Maryam dan Ibnu Gham dan Abu Malik, tanpa ada keraguan.

Ibnu Hajar r.a. berkata dalam Kitab Tahdzibut Tahdzib (11/144): “Hadits ini berasal dari riwayat Abu Malik.”

Bagaimanapun keadaannya, ahli ilmu telah menetapkan ketsiqahan seluruh sahabat Nabi SAW. Sahabat nabi adalah tsiqah, sama ada diketahui namanya ataupun tidak, diketahui kunyahnya atau tidak, ia tetap tsiqah dan diterima riwayatnya. Ini merupakan mazhabnya jumhur ahli ilmu.

Adz-Dzahabi berkata dalam Kitab al-Muqizhah:

“Diantara contob perbedaan dua orang hafizh adalah, salah seorang menyebut seorang perawi tsiqah pada sebuah sanad lalu yang lain menggantinya dengan perawi tsiqah yang lain, atau salah seorang berkata: Dan seorang lelaki”, sementara yang lain mengatakan: “Dari Fulan!” ia menyebut nama perawi yang masih samar tadi. Ini tidaklah merusak kesahihan hadits.”

Ibnu Hazm juga berpendapat bahawa hadits ini mudhtharib dari sisi matan karena beberapa alasan:

Pertama: Dalam Kitab Sahih, al-Bukhari meriwayatkannya dengan lafal: Yastahilluuna (menghalalkan), di mana dalam Kitab Tarikh tanpa lafal tersebut.

Kedua: Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah serta yang lainnya meriwayatkannya dengan lafal: “Layasyrabanna unaasun min ummati Al-khamr.

Ketiga: Disebutkan di dalamnya lafal: “Yastahilluunal hira dikatakan bahwa lafal ini dibaca dengan huruf haa’ dan raa’ tanpa titik, dan diriwayatkan juga dengan huruf khaa’ dan zay dengan titik.

Bantahannya:

Tidak mungkin kita hukumi hadits ini sebagai mudhtharib kecuali jika semua riiwayat yang saling bertentangan itu sama kuatnya.

Tidak mungkin hadits ini dihukumi mudhtharib kecuali riwayat-riwayat yang saling bertentangan lafalnya itu sarna kuatnya. Dan tidak mungkin dilakukan tarjih dan penggabungan jalur-jalur sanadnya. Hadits yang kita bahas ini adalah tidak demikian. Karena seluruh kontroversi yang didakwa itu boleh ditarjih atau digabungkan. Sekurang-kurangnya kita katakan: Lafal tersebut merupakan tambahan dan perawi tsiqah yang tidak bertentangan, maka wajib diterima. Kemudian al-Bukhari tidak begitu memperhaikan masalah matan dalam kitab Tarikh-nya. Karena bukan itu yang menjadi fokus kitab tersebut. Berapa banyak hadits yang diringkaskan lafalnya, beliau hanya mencantumkan potongan kecilnya saja. Kemudian riwayat dengan lafal tersebut tidak sama kekuatannya dengan riwayat dengan lafal: “Yastahilluuna”, wallahu a’lam.

Sanggahan Ketiga: Mendhaifkan hadits ‘pengharaman alat musik’ disebabkan perawi Hisyam bin Ammar.

Tidak ada seorangpun yang mendhaifkan hadits ‘pengharaman alat musik’ yang diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mi dengan alasan kedhaifan Hisyam bin Ammar selain Dr. Yusuf Al-Qardhawi. Ia berkata: “Hadits ini, walaupun terdapat dalam sahih al-Bukhari hanya saja termasuk riwayat mu’allaq bukan riwayat yang musnad dan tersambung sanadnya. Oleh karena itu, Ibnu Hazm menolak hadits ini dengan alasan keterputusan sanadnya. Disamping mu’allaq, mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya sanad dan matannya tidak selamat dari kegoncangan. Sanadnya bermasalah karena Hisyam bin Ammar (Lihat: Kitab al-Mizan dan Tahdzibut Tahdzib), banyak ahli hadits yang mendhaifkannya.”

Alasan ini sangat lemah sekali. Dan menunjukkan kelemahannya dalam ilmu hadits. Sebab, hadits ini telah diriwayatkan dari jalur lain selain Hisyam. Dan juga al-Bukhari tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqah.

Bantahannya: al-Bukhari tidak meriwayatkan dari seseorang perawi, sehinggalah beliau mengetahui kesahihan haditsnya.

Syaikh Abdurrahman al-Faqih hafizhahullah berkata:

“Apabila kita mengatakan ketersambungan sanad riwayat antara al-Bukhari dan Hisyam, maka itulah yang benar. Dalam keadaan seperti ini hadits tersebut sahih, Hisyam bin Ammar meskipun ada sedikit komentar tentangnya, hanya saja al-Bukhari menyaring hadits-hadits perawi yang seperti ini keadaannya, beliau tidak meriwayatkan seluruh haditsnya. Berikut ini ada penukilan yang sangat penting dari Imam Al-Bukhari rahimahullah yang disebutkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab al-Ilal al-Kabir: “Aku bertanya kepada Muhammad (yakni al-Bukhari) tentang Dawud bin Abi Abdillah yang meriwayatkan hadits dari Ibnu Jud’aan, beliau berkata: “Ia adalah perawi muqaribul hadits.” Muhammad (yakni Al-Bukhari) berkata: “Abdul Karim Abu Umayyah muqaribul hadits” dan Abu Ma’syar al-Madiini Najih Maula Bani Hasyim adalah perawi dhaif, aku tidak meriwayatkan satu hadits pun darinya dan aku tidak menulis haditsnya. Setiap perawi yang aku tidak boleh memilih sahih atau dhaif haditsnya maka aku tidak meriwayatkan darinya dan aku tidak menulis haditsnya. Aku tidak menulis hadits Qais bin Ar-Rabi’.” (at-Tirmidzi dalam Kitab Al-Ilal al-Kabir (2/978, Hamzah Adib, halaman 394 As-Saamiraa’i))

Jelaslah bahawa imam al-Bukhari rahimahullah tidak meriwayatkan dari seorang perawi hingga beliau dapat membedakan antara haditsnya yang sahih dan yang dhaif, maka riwayat beliau dari Hisyam bin Ammar termasuk jenis ini.

Kedua: Perkataan sebahagian ulama tentang Hisyam bin Ammar dianggap sebagai komentar antara sesama ulama yang setaraf.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam Kitab as-Siyar a’lam an-Nubala’ ketika menyebutkan biografi Hisyam bin Ammar: “Abu Bakar al-Marwadzi berkata: “Ahmad bin Hambal mengulas tentang Hisyam bin Ammar, ia berkata: “Orang ini kurang akal, lemah.” Aku (Adz-Dzahabi) katakan: Adapun ucapan Imam Ahmad rahimahullah menyebutnya sebagai “Kurang akal” adalah karena disebabkan sampainya kepada beliau bahawa Hisyam berkata dalam khutbahnya: “Segala puji bagi Allah Ta’ala yang muncul kepada makhluk-Nya melalui makhluk-Nya.” Ucapan seperti ini tidak seharusnya dilontarkan, meskipun maknanya mungkin saja benar. Akan tetapi kaum hululiyah dan wihdatul wujud berhujjah dengan ucapan ini. Tidak ada penukilan yang sampai kepada kita bahawa Allah Ta’ala muncul kepada sesuatu kecuali kepada gunung Thursina dan membuatnya hancur berkeping-keping. Dan tentang munculnya Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad SAW. masih diperselisihkan dan telah diingkari oleh ‘Aisyah ra dan ditetapkan oleh Ibnu Abbas ra .Namun kesimpulannya, perkataan sesama ulama yang setaraf mungkin benar mungkin tidak. Tidak membukanya lebih baik daripada menyebarkannya. Hanya mungkin, bila para ulama sezaman sepakat atas kedhaifan seorang perawi, maka perkataan mereka boleh dijadikan pegangan, wallahu a’lam. (Siyar A’lam an-Nubala’ (10 /431-432))

dari TS -> Kalimah mu’adzif dalam hadis di atas tidak disepakati sebagai yang dimaksud alat musik.

mungkin di sertakan juga akh, yang tidak menyepakati itu siapa saja, biar ilmiah dikit wink

Mungkin maksudnya al-Ma’azif المعازف -

1 - Al-Ma’azif adalah bentuk jama’ dari kata mi’zafah iaitu alat musik. (Fathul Bari, 9/55)

2 – Alat yang digunakan untuk bermain musik. (al-Majmu’, 10/577)

3 – Syaikhul Islam Inu Taimiyah menjelaskan bahawa hadits menunjukkan haramnya (bermain) alat musik.

4 – Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Bentuk pengambilan daril darinya, bahawa ma’azif merupakan alat-alat musik dengan segala macam bentuknya. Ini adalah perkara yang tidak diperselisihkan lagi oleh ahli bahasa. Kalaulah hal itu halal tentunya mereka tidak akan dicela karena menghalalkannya. Dan sudah tentu penghalalannya tidak akan digandengkan dengan ancaman penghalalan khamar dan penzinaan. (Risalah fi Ahkaamil Ghinaa’, dan dalam Ighatsatul Lahfaan, hal. 392)

Berkenaan Hadits:

Dalam hadits tersebut alat-alat musik dikaitkan dengan khamr dari sisi keharamannya. Karena khamr mengotori jasad dan akal fikiran dan nyanyian pula mengotori ruh (jiwa) sehingga mabuklah seseorang karenanya. Apabila telah tergabung dalam diri seseorang kotoran jasad, akal fikiran, dan jiwa maka tercipta sebuah kejahatan yang besar yang menakutkan.

Menjelaskan hadits tersebut, Ibnul Qayyim berkata:

“Dari sisi pendalilan dari hadits ini bahawa alat musik ini adalah alat-alat yang melalaikan semuanya, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa tentang hal itu. Andaikata nyanyian itu halal maka Rasulullah SAW. tidak akan mencela orang yang menghalalkannya dan tidak pula menyamakannya dengan orang yang menghalalkan khamr.

“Al-Harru” di dalam hadits tersebut mempunyai makna penghalalan kemaluan (zina) yang sebenarnya diharamkan. Sedangkan “al-khazzu” adalah sejenis sutera yang tidak dipakai oleh para shahabat (karena al-khazzu ada dua macam, yang terbuat dari sutera dan dari bulu domba). hadits ini telah diriwayatkan dengan dua bentuk.” (Ighaatsatul Lahafan I: 291)

Bantahan Terhadap Pendapat Ibnu Hazm Rahimahullah dan Mereka Yang Mengikutnya
Jumhur ulama telah membantah pendapat Ibnu Hazm rahimahullah yang mengatakan bahwa hadits al-Bukhari cacat karena adanya keterputusan sanad. Karena al-Bukhari tidak menyebutkan sanadnya yang tersambung. Berikut ini penjelasan beliau (Ibnu Hazm) rahimahullah:

Sanggahan Terhadap Ibnu Hazm Yang Menyatakan bahawa hadits ini tidak sahih Dengan Sebab Terputus Sanadnya

Ibnu Hazm menyatakan bahawa hadits ini terputus sanadnya dan tidak bersambung di antara al-Bukhari dengan Shadaqah bin Khalid. Ia berkata dalam Majmu’ Rasaailnya: “Adapun hadits al-Bukhari, beliau tidak menyebutkan sanadnya secara utuh, ia hanya mengatakan: “Hisyam bin Ammar berkata…” (Majmu’ Rasaail 1/434)

Dalam kitab al-Muhalla ia berkata: “Sanad ini terputus, tidak bersambung antara al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid.” (al-Muhalla 8/59)

Kesalahan Ibnu Hazm dan bantahannya dari beberapa sudut:

1 - Pertama: al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin Ammar dan telah mendengar darinya. Jika al-Bukhari berkata: “Hisyam bin Ammar berkata, maka sama kedudukannya dengan perkataannya: Dari Hisyam bin Ammar.

2 - Kedua: Kalaupun al-Bukhari belum mendengar dari Hisyam, tentu tidak boleh bagi al-Bukhari mencantumkannya dengan shighah jazm, sementara al-Bukhari bukanlah seorang yang mudallis.

3 - Ketiga: al-Bukhari memasukkan riwayat ini dalam kitabnya yang bernama Kitab as-Sahih dan beliau berhujjah dengannya.

4 - Keempat: Beliau meriwayatkannya secara mu’allaq dengan shighah jazm bukan shighah tamridh.

5 – Kelima: Kalaulah perkara di atas kita singkirkan dulu, maka hadits ini tetap sahih karena menurut ulama yang lain sanadnya bersambung.

6 - Perincian para ulama berkaitan dengan sisi-sisi yang disebutkan di atas dapat dilihat sebagai berikut:

Al-Hafizh al-Iraqi dalam takhrij hadits ini menyatakan: “Karena biasanya hadits-hadits mu’allaq terputus sanadnya dari pangkal sanad sampai kepada yang meriwayatkannya. Hadits mu’allaq memiliki beberapa bentuk yang sudah dikenali. Dan hadits ini tidak termasuk darinya. Karena Hisyam bin Ammar adalah guru kepada al-Bukhari. Al-Bukhari mengambilnya sebagai hujjah dalam kitab Sahih-nya…” (al-Mughni ‘an-Hamlil Asfaar 2/271)

Al-Hafizh Abu Amru Ibnu Solah berkata dalam Kitab Ulumul Hadits: “Tidak perlu diperhatikan lagi alasan yang diutarakan oleh Ibnu Hazm Az-Zhahiri dalam menolak riwayat al-Bukhari dari hadits Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari… karena al-Bukhari telah meriwayatkannya dan menyatakan dalam riwayatnya:

“Hisyam bin Ammar berkata…” kemudian beliau menyebutkan sanadnya. Ibnu Hazm mendakwa sanad ini terputus antara al-Bukhari dan Hisyam, lantas dijadikannya sebagai bantahan terhadap hujjah pengharaman alat musik. Namun ia keliru dalam masalah ini dari beberapa sudut. Hadits ini adalah hadits sahih dan ma’ruf, bersambung sanadnya berteptan dengan syarat hadits sahih.”

az-Zarkasyi berkata dalam Kitab at-Taudhih, ia menukilnya dari al-Hafzih: “Majoriti periwayat (Kitab Sahih al-Bukhari) menyebutkan hadits ini dalam al-Bukhari secara mu’allaq. Sementara Abu Dzar (salah seorang periwayat Kitab Sahih al-Bukhari) meriwayatkannya dari guru-gurunya, ia berkata: “al-Bukhari berkata: “al-Hasan bin Idris telah menyampaikan kepada kami, ia berkata: Hisyam bin Ammar…” (Halaman 61-62) al-Hafizh berkata: “Berdasarkan hal tersebut hadits ini sahih, menurut syarat Al-Bukhari.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar membantahnya dalam Fathul Bari (1/52), ia berkata: “Apa yang dikatakannya di sini keliru, disebabkan kurang ketelitian. Karena yang mengatakan:

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Kitab al-Istiqamah (1/294), menyatakan: ‘‘Alat-alat musik telah sahih diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya secara mu’allaq dengan shighah jazm, sesuai dengan syarat beliau.”

Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah membantah ucapan Ibnu Hazm ini pada beberapa tempat dalam bukunya. Beliau berkata dalam kitab Tahdzib Sunan Abu Dawud (5/270): “Ibnu Hazm dan lainnya yang telah menyatakan hadits ini memiliki kecacatan. Mereka mengatakan: “Hadits ini tidak sahih, karena sanadnya terputus, al-Bukhari tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya kepadanya, ia hanya mengatakan:

“Hisyam bin Ammar mengatakan…”

Dalam Kitab Ighatsatul Lahfan beliau rahimahullah berkata:

“Hadits ini sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya dan beliau menggunakannya sebagai hujjah. Beliau mencantumkannya dalam bentuk riwayat mu’allaq dengan sighah jazm. Kemudian anggaplah kita terima perkataan Ibnu Hazm bahawa sanadnya terputus, maka telah diriwayatkan secara maushul (tersambung sanadnya) melalui beberapa jalur dari perawi yang tsiqah dan para huffazh, mereka telah mendengarnya dari Hisyam bin Ammar.”

Penjelasan tersambungnya sanad hadits tersebut dari jalur-jalur lain:

Ath-Thabrani berkata dalam Musnad Asy-Syaarniyyin (1/334/88): “Muhammad bin Yazid bin (dalam naskah asli tertulis ‘an bukan bin) Abdush Shamad Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada kami.”

Ihnu Hibban berkata dalam kitab Shahih-nya (8/26/6719 (al-Ihsan)):

“al-Husein bin Abdillah Al-Qaththan telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada karni… kemudian ia menyebutkan riwayatnya secara lengkap sampai pada perkataan: al- Ma’aazif.”

Abu Nu’aim telah meriwayatkannya secara maushul dalam Kitab al-Mustakhraj ‘ala kitab Sahih dan al-Bukhari (9/221) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya (19/79) melalui beberapa jalur dari Hisyam bin Ammar. Dan diriwayatkan juga oleh al-Hasan bin Sufyan dalam Musnad-nya. (Hadyus Saari halaman 9) Dan juga Abu Bakar al-Ismaili dalam al-Mustakhraj, Abu Dzar al-Harawi, perawi kitab Sahih, serta banyak lagi yang lainnya.

Hadits tersebut tidak terputus sanadnya antara al-Bukhari dan gurunya, Hisyam, seperti yang diutarakan oleh lbnu Hazm rahimahullah. Karena Hisyam bin Ammar adalah merupakan guru al-Bukhari, ia telah bertemu dengannya dan mendengar hadits darinya. Dan al-Bukhari telah menyebutkan dua hadits melalui riwayat Hisyam selain hadits ini. Kemudian, perkataan perawi: “Fulan berkata…” sama dengan ucapan: “Dari Fulan”, sebab pengucapnya (yakni al-Bukhari) tidak dikenali dengan sifat tadlis. Maka riwayatnya dianggap bersambung menurut pendapat yang sahih dan dipilih oleh jumhur ahli ilmu, ditambah lagi adanya pertemuan antara al-Bukhari dan Hisyam, dengan demikian hadits ini sudah memenuhi syarat al-Bukhari, iaitu adanya pertemuan, maka hadits ini sahih menurut syarat Al-Bukhari.

Para ahli ilmu telah menyatakan kesahihan hadits ini, di antaranya Ibnu Hibban, al-Ismaili, Ibnu Sholah, Ibnu Hajar al-Asqalaani, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, lbnu Qayyim al-Jauziyah, Ath-Thahawi, Ash-Shan’aani, an-Nawawi rahimahullah dan ramai lagi yang lainnya.

Al-Allamah Ibnu Baz Rahimahurnullah berkata: “Ulama Islam telah mengambil hadits ini (sebagai hujjah), mereka telah sepakat menerimanya dan berhujjah dengannya atas pengharaman seluruh jenis alat musik. Akan tetapi Ibnu Hazm dan Abu Turab serta orang-orang sesudahnya mendhaifkan hadits ini, ia (mereka selepas Ibnu Hazm) taklid buta kepada Ibnu Hazm dalam pendhaifannya, dengan alasan hadits ini terputus sanadnya antara al-Bukhari dan gurunya, Hisyam bin Ammar, karena beliau tidak menyatakan penyemakan langsung darinya, namun menyebutnya secara mu’allaq. Ibnu Hazm telah keliru/tersilap dalam hal ini. Sejumlah ahli ilmu telah mengingkari ucapannya dan kekeliruannya tersebut. Karena Hisyam termasuk guru al-Bukhari, beliau juga menyebutkannya secara mu’allaq dengan shighah jazm. Dengan demikian, hadits ini adalah sahih menurut beliau. Dan ahli ilmu juga menerimanya, mereka mensahihkan riwayat mu’allaq al-Bukhari yang disebutkan dengan shighah jazm.”

Bantahan Terhadap Dr. Yusuf al-Qaradhawi

Dalam hal ini, Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah menggunakan hujjah pendhaifan hadits ini oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Padahal para ulama telah menjelaskan kesalahan Ibnu Hazm dalam persoalan tersebut. Ibnu Sholah berkata:

“Tidak perlu diperhatikan penolakan Abu Muhammad bin Hazm (Ibn Hazm) terhadap hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari dari Rasulullah SAW:

‘Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik.’

Dari sudut bahawa ketika Bukhari menyebutkan hadits ini dia berkata, - berkata Hisyam bin Ammar dan menyebutkannya dengan sanadnya. Maka Ibnu Hazm menyangka bahawa hadits ini munqathi’ (terputus) antara Bukhari dan Hisyam dan menjadikannya sebagai bantahan terhadap hadits ini sebagai dalil atas diharamkannya alat-alat musik. Ia telah salah dalam pelbagai sisi sedangkan hadits ini adalah sahih karena telah diketahui ittishal-nya (tersambungnya) berdasarkan syarat hadits sahih.” (al-Fath I:52)

Ibnul Qayyim berkata:

“Siapa yang melemahkan hadits ini, tidak boleh berbuat apapun (seperti Ibnu Hazm) dalam mendukung pendapat harusnya musik dalam membolehkan hal-hal yang melalaikan dan tuduhan bahawa hadits tersebut munqathi’ (terputus sanadnya) karena al-Bukhari tidak menyambung sanadnya. Jawabannya adalah, ini hanyalah wahm (sangkaan yang lemah) dan dapat dilihat dari pelbagai sudut.”

Kemudian ia menyebutkan bantahannya. (Ighaatsatul Lahafan I:290)

Setelah menyebutkan pendapat Ibnu Hazm tentang hadits ini, Syaikh al-Albani
mengatakan:
“Dan tidak tersamar lagi bagi para thalabul ilmi lebih-lebih para ulama tentang pemaksaan yang berlebih-lebihan karena terputusnya sanad jikalau benar tidak harus menghukumi bahawa matan hadits tersebut palsu. Apalagi sanad hadits tersebut tersambung dari jalan lain dari Bukhari sendiri dan jalan yang ketiga ada pada kami sebagaimana telah disebutkan.

Walaupun demikian, al-Qaradhawi dan al-Ghazali serta para pengikutnya tetap berterusan menutup mata mereka dan bertaklid kepada Ibnu Hazm. Apakah hal tersebut timbul dari kejahilan mereka ataukah karena hawa nafsu saja. Wal ‘iyaazubillah.” (al-Albani, Tahriimu Aalati Ath-Tharb halaman 82-83)

Allohu a’lam

sumber: http://www.arrahmah.com/index.php/forum/viewthread/2789
 

 source

picture